You are on page 1of 36
Pasal: Tentang Akad Nikah Syekh Abu Syuja’ berkata: cea ag 53 (ty Wy cK Ae aes yy Diy es J ovaatsty (ph “aediy Ste “Akad nikah itu tidak sah kecuali ada wali laki-laki dan dua orang saksi yang adil. Wali dan dua orang saksi tersebut memerlukan enam syarat. Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah itu tidak sah tanpa ada wali, karena Allah SWT berfirman: OTT iy HEIG GRSE OI Alaa 8 Artinya: “... maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suami mereka ....” (Q.S. Al-Bagarah: 232) Ayat ini turun berkenaan dengan Ma’qil bin Yasar ketika ia bersumpah tidak akan menikahkan saudara perempuannya dengan jaki-laki yang telah menceraikannya. Hadis mengenai wali ini ada di dalam Shahih Al-Bukhari. Seandainya wanita itu boleh menjalani akad nikah dengan dirinya sendiri tanpa wali, tentu Rasulullah tidak melarang Ma’ qil yang menghalangi pernikahan saudara perempuannya itu, Rasulullah SAW bersabda: CK: ie OSs Sie stat Sty 9 CY 370 Artinya: “Nikah itu tidak sah kecuali ada wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil. Nikah dengan tanpa wali dan dua orang saksi adalah batal.” (H.R. Ibnu Hibban) Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab Shahihnya. Ta mengatakan: “Selain hadis ini tidak ada yang sahih dalam menyebutkan dua orang saksi.” Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: ai coy ¥y afl ahh oF y Artinya: “Orang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain dan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri." Kami (para sahabat) mengatakan: a eclsh-ittees Hae te A at IF eZ Artinya: “Perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan yang berzina.” Hadis ini diriwayatkan Al-Daruquthni dengan isnadnya yang sesuai dengan syarat sahih (Bukhari-Muslim). Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW pernah bersabda: 58 You EES Wy 08) ca CAS at pit Artinya: “Siapapun perempuan yang menikah tanpa ada izin dari walinya maka nikahnya batal (Nabi SAW mengulangi sabdanya tiga kali).” Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al- Tirmidzi. Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Hadis ini 371 juga diriwayatkan Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim. Ibnu Ma’in mengatakan bahwa hadis ini paling sahil dalam bab wali. Kata pengarang ...dzakarin (wali laki-laki) berarti mengecualikan orang banci dan perempuan. Jadi, pernyataan perempuan dalam melakukan ijab kabul dalam pernikahan adalah tidak sah, maka perempuan tidak sah menikahkan dirinya sendiri baik dengan izin walinya maupun tidak. Perempuan juga tidak sah menikahkan perempuan lain baik dengan perwalian maupun dengan perwakilan, berdasar hadis di atas. Syarat wali dan dua orang saksi adalah seperti yang telah disebutkan oleh pengarang. Masalah: Yunus bin Abdul A’la meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i ra. berkata: “Apabila dalam sekelompok masyarakat ada seorang perempuan yang tidak mempunyai wali, lalu perempuan tersebut menguasakan nikahnya kepada orang laki-laki sehingga laki-laki itu menikahkan perempuan tersebut maka hukumnya boleh (nikabnya sah), karena yang demikian itu termasuk fahkim sehingga Jaki-laki yang diberi kuasa tersebut menduduki kedudukan penguasa.” Imam Nawawi mengatakan: “Al-Mawardi memberikan ketetapan mengenai orang perempuan yang berada di suatu tempat yang di situ tidak ada walinya dan tidak ada penguasanya, yaitu ada tiga pendapat: a. Tidak boleh dinikahkan. b. Perempuan itu menikahkan dirinya sendiri karena darurat. c. Perempuan tersebut menguasakan urusan nikahnya kepada seorang laki-laki agar laki-laki itu menikahkan perempuan tersebut dengan calon suaminya. Al-Syafi’i menuturkan bahwa pengarang kitab Al-Muhadzdzab mengatakan dalam masalah ini: “Perempuan tersebut hendaklah menjadikan orang yang pandai ilmu agama dan mampu berijtihad sebagai wali hakim (wali dari jajaran penguasa daerah). 392 Pendapat yang telah dituturkan mengenai tahkim tersebut inemang benar berdasarkan pada pendapat yang azhhar dalam hal bolehnya tahkim dan masalah pernikahan, tapi syaratnya orang yang (liberi kuasa untuk menikahkan tersebut harus layak menjadi kadi, ini (entu sulit didapat dalam kondisi seperti itu. Pendapat yang kami pilih adalah sahnya nikah jika perempuan tersebut menguasakan urusan pernikahannya kepada orang yang adil walaupun orang tersebut tidak mampu berijtihad. Demikian ini adalah zhahir nas Imam Syafi’i yang dinukil oleh Yunus. Yunus adalah orang yang dapat dipercaya. Syekh Abu Syuja’ berkata: Sy 5 LE AIG Cal btiy peg aa) col) i 2S ay Ty ihaaly SEN Dias J a8) 215 Vy IHG “Wali dan dua orang saksi memerlukan enam syarat, yairu: (1) Islam, (2) Balig, (3) Berakal, (4) Merdeka (bukan budak), (5) Laki-laki (6) Adil. Hanya saja pernikahan kafir dzimi tidak memerlukan Islamnya wali, dan pernikahan budak perempuan tidak memerlukan adilnya tuan yang memilikinya.” Wali perempuan muslimah tidak boleh orang kafir. Allah SWT (clah berfirman: BS oe PHS ea Lily Oa pels (VY ety Artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah penolong atas sebagian yang lain.” (Q.S. At-Taubah: 71) w Ra ao Lelaki kafir bukanlah penolong wanita muslimah karena perbedaan agama, maka laki-laki kafir tidak boleh menjadi wali, Orang Islam juga tidak boleh menjadi wali perempuan kali, berdasarkan firman Allah SWT: care SLD opliady Sadi yey G7 sal gly (0) sally say Sf realy Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu sekalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu satu sama lain saling membantu.” (Q.S. Al-Maidah: 51) Dalam ayat tersebut Allah SWT melarang adanya saling membantu antara orang-orang mukmin dengan orang kafir, dan demikian inilah mazhab yang kuat. Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa orang laki- laki kafir boleh menjadi wali perempuan kafir sebagaimana yang telah disebutkan di atas oleh pengarang. Hanya saja pernikahan perempuan kafir dzimi tidak memerlukan Islamnya wali, dan menurut pendapat yang sahih memang demikian. Laki-laki kafir yang menjadi wali itu harus adil menurut agamanya. Kalau laki-laki kafir tersebut menurut agamanya ia berbuat hal-hal yang diharamkan, maka menurut Imam Rafi’i tindakan laki-laki kafir tersebut dalam menikahkan perempuan kafir sama dengan tindakan laki-laki muslim yang fasiq dalam menikahkan anak perempuannya. Al-Halimi mengatakan, orang kafir tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan. Jika laki-laki muslim ingin menikah dengan perempuan kafir dzimi maka yang menikahkan adalah kadi (hakim agama). Menurut pendapat yang sahih, orang kafir tidak boleh menjadi wali berdasarkan ayat di atas. Syarat laki-laki kafir boleh menjadi wali adalah ia harus bukan kadi. Jika wali perempuan kafir dzimi itu menjadi kadi maka laki- laki muslim tidak boleh menerima pernikahan perempuan kafir 374 (iyimi yang dinikahkan oleh wali orang-orang kafir. Demikian ienurut mazhab yang kuat. Ketahuilah, bahwa perkataan kami “Laki-laki Islam tidak boleh ‘enjadi wali perempuan kafir” adalah terkecuali penguasa. Penguasa iuslim boleh menikahkan para wanita kafir dzimi apabila mereka (idak mempunyai wali nasab, dan penguasa muslim boleh menguasai (rusan mereka dengan perwalian umum. Kata pengarang “balig dan berakal” adalah mengecualikan k-anak dan orang gila. Anak kecil dan orang gila tidak boleh di wali pernikahan, karena anak kecil dan orang gila itu herada di bawah kekuasaan wali mereka. Sebab, keduanya tidak sempurna dalam mengurus kepentingannya sendiri, lalu mana inungkin keduanya menjadi wali orang lain. Orang gila yang dimaksud adalah apabila gilanya terus imenerus, kalau gilanya tidak terus menerus, maka ada perbedaan pendapat. Menurut pendapat yang sahih, orang gila yang tidak terus ienerus, menurut pendapat ini perwaliannya harus beralih kepada wali yang lebih jauh, bukan kepada kadi. Ia boleh menikahkan pada saat wali tersebut gila, bukan pada saat sehatnya. Ketahuilah bahwa cacat akal karena pikun atau sinting atau karena ada hal-hal yang mengganggu juga bisa mencegah perwalian, dan bisa mengalihkan perwalian kepada wali yang lebih jauh. Menurut mazhab kuat, orang yang tercegah tindakannya (mahjur ‘alaih) karena ketololannya juga tidak boleh menjadi wali. Sebab, ia tidak mampu mengurusi kemaslahatan dirinya sendiri lalu mana mungkin ia bisa mengurusi kemaslahatan orang lain. Karena itu, orang yang tercegah tindakannya karena tolol, hartanya harus dikuasai oleh walinya sebagaimana anak kecil. Demikian pula orang yang menderita berbagai macam penyakit dan penderitaan sehingga tidak sempat mengetahui dan mengurusi kemaslahatan orang lain yang dalam perwaliannya, maka perwaliannya beralih ke wali yang lebih jauh, demikian ini telah dinas oleh Imam Syafi’i dan diikuti oleh para ulama mazhab Syafi’i. Ayan atau pingsan kalau biasanya tidak terus menerus maka sama dengan tidur, jadi ditunggu sembuhnya. Kalau ayannya terus menerus sampai dua atau tiga hari, maka sebagian ulama mengatakan 375 sama dengan orang gila. Menurut pendapat yang sahih, orang tersebjiii pada saat pingsan atau ayan tidak ditunggu sembuhnya. Jadi, digaiil] oleh wali lain yang lebih jauh. Menurut Al-Baghawi dan lain-lain: Orang tersebut ditungyil sembuhnya disamakan dengan orang yang tidur. Imam Rafi’i jujil telah memastikan hukum seperti ini di dalam kitab Al-Muharray. Kata pengarang “merdeka” adalah mengecualikan status budak, Budak tidak boleh menjadi wali, karena ia tidak bisa menguasil dirinya sendiri. Ia sangat tidak mungkin menjadi wali orang lain, Tapi seandainya budak itu diminta oleh orang lain untuk menjadi wakil dalam menerima pernikahan (melakukan kabul dalam pernikahan) dengan izin tuannya maka sah, tanpa adi perbedaan pendapat. Jika tanpa izin tuannya juga boleh menurii{ pendapat yang ashah. Apakah budak boleh menjadi wakil dalam mengijabkan nikah'? — Menurut sebagian ulama, boleh, sama dengan bolehnya iq menjadi wakil dalam melakukan kabul. — Pendapat yang sahih menurut jumhur ulama, tidak boleh, Bedanya dengan kabul ialah ijab nikah itu menyangkut urusay) perwalian, sedangkan budak tidak berhak menjadi wali. Kata pengarang “laki-laki” berarti mengesampingkan yang bukan laki-laki. Jadi, orang perempuan dan banci tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan, berdasarkan hadis-hadis di muka. Kata pengarang “adil” berarti mengesampingkan yang tidak adil. Lalu bolehkah orang fasiq menjadi wali dalam pernikahan? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang banyak. Menurut mazhab yang kuat, orang fasiq tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan, seperti ia tidak boleh menjadi wali dalam ; urusan harta, juga berdasarkan hadis Rasulullah SAW: ass Sy PY sy ty Fe J | Artinya: “Nikah itu tidak sah kecuali dengan wali yang pinta." Sifat fasiq itu bisa merusak syarat sebagai saksi, maka sifat fasiq juga bisa merusak syarat sebagai wali nikah, sama dengan status budak. 376 Lain halnya dengan tuan yang fasiq. Tuan boleh mengawinkan budak perempuannya meskipun tuan itu fasiq, karena menurut pendapat yang ashah, ia mengawinkan budak perempuan tersebut sebab ia yang memiliki budak itu, bukan karena ia menjadi wali. Ketahuilah bahwa Imam Rafi’i mengatakan: “Sesungguhnya kebanyakan ulama mutaakhkhirin terutama ulama Khurasan menfatwakan bahwa orang fasiq boleh menjadi wali pernikahan, dan pendapat ini dipilih oleh Al-Rauyani.” Imam Nawawi mengatakan: “Imam Ghazali pernah ditanya mengenai perwalian orang fasiq. Imam Ghazali mengatakan: “Sebenarnya kalau kita mencabut perwalian orang fasiq, tentu perwalian itu akan beralih kepada penguasa yang penguasa itu sendiri kita anggap fasiq pula.” Jadi, kalau orang fasiq tidak boleh menjadi wali maka tidak ada orang lain yang menjadi wali.” Imam Nawawi mengatakan: “Apa yang dikatakan oleh Imam Ghazali tersebut baik, maka seyogyanya diamalkan.” Masalah: Kalau kita putuskan bahwa kefasigan itu bisa mencabut perwalian, lalu bagaimana kalau orang fasiq itu bertobat? Al-Baghawi mengatakan: “Ia boleh menikahkan saat itu juga.” Imam Rafi’i mengatakan: “Kias yang jelas adalah seperti yang telah disebutkan dalam urusan kesaksian, yaitu orang fasiq tersebut harus melepaskan kefasiqannya agar hak kewaliannya bisa kembali kepadanya sebagaimana urusan kesaksian.” Masalah: Orang buta itu boleh menikah, tanpa ada perbedaan pendapat, menurut pendapat yang ashah, orang buta juga boleh menikahkan. Orang bisu apabila bisa menulis atau bisa berisyarat yang bisa dipahami orang lain, maka tidak beda dengan orang buta. Kalau tidak bisa menulis atau tidak bisa berisyarat, maka tidak berhak/ tidak boleh menjadi wali. Ketahuilah, bahwa syarat-syarat yang berlaku pada wali ini juga berlaku pada dua orang saksi. Akad nikah itu tidak sah kecuali 377 di hadapan dua orang saksi yang Islam, meskipun si istri kafir dim), Dua orang saksi tersebut harus mukalaf merdeka, laki-laki dan adil secara lahir (berdasarkan tingkah lakunya sehari-hari-Pen.). Dut orang saksi tersebut juga disyaratkan harus bisa diterimi kesaksiannya atas suami-istri yang dinikahkan itu dan atas diri sakil | itu sendiri. 1 Dua orang saksi tersebut harus bisa mendengar, melihat, dan memahami bahasa dua orang yang berijab kabul dan akad nikaby Dua orang saksi tersebut harus dalam Keadaan sadar. Akad nikal tidak sah di hadapan saksi tolol/tidak sadar yang tidak dapat dipercays\ ucapannya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW: " oe 8 oe “ae os so Jue tatty a's Se YC Artinya: “Nikah itu tidak sah kecuali ada wali yang pintay (sempurna akalnya) dan dua orang saksi yang adil.” Yang dimaksud dengan hal tersebut adalah berhati-hati dalam urusan kemaluan dan menghindari pembangkangan dalam nikal, serta untuk menjaga keturunan. Apabila akad nikah itu dilaksanakan di hadapan saksi yang fasiq, seperti para hakim yang menerima suap, orang-orang lalim, dan sebagainya, maka akad tersebut batal, sebagaimana akad nikah dengan dua orang saksi yang kafir atau budak. Karena itu, hendaklah seseorang berhati-hati dengan saksi yang, fasiq tersebut, dan apabila seseorang ingin menikah hendaklah mencari saksi yang adil sebagaimana yang diterangkan di dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Masalah: Syarat sahnya akad nikah, dengan hadirnya empat orang, yaitt wali, suami (pengantin laki-laki), dan dua orang saksi. Wali dan pengantin laki-laki boleh mewakilkan ijab kabulnya kepada orang, Jain. Kalau wali dan pengantin laki-laki sudah mewakilkan ijab kabulnya kepada orang lain, atau yang mewakilkan adalah salah 378 »lu dari keduanya, lalu wakil yang ditunjuk itu melaksanakan akad ihuh sedangkan wali asli dan pengantin laki-laki turut berada di Wiijelis akad, maka akad nikah tersebut tidak sah. Sebab, wakil itu Wlilah pengganti wali. (Jadi, orang yang mewakilkan tidak boleh {ul serta berada di majelis akad-Pen.). Syekh Abu Syuja’ berkata: AU Ei gE Aid tal gf OU I Es 8 gH SF AU I SN, - Paar Wie le an o “Orang yang lebih utama menjadi wali urutannya adalah: Ayah, kemudian kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah). Kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu (keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu) kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah (keponakan laki-laki dari jalur saudara laki-laki seayah), kemudian saudara laki-laki ayah, kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki ayah (sepupu laki-laki dari jalur ayah).” Wali yang paling utama adalah ayah, karena wali-wali lain yang jelain ayah bisanya menjadi wali adalah karena ada hubungan lengan ayah. Kemudian kakek, yaitu ayahnya ayah terus ke atas, \wena ia berhak sebagai wali dan juga sebagai asabat maka ia (idabulukan urutannya daripada wali-wali yang lain dari jalur ayah. emudian saudara laki-laki seayah seibu, lalu saudara laki-laki seayah, alu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, lalu «nak laki-lakinya saudara laki-laki seayah terus ke bawah, karena hubungan mereka dari jalur ayah, Kemudian saudara laki-laki ayah, ‘euyah seibu atau seibu, lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki ayah lerus ke bawah, kemudian semua asabat yang lain, 379 Urutan dalam menikahkan (menjadi wali nikah) sama dengiii) urutan dalam waris, kecuali tentang kakek, karena dalam masal wali nikah kakek lebih diutamakan daripada saudara laki-lal berbeda dengan masalah waris. Pengecualian yang lain adalah anak laki-laki, karena anak lal laki tidak berhak menikahkan (menjadi wali dalam pernikahi ibunya), karena kedudukannya sebagai anak, meskipun dalam hi waris anak laki-laki itu diutamakan. Alasan tidak adanya hak kewalian untuk anak laki-laki dala masalah nikah adalah karena anak laki-laki itu tidak bersekutu dengaly ibu dalam hal nasab, maka ia tidak mempunyai hak untul menghindarkan aib keturunan. Kalau ibu bersekutu dengan anak laki-laki dalam nasab, misalnya anak laki-laki tersebut adalah cucu laki-laki pamat) (maksudnya anak laki-lakinya anak Jaki-laki saudara laki-laki ayah), maka ia berhak menjadi wali karena kedudukannya yang adit hubungannya dengan ayah, bukan karena kedudukannya sebagal anak. Demikian juga apabila anak laki-laki itu adalah orang yang memerdekakan perempuan yang akan dinikahinya, atau anak laki- laki tersebut sebagai hakim, atau ia lahir sebagai kerabat dari wathi/ persetubuhan syubhat, misalnya anak laki-laki yang dilahirkan olel) ibu tersebut adalah sebagai saudara laki-laki ibu itu sendiri atau berstatus sebagai anak Jaki-laki saudara laki-lakinya, maka anak laki- Jaki tersebut tidak terhalang untuk menjadi wali ibu tersebut, karena status hukumnya anak laki-laki tersebut sebenarnya bukan putra ibu yang melahirkannya itu (karena hasil dari warhi atau persetubuhan syubhat. Syekh Abu Syuja’ berkata: 2 ey ste Or ye oe, . 7 dead 65 (gall Syd GU ted! cant 08 “Kalau tidak ada asabat, maka yang menjadi wali adalah tuan yang memerdekakan, kemudian asabat-asabat tuan tersebut.” 380 Jika tidak ada wali asabat sedangkan perempuan yang (inikahkan itu bekas budak, maka walinya adalah tuan yang jwemerdekakan perempuan tersebut. Kalau tuannya tidak ada (waka yang menjadi wali adalah asabat tuan itu. Demikianlah \julannya sama dengan waris, berdasar hadis Rasulullah SAW: pec nade ad Sy Artinya: “Hubungan orang yang memerdekakan budak dengan budak yang dimerdekakannya adalah seperti hubungan nasab.” Kalau yang memerdekakan budak tersebut perempuan, maka incnurut pendapat yang ashah, yang mengawinkan budak yang telah dimerdekakan itu adalah orang yang berhak mengawinkan orang yang telah memerdekakan budak tersebut, tetapi atas kerelaan budak yang dimerdekakan itu, tanpa disyaratkan harus atas kerelaan perempuan yang memerdekakan. Demikian menurut pendapat yang ushah. Kalau perempuan yang memerdekakan itu sudah mati, maka yang mengawinkan budak yang dimerdekakan itu adalah orang yang mempunyai hak wala’. Maka yang didahulukan menjadi wali adalah nak laki-laki perempuan tersebut. Menurut pendapat lain, hak kewalian tetap pada ayah. Masalah: Budak laki-laki yang telah dimerdekakan menikah dengan perempuan merdeka asli, lalu mempunyai anak perempuan. Apabila wali asabat tidak ada, maka yang menjadi wali adalah hakim/ penguasa muslim. Menurut sebagian ulama, yang menjadi wali adalah tuan yang telah memerdekakan ayahnya. Masalah: Jika tuan yang telah memerdekakan ayah anak perempuan tersebut meninggalkan dua orang anak laki-laki, menurut Ibnul Haddad masing-masing keduanya mengawinkan anak perempuan itu secara sendiri-sendiri seperti hubungan nasab. 381 Syekh Abu Syuja’ berkata: ' a 5 Vol ‘ “Kemudian walinya adalah penguasa (yang muslim).” Maksudnya adalah penguasa di tempat perempuan itu berada, berdasarkan hadis Rasulullah SAW: Artinya: “Penguasa adalah wali orang yang tidak mempunyal wali.” (Diriwayatkan oleh Al-Syafi’i, Abu Dawud, Ibn Hibban, dan lain-lain, dari hadis ‘Aisyah dan disebutkan di dalam Talkish al-Habir). - J Jika yang dipersilahkan menjadi wali itu penguasa daerah lain, maka tidak sah menurut Imam Ghazali. Masalah: : ‘Urutan wali yang telah kami sebutkan di atas menentukan sahny@ nikah. karena itu, wali yang lebih jauh urutannya tidak boleh mengawinkan selama masih ada wali yang Jebih dekat, sebab wall yang lebih dekat itu yang berhak menjadi asabat, seperti kedudukannya di dalam waris. Kalau salah seorang dari mereka ada yang mengawinkan (menjadi wali) dengan menyalahi aturan yang telah disebutkan di atas, maka nikahnya tidak sah. Syekh Abu Syuja’ berkata: yekn ADU Syuja DerKata: oe i el Oat Dy ly CALs By A Gy ge Cy Voy Dd, tal, Co4i, cle shi “Berdasarkan nas, wanita yang haram dinikahi itu ada empat belas, yang tujuh adalah dari jalur keturunan, yaitu: Ibu sampai ke atas, anak perempuan sampai ke bawah, saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, putri saudara laki-laki dan putri saudara perempuan.” Ketahuilah, bahwa sebab-sebab yang mengharamkan nikah untuk selamanya ada tiga: Karena kerabat, susuan, dan mushaharah (hubungan keluarga akibat perkawinan). Sebab yang pertama adalah karena ada hubungan kerabat (keluarga). Haramnya nikah karena ada hubungan keluarga ada tujuh orang, sebagaimana yang telah disebutkan di atas oleh pengarang, berdasarkan firman Allah SWT: Silaey Saryely Sita Sigs Ke Gas (ry steady COYI LY races SNES Artinya: “Diharamkan atasmu mengawini ibu-ibumu, anak- anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara- saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, putri-putri saudara laki-lakimu, putri-putri saudara perempuanmu.” (Q.S. An-Nisa: 23) Mereka ini adalah para wanita yang haram dinikah berdasarkan nas. 391 Tidak diharamkan menikahi putri saudara laki-laki ayal) maupun putri saudara perempuan ayah (sepupu), juga putri saudar Jaki-laki ibu dan putri saudara perempuan ibu, baik dekat mauputt jauh. Ini adalah kebalikan dari yang diharamkan di atas. Al-Ustadz Abu Manshur berkata: “Haram menikahi wanita yang, ada hubungan keluarga, kecuali perempuan yang tergolong anak paman atau anak bibi.” Syckh Abu Syuja’ berkata: oh a a a ,c b > “Dan dua orang sebab penyusuan, yaitu perempuan yang menyusui dan saudara perempuan sepersusuan.” Inilah sebab kedua yang menyebabkan Jaki-laki haram menikahi perempuan, yaitu sebab penyusuan, berdasarkan firman Allah SWT: ABN 2 Saget Saeih BUN Sigal (YY slaty Artinya: “Dan ibu-ibu (bukan ibu yang melahirkanmu) yang menyusuimu dan saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisa: 23) Ketahuilah, bahwa apa yang mengharamkan laki-laki menikahi perempuan sebab nasab juga bisa mengharamkan sebab ada hubungan penyusuan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh pengarang, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: seo Apel LN ow BPH 392 arunye. ©erninunun yung nurum sevay uaa nuoungan nasab, juga haram sebab ada hubungan penyusuan.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat lain berbunyi: Sho 42 BI gl Ge pipdb Artinya: “... pernikahan yang haram sebab kelahiran.” Ada beberapa contoh hubungan penyusuan yang tidak haram dinikahi, yaitu ibu saudara laki-lakimu atau ibu saudara perempuanmu, perempuan tersebut kadang-kadang tidak haram kau i. Contohnya adalah perempuan lain (bukan ibumu yang asli) menyusui saudara laki-lakimu atau menyusui saudara perempuanmu, maka perempuan tersebut tidak haram kau nikahi. Adapun jika perempuan tersebut ada hubungan nasab karena perempuan tersebut ibumu asli atau istri ayahmu (ibu tirimu) maka haram kau nikahi. Di antara contoh yang lain adalah ibu cucumu. Dalam hubungan nasab, ibu cucumu haram kau nikahi karena ia adalah anak perempuanmuy, atau istri anak laki-lakimu (menantu perempuanmu), sedangkan dalam hubungan penyusuan terkadang dia hukumnya bukan anak perempuanmu dan bukan istri anakmu. Misalnya ada seorang perempuan (bukan anakmu dan bukan menantumu) yang menyusui cucumu, maka perempuan tersebut tidak haram kau nikahi.Contoh yang lain adalah: Nenek anakmu. Dalam hubungan nasab ia haram kau nikahi karena ia adalah ibumu atau ibu istrimu. Adapun dalam hubungan penyusuan, terkadang (idak haram. Misalnya ada perempuan lain (bukan ibumu dan bukan ibu istrimu) menyusui anakmu, maka ibu dari perempuan tersebut adalah nenek anakmu (nenek radha’) tetapi ia bukan ibumu dan bukan ibu istrimu. Contohnya lagi adalah saudara perempuan anakmu. Ia haram kau nikahi bila ada hubungan nasab, sebab ia adalah anak perempuanmu atau anak tirimu yang perempuan. Tetapi dalam hubungan penyusuan, ia tidak haram kau nikahi, yaitu apabila ada seorang perempuan (bukan istrimu) menyusui anakmu, lalu B93) perempuan tersebut mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan ini adalah saudara perempuan anakmu sepersusuan, ditt dia bukanlah anak perempuanmu dan bukan anak tirimu yang perempuan. Ketahuilah, bahwa saudara perempuannya saudara laki-laki adalah tidak haram baik dalam hubungan nasab maupun penyusuan, Contoh dalam nasab ialah: Kamu mempunyai saudara perempuan seibu juga mempunyai saudara laki-laki seayah, maka saudara laki-lakimu yang seayah itu boleh mengawini saudara perempuanmu yang seibu karena ia sebenarnya bukan saudara perempuan dari ayah yang sama dan bukan saudara perempuan dari ibu yang sama, tetapi lain ayah dan lain ibu, jadi hakikatnya adalah orang lain. (Misalnya Hasan seorang duda mempunyai anak laki- laki bernama Amir. Fatimah seorang janda mempunyai anak perempuan bernama Hindun. Lalu Hasan menikah dengan Fatimah dikaruniai seorang anak baru bernama Mahmud. Amir tidak haram menikahi Hindun, sedangkan Mahmud haram menikahi Hindun, Oleh Amir, Hindun disebut sebagai saudara perempuan Mahmud (saudara perempuannya saudara laki-laki-Pen.). Contoh dalam penyusuan adalah: Ada seorang perempuan (bukan ibumu sendiri) menyusuimu dan juga menyusui anak perempuan kecil yang lain, maka saudara laki-lakimu boleh menikahi anak perempuan tersebut. Imam Rafi’i telah menyebutkan, bahwa empat masalah tersebut tidak haram dalam hubungan radha’ (penyusuan), tetapi haram dalam hubungan nasab. Sebagian fukaha menazamkannya sebagai berikut: Ae ecole 1 * UNE GA go 8 BI Sidr tay te A oy ale Artinya: “Empat orang halal dinikahi dalam hubungan penyusuan, namun haram dinikahi dalam hubungan nasab, yaitu: 1) Neneknya anak, 2) Saudara perempuan anak, 3) Ibu saudaranya, 4) Cucu. Semoga semuanya selamat.” 394 Imam Nawawi mengatakan di dalam kitab Al-Raudhah: “Menurut saya dan segolongan ulama mazhab kita, empat orang tersebut termasuk pengecualian. Sedangkan para ulama ahli tahqiq mengatakan tidak perlu ada pengecualian tersebut, karena empat orang tersebut tidak termasuk dalam kaidah, sehingga Imam Syafi’i juga tidak mengecualikannya.” Hadis sahih juga tidak menyebutkan adanya pengecualian, yang berbunyi: sa op Bp ga Artinya: “Haramnya menikah sebab nasab juga haram sebab penyusuan.” Alasan tidak masuknya empat orang tersebut di dalam kaidah adalah karena ibu saudara laki-laki itu haramnya bukan sebab hubungan nasab, melainkan karena ia adalah ibu tiri atau istri ayah, sedangkan dalam hubungan radha’ tidak demikian. Kiaskanlah masalah-masalah lain dengan masalah ini. Tbnu Rif’ ah menambahkan, bahwa ibu paman dan ibu bibi dari hubungan radha’ (penyusuan), baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu adalah tidak haram dinikahi. Jadi, kamu tidak haram menikahi ibu pamanmu dan ibu bibimu dari hubungan radha’, baik ibu paman dan ibu bibimu tersebut dari jalur ayah maupun dari jalur ibu. Syekh Abu Syuja’ berkata: “Dan empat orang haram dinikahi sebab mushaharah (hubungan keluarga akibat perkawinan), yaitu: (1) Ibu istri (mertua perempuan), (2) Anak tiri perempuan, apabila ayah sudah menyetubuhi ibu anak tiri itu, (3) Istri ayah (Ibu tiri), (4) Istri anak (menantu perempuan).” 395 Ini adalah sebab ketiga, yaitu sebab mushaharah. Sebab mushaharah ini haramnya terus menerus (selamanya), yailit sebanyak empat orang tersebut. Salah satu dari empat orang itu adalah ibu istri (ibu mertua), juga anak-anak istri, hanya disebabkan akad nikah, baik dalam hubungan nasab maupun hubungan penyusuan, berdasarkan firman Allah SWT: ONY ised pS lind Gly Artinya: “...dan haram bagimu menikahi ibu-ibu istrimu (ibu mertua).” (Q.S. An-Nur: 23) Ada satu pendapat yang menyatakan bahwa Tbu mertua itu tidak haram dinikahi kecuali bila si laki-laki sudah menyetubuhi istrinya (istri dari anak ibu mertuanya), sama dengan masalah anak tiri yang haramnya juga disyaratkan ba ‘da al-dukhul (setelah disetubuhi), namun pendapat ini lemah. Yang kedua adalah putri istri (anak tiri bawaan istri) baik ia anak perempuan sebab hubungan nasab atau sebab penyusuan, Demikian juga anak-anak perempuannya anak tiri (cucu tiri dari hubungan penyusuan). Anak tiri dan cucu tiri tersebut haram dinikahi dengan syarat si laki-laki sudah menyetubuhi ibu anak tiri atau cucu tiri tersebut. Ayah tiri halal kawin dengan anak tirinya jika ibu si anak tiri tersebut sudah ditalak bain oleh ayah tirinya dengan syarat si ayah dan si ibu belum bersetubuh. Jika ayah tiri sudah bersetubuh dengan si ibu, maka ayah tiri tersebut selamanya haram menikahi anak tirinya, berdasarkan firman Allah SWT: IW Sed So Sa BU Sty CU ay pled HSS SO See pel (V9 isbedly Sie 396 Artinya: “Dan haram bagimu menikahi anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu anak-anak perempuan bawaan istrimu yang istri tersebut sudah kau setubuhi. Jika kamu belum menyetubuhi istri itu dan sudah kau ceraikan maka kau tidak berdosa menikahi anak-anak perempuan bawaan istrimu tersebut.” (Q.S. An-Nisa: 23) Kata pengarang “idzaa khalaa bil ummi”, maksudnya adalah ipabila si laki-laki sudah menyetubuhi ibu anak tirinya, dan ungkapan tersebut sudah menjadi istilah yang biasa berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak bawaan istri dari suami lain sebelumnya, walaupun tidak dalam pemeliharaan ayah tiri. Karena istilah “dalam pemeliharaan” hanyalah menuturkan anak tiri itu biasanya dipelihara oleh ayah tirinya. Jika anda bertanya mengapa ibu istri (ibu mertua) haram dinikahi hanya karena sudah ada akad nikah dengan anak perempuannya, sedangkan haram menikahi anak tiri disyaratkan si Jaki-laki sudah bersetubuh dengan ibu si anak tiri itu? Jawabnya, suami itu biasanya diuji untuk bergaul dengan ibu mertuanya setelah akad nikah, karena ibu mertua itulah yang mengatur urusan anak perempuannya. Karena itu, ibu mertua haram dinikahi hanya disebabkan si laki-laki sudah menjalani akad nikah dengan anak perempuan ibu mertua tersebut. Demikian itu agar menantu laki- laki bisa akrab dengan ibu mertuanya dalam mengatur urusan istri. Jadi, berbeda dengan anak tiri. Ketahuilah, bahwa laki-laki tidak haram menikah dengan anak perempuan suami ibu (anak perempuan bawaan ayah tiri), ibu ayah liri (nenek bawaan ayah tiri), anak perempuan bawaan menantu laki-laki (putri menantu laki-laki), ibunya ibu tiri (nenek bawaan ibu tiri), anak perempuan ibunya istri ayah (anak perempuan bawaan nenek tiri), istri anak tiri dan istri ayah tiri. (Yang dimaksud dengan istri ayah tiri adalah seperti contoh berikut: Salim bercerai dengan Labibah. Janda bernama Amirah mempunyai anak laki-laki bernama Amin. Kemudian Salim menikah dengan Amirah. Salim adalah ayah tiri bagi Amin. bagi si Amin. Labibah adalah bekas istri ayah tirinya. Amin tidak haram menikah dengan Labibah-Pen.). 397 Yang ketiga adalah istri ayah dan istri kakek. Laki-laki haran) menikahi bekas istri ayahnya dan bekas istri kakeknya, baik kakek dari jalur ayah maupun kakek dari jalur ibu, baik dari jalur nasal maupun radha’ berdasarkan firman Allah SWT: (VY rslasdly std o put oS b (pS Y Artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan yang pernali dinikahi oleh ayahmu.” (Q.S. An-Nisa: 22) Status ayah itu bisa diterapkan secara menyeluruh, baik diartikan secara hakiki maupun secara majas, ataupun diartikan menurut hakiki secara mutlak. Yang keempat adalah istri anak, juga istri cucu, terus ke bawah, Laki-laki haram menikahi bekas menantunya ataupun bekas istri cucunya, terus ke bawah, baik dari jalur nasab maupun dari jalur radha’ (penyusuan), berdasarkan firman Allah SWT: (VY sled) ental we Gia A Artinya: “Dan halal bagimu menikahi istri anak kandungmu." (Q.S. An-Nisa: 23) toes Maksudnya, istri anak angkat tidak haram dinikahi, dan haramnya menikahi istri anak kandung adalah sebab terlaksananya akad nikah antara anak kandung dengan istrinya. , Ketahuilah, bahwa hukum haram tersebut berlaku apabila akad nikah dalam mushaharah itu sah. Adapun jika akad nikah dalam mushaharah tersebut batal (tidak sah) maka hukum haram itu tidak berlaku, karena batalnya nikah tidak bisa menghalalkan perempuan yang dinikahi. Memang benar bahwa persetubuhan (warhi) syubhat itu bisa mengharamkan pernikahan. Apabila ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, ternyata ayahnya atau anaknya telah menyetubuhi perempuan itu secara syubhat maka nikahnya dengan perempuan tersebut batal, karena pernikahan tersebut berarti mengekalkan keharaman. Kalau wathi syubhat tersebut terjadi 398 setelah pernikahan, maka wathi syubhat itu membatalkan pernikahan sebagaimana sebab radha’ (penyusuan). Kata pengarang sesuai dengan hadis: sole RP EN Ge Artinya: “Hubungan nasab juga mengharamkan pernikahan sebab ada hubungan penyusuan.” Penjelasan hadis ini sudah disebutkan di atas, demikian pula pengecualiannya. Syekh Abu Syuja’ berkata: * thee. aie Vy e's ct Py gee Lge ot Bel a hee afoet oes £2, af oni Rend hey ath 5 Vy cugeneg shall G3 “Satu orang haram dinikahi sebab poligami, yakni laki-laki haram menikah/berpoligami dengan saudara perempuan istrinya. Laki-laki juga haram berpoligami dengan bibi istrinya, baik bibi dari jalur ayah maupun dari jalur ibu.” Seorang laki-laki haram menikahi dua orang perempuan kakak beradik (berpoligami dengan perempuan yang menjadi saudara perempuan istrinya) baik dua orang saudara perempuan tersebut seayah seibu, maupun seayah, maupun seibu, baik sebab nasab maupun sebab radha’ (hubungan penyusuan), berdasarkan firman Allah SWT: (YY relay wa aba YW obi gg 5 Artinya: “Haram kau nikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak beradik) secara poligami, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu.” (Q.S. An-Nisa: 23) 399 Allah SWT menyambungkan (meng’athafkan) keharaman berpoligami dengan dua orang saudara perempuan kakak beradik dengan keharaman menikahi perempuan-perempuan yang disebutkan di permulaan ayat tersebut. Ada hadis yang berbunyi: oe eh bate Ge Dl Artinya: “Terkutuklah laki-laki yang mengumpulkan spermanya di dalam rahim dua orang kakak beradik.” Haram pula mengumpulkan/berpoligami dengan bibi istri, baik bibi tersebut adalah saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu, berdasar sabda Rasulullah SAW: diay ath iy ees thal Gu a (ObeAS oly), Artinya: “Seorang perempuan tidak boleh dihimpun dengan bibinya, baik bibi tersebut saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.” (H.R. Bukhari-Muslim) Maksud larangan poligami dengan saudara perempuan istri dan bibi istri adalah agar tidak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga. Sebagaimana haram berpoligami dengan bibi istri, haram pula berpoligami dengan kemenakan istri dan anak kemenakan istri, baik kemenakan dari jalur ayah maupun dari jalur ibu, baik kemenakan dari hubungan nasab maupun dari hubungan penyusuan (radha’). Batasan (ketentuan) perempuan yang haram dikumpulkan dalam poligami adalah dua orang perempuan, yang seandainya salah satunya menjadi laki-laki maka keduanya tidak halal menikah karena ada hubungan kerabat. 400 Kerabat tersebut kita kecualikan seorang perempuan dengan ibu suaminya, dan seorang perempuan dengan anak perempuan suaminya (anak bawaan suaminya), karena dua orang perempuan (ersebut boleh dikumpulkan sebagai istri dalam poligami, meskipun seandainya yang satu menjadi laki-laki, keduanya tidak boleh kawin. Masalah: Ada seorang laki-laki mempunyai budak perempuan, lalu budak perempuan itu mengaku, bahwa ia adalah saudara perempuan sepersusuan dengan laki-laki tersebut, maka: Jika pengakuan tersebut sebelum si laki-laki menikahinya, budak perempuan itu tidak halal bagi laki-laki tersebut. Jika pengakuan tersebut sesudah budak itu membiarkan laki- laki ita menyetubuhinya, maka budak tersebut tidak haram bagi laki-laki itu. Jika pengakuan tersebut sesudah budak itu dimiliki namun belum disetubuhi, maka ada dua pendapat yang berlaku apabila budak itu mengaku dirinya telah disetubuhi oleh ayah si laki-laki tersebut. Kalau budak perempuan tersebut mengaku ia adalah saudara perempuan senasab dengan laki-laki yang menikahinya, maka budak perempuan tersebut tidak haram untuk laki-laki itu, karena nasab itu tidak tetap pada kaum wanita, maka tidak berpengaruh dalam keharaman, lain halnya dengan penyusuan (radha’). Demikian kata Al-Qadhi Husain. Masalah: Dua orang perempuan yang haram dikumpulkan sebagai istri dalam poligami, haram pula disetubuhi kedua-duanya, dalam hal keduanya sebagai budak. Namun kedua-duanya boleh dinikahi sebagai budak tanpa disetubuhi. 401 Syekh Abu Syuja’ berkata: pals Opell oe ay afi ee Lady Call LE Sy o5ally 95 idly aalty Car, vals lied, oes ie “Orang perempuan boleh dikembalikan (kepada walinya) karena ada salah satu dari lima cacat: (1) Gila, (2) Berpenyakit kusta, (3) Berpenyakit belang, (4) Lubang kemaluannya tertutup daging, (5) Lubang kemaluannya tertutup tulang. Laki-laki juga boleh dikembalikan karena ada salah satu dari lima cacat: (1) Gila, (2) Berpenyakit kusta, (3) Berpenyakit belang, (4) Terputus zakarnya, dan (5) Impoten (lemah syahwat).” Tidak ada keraguan lagi bahwa pernikahan itu diharapkan untuk selama-lamanya, dan maksudnya yang paling pokok adalah untuk bersenang-senang dengan persetubuhan. Di antara cacat-cacat tersebut ada yang menghalangi tujuan pokok perkawinan yaitu persetubuhan. Misalnya, zakar terputus dan impoten. Keduanya menghalangi persetubuhan. Juga rataq, yaitu lubang vagina tertutup daging dan qaran, yaitu ada tulang yang menutupi lubang vagina sehingga menghalangi persetubuhan. Demikian pula penyakit yang mengganggu jiwa yang bisa menghalangi kesempurnaan kenikmatan (persetubuhan) seperti gila dan kusta/lepra. Kusta/lepra adalah penyakit ganas/sulit sembuh yang menyebabkan tubuh memerah kemudian menghitam lalu pecah-pecah dan berbintik-bintik. Kita memohon pada Allah Yang Maha Pemurah agar diberi kesehatan. Demikian juga penyakit barash (belang). Cacat-cacat tersebut bisa menetapkan adanya khiar untuk membatalkan akad nikah (terjadinya perceraian), karena kalau kita tidak menetapkan adanya khiar untuk bercerai, maka akan mengakibatkan kesengsaraan/bahaya yang langgeng, sedangkan di dalam Islam kesengsaraan/bahaya itu harus dihilangkan. 402 Dasar masalah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan ebagai berikut: NS sa Se pl og AO Ny HUAN ale HS ond) i OG tS sl ale Cis “de el BY Uuy euals al Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengawini seorang perempuan dari suku Ghifar. Tatkala perempuan itu masuk ke rumah Rasulullah, beliau melihat belang putih pada pinggang perempuan itu lalu beliau bersabda: “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Beliau berkata kepada keluarga perempuan itu: “Kalian telah menipuku.” Hadis ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam kitab Al-Sunan Al- Kabir dari riwayat Ibnu Umar ra. Nas hadis yang menyebutkan belang di pinggang tersebut juga menetapkan belang secara umum dan cacat-cacat yang lain dikiaskan dengan cacat ini, karena pengertiannya adalah adanya halangan kesempurnaan nikmat dalam persetubuhan, sedangkan empat cat yang lain selain belang adalah lebih berat. Tbnu Umar meriwayatkan: Pi 3! BE SF Sipe Ua Bla op Jos tal Mey le ed OS pins Gb Ge Artinya: “Siapapun laki-laki yang mengawini perempuan yang berpenyakit gila atau kusta atau belang lalu laki-laki itu menyentuh (menyetubuhi) perempuan tersebut, maka perempuan itu berhak mendapatkan maskawinnya, sedangkan suaminya berhak menuntut hal itu kepada wali si perempuan.” 403 Karena nikah itu akad yang saling memberikan imbalan antara laki-laki dengan perempuan yang memungkinkan untuk dihapus, maka menghapus akad tersebut boleh apabila ada cacat- cacat yang berpengaruh yang bisa menghalangi tujuan pernikahan, sebagaimana cacat-cacat yang memperbolehkan pembatalan akad jual beli. Mengenai gila, tidak ada perbedaaan antara gila terus menerus dan gila yang terputus-putus, baik bisa diobati maupun tidak. Pingsan tidak bisa disamakan dengan gila, kecuali jika setelah pingsannya hilang, akalnya tetap tidak sempurna. Cacat-cacat tersebut secara menyeluruh ada tujuh: Tiga cacat untuk suami dan istri, yaitu gila, kusta dan belang. Dua cacat khusus untuk suami, yaitu zakar terputus dan lemah syahwat/impoten. Dan dua cacat khusus untuk istri, yaitu lubang vagina tertutup daging (rataq) dan lubang vagina tertutup tulang (garan). Bisa juga ada lima cacat tersebut pada masing-masing suami atau istri sebagaimana yang telah disebutkan oleh pengarang. Imam Rafi’i mengatakan bahwa ungkapan kalimat seperti ini ada di dalam kitab Al-Raudhah. Pada cacat-cacat selain yang telah disebutkan di atas, tidak ada pilihan untuk bercerai bagi suami dan istri, menurut pendapat sahih yang telah ditetapkan jumhur ulama. Karena itu, suami istri tidak mempunyai hak khiar untuk bercerai karena ketiak suami atau ketiak istri berbau tidak sedap dan mulut berbau busuk, meskipun bau ketiak dan mulut tersebut tidak dapat diobati. Juga tidak ada hak khiar untuk bercerai dengan adanya istihadah yang terus menerus, luka berdarah yang terus menerus dan penyakit lain yang sejenis. Ada pendapat lain yang menetapkan adanya hak khiar untuk bercerai dengan adanya penyakit seperti itu, karena penyakit tersebut bisa membuat suami istri ber jauhan. Di dalam bab diat, Imam Rafi’i menuturkan, bahwa perempuan yang tidak bisa disetubuhi kecuali dengan menghilangkan penghalang yang terletak di antara Jubang vagina dengan saluran kencing, maka suami tidak boleh menyetubuhinya. Imam Ghazali mengatakan: “Jika perempuan tidak bisa disetubuhi karena Iubang vaginanya sangat sempit tidak seperti pada umumnya, maka suami mempunyai hak khiar untuk 404 wenceraikan perempuan itu. Dalam hal ini menurut pendapat lama mazhab Syafi’i yang masyhur, suami tidak mempunyai hak khiar untuk menceraikan perempuan itu.” Selanjutnya ia mengatakan: “Mungkin bisa dikatakan sebagai herikut: Jika si istri bisa bersetubuh dengan suami yang kurus seperti dirinya maka tidak ada hak khiar untuk bercerai, walaupun lubang Vagina istri sempit sekali, yang setiap kali persetubuhan harus menghilangkan halangan di lubang vagina, misalnya karena ada daging yang menutupi lubang vagina tersebut.” Jadi, pendapat ulama-ulama pendukung Syafi’i (ashhab al- Syafi’i) diterapkan pada masalah kondisi yang pertama, sedangkan pendapat Al-Ghazali diterapkan pada kondisi yang kedua. Imam Rafi’i mengatakan: “Tidak ada hak khiar untuk bercerai apabila si istri mandul, atau lubang saluran kencingnya bercampur dengan lubang masuknya zakar, yaitu tidak ada batas antara lubang saluran kencing dengan lubang masuknya zakar.” Pasal: Tentang Mahar (Maskawin) Syekh Abu Syuja’ berkata: ad ed Oe Sg all Sts Cay Of stat ie Leal 46 595 Lil oe ge RG if ove Yh oe ai SF Stadt Ae ai all See Cd “Disunahkan menyebutkan maskawin dalam nikah. Jika maskawin tidak disebutkan, akad nikahnya tetap sah dan wajib ada mahar mitsil (maskawin biasa yang wajar) dengan tiga syarat: Mahar mitsil tersebut ditentukan oleh hakim/ pejabat 405

You might also like