Professional Documents
Culture Documents
A. Fraksi volume
Vv = A /AT
Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total
pengukuran. Pengukuran dapat dengan metode planimetri atau dengan memotong
foto fasa yang dimaksud dan mencoba membandingkan lebar 11 fasa yang
dimaksud dengan lebar foto yang dimaksud. Metode ini kurang sesuai untuk fasa
halus.
Cara yang kedua adalah dengan analisa garis, metode ini diperkenalkan
oleh Reziwal seorang Geologis Jerman pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan
ekuivalensi antara fraksi garis LL dan fraksi volum. Pada analisa garis, total
panjang dari garis-garis yang ditarik sembarangan memotong fasa yang diukur L
dibagi dengan total panjang garis LT untuk memperoleh fraksi garis :
LL = L /LT = Vv
Pp = P /PT = L /nPo
Dimana n adalah jumlah perhitungan dan Po jumlah titik dari grind. Jadi
PT = nPo, jumlah total titik uji pada lensa okuler umumnya menggunakan jumlah
titik terbatas yaitu 9, 16, 25, dan seterusnya dengan jarak teratur. Sedangkan untuk
grind yang digunakan didepan screenmempunyai 16, 25, 29, 64 atau 100 titik.
Fraksi volume sekitar 50% sangat baik menggunakan jumlah grind yang sedikit,
seperti 25 titik. Untuk volume fraksi yang amat rendah baik digunakan grind
dengan jumlah titik yang banyak dalam kebanyakan pekerjaan, fraksi volume
dinyatakan dengan persentase dengan dikalikan 100. Ketiga metode dapat
dianggap mempunyai ketelitian yang sama.
V V = A A = L L = P
Metode perhitungan besar butir ada dua cara. Cara yang pertama adalah
metode Planimetri yang diperkenalkan oleh Jefferies. Metodenya yaitu dengan
rumus :
Dimana NA adalah jumlah butir/ mm2 = (F) (n1+ n2/2) = NAF adalah bilangan
Jefferies = M2 / 5000.
5000 mm2 = Luas lingkaran.
No butir dapat dilihat di table ASTM Metoda yang kedua adalah dengan metode
Intercept yang diperkenalkan oleh Heyne yaitu dengan rumus : G = [6,646 log
9L3) ± 3,298]
PL = P / (LT/M)
-L3 = 1 / PL
M = Perbesaran
D. Pemeriksaan mikroskopik
Sistem kristalografi
E. Sistem Isometrik
1. Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula
dengan sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada
3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan
perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama
dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua
sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
2. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal,
sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3.
Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b
ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan
nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar
sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+
memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
F. Sistem Tetragonal
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil,
autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)
G. Sistem Hexagonal
H. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain
yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua
titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
I. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal
Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya
panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama
lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada
sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
J. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga
sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga
sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang
paling panjang dan sumbu b paling pendek.
K. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya
tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak
sama. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ
tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite,
anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase .