You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Beberapa jenis penyakit kulit
a. Penyakit kulit akibat infeksi virus
1. Herpes zoster
1.1 Defenisi
Herpes zoster adalah peradangan akut pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh
virus varicella zoster.
1.2 ETIOLOGI
Herpes zoster terjadi karena reaktivasi dari virus varicella (cacar air).
1.3 Patofisiologi
Virus varicella masuk kedalam tubuh melalui lesi pada kulit,mukosa saluran
pernapasan atas orofaring. Virus ini berkembang biak dan menyebar keberbagai
organ terutama kebagian kulit dan mukosa,selanjutnya masuk ke ujung saraf sensoris
dan korni posterior. Saat virus masuk pertama kali kedalam tubuh disebut infeksi
primer, yang kemudian menimbulkan vesikel.
Setelah terjadinya infeksi primer virus maka virus akan menetap dan akan teraktivasi
kembali tergantung pada pertahanan dan kekebalan tubuh.
1.4 Manifestasi Klinik
Gejala prodromal (80%) : nyeri, demam. Kelainan kulit:
Lesi : Eritema papula dan vesikula bula. Isi
lesi : jernih keruh dapat bercampur darah.
Lokasi : bisa di semua tempat, paling sering unilateral pada servikal IV dan lumbal II.
1.5 klasifikasi herpes zoster
Bila menyerang wajah, yang dipersarafi N.V disebut herpes zoster frontalis
Bila menyerang cabang optalmikus disebut herpes zoster oftalmik.
Bila menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis.
Bila menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster lumbalis.
1.6 Pemeriksaan penunjang
Tzanck’s smear dan punch biopsy: adanya sel raksasa berinti banyak dan sel epitel
mangandung badan inklusi eosinofilik, yang tidak terdapat pada lesi yang lain, kecuali
virus herpes simpleks.
Isolasi virus: cairan vesikel, darah, cairan serebrospinalis, jaringan terinfeksi, antigen
VVZ.
1.7 komplikasi
Sikatriks
Neuralgia pascaherpetik
1.8 Penatalaksanaan medik
☺ Istirahat
☺ Analgetik
☺ Asiklovir, famsiklovir, valasiklovir: 5 x 800 mg/hari selama 7 hari, paling lambat 72
jam setelah lesi muncul.
Kriteria:
- umur > 60 thn.
- umur < 60 thn, lesi luas dan akut.
- segala umur, lesi oftalmikus.
- aktif menyerang leher, alat gerak dan perineum (lumbal-sakral)

2. Herpes simpleks
2.1 Defenisi
Herpes simplek adalah penyakit yang mengenai kulit dan mukosa bersifat
kronis dan residif.
2.2 Etiologi
Herpes simplek disebabkan oleh virus DNA. Yaitu virus herpes simplek atau
virus hominis
2.3 patofisiologi
partikel DNA yang menular masuk kedalam nucleus sel dan memanfaatkan
mesin reproduksi sel untuk mereflikasinya sendiri (Sylvia &Wilson,1995)
2.4 klasifikasi herpes simplek
terdapat dua jenis herpes simplek :
1. herpes simplek tipe 1,biasanya mengenai bibir, mulut hidung, dan pipi.
Bentuk herpes ini diperoleh dari kontak dekat dengan anggota keluarga
atau teman yang terinfeksi , melalui ciuman, sentuhan atau memakai
handuk atau pakaian bersam dan tidakditularkan melalui hubungan
seksual.
2. Herpes simplek tipe II, biasanya menginfeksi daerah genital dan biasanya
didahului oleh hubungan seksual.
2.5 manifestasi klinis
masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama.
Timbul vesikel, kelainan klinis vesikel tumbuh berkelompok diatas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi
seropurulen , dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi
2.6 Pengobatan
Asik klovir (zovirak) dapat diberikan. Obat ini efektif bagi pasien yang
kekebalanya tertekan salep asik klovir mengurangi masa penularan virus pada
penderita yang terkena herpes primer.
b. Penyakit kulit akibat infeksi bakteri
1. Kusta
1.1 defenisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang
menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
1.2 Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit
kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen
pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang
dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media
buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang
Armadillo.
1.3 Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit
tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang
Avirulen dan non toksis. M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler )
terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior
pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh
tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel
mn, histiosit ) untuk memfagosit.
1.4 Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita
menjadi :
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan
permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah
biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa
gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar
keringat. BTA ( – ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan
kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak
mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat
eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu
jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan
jaringan kulit dan uji lepromin ( – ).
1. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( – ), BTA ( + )
banyak, uji Lepromin ( – ).
2. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran
kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak
pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( – ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
1.5 Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir
sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan
saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak
sejelas tipe TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi
melebihi tipe BT, cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk
oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri
khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar
ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya,
beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak
seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih
cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat
teraba pada tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
 Distribusi lesi khas :
o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor
tingkat bawah.
 Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif
o Cuping telinga menebal
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat
disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Lebih lanjut
o Deformitas hidung
o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
o Penyakit progresif, makula dan popul baru.
o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
1. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Redley & Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan
saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
 Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstit
1.6 penatalaksanaan penyakit kusta
1.6.1 Penanggulangan Penyakit Kusta Melalui Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit,
mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah
timbulnya cacat.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta
secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan.
Penyakit kusta dapat diobati dan bukan penyakit
turunan/kutukan.Tipe MB lama pengobatan : 12 - 18 bulan.Tipe PB
lama pengobatan : 6 - 9 bulan.
WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya
dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas
kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi
ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus-obat (drop
out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson.
Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti
pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA.
Resistensi terhadap
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini
untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin
bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara
ireversibel.
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan
mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu
obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk
pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal,
serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah
pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis
dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Penelitian saat ini ditekankan pada anggapan bahwa ofloxacin
dapat lebih membunuh baksil mutan yang resistan terhadap rifampisin.
Akan tetapi karena kombinasi rifampisin dan ofloxacin lebih mahal
daripada dapson dan clofazimine, pengobatan baru yang lamanya 4
minggu menjadi sama besar biayanya dengan standar pengobatan yang
6 bulan atau 2 tahun. Namun dengan penggunaan yang lebih luas maka
biaya pengobatan dengan ofloxacin dapat ditekan sehingga tujuan untuk
eliminasi lepra pada tahun 2000 dapat cepat tercapai.
Minosiklin
Di antara turunan tetrasiklin, monosiklin merupakan satu-satunya yang
aktif terhadap M.leprae. hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
lipofiliknya sehingga menyebabkan ia mampu menembus dinding sel
M.leprae dibandingkan dengan turunan lain. Minosiklin bekerja dengan
menghambat sintesis prorein melalui mekenisme yang berbeda dengan
obat antikusta yang lain.
Klaritromisin
Dibandingkan obat lain golongan makrolid, klaritromisin mempunyai
aktivitas bakterisidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin. Obat ini
juga bekerja dengan menghambat sintesis protein melalui mekanisme
yang lain daripada minosiklin.
c. Penyakit kulit akibat infeksi parasit
1. Scabies
1.1 Defenisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestisasi dan
sensitisasi terhadap sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya.
Sinonim dari penyakit ini adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal
agogo. Penyakit scabies ini merupakan penyakit menular oleh kutu tuma
gatal sarcoptes scabei tersebut, kutu tersebut memasuki kulit stratum
korneum, membentuk kanalikuli atau terowongan lurus atau berkelok
sepanjang 0,6 sampai 1,2 centimeter.
1.2 Etiologi
Scabies dapat disebabkan oleh kutu atau kuman sercoptes scabei varian
hominis. Sarcoptes scabieiini termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida,
ordo Ackarina, superfamili Sarcoptes.
1.3 Patofisiologi Skabies
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya dari tungau scabies, akan
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman
atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat,menyebabkan
lesi timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan leh
sensitisasi terhadap secret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu
kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat it kelainan kulit menyerupai
dermatitis dengan ditemuannya papul, vesikel, dan urtika. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder.
Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.
1.4 Pengklasifikasian dari skabes ini terbagi atas :
- Scabies pada orang bersih, yaitu ditandai dengan lesi berupa papul dn
terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga jarang dijumpai.
- Scabies nodular, yaitu lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal.
Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genetala
laki-laki. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap
tungau scabies.
- Scabies yang ditularkan melalui hewan,yaitu sumber utamanya adalah
anjing, kelainan ini berbeda dengan scabies manusia karena tidak
terdapat terowongan, tidak menyeang sela jari dan genetalia eksterna.
Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak
dengan binatang kesayangannya. Kelainan ini hanya bersifat
sementara karena kutu binatang tidak dapat melanutkan siklus
hidupnya pada manusia.
- Scabies pada bayi dan anak, yaitu lesi scabies pada anak dapat
mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak
tangan dan kaki, dan sering trjadi infeksi sekunder impetigo sehingga
terowomgan jarang ditemukan.
- Scabies terbaring ditempat tidur, yaitu kelainan yang sering menyerang
pada penderita penyakit kronis dan pada orang yang lanut usia yang
terpaksa harus tinggal ditempat tidur terus. Sehingga orang itu dapat
menderita scabies dengan lesi yang terbatas.
- Scabies Norwegia atau scabies krustosa, ini ditandai oleh lesi yang luas
dengan krusta,skuama generaisata dan hyperkeratosis yang tebal.
Tempat predleksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga,
bokong,siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang disertai distrofi kuku,
namun rasa gatal tidak terlalu menonjl tetapi sangat menular karena
jumlah tungau yang menginfeksi sangat banyak (ribuan).
1.5 cara penularan
Faktor penunjang penyakit ini antara lain social ekonomi rendah,
hygiene buruk, sering berganti pasangan seksual, kesalahan diagnosis,
dan perkembangan demografis serta ekologik. Penularan penyakit skabies
inidapat terjadi scara langsung maupun tidak langsung, karenanya tak
heran jika penyakit gudik (skabies) dapat dijumpai di sebuah keluarga, di
kelas sekolah, di asrama, di pesantren. Adapun cara penularannya adalah
sebagai berikut :
- Kontak langsung (kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur
bersama, dan hubungan seksual.
- Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei,
bantal, dll.
1.6 manifestasi klinik
penyakit ini menimbulkan rasa gatal yang panas dan edema yang
disebabkan oleh garukan. Gatal terjadi pada malam hari terdapat lesi khas
berupa terowongan pada tempat-tempat predileksi, berwarna putih atau
keabu-abuanberbentuk lurus atau berkelok rata-rata panjang 1 cm.
1.7 Penatalaksanaan
Syarat obat yang ideal adalah efektif terhadap semua stadium
tungau, tidak menimbulkan iritasi dan toksik, tidak berbau atau kotor,
tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya
murah.
Jenis obat topical :
- Belerang endap (sulfur presipitatum) 4-20% dalam bentuk salep atau
krim. Pada bayi dan orang dewasa sulfur presipitatum 5% dalam
minyak sangat aman dan efektif. Kekurangannya adalah pemakaian
tidak boleh kurang dari 3 hari karena tidak efektif terhadap stadium
telur, berbau, mengotori pakaian dan dapat menimbulkan iritasi.
- Emulsi benzyl-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
- Gama benzena heksa klorida (gameksan) 1% daam bentuk krim atau
losio, termasuk obat pilihan arena efektif terhadap semua stadium,
mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianurkan
pada anak dibawah umur 6 tahun dan wanta hamil karena toksi
terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya cup sekali dalam 8 jam.
Jika masihada gejala, diulangi seminggu kemudian.
- Krokamiton 10% dalamkrim atau losio mempunyaidua efek sebagai
antiskabies dan antigatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan
uretra. Krim( eurax) hanya efetif pada 50-60% pasien. Digunakan
selama 2 malam berturut-turut dan dbersihkan setelah 24 jam
pemakaian terakhir.
- Krim permetrin 5% merupakan obat yang paling efektif dan aman
arena sangat mematikan untuk parasit S.scabei dan memiliki toksisitas
rendah pada manusia.
- Pemberian antibitika dapat digunakan jika ada infeksi sekunder,
misalnya bernanah di area yang terkena (sela-sela jari, alat kelamin)
akibat garukan.
d. Penyakit kulit akibat kegagalan keratinasi
1. Psosiaris
1.1 Defenisi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema
berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan;
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Psoriasis juga disebut
psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena ada psoriasis lain,
misalnya psoriasis pustulosa.
1.2 Etiologi
Etiologi belum diketahui, yang jelas ialah waktu pulih (turn over
time) epidermis dipercepat menjadi 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal
lamanya 27 hari.Berbagai penyelidikan yang lebih mendalam untuk
mengetahui penyebabnya yang pasti masih banyak dilakukan. Beberapa
faktor penting yang disangka menjadi penyebab timbulnya Psoriasis
adalah :
a. Genetik
b. Imunologik
c. Stres Psikik
d. Infeksi fokal. Umumnya infeksi disebabkan oleh Kuman Streptococcus
e. Faktor Endokrin. Puncak insidens pada waktu pubertas dan
menopause, pada waktu kehamilan membaik tapi menjadi lebih buruk
pada masa pascapartus.
f. Gangguan Metabolik, contohnya hipokalsemia dan dialisis.
g. Obat-obatan misalnya beta-adrenergic blocking agents, litium,
antimalaria, dan penghentian mendadak korikosteroid sistemik.
h. Alkohol dan merokok.
1.3 Patofisiologi
Psoriasis merupakan penyakit kronik yang dapat terjadi pada
setiap usia. Perjalanan alamiah penyakit ini sangat berfluktuasi. Pada
psoriasis ditunjukan adanya penebalan epidermis dan stratum korneum
dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah dermis bagian atas. Jumlah
sel-sel basal yang bermitosis jelas meningkat. Sel-sel yang membelah
dengan cepat itu bergerak dengan cepat ke bagian permukaan epidermis
yang menebal. Proliferasi dan migrasi sel-sel epidermis yang cepat ini
menyebabkan epidermis menjadi tebal dan diliputi keratin yang tebal (
sisik yang berwarna seperti perak ). Peningkatan kecepatan mitosis sel-sel
epidermis ini agaknya antara lain disebabkan oleh kadar nukleotida siklik
yang abnormal , terutama adenosin monofosfat(AMP)siklik dan guanosin
monofosfat (GMP) siklik. Prostaglandin dan poliamin juga abnormal pada
penyakit ini. Peranan setiap kelainan tersebut dalam mempengaruhi plak
psoriatik belum dapat dimengerti secara jelas.
1.4 Gejala Klinis
Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-
tempat predileksi, yakni pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut
dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan
daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)
dengan skuama diatasnya. Eritema berbatas tegas dan merata. Skuama
berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi
putih pada goresan, seperti lilin digores. Pada fenomena Auspitz serum
atau darah berbintik-bintik yang disebabkan karena papilomatosis.
Trauma pada kulit , misalnya garukan , dapat menyebabkan kelainan yang
sama dengan kelainan psoriasis dan disebut kobner.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yang agak khas yang
disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan miliar.
Bentuk Klinis :
1. Psoriasis Vulgaris
2. Psoriasis Gutata
3. Psoriasis Inversa ( Psoriasis Fleksural)
4. Psoriasis Eksudativa
5. Psoriasis Seboroik (Seboriasis)
6. Psoriasis Pustulosa ( Pustulosa Palmoplantar & Pustulosa Generalisata
Akut)
7. Eritroderma Psoriatik
1.5 Diagnosis
Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis.
Kalau tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain
yang tergolong dermatitis eritroskuamosa. Pada diagnosis banding
hendaknya perlu diingat , bahwa pada psoriasis terdapat tanda-tanda
yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis ,
fenomena tetesan lilin,dan fenomena auspitz serta kobner.
Diagnostik banding :
a. Dermatofitosis dengan keluhan gatal sekali dan ditemukan ada jamur.
b. Sifilis Psoriasiformis (sifilis stadium II)
c. Dermatitis seboroik.
1.6 Penatalaksanaan Medik
Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan yang spesifik karena
penyebabnya belum jelas dan banyak faktor yang berpengaruh. Psoriasis
sebaiknya diobati secara topikal. Jika hasilnya tidak memuaskan, baru
dipertimbangkan pengobatan sistemik karena efek samping pengobatan
sistemik lebih banyak.
Pengobatan Sistemik
1. Kortikosteroid ( Prednison )
2. Obat sitostatik ( Metroteksat )
3. Levodopa
4. DDS(diaminodifenilsulfon)
5. Etretinat dan Asitretein
6. Siklosporin
Pengobatan Topikal
1. Preparat Ter ( fosil, kayu, batubara )
2. Kortikosteroid ( senyawa fluor )
3. Ditranol ( antralin )
4. Pengobatan dengan peyinaran
5. Calcipotrio

You might also like