You are on page 1of 4

Dasar Teori

Makanan pokok kita mengandung karbohidrat, protein, kalsium, zat besi, vitamin dan yang
lainnya. Namun, dalam pengolahannya banyak ditambahkan bahan-bahan kimia lain yang secara
sengaja ataupun tidak disengaja ditambahkan. Bahan kimia tambahan pada makanan umumnya
dikenal sebagai zat aditif makanan. Zat aditif ini dapat menambah rasa, aroma, dan warna yang
dapat menarik selera para konsumen.

Bahan tambahan makanan digunakan agar makanan tampk lebih menarik dan tahan lama; bahan
tersebut dapat sebagai pengawet, pewarna, penyedap rasa dan aroma, antioksidan, dan lain-lain.
Sehingga bahan makanana tersebut tidak bernilai gizi.

Uji Karbohidrat

Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen dan oksigen.
Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat adalah penghasil energi di dalam
tubuh. Tiap 1 gram karbohidrat yang dikonsumsi akan menghasilkan energi sebesar 4 kkal dan
energi hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini kemudian akan digunakan oleh tubuh
untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti bernafas, kontraksi jantung dan otot serta
juga untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik seperti berolahraga atau bekerja (irawan,2007).

Umumnya makanan mengandung tiga unsur yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Dari ketiga
unsur tersebut yang merupakan sumber energi utama ialah karbohidrat. Karbohidrat ialah
senyawa organik dengan fungsi utama sebagai sumber energi bagi kebutuhan sel-sel dan jaringan
tubuh. Peran utama karbohidrat di dalam tubuh ialah menyediakan glukosa bagi sel-sel tubuh,
yang kemudian diubah menjadi energi. Glukosa merupakan jenis karbohidrat terpenting bagi
tubuh manusia. Karbohidrat dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber utama tenaga untuk bergerak,
membentuk glukosa otot sebagai energi cadangan tubuh dan juga membentuk protein dan lemak
(Djakani, 2013).

Karbohidrat dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat
kompleks. Contoh dari karbohidrat sederhana adalah monosakarida yang merupakan jenis
karbohidrat yang terdiri dari 1 gugus cincin, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa atau juga
disakarida yang merupakan jenis karbohidrat yang banyak dikonsumsi oleh manusia di dalam
kehidupan sehari-hari.seperti sukrosa dan laktosa. Sedangkan contoh dari karbohidrat kompleks
adalah pati (starch), glikogen (simpanan energi di dalam tubuh), selulosa, serat (fiber) atau dalam
konsumsi sehari-hari karbohidrat kompleks dapat ditemui terkandung di dalam produk pangan
seperti, nasi, kentang, jagung, singkong, ubi, pasta, roti dsb ( Irawan, 2007).

Untuk mengetahui kandungan karbohidrat dalam makanan, diperlukan uji karbohidrat dua
diantaranya yaitu uji benedict dan uji amilum(uji iod/uji lugol).

1. Uji benedict
Uji Benedict adalah untuk membuktikan adanya gula pereduksi. Gula pereduksi
adalah gula yang mengalami reaksi hidrolisis dan bisa diurai menjadi sedikitnya dua buah
monosakarida. Karateristiknya tidak bisa larut atau bereaksi secara langsung dengan
Benedict, contohnya semua golongan monosakarida, sedangkan gula non pereduksi
struktur gulanya berbentuk siklik yang berarti bahwa hemiasetal dan hemiketalnya tidak
berada dalam kesetimbangannya, contohnya fruktosa dan sukrosa. Dengan prinsip
berdasarkan reduksi Cu2+ menjadi Cu+ yang mengendap sebagai Cu2O berwarna merah
bata. Untuk menghindari pengendapan cuco3 pada larutan natrium karbonat (reagen
Benedict), maka ditambahkan asam sitrat. Larutan tembaga alkalis dapat direduksi oleh
karbohidrat yang mempunyai gugus aldehid atau monoketon bebas, sehingga sukrosa
yang tidak mengandung aldehid atau keton bebas tidak dapat mereduksi larutan Benedict
(Poedjiadi A. 1994).
Uji Benedict bertujuan untuk mengetahui adanya gula pereduksi dalam suatu
larutan dengan indikator yaitu adanya perubahan warna khususnya menjadi merah bata.
Benedict reagen digunakan untuk menguji atau memeriksa kehadiran gula pereduksi
dalam suatu cairan. Monosakarida yang bersifat redutor, dengan diteteskannya reagen
akan menimbulkan endapan merah bata. Modifikasi pereaksi Fehling adalah pereaksi
Benedict, yang merupakan campuran 17,3 gram kupri sulfat, 173 gram natrium sitrat, dan
100 gram natrium karbonat dalam 100 gram air (Sumardjo, 2008). Selain menguji adanya
gula pereduksi, juga berlaku secara kuantitatif, karena semakin banyak gula dalam
larutan maka semakin gelap warna endapan (Wahyudi, 2005).
Pemanasan karbohidrat pereduksi dengan pereaksi Benedict akan terjadi
perubahan warna dari biru, hijau, kuning, kemerah-merahan, dan akhirnya terbentuk
endapan merah bata kupro oksida apabila konsentrasi karbohidrat pereduksi cukup tinggi
(Sumardjo, 2008).
2. Uji amilum (Uji Iod/uji lugol)
Uji Iod bertujuan untuk mengidentifikasi polisakarida. Reagent yang digunakan
adalah larutan iodine yang merupakan I2 terlarut dalam potassium iodide. Reaksi antara
polisakarida dengan iodin membentuk rantai poliiodida. Polisakarida umumnya
membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan dengan iodin, sedangkan
karbohidrat berantai pendek seperti disakarida dan monosakarida tidak membentuk
struktur heliks sehingga tidak dapat berikatan dengan iodine (Monruw, 2010).
Uji Iod digunakan untuk memisahkan amilum atau pati yang terkandung dalam
larutan. Reaksi positifnya ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi biru. Warna
biru yang dihasilkan diperkirakan adalah hasil dari ikatan kompleks antara amilum
dengan Iodin. Sewaktu amilum yang telah ditetesi Iodin kemudian dipanaskan, warna
yang dihasilkan sebagai hasil darireaksi yang positif akan menghilang. Dan sewaktu
didinginkan warna biru akan muncul kembali (Monruw, 2010).

Uji Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di dalam formalin
terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air. Formaldehid (HCOH) merupakan suatu
bahan kimia dengan berat molekul 30,03 yang pada suhu kamar dan tekanan atmosfer berbentuk
gas tidak berwarna, berbau pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut
dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Arisworo, 2006).Formalin sering
digunakan sebagai bahan desinfektan, bahan insektisida, bahan baku industri plastik dan
digunakan juga pada berbagai macam industri seperti industri tekstil, farmasi, kosmetika serta
digunakan untuk mengawetkan mayat ( Buletin Servis, 2006).

Formalin dapat masuk ke dalam tubuh dengan jalan inhalasi uap, kontak langsung dengan larutan
yang mengandung formalin, atau dengan jalam memakan atau meminum bahan makanan yang
mengandung formalin. Apabila formalin tercampur dalam makanan dengan dosis yang rendah
dapat menyebabkan keracunan. Namun apabila termakan dalam dosis yang tinggi akan sangat
membahayakan karena kandungan formalin yang tinggi didalam tubuh tinggi akan menyebabkan
formalin bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat didalam sel sehingga menekan fungsi
sel dan menyebabkan kematian sel. Selain itu kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga
menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat
mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel dan jaringan) dan hanya dalam beberapa jam saja
akan menyebabkan kejang-kejang, kencing darah, muntah darah bahkan dapat berujung pada
kematian. Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh
seperti kerusakan hati dan ginjal (Syamsul, 2013).

Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein
sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi
tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut (Herdiantini, 2003). Sifat penetrasi formalin
cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya lambat sehingga walaupun formaldehid dapat digunakan
untuk mengawetkan sel-sel tetapi tidak dapat melindungi secara sempurna, kecuali jika diberikan
dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras (Herdiantini, 2003).

Formalin memiliki unsur aldehid yang mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika
disiramkan ke makanan seperti tahu formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian
permukaan tahu sampai ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia
dari formalin maka bila ditekan tahu terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak
akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, sehingga tahu akan menjadi
lebih awet.

Peraturan Menteri Kesehatan sudah menyatakan bahwa formalin merupakan bahan tambahan
makanan terlarang, ternyata pada kenyataannya masih banyak para pedagang/produsen makanan
yang “nakal” tetap menggunakan zat berbahaya ini. Formalin digunakan sebagai pengawet
makanan, selain itu zat ini juga bisa meningkatkan tekstur kekenyalan produk pangan sehingga
tampilannya lebih menarik (walaupun kadang bau khas makanan itu sendiri menjadi berubah
karena formalin). Makanan yang rawan dicampur bahan berbahaya ini biasanya seperti bahan
makanan basah seperti ikan, mie, tahu hingga jajanan anak di sekolah (Afrianto, 2008). Di
Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan formalin sebagai pengawet
makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat
karsinogenik bagi tubuh manusia (Sitiopan, 2012).

Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga
organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan
penggunaan bahan kimiawi, secara umum disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida yang
dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg/liter (1 ppm setara 1 mg/liter) atau
dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0.2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk
ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari.
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menyatakan formaldehida
berbahaya bagi kesehatan pada kadar 20 ppm. Sedangkan dalam Material Safety Data Sheet
(MSDS), formaldehida dicurigai bersifat kanker (Singgih, 2013).

Adanya formalin atau tidak dalam makanan bisa dengan tes kalium permanganat Uji ini cukup
sederhana, dengan melarutkan serbuk kalium permanganat di air hingga berwarna pink (merah
jambu) Perubahan warna pada larutan dari warna merah jambu pudar, maka menunjukan sampel
tersebut mengandung formalin (Wardani, 2006).

Uji kualitatif formalin dalam makanan dapat dilakukan dengan KMnO4, sedangkan analisis
kuantitatif dapat dilakukan dengan spektrofotometri meggunakan larutan Nash (Williams,1984),
2,4- dinitrofenilhidrazin (Hadi, 2003) dan alkanon dalam media garam asetat (Supriyanto, 2008).
Hadi (2003) melaporkan bahwa analisis formalin menggunakan 2,4-dinitrofenilhidrazin dalam
tahu diperoleh nilai rekoveri 85,3 + 3,92 % dan dalam bakso 43,91 + 3,73%, dengan batas
deteksi 11,43 pg/mL, sedangkan dengan alkanon dalam media garam asetat menggunakan
spektrofotometer dapat menganalisis kadar formalin sampai 3 ppm. Selain itu formalin dapat
juga dianalisa dengan asam kromotropat yang dilarutkan dalam asam sulfat (BPPOM, 2000).

Salah satu cara lain untuk mendeteksi boraks dan formalin yang terkandung pada makanan,
dengan memanfaatkan kunyit. Kunyit yang memiliki nama latin Cucuma domestica yakni sejenis
jahe-jahean yang mengandung zat curcumin bisa digunakan untuk mengetes makanan. Caranya
mengetesnya, pertama, dengan menusukkan tusuk gigi kepada kunyit terlebih dahulu kemudian
dimasukan kepada makanan yang akan diuji. Setelah kira-kira 5 detik, maka akan terlihat apakah
makanan tersebut mengandung boraks dan formalin atau tidak. Jika terjadi perubahan maka
makanan tersebut mengandung boraks atau formalin. (Minto, suaratebuireng : 2017)

You might also like