You are on page 1of 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Metode Hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack, telihat di bukunya


al-Qur’an, Liberation & Pluralism. menawarkan kunci-kunci hermeneutika
untuk membaca teks setelah itu melakukan praxis1, dari hasil interpretasinya.
Diantara kunci-kunci hermeneutika itu adalah Tawhid, Taqwa, al-Mustad’afun,
Qist dan Adl serta Jihad. 2 Seperti halnya dalam pembacaan teks hermeneutika
pada umumnya yang berkutat antar author, teks dan interpreter. Menurut dia,
Hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur’an sangat mendesak
penerapannya. Hal itu menurutnya, karena umat Islam, meskipun sangat sepakat
tentang sifat divinitas al-Qur’an3, namun memiliki perbedaan yang cukup lebar
tentang peran al-Qur’an dan cara memahaminya.
Dari pemaparan di atas ada dua tema besar yang diusung oleh Farid
Esack. Pertama, teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan
realitas, yang mana menurut Esack, makna teks Al-Qur’an tidak saja mendeduksi
makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas
kedalam teks. Kedua,proses tafsir dan penafsiran tidak akan terlepas dari bahasa
dan sejarah, karena pada hakikatnya penafsiran dipengaruhi oleh budaya, tradisi
dimana penafsir itu hidup. Dari keterangan ini, Ia terpengaruh oleh
hermeneutikanya Gadamer yang menyatakan bahwa, untuk memahami segala
sesuatu tidak memerlukan metode. Secara ontologis kebenaran itu sudah ada.
Bersama dengan sejarah dan bahasa. kemudian, pemahaman selalu melibatkan
penerapan(aplikasi) sebuah teks ke situasi penafsir (pembaca). Dengan demikian,
jika masing-masing penafsir mempunyai situasi yang berbeda, maka otomatis
pemahaman akan teks akan berbeda pula. Maka sudah sepantasnya diera
kontemporer ini ada tafsiran baru sesuai dengan kebutuhan lokus tertentu dalam

1 Gerakan untuk melaksanakan teori sehingga menghasilkan suatu revolusi. Setelahnya berefleksi,
dan terus menerus sampai selanjutnya.

2 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious


Solidarity Against Oppression, (One World, Oxford, 1997), hlm. 90

3 Farid Esack, Qur’an, Liberation, hlm. 92.


hal ini adalah Afrika Selatan dengan menentukan kunci-kunci hermeneutika
diatas.
Farid Essack meruapak salah satu bagian dari penafsir yang kontemporer
dari Afrika Selatan yang mampu memperjuangkan pembebasan setiap penduduk
di Afrika Selatan dari pemerintahan Apartheid. Serta juga dari ide tafsirnya ia
mencoba menyelaraskan antara agama yang ada pada satu tujuan yakni
melakukan perlawanan terhadap kekejaman, kesewenang-wenangan, dan juga
ketidakadilan.
Afrika Selatan merupakan wilayah yang penduduknya muliti agama dan
multi ras yang dengan keadaan yang seperti itu tidak dapat dipungkiri, bahwa
secara perjalanan sejarah keragaman tersebut menjadi alat untuk saling menindas
di antara satu sama lainnya. Berdasarkan penggolongan kulit misalnya. Afrika
Selatan tergolong pada tiga golongan; yaitu glongan berkulit putih 4, yang
memegang kekuasaan penuh pemerintahan Apartheid dan golongan kulit hitam,
dan juga ada golongan berwarna dan India. Begitu juga dengan keberadaan agama
yang ada.
Ternyata dari perbedaan tersebut telah menyebabkan kondisi yang
cenderung dilematis. Baik dari aspek sosial-politik, maupun juga berdapak pada
aspek sosial keagamaan. Dalam aspek sosial-politik, misalnya sejak tahun 1948
hingga pada awal 1999 kekuasaan sepenuhnya dipegang golongan yang berkulit
putih. Kebijakan rezim Apartheid cenderung diskriminatif, serta itu mencakup
semua bidang; ekonomi, politik, dan juga hukum. Bahkan pada tahun 1949 dan
1950 ada larangan nikah antara ras yang berbeda, serta kebijakan-kebijakan
lainnya yang mengarah pada diskriminatif. Sehingga dari perjalanannya lahirlah
benih-benih gerakan sosial anti rezim dan eksploitatif untuk melahirkan suatu
perubahan yang radikal.
Masa kecil Esack adalah masa kecil yang menyedihkan. Ia telah ditinggal
oleh ayahnya. Ibunya harus berperan ganda sebagai ayah sekaligus ibu untuk
enam anaknya, termasuk Esack. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak jarang
ia mengais-ngais sisa makanan orang lain. Walau begitu, niat Esack dalam

4 Kebanyakan kulit yang putih yang menguasai parlemen dari pada kulit hitam dan juga selalu
menimbulkan tindakan diskrimisasi. Sementara kulit hitam yang selalu mendapat perlakuan yang
kurang manusiawi.

2
pendidikan tidak pernah surut. Hal yang membuat dirinya tidak lupa adalahketika
ia melihat ibunya menjadi korban pemerkosaan. Peristiwa ini menggugah Esack
bahwa berteologi sesungguhnya bukanlah hanya “mengurusi” Tuhan dan bercerita
tentang surga dan neraka. Berteologi yang hanya mengurusi Tuhan adalah teologi
mubadzir, karena Tuhan tidak perlu diurusi. Teologi harus diarahkan pada praksis
bukan digenggam erat untuk tujuan kesalehan individual. Membela manusia, sama
dengan membela Tuhan5.
Kondisi yang demikian secara pribadi Farid Essack telah menimbulkan
gagasan pembebasan untuk melahirkan suatu perubahan yang radikal. Terbukti
dengan pemahamannya yang sangat bersifat regresif dan progresif serta
pemaknaan ulang terhadap ajaran agama (khususnya Islam) telah mengalami
distorsi pemahaman yang jauh dari harapan kebersamaan. Maka dari itu ada
beberapa pendekatan yang digunakan dalam memahami teks al-Qur’an untuk
memperoleh signifikansi dengan konteks yang ada di Afrika Selatan.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk membahas makalah
dengan judul, “Hermaneutika Pembebasan Farid Esack; dalam Qur’an,
Liberation, and Pluralism.”
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dalam penyusunan
makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Latar Belakang Kehidupan Farid Esack.?
2. Apasajakah karya-karya farid esack.?
3. Siapa sajakah yang Mempengaruhi pemikiran Farid Esack.?
4. Bagaimanakah pandangan Farid Esack tentang Al-Qur’an.?
5. Bagaimanakah Metode Pentafsiran Hermaneutika Farid Esack.?
6. Bagaiamanakah Contoh plikasi praktis pemikiran Farid Esack?
7. Bagaiamana Tanggapan terhadap pemikiran Farid Esack.?
8. Bagaimana Aplikasi Tafsir Hermaneutika Farid Esack.?
9. Bagaimana Buah Penafsiran Farid Essack.?
C.

5 Wawancara dengan Farid Esack dalam /http//www.tempo.co.id. (diakses tanggal 06-01-2017)

3
D. Tujuan Masalah.
1. Untuk Mengetahui Latar Belakang Kehidupan Farid Esack.
2. Untuk Mengetahui karya-karya farid esack.
3. Untuk Mengetahui Siapa saja yang Mempengaruhi pemikiran Farid
Esack.
4. Untuk Mengetahui pandangan Farid Esack tentang Al-Qur’an.
5. Untuk Mengetahui Metode Pentafsiran Hermaneutika Farid Esack.
6. Untuk Mengetahui Contoh plikasi praktis pemikiran Farid Esack
7. Untuk Mengetahui Tanggapan terhadap pemikiran Farid Esack.
8. Untuk Mengetahui Aplikasi Tafsir Hermaneutika Farid Esack.
9. Untuk Mengetahui Buah Penafsiran Farid Essack.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi dan Sejarah Pendidikannya

4
Sejak lahir Essack bernama Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape
Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin.
Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun,
ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras,
Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi
guru di sebuah madrasah lokal.
Tahun 1974, Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena
dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid, Namun, tidak lama
kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di
Pakistan, Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana
beasiswa.
Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai
mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah
al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena
tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan Apartheid6.
Selama di tanah airnya ini, Esack bersama beberapa temannya
membentuk organisasi politik keagamaan, The Call of Islam dan ia menjadi
koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan
berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan,
berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya malakukan perubahan.
Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi
Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun
1994, Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan
Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations
(CSIC) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Esack
berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi berjudul
Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Inter-religious
Solidarity against Oppression.
B. Karya-karya Essack

6 http://www.scribd.com/doc/3927778/Kerjasama-Umat-Beragama-Farid-Esack (diakses
tanggal 02-01-2017)

5
Karya-karya Easck sangat banyak, baik berupa artikel maupun buku, di
antaranya yaitu7:
1. On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World
today”, Oneworld: England, 2000.
2. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective
of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld:
England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-
Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman,
Bandung: Mizan, 2000.
3. “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of
Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987)
4. “Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence
of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and
Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991)
5. “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The
Muslim World, Vol.83 No.2 (1993)
6. “Three Islamic Strands in the South African Struggle for Justice”,
dalam Third World Quarterly, Vol.10 No.12 (1998)
7. “The Exodus Paradigm in The Light of Re-interpretative Islamic
Thought in South Africa”, dalamIsl amochristiana, Vol. 17 (1999).
Serta masih banyak bukunya yang lainnya yang tidak dicantumkan di
makalah ini sebagai alat untuk mengetahui cara berpikirnya terutama dalam
pemikiran keberagamaannya.
C. Setting-Histories Farid Esack
Membahas hermeneutika Farid Esack tidak telepas dari perjalanan hidup
yang dijalani. Untuk membedah hermeneutikanya diperlukan pengetahuan yang
lebih mendalam tentang perjalanan hidupnya dan konteksnya di Negara Afrika
Selatan. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh konteks yang berkembang saat itu,
terutama dalam melawan rezim Apartheid. Farid Esack yang memiliki nama
lengkap Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran
kota Wynberg, Afrika Selatan, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama
lima orang anaknya lainnya. Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di
Bonteheuvel. Pada us 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki
kehidupan gangster dan minuman keras, Farid Esack justru bergabung dengan
Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal8

7 http://www.scribd.com/doc/3927778/Kerjasama-Umat-Beragama-Farid-Esack (diakses tanggal


01-01-2017)

8 www.Home page Farid Esack. com.

6
Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena
dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama
kemudian dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di
Pakistan, Farid Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana
beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982)
sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang Teologi Islam dan sosiologi pada
Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, pulang ke Afrika Selatan
karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid.9
Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah
Abi Bakr, Karachi. Di sini d menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun
1994, Farid Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan
Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christn-Muslim Relations)
University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack
berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies.10
Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah
(wacana) yang bertalian dengan masalah keIslaman dan Muslim di Afrika Selatan,
teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah
Universitas di berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge,
Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere
(Kampala) Cape Town dan Jakarta.
D. Latar Belakang Sosial-Politik Afrika Selatan (Afsel).
Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel boleh dikatakan
sebagai kawasan yang kurang—untuk mengatakan tidak sama sekali—
dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia
Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar jazirah Arab dan Afrika bagian utara,
Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman.
Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi
keragaman wajah Islam —dan oleh karenanya— mengeklusi konvisinitas
pemikiran keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran

9 www.Home page Farid Esack. com.

10 www.Home page Farid Esack. com.

7
keislaman yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat
keilmuan Islam (the centre of Islam).
Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul suatu
pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya Maulana Farid
Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang berambisi mewujudkan
“Islam Afsel.”11. Struktur penindasan yang nyaris sempurna seperti digambarkan
Esack ketika melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan
(triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme,12 memang menjadi krisis
kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah
sekian lama berurat akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack—dengan
meminjam perspektif Aloysius Pieris— sebagai “tempat berteologi” (locus
theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan
kaum tertindas.
Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi pendukungnya
dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal Afsel. Uniknya,
pemikiran keagamaan yang digagas beliau langsung merujuk pada sumber pokok
ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan relevansinya dengan latar
belakang disiplin keilmuan Esack. Bila dirunut lebih jauh, pemikiran beliau masih
beririsan dengan konteks besar gagasan teologi pembebasan yang dalam konteks
Islam dipromotori oleh Asghar dengan kritik sejarah dan sosialnya. 13 Ia sendiri
lebih suka menamainya Islam progaresif daripada teologi pembebasan. 14 Apa yang
dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan
catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis
dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat
Afsel pada umumnya.

11 Orasi Ilmiah Nurcholish Madjid dalam Islamic Culrural Center, dimuat di Jawa Pos, “Islam
Agama Hibrida,” 11-12 Desember 2001.

12 Farid Esack, Qur’an Liberation, Op.Cit, Lihat Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di
Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah II, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm.
189.

13 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), terutama bab I, II dan III.

14 Farid Esack, “Negeri Ini Perlu Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran,” dalam Tabloid Detak No.
132 tahun ke-3 April 2001, hlm. 26-27.

8
Keterlibatan Esack dan komunitas muslim secara intens dalam gerakan
pembebasan di Afsel menjadi anotasi penting dalam perjuangan meruntuhkan
rezim apartheid. Sebagaimana diketahui, pada umumnya masyarakat muslim di
negeri itu adalah masyarakat urban. Kebangkitan masyarakat urban, terutama
kelompok muslim, di Afsel sendiri dimulai sekitar tahun 1986. Embrionya bahkan
telah tampak saat organisasi politik yang besar, Organisasi Rakyat Afrika (APO),
yang mewadahi aspirasi politik masyarakat Afsel dari pelbagai kalangan, pada
tahun 1910-1944 terus dipimpin muslim: Dr. Abdullah Abdurrahman yang
kebetulan cucu seorang budak.15 Peran signifikan komunitas muslim semakin
kentara bila dilihat dari jumlah nominalnya yang tidak terlalu seberapa, namun
mengambil posisi proaktif dalam gerakan pembebasan. Kaum Muslim menduduki
posisi-posisi kelas menengah yang menguasai sektor publik sehingga turut
mewarnai arah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Saat ini, kaum
Muslim yang hanya berjumlah 2% dari total populasi rakyat Afsel menduduki
12% kursi di kabinet (empat menteri beragama Islam dari 28 menteri yang ada).16
Ketua Mahkamah Nasional juga seorang muslim. Begitu juga di parlemen
terdapat 12% anggotanya yang beragama Islam. Menurut Esack, konstatasi politik
di atas menguntungkan sekaligus merugikan. Secara politis memang daya tawar
komunitas muslim meningkat, tapi dilihat dari diskursus Islam progresif pasca-
apartheid justru terlihat menurun frekuensinya karena semakin banyak pemikir
Islam progresif yang terlalu sibuk menjalankan pemerintahan.17
Menurut pengakuan Esack, peran kelompok muslim terutama dalam
perjuangan anti-apartheid bersama kelompok lain tidaklah memancing reaksi
negatif karena mereka tidak memburu agenda muslim semata, tapi agenda
pembebasan masyarakat Afsel.18 Sebagai masyarakat yang terbilang minoritas di
negeri yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen, kelompok
muslim memang tidak bisa bertindak gegabah meskipun perjuangan anti-aparteid
yang mereka kumandangkan ditujukan untuk agenda kemanusiaan yang bersifat

15 “Wawancara dengan Farid Esack.” dalam http//www.tempo.co.id

16 Farid Esack, Tabloid Detak., hlm. 27.

17 Farid Esack, Tabloid Detak

18 “Wawancara dengan Farid Esack,”.

9
universal serta melampaui batas-batas dan sekat-sekat teologis dan etnis. Mereka
harus pandai merangkul komunitas lainnya, terutama dari agama Kristen yang
mayoritas, untuk bersama-sama menegakkan aras perjuangan yang didasarkan
pada kesadaran teologis bahwa agama apa pun mengecam penindasan atas dasar
rasialisme dan sejenisnya.
Realitas menunjukkan bahwa hingga tahun 1970-an, hampir semua gereja di
Afsel mendukung apartheid. Gereja hanya melayani kepentingan orang kulit putih
saja, terlebih lagi bila gereja tersebut berada di wilayah orang kulit putih.
Masyarakat berkulit hitam dan berkulit berwarna —dalam struktur apartheid yang
mendekati kesempurnaan—diharuskan membangun gereja sendiri dan terpisah.
Sebuah ironi di mana agama dipaksa berperan dalam memelihara sistem rasialis.
Paulo Freire pernah mengatakan bahwa kelompok yang menikmati status
quo dan kepentingannya akan terganggu dengan perubahan akan cenderung
menolak perubahan. Demikian juga dengan kenyataan yang terjadi di sana
sebelumnya di mana banyak orang kulit putih yang didukung oleh agamawan-
kolaborator justru menjadi lawan pertama dari gerakan anti-apartheid selain
aparatus ideologi negara yang dijaga militer dan polisi. Kemunculan Kongres
Nasional Afrika (ANC) membawa nuansa baru dalam perjuangan anti-apartheid
yang kemudian mengantarkan Nelson Mandela menjadi Presiden Afsel pada tahun
1992.
E. Liku-liku Kehidupan yang Pahit
Esack termasuk seorang intelektual yang mengalami masa kecil yang sulit
dan pahit. Esack lahir pada tahun 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di
Wymberg, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya
lainnya di Wynberg.
Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama
saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan
pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack kemudian
memerankan posisi ibu sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi
enam orang anak yang masih kecil-kecil.
Dalam buku Quran Liberation and Pluralism, Esack banyak mengulas kisah
pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikiran
Esack di kemudian hari. Penghasilan sang ibu sebagai buruh kecil tak cukup
menghidupi sebuah keluarga besar yang kemudian memaksa Esack dan saudara-

10
saudaranya mengais tempat-tempat sampah untuk mencari sisa-sisa
makanan.19 Tak jarang pula, mereka mengemis meminta belas kasihan orang.
Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah
keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan
buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik
yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya
menjadi korban pemerkosaan.
Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu
inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa
berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan
lain-lain.20 Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan
adalah zat yang tidak perlu diurus, adalah teologi mubazir yang terlalu banyak
menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan,
bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety).
Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita
sama saja telah mengabdi kepada Tuhan21.
Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi
praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack
dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat
bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala
kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl,
seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman
barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas.22Hubungan sosial yang begitu
harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih
supel dalam bergaul. Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan anti-
apartheid, Esack tidak lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit karena

19 “Aduk-aduk Tempat Sampah agar Bisa Makan,” dalam Tabloid Detak,

20 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LkiS, 2001), hlm 69

21“Wawancara dengan Farid Esack,”

22 Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious


Solidarity against Oppression, (London: One World Oxford, 1997), hlm. 2.

11
problem klaim kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and salvation) di
benak Esack telah usai.
Penderitaan hidup yang dialami keluarga Esack adalah gambaran mikro dari
derita rakyat Afsel pada umumnya akibat perlakuan diskriminatif rezim apartheid.
Orang kulit putih yang secara nominal hanya berjumlah 1/6% dari total populasi
rakyat Afsel menguasai dua pertiga pendapatan nasional, sementara bangsa kulit
hitam yang hampir berjumlah ¾% total penduduk hanya memperoleh ¼ saja.
Banyak orang kulit hitam yang menjadi “budak”, sementara kulit putih menguasai
sektor publik dan kelas menengah.23Perlakuan istimewa terhadap orang kulit
hitam tersebut ditambah lagi dengan dua kebijakan rezim apartheid yang makin
menyingkirkan orang kulit hitam yang mayoritas dari akses-akses ekonomi dan
politik serta hukum.
Dua kebijakan tersebut adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang
menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker).
Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi yang dibuat Dewan
Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna
kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga majelis
ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan
pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan
komposisi yang timpang: 4: 2: 1.24
Kebijakan lainnya adalah penerapan akta wilayah (groups area act) yang
membuat orang-orang kulit hitam tergusur dan terpinggirkan di daerah-daerah
paling tandus di Afsel. Mereka akhirnya menjadi “pengemis” di kampungnya
sendiri, untuk meminjam istilah Emha Ainun Najib yang terkenal itu. Inilah
realitas menggelikan sekaligus mengerikan yang terjadi ketika rezim apartheid
masih berkuasa di Afsel. Embargo dan pemboikotan dunia serta ekslusi dari
negara-negara internasional terhadap rezim apartheid tak sedikitpun
menggoyahkan.

23 Farid Esack, Qur’an Liberation., hlm. 36 - 47.

24 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. Hlm. 36 - 47.

12
Di antara tokoh-tokoh awal Islam yang terkemuka, Esack malah mengagumi
dan mengidolakan Abu Dharr al-Ghifari, bapak sosialisme Islam.25 Barangkali
pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang
bersahaja. Tatkala tampil di Auditorium Utama IAN Jakarta tanggal 23 Maret
2001, Farid cuma mengenakan kaus berkancing dengan motif sederhana. “This is
not my picture,” kata Esack sambil tertawa ketika melihat pamflet dirinya
bergambar “George Washington” yang berjubah parlente.
F. Pendidikan dan Pergumulan dalam Aktivisme Politik
Sebagai seorang intelektual muslim yang telah menelurkan beberapa karya
monumental, nama Esack belumlah setenar nama Fazlurrahman, Mohammed
Arkoun, Syed Naquib al-Attas dan lain-lain. Sebelum ia menelurkan karya Qur’an
Liberation and Pluralism, nama Maulana Farid Esack belum banyak dikenal oleh
masyarakat akademisi. Literatur yang membicarakan buah karyanya belumlah
banyak, apalagi informasi mengenai jatidiri dan kiprahnya dalam dunia keilmuan
dan aktivitas lainnya juga terhitung tidak melimpah.
Dalam perkembangan berikutnya, beberapa jurnal terkemuka di dunia mulai
memuat tulisannya. Esack juga tak segan-segan mengisahkan pengalaman
pribadinya sebagai anotasi penting yang diakuinya turut mempengaruhi kiprah
perjalanan intelektualnya. Esack berargumen bahwa kisah nyata yang ia alami
bersama keluarganya adalah sebuah pijakan yang tidak terlepas dengan realitas
serta membentuk struktur epistemologis tafsir hermeneutika pembebasan.
Akan tetapi ada juga penilaian yang muncul yang mengatakan bahwa
pernyataan Esack terlalu hiperbolik. Tak jarang keluar penilaian sinikal, yang
menyatakan bahwa Esack terlalu berlebihan mengangkat kisah hidup dan
perjuangannya dalam usaha melepaskan diri dari sistem apartheid. Terlepas dari
itu, Esack sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang aktivis ketimbang
pemikir. Seperti diakuinya ketika ia berbicara dalam Orasi Al-Qur’an dan
Pembebasan di Auditorium IAIN Syarif Hidaya-tullah yang diselenggarakan BEM
IAIN Jakarta tanggal 23/3/ 2001. Pengakuannya tersebut tak terlalu berlebihan. Ia
dikenal sebagai sedikit tokoh muslimin di Afsel yang berjasa dalam membebaskan
rakyat Afsel dari belenggu apartheid.

25 "Wawancara dengan Farid Esack,”

13
Bila dilihat dari karya-karyanya, ia juga tak berpretensi terlalu ilmiah dalam
mengungkapkan gagasan-gagasan besarnya. Para pengkaji yang relatif baru
berkenalan dengan pemikiran Esack, tidak akan menemui banyak kesulitan bila
berlatar belakang Quranic studies. Ia sadar bahwa ilmu bukan semata-mata untuk
ilmu sendiri, namun punya agenda liberatif untuk masyarakat umumnya. Esack
juga bukan tipikal intelektual menara gading yang beruzlah di ruang-ruang
perpustakaan, namun kehilangan sentuhan dengan realitas di sekelilingnya. Esack
adalah model intelektual organik —untuk memakai kategori Antonio Gramsci—
yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx,
Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya.
Sebagaimana telah dinyatakan di muka, di tengah kesulitan yang mendera
hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan pendidikan
dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh
pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen.26
Dari berbagai informasi diperoleh data menarik di mana Esack sejak usia 9
tahun telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di
Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan
internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan
imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan
(brotherhood). Ia mengakui bahwa figur sang ayah yang tak ketahuan rimbanya
tergantikan dengan rekatnya hubungan persaudaraan antar-anggota Jamaah
Tabligh.
Yang menarik adalah kesempatan menuntut ilmu menuju Pakistan untuk
meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda
mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang hukum Islam. Dalam literatur
yang penulis peroleh, tidak didapat informasi yang meyakinkan soal
keberangkatan ke Pakistan untuk menekuni studi lanjut, sementara secara
finansial, Esack sangat kekurangan.
Kemungkinan beasiswa dari Jamaah Tabligh atau simpatisannya karena
Jamaah Tabligh itu sendiri berpusat di negeri sang penyair Mohammad Iqbal. Bisa
juga ada bantuan beasiswa dari orang atau lembaga yang berempati dengan
26 Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” dalam hsfound@iafrica.com. (diakses
tanggal 20-09-2017)

14
kepandaian Esack dan ia memilih Pakistan karena ia merasa telah mendapat
informasi yang memadai tentang situasi akademis di negeri itu berkat aktivitasnya
di Jamaah Tabligh. Intinya, tempat Esack menuntut ilmu di Pakistan ada kaitannya
dengan Jamaah Tabligh, meskipun dalam buku Qur’an Liberation & Pluralism, ia
tak menyebutkan beasiswa yang ia dapatkan dari lembaga mana. Kisah Derrick
Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, yang diminta mengucapkan dua
kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel, 27 Haji Bhai Padia, juga
menunjukkan bukti keterkaitan tersebut. Kita tahu, kejadian tersebut terjadi di
Pakistan, tempat Esack menuntut ilmu.
Pengakuan Esack bahwa institut yang ia tuju sangatlah konservatif bisa jadi
mengukuhkan dugaan di atas bahwa jamiah tempat ia kuliah adalah milik atau ada
kaitannya dengan Jamaah Tabligh. Ini terutama bila dikaitkan dengan reaksi Bhai
Padia. Kasus Abdul Khaliq Ali yang dirawat di rumah sakit juga makin
menambah diskrepansi pemahaman teologis Esack dengan konservatisme Jamaah
Tabligh.28 Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk
seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan
berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang
ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah,
Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar maulana yang makin menambah “gagah”
namanya.
Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah
Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam
banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim
yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi
minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan
kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering
mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial
sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan “tukang kredit”
berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama
dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

27 Farid Esack, Quran Liberation, hlm. 5

28 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 4-5.

15
Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam
dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas
menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari
pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang
diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough).29
Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang
mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama.
Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas
paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai
pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.30
Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack
dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel.
Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan
rasialis di mana Pakistan ia sering menemui penindasan terhadap wanita,
sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh studi di Pakistan
tatkala Pakistan berada di bawah masa pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali
Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977. Jenderal Zia ul-Haq yang
berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak
berdarah. Zia ul Haq yang disokong oleh Pemerintah Amerika Serikat dan CIA —
meskipun pada akhirnya ia diduga dibunuh oleh CIA setelah pesawat yang
ditumpanginya meledak— karena dianggap sebagai patner utama untuk
membantu mujahidin Afghanistan menggulingkan pemerintahan boneka Uni
Soviet di Kabul. Zia ul-Haq dikenal dekat dengan kalangan konservatif karena
melalui merekalah pemerintah Zia mendapatkan sumberdaya politik utama selain
dari militer.
Pada masa pemerintahannya, marginalisasi terhadap kaum minoritas dan
perempuan dalam kehidupan sosial politik mencapai puncaknya. Segregasi laki-
laki dengan perempuan di sektor publik terjadi secara kasat mata, perempuan juga
dilarang tampil di televisi serta kewajiban mengenakan duppata yang kemudian

29 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. Hlm. 5

30 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. Hlm. 5

16
memancing reaksi balik dari kaum perempuan.31 Seperti biasa pemerintahan
Amerika menerapkan standar ganda. Mereka tak berani mengusik kebijakan Zia
yang non-demokratik tersebut karena saat itu Amerika Serikat masih
membutuhkan peran dan jasa pemerintahan Zia untuk mempermalukan Uni Soviet
dalam perang Afghanistan.
Di tengah situasi yang penuh dengan kebijakan diskriminatif ini, Farid
justru merasa betah dengan iklim akademis di Pakistan —dan oleh karenanya— ia
melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi dalam bidang ulum al-
Quran.32 Farid malah merasa mendapatkan pengalaman berharga serta dapat
menarik pelajaran tidak hanya di bangku kuliah saja, tapi juga secara langsung
dari dua negeri yang menerapkan kebijakan diskriminatif. Hal-hal inilah yang
nantinya berguna bagi pematangan konstruksi epistemologis pemikiran Esack
yang mampu menubuhkan semangat teologis dan praksis melawan penindasan.
Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-
Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982.Bersama tiga sahabat
karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of
Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984.
Ia menjadi koordinator nasionalnya.33
Organisasi ini berafiliasi kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan
masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an.

Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran
penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk
mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam
mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk
apapun.

31 John L. Esposito dan John O. Voll, dalam Demokrasi di negara-negara Muslim, terj. Rahman
Astuti (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 149

32 Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah II,
terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 311.

33 Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Quranic
Hermeneutical Notion,” hlm. 214-223.

17
Meskipun demikian, gerakan The Call Of Islam bukannya sepi dari
hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, MSA.
melalui tabloid Majlis mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap
mereka yang bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama
pluralisme. Atas dasar penafsiran sempit terhadap al-Quran, tabloid tersebut tak
henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan
kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah
untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan
pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a search for an outside model of
Islam.”34
Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di
tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of
Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu
mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap
non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama
dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat
yang sering dipakai sebagai justifikasi adalah:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong kamu” (Q.s: al-Baqarah: ayat 120):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang


Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (al-Ma’idah (5): 51).
Hal inilah yang mendorong Esack untuk mempelajari al-Quran dan Injil. Ia
sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi
penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada
tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an
di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische

34 Louis Brenner, “Introdution,” dalam Louis Brenner (ed.), Moslem Identity and Social Change
in Sub-Saharian Africa (London: Hurst and Company, 1993), hlm. 5-6.

18
Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu
tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral
doktoralnya dalam kajian tafsir.
Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya
secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern
Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam
maupun luar negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan
tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi,
Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University
Nortridge).35 Tak sekadar itu, Esack juga masih aktif di Comission on Gender
Equality dan World Conference for Religion and Peace (WCRP). Sebuah
gabungan apik antara intelektualisme dan aktivisme.
G. Perkembangan Pemikiran Farid Esack dan Anotasi Karya
Intelektual.
Untuk mengetahui pemikiran Esack, menurut hemat penulis, perlu
dijelaskan perkembangan pemikirannya yang didasarkan pada karya-karya yang
telah ditulisnya. Sebagai seorang intelektual-organik dan seorang aktivis
cemerlang, Esack lebih dari cukup produktif dalam menulis banyak artikel ilmiah.
1. But Musa Went to Fir’aun.
Buku ini, secara lengkap, berjudul But Musa Went to Fir’aun!: A
Compilation of Questions and Answers about The Role of Muslims in the
South African Struggle for Liberation. Buku yang berukuran kecil ini
diterbitkan oleh Clyson Printers, Maitland tahun 1989. Jumlah halaman
buku ini hanya 84 halaman, memang tak terlalu tebal untuk ukuran buku
pada umumnya. Buku ini berisi tanya jawab.
Buku ini tidak dilengkapi daftar isi, tapi secara umum terdiri dari 6
bab dilengkapi pengantar, pendahuluan, catatan penjelas dan glosari. Bab
pertama berisi identitas muslim, kepentingan dan urgensi keterlibatan
kaum muslim dengan realitas sosial di sekitarnya. Bab kedua berisi
partisipasi, negosiasi dan konfrontasi. Dalam bab ini, Esack banyak
mengutip kisah perlawanan Nabi Musa terhadap penguasa tiran saat itu,
Fir’aun. Adapun bab ketiga berisi tentang Islam, Iman dan Politik. Esack

35 Farid Esack, “Aduk-aduk Tempat Sampah,” Tabloid Detak.

19
menekankan pentingnya politik sebagai medium untuk menyampaikan
aspirasi serta mengubah struktur eksploitatif melalui prosedur-prosedur
demokratis.
Pada bab empat, Esack menulis pentingnya kerjasama kaum muslim
secara lintas agama (inter-faith) untuk melawan tirani atas nama apapun.
Sedangkan bab lima, masa depan serta tujuan yang hendak dicapai
diulasnya secara detail. Setelah menulis masa depan serta tujuan yang
hendak dituju, Esack menandaskan tugas penting serta kewajiban yang
harus dilakukan dalam bab enam. Esack sebenarnya menulis buku ini
untuk keperluan organisasi The Call of Islam yang waktu itu sedang
gencar-gencarnya mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim
apartheid dengan mengutip kisah-kisah nabi masa lalu yang telah
dihidangkan al-Quran dan disirahkan Nabi Saw.
Sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar, buku ini
dimaksudkan untuk mencari ruh pembebasan untuk melepaskan diri dari
penjajahan para tiran. Fatima Meer, aktivis perempuan yang memberi
pengantar buku ini, mengidolakan revolusi damai di Iran yang dipelopori
oleh para ulama.36Fatima sangat percaya bahwa Islam sebagai esensinya
adalah teologi yang sarat dengan nilai-nilai pembebasan. Dalihnya adalah
Islam di dalam dirinya adalah seperangkat gugusan norma yang anti-
penindasan atas nama apapun.
2. Qur’an Liberation and Pluralism
Buku yang diterbitkan oleh Oneworld Publication England pada
tahun 1997 berjudul asli Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression ini telah
diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Dalam edisi bahasa Indonesia, para
pencinta ilmu kita dapat memperolehnya berkat jerih payah Penerbit
Mizan yang telah menerbitkan buku tersebut dengan judul Al-Quran,
Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (2000).

36 Fatima Merr, Foreword, dalam Farid Esack, But Musa Went to Fir’aun, (Maitland, The Call of
Islam, 1989), halaman formalitas.

20
Dalam edisi bahasa Indonesia, buku tersebut dilengkapi surat Nelson
Mandela dari penjara tentang kunjungannya ke makam Syaikh Madura. 37
Diterjemahkan oleh Watung Budiman, buku yang disunting Samsurrizal
Panggabean dan Yuliani Liputo ini tidak jadi diberi pengantar oleh
Samsurrizal Panggabean yang dikenal sebagai pemikir muda dari CSPS
UGM Yogyakarta yang aktif mengamati Afsel. Sewaktu mengisi diskusi
tentang buku Qur’an Liberation and Pluralism sebelum edisi bahasa
Indonesia terbit di FORMACI, Ihsan Ali-Fauzi menyatakan bahwa Rizal
sedang menulis pengantarnya. Dengan demikian, para pembaca agak
kesulitan menangkap konteks dan relevansinya dengan situasi di tanah air.
Dalam edisi bahasa Inggris, buku tersebut berisi pendahuluan, tujuh
bab, dan kesimpulan serta dilengkapi apendiks, glosari, bibliografi dan
indeks. Buku ini tidak sekadar merumuskan perspektif baru dalam
hubungan antaragama, tapi juga meletakkan dasar bagi sikap yang obyektif
dan kritis terhadap peganut agama yang sama. “Pemahaman agama yang
lebih signifikan selalu datang dari pengalaman baru, “ungkap Jonh Hick
seolah ingin mengafirmasi titik balik pengalaman eksistensial Esack dari
seorang minoritas yang tertindas menjadi seorang pemikir liberatif-
progresif.38
Buku tersebut sampai saat ini diyakini sebagai magnum opus Esack.
Dengan tawaran kunci-kunci hermeneutika bagi hadirnya al-Quran yang
inklusif, toleran dan pluralis —yang menjadi pokok-pokok “ajaran” Islam
Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman— Esack berupaya mendobrak
klaim kebenaran ekslusif suatu agama. “Teologi pembebasan Islam yang
ditawarkan Esack, “kata Paul Knitter, “sama mempesona dan
menantangnya dengan teologi pembebasan Kristen dari Gutierrez.”
3. On Being A Muslim
Buku yang ditulis Esack ini juga diterbitkan oleh Oneworld
Publication Oxford tahun 1999 dengan judul asli On Being A Muslim:
Finding a Religious Path in the world Today. Penerbit yang berpusat di

37 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung
Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 325-327.

38 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. Hlm. Sampul Buku Halaman Belakang.

21
Inggris ini terkenal dengan terbitan buku-buku yang ditulis oleh sarjana
kelas dunia. Selain menerbitkan karya-karya Esack, Oneworld juga
mempublikasikan buku-buku tentang studi Islam yang ditulis
Montgomerry Watt, Mark R. Woodward, Richard Martin, Reynold
Nicholson, Majid Fakhry dan lain-lain.
Buku ini terdiri dari pendahuluan, tujuh bab, kesimpulan dan
dilengkapi catatan, bibliografi terpilih dan indeks. Ketika ia meluncurkan
buku tersebut, sempat muncul tudingan dari sebagian akademisi yang
menganggapnya terlalu hiperbolikal dan melodramatis dalam mengangkat
kisah-kisah hidupnya. Memang benar bahwa Esack banyak mengisahkan
pengalaman hidupnya dalam buku yang berjumlah 212 halaman.
Bagi Esack, setiap karya adalah cerminan dari otobiografi sang
penulis. Dan buku yang ditulis setelah ia menerbitkan Quran Liberation
and Pluralism ini memotret rangkaian perjalanan dan pengalaman
hidupnya sebagai seorang muslim berhadapan dengan realitas sosial. Di
sinilah titik balik pengalaman eksistensial Esack yang hidup di tengah
struktur eksploitatif dan dominasi serta hegemoni rezim penindasan
dieksplorasi secara mendetail dan lugas.
Buku ini memang mirip otobiografi intelektual yang merekam
perjalanan panjang Esack yang lahir di masa pemerintahan apartheid,
belajar di Pakistan yang sarat dengan penindasan terhadap kaum minoritas
dan perempuan serta pengalaman melanglang buana di Eropa dan Timur
Tengah. Pada awal buku, Esack menulis bahwa buku ini lahir dari sejarah
yang panjang (a long history),39 sepanjang sejarah hidup pengarangnya
sendiri. Jadi, ia tak ditulis ketika Esack menurunkan buah pemikirannya
melalui sebuah pena di atas kertas atau ketika jari-jemarinya mengetik tuts
demi tuts di atas keyboard komputernya, namun telah terjalin dalam
rangkaian hidupnya.

39 Farid Esack, On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world Today, (Oxford,
Onerworld Publication, 1999), hlm.. ix.

22
H. Solidaritas Lintas Agama: Manifesto Pluralisme Al-Quran
Pada bab I buku Qur’an Liberation and Pluralism, Esack menjelaskan
wacana pluralisme agama yang bertemu dengan praksis pembebasan yang
konkret. Ia memahami pluralisme tak sekadar mengakui dan menghormati
perbedaan. Esack mencontohkan bila orang Jawa berdagang obat terlarang, orang
Ambon juga berdagang obat terlarang, kemudian mereka membentuk kartel di
Jakarta yang diperdagangkan ke Malaysia itu juga termasuk pluralisme. Nilai
pluralisme dalam al-Quran ditujukan pada tujuan tertentu yang berujung pada
humanisme universal.
Pluralitas agama, suku dan golongan adalah sunnatullah bila kita
kembalikan pada al-Quran surat al-Hujurat: 13.40Pengertian pluralisme Esack
mirip dengan Nurcholish Madjid yang membedakan pluralitas dengan pluralisme.
Menurut Cak Nur, demikian beliau disapa, pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru mengesankan fragmentasi. Ia juga tidak
dipahami sebagai “kebaikan negatif” (negative good) sekadar untuk merontokkan
fanatisme buta. Pluralisme adalah “pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of
civility).41
Pada wilayah yang rawan konflik, pluralitas memang dimaknai sebagai
sumbu perpecahan karena hilangnya faktor kepercayaan (trust) akibat
pengelompokan segregatif atas dasar simbol agama dan kesukuan. Di Maluku,
pasien Kristen misalnya, enggan berobat kepada dokter muslim karena takut
bukan diberi obat, tapi justru racun mematikan. Sebaliknya, sang dokter juga tak
sudi mengobati pasien tersebut karena bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan, ia
dituduh sengaja membunuh.

40 Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal” (Q.s al-Hujurat (49): 13

41 Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: tantangan dan


Kemungkinan,” Republika, 10 Agustus 1999. Budhy Munawar-Rahman, dalam bukunya Islam
Pluralis: wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001) hlm. , 31, Cak Nur juga
mengatakan hal yang sama.

23
Padahal dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 48 ditegaskan “Untuk tiap-
tiap umat di antara kamu, Kami tetapkan syariah dan jalan yang terang. Kalau
seandainya Allah menghendaki, kamu dijadikan sebagai satu umat saja. Namun
Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang dianugerahkan kepadamu itu.
Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
semuanya, lalu Allah akan menerangkan mengapa dulu kamu berbeda-beda.
Inilah yang menguatkan pluralisme sebagai fakta teologis, dimana
barangsiapa menentang pluralisme berarti ia menentang kehendak Tuhan dan
menyangkut soal agama sama sekali tidak ada paksaan di sana (la ikraha fi al-
diin).42
Hal inilah yang sedari awal ditegaskan oleh Esack akan pentingnya menjalin
solidaritas antaragama untuk pembebasan. Pluralisme dimaknainya sebagai modal
awal bagi tumbuhnya gerakan interreligius yang meneriakkan semangat
pembebasan bagi kaum yang tertindas. Sejarah para nabi ialah lembaran sejarah
orang-orang tertindas. Kata Esack, semua nabi datang dari kalangan tertindas,
kecuali Nabi Musa yang dibesarkan di istana Fir’aun tapi kemudian berjuang
bersama kaum tertindas melawan tiranisme Fir’aun. Pada umumnya, tantangan
yang pertama kali muncul ketika utusan Tuhan menyampaikan dakwah, selalu
datang dari para penguasa yang menari di atas penderitaan rakyat yang papa dan
tertindas. Uniknya, Esack mengartikan konsep mustad’afun (kaum tertindas)
secara elastis. Rakyat Palestina yang diusir dan diperlakukan semena-mena oleh
Israel adalah tertindas. Namun Esack pernah duduk di hotel bintang lima di Paris.
Di sana ada tiga orang Palestina yang duduk kemudian mengamuk pada seorang
pelayan kulit hitam. Maka yang menjadi penindas adalah tiga orang Palestina
itu.43 Penindasan inilah yang menjadi “musuh bersama” kemanusiaan, yang oleh
Esack harus dilawan dengan praksis pembebasan yang berbasis pada pluralisme
dan solidaritas antaragama (the basis of pluralism being postulated in the Qur’an
is, one may say, liberative praxis). Inilah yang dimaksud Esack dengan proyek
hermeneutika pembebasan al-Quran.

42 Nurcholish Madjid, “Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang,” Kajian Islam Utan Kayu,
Jawa Pos, Minggu, 19 Agustus 2001.

43 Farid Esack, Tabloid Detak.

24
I. Teori Hermeneutika Farid Esack.
Substansinya, hermeneutika berhubungan dengan persoalan penemuan
makna yang tepat berdasarkan konteksnya dalam upaya pemaknaan ulang
terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan bukti kehadiran Tuhan di dalam dunia
ini. Oleh karena itu, harus dimaknai yang respon terhadap konteks social budaya.
Hermeneutika mengasumsikan bahwa setiap orang mendatangi teks dengan
membawa persoalan dan harapan sendiri serta tidak mungkin untuk menyisikan
subjektivitas dan pra-pemahaman yang dibawa penafsir. Hermeneutika seperti
yang dikutip Essack, pada dasrnya adalah suatu titik awal yang dipilih secara
sadar yang berisikan komponen ideologis, sikap, dan metodologi yang dirancang
untuk membantu usaha interpretasi serta untuk memudahkan pemahaman yang
maksimal.
Korelasinya dengan realitas yang terjadi di Afrika selatan adalah tentang
beragam penggunaan al-Qur'an dan penerimaannya dalam kondisi sosial politik
tertentu. Dengan kata lain, kaum muslimin sebenarnya tidak berdebat mengenai
hakikat al-Qur'an, melainkan mereka berbeda pendapat soal peran dan cara
memahaminya. Sehingga dengan demikian, hermeneutika dipandang oleh Essack
suatu metode untuk memahami ulang teks, termasuk juga Qur'an. Hermeneutik
tidak semata mengedepankan egoistik penafsir, tetapi mempelajari kontribusi
pemahaman yang senantiasa berubah tentang sesuatu teks, serta juga meneliti
berbagai cara bagaimana sebuah teks itu dapat diterima, di konkretkan, dan
ditafsirkan
1. Pengaruh Hermeneutika Rahman dan Arkoun
Dalam memahami al-Qur’an Esack menggunakan metode
hermeneutika. terpengaruh oleh Rahman dan Mohammad Arkoun. Walaupun
Esack mengkritik mereka berdua. Esack mengabolari kedua pemikiran tersebut
sehingga membuahkan sebuah konsep hermeneutika mapan dalam memahami Al-
Qur’an.

25
Esack memakai teori Double Movemennya Rahman.44 Ia mengatakan
bahwa dalam merespon realitas terdapat dua pergerakan. Pertama ialah
memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan lewat perintah dan ketetapan
khusus yang diturunkan sebagai respon terhadap situasi tertentu. Dilakukan
melalui dua tahap. Pertama, mempelajari situasi historis dan tuntutan moral
etisnya, mendahului kajian atas teks-teks al-Qur’an dalam situasi spesifik, kedua,
menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik itu dan membingkainya sebagai
pernyataan tentang tujuan moral sosial umum, hal ini diperoleh dari teks-teks
spesifik dengan melihat latar belakang sosio-historisnya, alasan yang kerap
muncul dibelakang pemberlakuan hukum-hukum. Pergerakan kedua, menerapkan
tujuan umum yang telah diperoleh dari pergerakan pertama kedalam konteks
sosiohistoris konkreat masa kini untuk mengubah dan menetapkan prioritas bagi
menyegarkan implementasi nilai-nilai al-Qur’an.45
Kemudian juga memakai metodologi yang disebut oleh Muhammad Arkoun
regresif-progresif. Ini berarti sebuah pembalikan terus-menerus kemasa lalu,
bukan untuk memproyeksikan tuntutan dan kebutuhan sekarang atas dasar teks-
teks fundamental itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor
historis yang melahirkan teks-teks tersebut dan memberikan padanya fungsi-
fungsi (prosedur regresif)46. Salah satu jalan untuk mencapai semuanya ialah
dengan menafsiri al-Qur’an dihubungkan dengan konteks sejarah. karena
pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam seluruh sejarah Manusia.47
Proses pewahyuan al-Qur’an di dalam sebuah konteks kemasyarakatan
diperiksa dan maknanya didalam konteks (masa lalu) yang dipahami. Akan tetapi,
proses pemahaman berjalan di dalam sebuah konteks personal dan sosial
(sekarang). Yaitu konteks perjuangan dan penindasan. Menurutnya, teks-teks ini
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas muslim dan aktif
didalam sistem ideologis muslim. Maka al-Qur’an harus dibuat bekerja kembali
supaya mendapatkan makna kontemporer dan kontekstualnya. Proses regresif-

44 Fazrul Rahman, Islam and Modernity, (Tehe University if Chicago Press, London, 1984,) hlm.
6

45 Esack …. Al-qur’an …hlm. , 101.

46 Mohammad Arkoun, Rethingking Islam, (Washington, D.C for Contemporary Arab Studies),
hlm. 7.

47 Adnin Armas. Metodologi Bible dan Studi dalam Al-Qur’an ( GP, Jakarta, 200)5, hlm. 67.

26
progresif antara al-Qur’an serta konteks sosio-politik belakangan ini dianggap
sebagai keperluan untuk memperoleh sebuah pengertian dan makna yang sejalan
dengan tuntutan-tuntutan yang muncul dalam upaya memperjuangkan keadilan
dan pembebasan.48
2. Pengaruh Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrezz
Selain Arkoun dan Fazrul Rahman juga terpengaruh Gutierrez dalam
rangka praxis mengambil teori pembebasannya Gutierrez49Amerika
Latin. melihat bahwa pada Gutierrez terdapat tiga langkah berteologi.Pertama,
adalah fakta bahwa orang kristiani adalah komunitas kristiani di panggil untuk
suatu praxis yang definitive, dimana didasarkan pada cinta dan kasih sayang
dalam ajaran kristiani, kedua, teologi harus menjadi kritis dalam ajaran injil, baik
terhadap masyarakat umum maupun terhadap gereja sebagai institusi. Oleh karena
itu teologi betugas untuk membebaskan dua kelembagaan dari macam-macam
ideologi, keberhalaan, dan aliansi. Ketiga, teologi berefleksi tentang praxis iman
dalam terang masa depan yang dipercayai dan diharapkan.50 Dengan pengaruh
pembebasannya Esack baru bisa melakukan praksis dalam pembebasan Afrika
Selatan.
Dengan ketiga metode yang mempengaruhi di atas, metodenya beroperasi.
Hermeneutika Esack membutuhkan teori Rahman untuk mengetahui konteks
yang sedang berjalan, mengambil teorinya Arkoen sebagai buah perbandingan
dalam rangka mencari mekanisme yang sesuai dengan kondisi kontemporer,
membuat refleksi dan praxisnya Gutierrez sebagai langkah akhir yang
menghasilkan teori aplikatif kemudian dicarikan justifikasi dari ayat-ayat al-
Qur’an yang sesuai dengan konteks.
J. Hermeneutika Farid Essack
Kematian apartheid di Afrika Selatan telah menyatukan tradisi iman yang
berbeda dalam perjuangan melawan penindasan, tidak terkecuali umat Islam.
Namun, tuntutan Muslim Afrika Selatan untuk berpartisipasi dalam

48 Abdullah An-Na’im, Mohammad Arkoun, Dekonstruksi syari’ah II, (LKis, Yogyakarta,


1993).hlm. 219.

49 Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: ( History, Politics, and Salvation, Marryknoll:


orbis Books, 1973), hlm. 56.

50 Francis Wahomo Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, (LKiS, Yogyakarta,2000.) Hlm. 46-47.

27
solidaritasmelawan apartheid membawa mereka ke dalam konflik dengan
interpretasi Al-Qur'an yangmembantah adanya kebajikan diluar Islam. Farid
Esack menginterpretasikan kembali Al-Quran yang digunakan dalam konteks
penindasan untuk memikirkan kembali peran Islam dalam masyarakat plural.
Dia mengungkapkan bagaimana interpretasi tradisional Al-Quran seringkali
digunakan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil, dan menunjukkan bahwa
teks-teks yang sangat digunakan untuk mendukung intoleransi agama; padahal
jika diartikandalam konteks sosio-historis kontemporer hal tersebut justru
mendukung solidaritas aktif dengan agama lain untuk perubahan.
Dalam gagasannya, Essack menawarkan metode hermeneutika dalam
memahami al-Qur’an. Namun berbeda dengan Mohammad Arkoun yang
menawarkan konsep historisitas,atau Fazrul Rahman yang menawarkan metode
tematik dan hermeneutika double movement,51 Hasan Hanafi yang menawarkan
pemahaman dari theosentris ke antroposentris,52 atau juga Mohammad Syahrur
dengan teori hudud (nazharyyah al-wujud),53 yang telah membawa teori baru.
Metode hermenutika Esack, diilhami dari konsep teologi pembebasan (liberation
theologi) Gueterriez dan Segundo, pola pemikiran regresif-progresif Arkoun dan
double movement Rahman. Selain meramu dari ketiga pemikiran tersebut Esack
juga menambahkan kunci-kunci hermeneutika54 yang sengaja dibuatnya secara
khusus sesuai dengan konteks masyarakat Afrika Selatan yang diwarnai
penindasan, ketidakadilan dan eksploitasi. Selain itu, Esack juga berbeda dengan
penempatan posisi penafsiran.

, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, (Gema Insani Press, Jakarta 2010) hlm.
281

51 Fazrul Rahman Islam and modernity, (the University of Chicago Press, London &
Cicago.1919), hlm. 5. lihat buku, Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir kontemporer, (LKiS,
Yogyakarta, 2010,) hlm. 178.

52 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal,( Gema Insani Press, Jakarta 2010),
hlm. 23

53 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (LKiS, Yogyakarta, 2010,194, dan buku
Muhammad Syahrur, metodologi fiqih kontemporer,) hlm. 281

54 Esack, Qur’an, hlm. 86-87

28
Meski mengakui al-Qur’an sebagai teks asing yang hadir dihadapan kaum
muslimin Afrika Selatan, bahwa rakyat Afrika tidak mengalami langsung proses
hadirnya al-Qur’an ditengah-tengah masyarakat Arab, Al-Qur’an menurutnya
tetap mempunyai signifikansi bagi masyarakat lain di luar Arab. Signifikansi itu
akan ditemukan ketika memahami al-Qur’an dibawa kedalam konteks lain dari
konteks kelahirannya. Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks baru.55 Esack
menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan
responsinya terhadap konteks tanggapan penafsir, serta menentukan arti penting
relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan
“makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan
dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan. 56Karena
menurutnya, wahyu diturunkan sebagai tanggapan atas masyarakat tertentu, ada
satu realitas sejarah telah berkomunikasi dengan mereka. Menurut Esack dengan
pembacaan sepintas tentang al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun
al-Qur’an diklaim sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tapi secara umum
wahyu ditujukan bagi orang-orang hijaz selama priode pewahyuan.57
Disiplin naskh, dan asbab nuzul dengan jelas mencerminkan kehadiran
Tuhan yang mewujudkan kehendaknya dalam situasi umatnya, berbicara sesuai
dengan realitas.58 Begitu juga soal tafsir, meski Farid Esack tetap mengakui
keabsahan wahyu sebagai kalam Ilahi, tetapi seputar tafsir dan penafsiran adalah
persoalan yang berbeda; penafsir tak mungkin lepas dari sejarah dan
keterkaitannya dengan tradisi, kebudayaan yang berkembang saat turunnya
wahyu.59

55 Aksin Wijaya, Arah Baru Ulumul-Qur’an,( Pustaka Pelajar Yogyakarta 2009), hlm. 195-197

56 Esack, Qur’an, hlm. 11. Lihat juga, Juan Louis segundo, The Theology of Liberation, (New
York: Orbit Books, 1991), hlm. 9. Dan Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 9-13.

57 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious


Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997,hlm. 86

58 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism hlm.…., 93

59Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 108.

29
Dengan metode hermeneutika tersebut Esack mencapai kesimpulan dari
penafsirannya terhadap Tiga Prinsip Teologis: ayat-ayat pluralitas, 60 ayat-ayat
afinitas,61dan kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir, 62bahwa kerja sama
dengan umat agama lain adalah sesuatu yang tidak dilarang, jika tidak malah
dianjurkan.
K. Interaksi-Integrasi Metode
Setelah membaca serta mengetahui metode yang di gunakan Farid Essak
dalam memahami al-Qur'an (metode regresif-progresif dan metode hermeneutika),
dapat diintegrasikan antara kedua metode tersebut. Karena penafsiran yang
diemban oleh Essack adalah bagaimana dapat mengaplikasikan nilai-nilai
penafsiran terhadap konteks yang terjadi di Afrika Selatan. Bagaimana Essack
mengkomunikasikan antara teks yang seolah tidak bicara dengan konteks yang
selalu berimplikasi tindak diskriminatif dari rezim pemerintahan Apartheid.
Sehingga dengan tafsirnya nanti akan diperoleh suatu penilaian yang proporsional.
Dalam hal ini ada tiga tangga yang dilalui Essack dalam melakukan pembacaan
terhadap konteks. Yaitu
1. Premis Mayor
Premis mayor menjadi asumsi dasar Essack ketika mengedepankan
teologi pembebasan nya. Anti rasisme adalah suatu keniscayaan di mana
pun, termasuk di Afrika Selatan dengan penyelewengan dari keadilan.
Keadilan inilah yang menjadi etika moral tunggal yang bisa dianggap
sebagai poros tunggal sebagai bentuk penentangan terhadap Apartheid.
Karena keadilan merupakan hak bagi semua yang tertindas di
seluruh alam semesta tanpa harus membeda-bedakan. Sedangkan
ketidakadilan adalah suatu kesalahan dan penyimpangan dari aturan alam.
Keadilan tidak membedakan ras, bangsa, warna, bahasa, bahkan juga

60 Rasyid Ridla,Tafsir al-Manar, I, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980), 336; Thabathabai, Al-Mizan fi
Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973), hlm. 193

61Esack, Qur’an, hlm. 181. Lihat juga Abd Al-Malik Ibn Hisyam, Sirah Rasululllah, II, (Kairo:
t.p, t.t), hlm. 146

62 Al-Razi, Tafsî Fakhr al-Râzi, XVII, hlm. 150; al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut,
Dar al-Ahya, tt), hlm. 277; “anak-anak mereka”baca Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, II, hlm. 364; al-
Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt), hlm. 277 atau “beberapa pemuda”
baca Rasyid Ridla, Tafsir al-Manâr, XI, 469. Dan Esack, Qur’an, hlm. 202.

30
agama. Karena hukum Allah turun untuk kemanusiaan, untuk keadilan,
dan untuk kesejahteraan manusia di muka bumi hingga di akhirat kelak.
2. Premis Minor
Adalah dilematis ketika membicarakan realitas yang terjadi terhadap
penduduk Afrika Selatan bahwa perbedaan yang ada telah menjadi media
legitimasi untuk terjadi pelanggaran hak dan kesejahteraan yang
semestinya diterima oleh semua penduduk Afrika Selatan tanpa melihat
perbedaan yang ada. Misalnya antara kulit putih dengan kulit hitam.
Keduanya telah menimbulkan dilematis yang cenderung
mengenyampingkan kelompok kulit hitam. Begitu juga dengan agama-
agama yang ada.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, Essack menyadari bahwa
konsep pluralisme harus lahir dalam realitas Afrika Selatan sebagai media
tercapainya pembebasan. Dalam pluralismenya, menurutnya pengakuan
terhadap agama lain harus diakui sepenuhnya terhadap kebenaran agama
lainnya. Karena dengan pluralisme yang seperti itu akan dapat melahirkan
tujuan bersama demi menuju pembebasan.
Pertama, berkaitan dengan masalah hermenutika. Metode
hermenutika Esack, seperti diakuinya sendiri diilhami dari konsep teologi
pembebasan (liberation theologi) Gueterriez dan Segundo, pola pemikiran
regresif-progresif Arkoun dan double movement Rahman. Esack meramu
dari ketiga pemikiran tersebut kemudian menambahkan dengan kunci-
kunci hermeneutika yang sengaja dibuatnya secara khusus sesuai dengan
konteks masyarakat Afrika Selatan yang diwarnai penindasan,
ketidakadilan dan eksploitasi. Kunci-kunci yang dimaksud adalah, taqwa
(integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan),
al-nas (manusia), al-mustadh’afûn fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl
and qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan
praksis). Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan
bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan
pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks berikut
dampaknya terhadap satu sama lainnya

31
Selain itu, kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu
dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai
pembangunan ktiteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa
teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme
dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-
mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi
aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad
merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan
membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam
masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
Kedua, berdasarkan metode hermeneutika tersebut, Esack mencapai
kesimpulan bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu
yang tidak dilarang, jika tidak malah dianjurkan. Kesimpulan ini
didasarkan atas penafsirannya terhadap (1) ayat-ayat pluralitas, (2) ayat-
ayat afinitas, dan (3) kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir.

L. Prinsip Hermenutika Farid Esack


1. Pluralisme Agama.
Menurut Esack, al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas
menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama. “Sungguh,
orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di
antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat
kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih
hati”. (QS. al-Baqarah, 62).
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya
keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman
kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal
salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka. Pernyataan ini
sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba’i. Menurut Ridla,
semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa memandang
afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak

32
mengutamakan satu kelompok dengan mendlalimi kelompok yang lain.
Thabathaba’i dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada nama
dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh
iman dan amal shalih. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia’.
Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’I, teks-teks tersebut juga
sebagai respon atas sikap eksklusivisme yang terkungkung dalam
sektarianisme dan khauvinisme keberagamaan yang sempit. Rasyid Ridla
menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme
keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan”.
2. Prinsip Afinitas (wilâyah)
Masalah afinitas (wilâyah) telah menjadi kajian serius sejak masa
klasik. Sebagian besar ulama klasik dan umat Islam Afrika Selatan
menolak kerjasama dengan umat agama lain berdasarkan makna teks al-
Qur’an surat al-Maidah, 51.
Menurut Esack, benar bahwa ayat ini secara tekstual tidak
mengizinkan afinitas (wilâyah) dengan kaum agama lain, dalam hal ini
Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita tidak bisa berhenti di sini melainkan
harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang terkait dengan hal ini secara
keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Ditempat lain, larangan ini juga
ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89), orang yang
mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi kamu
karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah,
13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap
atau tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-
sikap tersebut tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh
melakukan afinitas dengan mereka.
Selain itu, adalah fakta bahwa dalam sejarah Islam terdapat kisah
kaum muslim yang mencari suaka dan perlindungan dari penganiayaan
Quraisy pada umat Nasrani di Abysina pada tahun kelima kenabian
Muhammad SAW. Di sana mereka terlindungi dari bahaya kemurtadan dan
penganiayaan. Juga, sejarah kaum muslim awal di bawah kepemimpinan
nabi Muhammad sering membuat perjanjian politik dan pertahanan
bersama kaum lain, terutama pada era awal kehidupan di Madinah.

33
3. Paradigma Eksodus
Selain didasarkan atas pemahamannya tentang prinsip afinitas, juga
didasarkan atas kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir (eksodus) seperti
yang tercatat dalam al-Qur’an. Signifikansi kisah tersebut adalah
komitmen Tuhan pada kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari soal
keimanan mereka. Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan bahwa Bani
Israel yang dibela Musa bukanlah kaum yang beriman melainkan justru
orang yang keras kepala dan kufur. Yang beriman di kalangan mereka
hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir klasik diartikan
dengan “sebagian kecil”, “anak-anak mereka” atau “beberapa pemuda”.
Lebih dari, mereka bahkan malah membuat patung sesembahan (QS.
al-Baqarah, 51; Thaha, 85-97) dan ketika berbicara dengan Musa, mereka
menyebut Allah dengan “Tuhanmu” (QS. al-Baqarah, 61). Ketika diminta
berperang untuk kemerdekaan mereka sendiri, mereka mengatakan, “Pergi
dan berperanglah bersama Tuhanmu, dan kami akan duduk di sini” (QS.
al-Maidah, 24). Mereka bahkan mengejek Musa, “Kami tidak akan
beriman kepadamu sebelum kami bertatap muka dengan Allah” (QS. al-
Baqarah, 55). Meski terus menyangkap dan tidak mau beriman, mereka
tetap diajak “masuk ke tanah itu dan makan makanan yang banyak” (QS.
al-Baqarah, 58; al-A`raf, 161). Tegasnya, tidak satupun baik kemerdekaan
maupun karunia yang telah diberikan kepada mereka, menjadikan mereka
beriman kepada Allah.
Meski demikian, mereka tetap dibela Tuhan dengan mengutus Musa.
Acuan mustadh’afun (tertindas) yang dialami Bani Israil akibat
kesewenang-wenangan Fir’aun mencerminkan posisi utama yang
diberikan Tuhan bagi kaum tertindas. Hal tersebut juga menandakan
bahwa janji pembebasan tetap ada walaupun dalam ketiadaan iman kepada
Tuhan, dengan argumen bahwa ketertindasan mereka harus diselamatkan
dulu sebelum menekankan keimanan kepada mereka.
Berdasarkan semua itu, Esack menyatakan bahwa hubungan dan
kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak terlarang. Akan tetapi,
kerja sama tersebut tidak bisa dilakukan secara sembrono. Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi. (a) kerja sama tersebut tidak boleh sampai

34
meninggalkan umat Islam sendiri, (b) kerjasama tersebut harus
memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam. Selain itu, pihak
yang diajak kerja sama harus memenuhi persyaratan: (a) telah terikat
perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam, (b)
bukan pihak-pihak yang membuat agama menjadi bahan ejekan, (c) bukan
orang yang mengingkari kebenaran, (d) bukan pihak atau yang membantu
pihak-pihak yang mengusir umat Islam.
Ketiga, alasan formulasi konsep kerja sama Esack didasarkan atas
kenyataan (1) secara sosio-politis, Afrika Selatan berada dalam kekasaan
rezim Apartheid yang tiranik dan hegemonik, dan persoalan ini harus
segera di akhiri; (2) secara sosio-keagamaan, ada relasi yang kuat antara
teologi konservatif yang dianut sebagian besar kaum akomodasionis
dengan ideologi status quo yang dijalankan rezim apharteid. Padahal,
secara teologis, tak ada satupun pernyataan al-Qur’an yang membenarkan
kekejaman perilaku politik apartheid; (3) kuatnya ego superioritas
khauvinistik kelompok keagamaan yang dianut fundamental Islam.
Keyakinan bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya jalan untuk
mendapatkan keselamatan (eksklusif) telah membutakan mata akan
kenyataan bahwa agama yang ada tidak hanya Islam, dan bahwa penganut
agama lain juga berjuang menegakkan kebenaran serta menentang
kezaliman.
M.Al-Qur’an dalam Pandangan Farid Esack
Berbeda dengan para pemikir kontemporer sebelumnya, Farid Esack
mengakui keabsahan wahyu sebagai kalam Ilahi. Akan tetapi mempersolakan
seputar tafsir dan penafsiran. menganggap penafsir tak mungkin lepas dari
sejarah dan keterkaitannya dengan tradisi, kebudayaan yang berkembang saat
turunnya wahyu.63
Menurutnya, wahyu sebagai tanggapan atas masyarakat tertentu. Umat
Islam percaya bahwa ada satu realitas sejarah telah berkomunikasi dengan
mereka. Menurut Esack dengan pembacaan sepintas tentang al-Qur’an dapat
ditarik kesimpulan bahwa meskipun al-Qur’an diklaim sebagai petunjuk bagi

63Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
Against Oppression, One World, Oxford, 1997, hlm. 108.

35
seluruh umat Manusia, tapi secara umum wahyu ditujukan bagi orang-orang
hijaz selama priode pewahyuan. 64
Pendapat bahwa teks al-Qur’an adalah teks yang mensejarah sebagai
mana yang diungkapkan oleh Esack, dipengaruhi oleh gagasan Wilhem
Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas
atas makna text, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.65 Pendapat ini
jelas tidak bisa diaplikasikan didalam kajian al-Qur’an. Bagi Para Mufassir,
Allah swt, sebagai pengarang al-Qur’an, justru merubah sejarah. Al-Qur’an
justru telah merubah istilah, struktur-struktur konseptual, bidang kosa kata
khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang digunakan untuk
memproyeksikan pandangan hidup Islam66.
Menurut Muhammad Musthafa Azzami, secara umum bahwa susunan
ayat dan surah dalam al-Qur’an memiliki keunikan yang luar biasa.
Susunannya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dan subyek bahasan.
Rahasianya hanya Allah Yang Mahatahu, karena Dia sebagai pemilik Kitab.
Karena Dia pemiliknya, maka Dia memiliki wewenang penuh untuk
menyusunnya, tanpa harus terkait dengan aturan Manusia.67 Jadi pendapat
Esack bertolak belakang dengan pendapat ulama pada umumnya. Ulama pada
umumnya menempatkan wahyu sebagai hak preyogratif Tuhan, Esack
menempatkan wahyu sebagai respon atas kejadian yang dialami Manusia.
Esack menjelaskan berbagai pembacaan atas al-Qur’an.Ia membaginya
ke dalam dua garis. Garis pembaca internal dan garis pembaca eksternal.
Garis pembaca internal dikelompokkan menjadi tiga, yaitu; orang Islam
awam, ulama konfessional dan ulama kritis.68

64 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm, 86.

65 Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan


Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002, hlm. 36.

66 Adnin Armas, Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika AL-Qur’an, Majalah Islam, Thn I NO.
1/Muharram 1425, hlm. 39.

67 Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qurânic Text from Revelation to
Compilation. UK Islamic Academy Leicester- England. Tt. Dalam.
http://ekmekci.com/wpcontent/uploads/2012/07/16RESEARCHD.pdf. hlm. . 74.

36
Sedangkan dari garis dunia luar terdiri dari pecinta polemik, revisionis
(pengamat yang tidak berkepentingan) dan pengamat partisan. Pada garis
pembaca internal, kelompok orang Islam awamdigambarkan oleh Esack
sebagai kelompok pembaca al-Qur’an sebagaimana seorang pemuda yang
jatuh cinta secara buta, suatu pembacaan pasrah tanpa pertanyaan. Sikap
pembacaan lain atas al-Qur’an dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan.
Sementara pada level kedua, kelompok ulama konfessional adalah kelompok
ulama yang apologetik dan fanatik. Masuk kelompok ini dalam pandangan
Esack adalah tokoh Abul A’la al-Maududi dan Binti Syuthi.
Setiap apapun temuan baru dari luar Islam dijawab oleh kelompok ini
dengan mengatakan bahwa semuanya telah terangkum dalam al-Qur’an.
Ibarat orang yang jatuh cinta, ia adalah pemuda yang tidak mau kekasihnya
dianggap kurang sempurna oleh orang lain.
Sedangkan pembaca terakhir dari garis internal adalah pembaca kritis.
Yaitu pembaca yang selalu bertanya kepada al-Qur’an bahkan pertanyaan-
pertanyaan ontologis, pertanyaan tentang hakekat kehadirannya. Pertanyaan
kritis tidak dimaksudkan sebagai upaya menjauhkan dirinya dari al-Qur’an
tetapi justru diniatkan untuk mendekat. Ibarat orang yang jatuh cinta, pecinta
kritis mempertanyakan banyak hal tentang kekasihnya seolah-olah ia bukan
orang yang dicintainya. Masuk dalam jajaran pembaca kritis ini adalah Fazlur
Rahman, M. Arkoun dan Abu Zayd.69
Esack mengapresiasi pembacaan terakhir atas al-Qur’an yaitu pembaca
kritis. Al-Qur’an oleh kelompok ini dianggap sebagai teks biasa. Sebagai teks
biasa, pembacaan atasnya harus menimbang realitas dan budaya sebagai fakta
empiris yang memengaruhinya.70

68 Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progresif menuju Tafsir Pembebasan: Telaah atas Hermeneutika
al-Qur’an Farid Esack, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 : 77-97,Konsenterasi Pemikiran Islam
Program Doktor PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya, Jl. A. Yani 117 Surabaya, email:
yudi_prapto@yahoo.com, hlm. 81

69 Farid Esack, Samudera al-Qur’an, terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hlm. 15-
19.

70 Nasr Hamd Abu Zayd, Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Kairo: al-Hay’ah al-
Mis}riyyah al-’Ammah li al-Kutub, 1993), hlm. 27.

37
Sebagai karya berbahasa Arab, al-Qur’an adalah sebuah teks. Karena
itu, budaya Arab ikut menentukan atas makna tersebut. Di sinilah perlu
kritisisme ketika akan menggunakan teks itu dalam wilayah dan kultur yang
berbeda dengan Arab. Kelompok kritis juga mempertanyakan klaim
objektifisme pembacaan al-Qur’an. Bagi mereka, tidak ada sesuatu yang
netral. Pembacaan al-Qur’an adalah upaya ruang subjektifitas bermain.
Mengutip Abu Zayd, Esack menjelaskan bahwa banyak orang melihat al-
Qur’an hanya sebatas nilaiestetis atau hanya sekedar doa-doa dan hukum,
bahkan ada yang memandang al-Qur’an sebagai teks yang mengintimidasi.71
Esack agaknya sepakat dengan Abu Zayd tentang pentingnya
pembacaan yang produktif (al-Qira’ah al-Muntijah) dan menghindari tafsir
ideologis (al-Qira’ah al-idiulujiya atau al-Qira’ah al Mughridah).72
Dari sini dapat dilihat bahwa Esack, walau tidak dijelaskannya sendiri,
termasuk sebagai pembaca kritis dalam garis internal.Implikasi pembacaan
kritis ini dapat dilihat pada pemaknaan yang diberikan Esack atas al-Qur’an
melampaui makna-makna literal teks dan tradisi kebahasaan pada umumnya.
Ia melompat jauh pada mainstream kemanusiaan universal seperti pemaknaan
tawhid yang diarahkan untuk ketiadaan stratifikasi manusia. Menganggap
orang lain lebih rendah, perilaku kapitalisme dan mengakui rasialisme adalah
bagian perlawanan atas tawhid. Pelakunya, bagi Esack, bisa dianggap sebagai
mushrik.
Sementara itu, pada garis luar, terdapat tiga kelompok yaitu; pembaca
partisipan, revisionis dan pembaca polemik. Yang pertama, pembaca
partisipan adalah pembaca orang luar secara kritis. Ia mempertanyakan aspek-
aspek yang telah baku diyakini oleh pemeluknya.
Hampir sama dengan pembaca kritis, permbaca partisipan ini juga
mempertanyakan hal-hal ontologis, seperti bagaimana kemungkinan
hubungan Tuhan dengan Muhammad dan bagaimana proses turunnya wahyu
dan lain sebagainya. Seberapa besar historisitas kemanusiaan terlibat dalam
formasi tekstualitas al-Qur’an. Wilfred Cantwell Smith (dimensi spritual

71 Esack, Samudera al-Qur’an, hlm. 19.

72 Zayd, Mafhum al-Nas, hlm. 22.

38
wahyu) dan Montgomery Watt (dimensi sosiologis wahyu) adalah dalam
katagori kelompok pertama ini. Bahkan pada saat-saat tertentu, pembaca
partisipan mempertanyakan keabsahan Muhammad menjadi Nabi.73
Kelompok revisionis, sebagai kelompok nomor dua dari ga-ris luar,
menganggap dirinya tidak memiliki kepentingan apa pun dalam membaca al-
Qur’an. Kelompok ini menekankan penelitian kritis terhadap al-Qur’an serta
catatan Muslim sejak permulaan, dan perlunya membandingkan catatan ini
dengan sumber-sumber di luar Muslim. Kelompok ini juga mementingkan
penggunaan bukti-bukti material kontemporer yang diambil dari semacam
arkeologi dan geneologi. Tidak jarang, kelompok ini menegaskan bahwa
komunitas Muslim adalah komunitas yang terbentuk dari adaptasi agama
Judeo-Kristiani. Bahkan kelompok ini mengatakan bahwa Islam adalah “anak
haram” dari agama Yahudi. Muhammad karena itu, tidak lain adalah
messianis dari agama Yahudi. Masuk dalam kelompok ini intelektual seperti
John Wansbrough.74
Sementara kelompok terakhir adalah pembaca pencinta polemik.
Pembaca terakhir ini seringkali membawa asumsi-asumsi yang telah dimiliki
untuk menjustifikasi argumen tentang al-Qur’an. Ia selalu menyalahkan atas
apa yang dibangun oleh al-Qur’an, bahkan kadang-kadang ia merasa
terancam dengan keberadaan al-Qur’an. Esack tidak menyebut siapa tokoh di
balik kelompok ini, tetapi Esack menjelaskan bahwa kadang-kadang dua
kelompok sebelumnya masuk dalam katagori pembaca pencinta polemik.75
1. Pewahyuan Progresif
Disiplin naskh, dan asbab nuzul, menurut Esack mencerminkan
kehadiran Tuhan yang mewujudkan kehendaknya dalam situasi umatnya.
Berbicara sesuai dengan realitas. Maka dengan begitu, wahyu menurutnya
dibentuk oleh realitas. Kedua disiplin itu membentuk unsur penting dalam
karya kontemporer yang berusaha mengkontektualisasikan pesan-pesan al-
Qur’an. Kedua unsur tersebut diambil sebagai kunci dalam latar yang lebih

73 Esack, Samudera al-Qur’an, hlm. 22.

74 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm., 23-24.

75 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 24.

39
luas menyangkut relevansi sejarah, kontektualisasi, dan keadilan sosial.
Maka menurut Esack tugas interpretasi masa kini tak boleh mengabaikan
waktu, tempat, dan pemahaman bagaimana suatu ajaran atau perintah
menanggapi konteks kontemporer.76 Pemahaman tentang interaksi dan
konteks merupakan persyaratan untuk menerapkan kembali pemaknan
yang lebih hidup. Mengerti al-Qur’an dalam konteks historisnya bukan
berarti membatasi pesan-pesan dalam konteks itu, tetapi memahami makna
pewahyuan dalam konteks tertentu dimasa lalu agar dapat
mengkontektualisasikannya dalam kenyataan kontemporer.
Dalam hal ini, Essack lebih terinspirasi ole hide-ide progresif
Arkoun dalam memandang latar sejarah makna al-Qur’an, bahwa teks ada
kaitannya dengan serangkaian peristiwa yang menjadi latar belakang
lahirnya teks di masa lalu untuk merekontruksi mekanisme historis dan
factor-faktor yang memproduksi teks tersebut demi untuk memberikan
fungsi-fungsi baru secara progresif. Maka Farid Essack
mengedepankan nasih mansukh, asbab an-nuzul, dan makki-
madani sebagai pertimbangan untuk menegaskan ide progresifnya arkoun.
Sedangkan dalam prosedur progresifnya, Essack menyebut konsep ushul
fiqh, antara lain; istihsan, ‘urf dan al-maslahah al-mursalah.
Dalam ide regresif dan progresifnya, Essack berupaya memberikan
muatan makna baru terhadap teks, sehingga teks lebih bersifat regresif dan
progresif dengan kandungan makna yang selalu aktif memberi kontribusi
besar pada persoalan yang selalu berkembang setiap saat. Makna yang
kontemporer dan kontekstual. Misalnya dengan adanya berbagai diskursus
keilmuan yang telah mencoba memasukkan wacana makna-makna al-
Qur’an seperti terhadap kajian fiqh, tafsir, dan kajian-kajian lainnya. Tentu
yang penting juga selain memahami makna yang dikandungnya ialah
dituntut untuk memahami dan melakukan pembacaan terhadap peristiwa-
peristiwa melatarbelakangi teks-teks tertentu dengan realitas yang sedang
terjadi. Sehingga dapat ditemukan suatu realitas yang koheren. Itulah
menyebabkan bahwa teori-teori keilmuan yang baru berkembang pada era

76 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm ., 93.

40
kontemporer ini akan memberi kontribusi di dalam memahami al-Qur’an,
supaya al-Qur’an tidak kehilangan makna kontekstualnya dan terputus dari
konteks serta relevansi historisnya.
2. Teks Menurut Farid Esack77
Dalam Memahami teks Esack menganggap bahwa Tuhan adalah
pengarang. Maka untuk mencapai memahami teks, pembaca harus bisa
masuk kedalam pikiran pengarang. Namun itu sangatlah sulit dan
problematik, karena dikalangan muslim, meskipun tak mugkin mengklaim
mampu memasuki pikiran Tuhan, bukan hal biasa bahwa bagi sebagian
orang untuk mengklaim bahwa Tuhan mengendalikan fikiran mereka.
Jalur alternatif untuk memahami lewat inspirasi-intuisi pernah ada dalam
berabagai pendekatan muslim pada kitab suci, dan mencapai
popularitasnya dalam pemikiran mistis tradisionalis Islamis. Dalam
metodologi ini kesalehan digabung dengan pemikiran untuk menciptakan
makna. Kesalehan juga dianggap sebagai pembatas antara opini pribadi
dan kebenaran.
Penafsir pemikul banyak beban dalam memahami teks. Penafsir
membawa pra pemahaman tentang soal yang dirujuk teks meskipun
penafsir tak mengakuinya secara langsung, itu hanya asumsi awal dalam
penafsirannya, maka dari itu menurut Esack, kebutuhan mendesak apabila
seorang pemikir kontemporer mengeluarkan pra pemahaman berdasarkan
penalaran. Pra pemahaman adalah syarat untuk hidup dalam sejarah,
berdampak pada hasil penafsiran. Oleh karena itu Esack mengkritik
penafsir klasik, dengan dalih, para penafsir klasik telah meninggalkan sisi
sejarah dimana teks itu di turunkan, serta sosio -politik yang berkembang
saat itu.78
Menurut Esack, penafsiran tak lepas dari bahasa, sejarah, dan
tradisi. menganggap masa lalu adalah yang lalu, kini adalah sekarang.
Setiap pengguna bahasa membawa pra pemahamannya baik secara sadar
atau diluar kesadaran tentang sejarah dan tradisi. Sejarah tersebut

77 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 93.

78 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. Hlm.110.

41
menghasilkan makna yang selalu berproses. Makna akan selalu berubah.
Namun, betapapun hebatnya bahasa atau makna tidak akan terlepas dari
kekurangan. Sehingga Esack mengaitkan istilah ini kedalam al-Qur’an
yang menganggap hasil penafsiran tidak akan terlepas dari bahasa, budaya
dan tradisi. Esack setuju dengan pernyataan orientalis bahwa “ setiap
penafsir mendatangi teks dengan membawa sejarah kompleks yang disebut
dengan tradisi. Tak mungkin lepas dari tradisi, seperti halnya tidak
mungkin lepas dari sejarah dan bahasa.79
N. Metode Penafsiran Esack
Hal paling penting gagasan Farid Esack dalam wacana hermeneutiknya
ialah adanya kunci-kunci pokok hermeneutika. Kunci-kunci tersebut digunakan
untuk penafsiran ayat al-Qur’an. Sehingga menjadi dalil-dalil yang mendukung
gerakan pembebasan di Afrika Selatan. Praksisnya, berkolaborasi dengan kaum
tertindas lain, tidak membeda-bedakan ras, agama, serta golongan. Dengan
pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks, dan refleksi
tentang dampaknya satu sama lain. Maka akan kelihatan arti penting kunci-kunci
sebagai perangkat untuk memahami al-Qur’an.80 Pokok terpenting menuju satu
tujuan yaitu kebebasan. Kunci-kunci yang ditawarkan Esack yaitu tawhid, taqwa,
nass, mustada’fun, adl dan qist serta jihad maka dalam pengertian ini akan
dipaparkan pengertian kunci-kunci tersebut dalam kutipan dibawah ini:
In reflecting on the hermeneutical key that have emerged from the South
African engagement with the struggle for liberation and with the Qur’an, I
shall try to show how a Qur’anic hermeneutic of liberation would works.,
with it continuous shift between text and context and the ongoing
reflections on their implications for each other. I shall also underline the
significance of these keys as indispensable tools for understanding the
Qur’an in a society characterized by oppression and an interreligious
struggle for justice and freedom.81
The first two key, taqwa (an awareness of the present of god)
and tawhid (the unity of god ), are aimed at developing the moral and
doctrinal criter with which to examine the other keys and the theological
glasses with which to read the Qur’an in general and, more specifically,
79 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 111.

80 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism. hlm. 123

81 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism….,hlm. 86.

42
the text dealing with the religious other. Despite the seemingly
theological nature of these two keys, they, like all theological precepts,
are also formulated and understood within a specific historic-
political context82
The second two key al-nas (the people) and the marginalized (al-
Mustad’afun fi’l ard) define the location of our interpretative activity.
While all contexts wherein the interpreter is located must necessary bear
upon the outcome of her or his interpretation. Interpreters also have the
freedom to position themselves differently in relation to any situation in
order to arrive at specific kind of interpretation. The last two, justice (adl
and qist) and struggle (jihad), reflect the method and the ethos that
produce and shape a contextual understanding of the word of God in an
unjust society.83
Dari kutipan diatas dapat ditarik pengertian bahwa Farid Esack menentukan
Dua konsep pertama, Taqwa danTawhid, terfokus pada pembangunan kriteria
moral dan doktrinal-teologis, keduanya lebih dipahami dalam konteks historis-
politik tertentu. kedua, Manusia dan kaum tertindas, menetapkan pada aktifitas
dan lokasi sosial seorang penafsir. Konteks sosial seorang penafsir sangat
berperan terhadap hasil interpretasi. Dan, seorang penafsir mempunyai kebebasan
memposisikan dirinya dalam suatu lokasi dan episode tertentu untuk
menghasilkan jenis dan hasil interpretasi tertentu. Ketiga, keadilan dan perjuangan
(jihad), merefleksikan suatu metode dan etos yang membentuk dan menghasilkan
pemahaman kontekstual tentang teks-teks al-Qur’an dalam masyarakat yang
diwarnai ketidakadilan
Taqwa, adalah terma yang paling komprehesif, inklusif dan aplikatif
meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan Manusia( Q.S 2: 4-10 dan 49:13)
dengan taqwa individu dan komunitas memikul tugas kenabian dalam
transformasi dan pembebasan (Q.S 3:102-105,8:29) menerima taqwa sebagai
kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penafsir dan tindakan
menafsir pertama. penafsir harus terbebas dari prasangka (danz) dan Nafsu
(hawa). Hermeneutika pembebasan al- Qur’an dengan taqwa adalah sebagai
kunci, memastikan interpretasi bebas dari obscuratisme teologi dan reaksi politik
serta spekulatif subjektif, kedua taqwa memfasislitasi keseimbangan estetik dan

82 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism, hlm. 86.

83 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism, hlm. 86.

43
spiritual dalam kehidupan penafsir, tiga, taqwa mendorong komitmen penafsir
pada proses dlektika personal dan transpormasi sosio politik. Keterlibatan al-
Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir
alam revolusi tersebut.84
Esack menggunakan semua kunci tersebut untuk mencari makna al-Qur’an yang
membebaskan. Kedua kunci pertama, takwa dan tauhid sebagai tolok ukur atas
penafsir supaya tidak melenceng dari penafsirannya. Sekaligus sebagai lensa optic
yang menyoroti al-Qur’an secara umum, dan lebih spesifik lagi, teks-teks yang
berkenaan dengan agama lain. Ia sudah menambah ranah dari takwa dan tauhid
dirumuskan menjadi dan dipahami dalam konteks historis politik tertentu, serta
ditampilkan dalam wujud tertentu. Pencarian suatu makna hermeneutika
pembebasan berasumsi bahwa ada sekelompok orang yang serius dalam
merekonstruksi masyarakat menurut prinsip-prinsip keadilan, kekebasan,
kejujuran dan integritas.

Taqwa sistem etika paling inklusif yang digunakan Alquran dan paling
banyak dimunculkan.Maknanya sangat komprehensif dalam menyatukan
tanggungjawab, baik kepada Tuhan maupun manusia. Ayat-ayat dalam QS. al-Lail
[92]:4-1085 dan QS. al-Hujurat [49]:1386 adalah buktinya. Alquran menegaskan
perlunya suatu komunitas atau individu untuk melengkapi diri dengan takwa,
demi melanjutkan tugas para nabi dalam melakukan transformasi dan pembebasan
QS. Ali Imran [3]:102-105. Menurut Alquran, komitmen kepada Makhluk Tuhan
adalah bagian dari komitmen terhadap Tuhan. Taqwâ inilah yang membentengi
para intelektual organik dari nafsu duniawi dalam melakukan pembebasan.87
Hermeneutika praksis liberatif memegangi makna taqwâ ini. Alquran sering
menyebut prasangka dan nafsu pribadi sebagai lawan dari taqwâ. Penafsiran harus
tetap bebas dari obskurantisme teologis, reaksi politis, spekulasi pribadi walaupun

84 Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism, hlm. 88-89.

85 “Adapun orang yang menderma pada yang lain dan bertakwa kepada Tuhan dan membenarkan
adanya kebaikan tertinggi, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah; dan
adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup serta mendustakan kebaikan tertinggi,
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sulit.

86 “Hai manusia! Kami telah menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya,
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”

87 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 126.

44
objek spekulasi tersebut dari kelompok tertindas dan tersisih. Lebih dari itu,
konsekuensi taqwâ dalam kerja hermeneutika ini adalah perlunya keseimbangan
estetik dan spritual penafsir. Penafsiran harus lebih melihat pada visi dan nilai
historisitas teks dan bukan hanya sekedar reaksi atas teologi atau tindakan politik
tertentu. Taqwâ membentengi seseorangpembebasan palsu. Suatu pandangan yang
tampak dari luar untuk memperjuangkan kelompok miskin dan tertindas, tetapi
justru pada kenyataan hatinya berbeda.88
Tawhid, kesatuan Tuhan untuk kesatuan Manusia. Memandang tauhid
sebagai kunci hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan kepada al-Qur’an,
baik filosofos, spiritual, hukum maupun politis mesti dilihat sebagai komponen
dari satu jalinan, semuanya diperlukan untuk mengungkapkan keuTuhan pesan-
pesannya, Karena tak ada satu pendekatan secara tunggal bisa mewujudkan
sepenuhnya. Pendekatan al-Qur’an yang dilandasi tauhid menurutnya tak berarti
seluruh dimensinya harus mendapat perhatian atau ekpresi yang sama baik publik
maupun pribadi. Tawhid oleh para penafsir di Afrika Selatan digunakan untuk
melawan pemisahan antara agama dan politik, dan apartheid sebagai
ideologi. Tawhid adalah sumber ideologi dan kerangka rujukan suci. mempunyai
dua implikasi dalam konteks Afrika Selatan pertama pada level
eksistensial, berarti penolakan atas dualisme konsepsi tentang eksistensi Manusia
dimana perbedaan dibuat antara sekuler dan spiritual, suci dan profan, kedua, pada
level sosio pilitik, menentang masyarakat yang menjadikan ras sebagai objeks
alternative bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar entitas.
Pembedaan semacam ini adalah syrik. Jadi antithesis dari tawhidapartheid adalah
syrik.89
Tauhîd memiliki arti "satu" atau "yang menyatu". Tauhîd adalah pondasi,
pusat dan akhir dari seluruh tradisi Islam. Sebagaimana taqwâ, tauhîd adalah
komponen penting prapemahaman sekaligus prinsip penafsiran. Di tingkat
eksistensial tauhîd adalah adalah penolakan terhadap konsep dualisme eksistensi
manusia, yaitu yang sekular dan yang spritual, yang sakral dan yang profan. Di
tingkat sosiopolitik, tauhîd menentang pemisahan manusia secara etnis.

88 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 127.

89Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 92.

45
Pemisahan ini disejajarkan dengan syirik, antitesis dari tauhîd. Praktek rasialisme
Apartheid dalam kerangka ini adalah praktek syirik. Memandang tauhîd sebagai
prinsip hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan kepada Alquran, baik
filosofis, spritual, hukum maupun politis, mesti dilihat sebagai komponen dari
satu jalinan.90
Dalam hermeneutika praksis liberatif, tauhîd menuntut penolakan wacana
yang dilandasi syirik, yaitu dualisme yang memisahkan teologi dari analisis sosial.
Ketiga, an-nâs. Nâs dimaknai sebagai kelompok sosial. Alquran meletakkannya
dalam suatu "dunia tauhîd dimana Tuhan, manusia dan alam menampilkan
harmoni yang penuh makna dan tujuan". Amanat Tuhan diletakkan secara ekslusif
di atas pundak manusia (QS. al-Ahzab [33]:72). Amanat ini mengangkat derajat
materi ke taraf lebih tinggi sebagai pemelihara kehidupan di bumi dan juga
sebagai wakil-Nya (QS. al-Hijr[15]:29. Manusia dibela oleh Tuhan ketika
malaikat menolak atas penciptaannya (QS. al-Baqarah [2]:31. Dalam konteks
politik, kekuasaan rakyat adalah lebih utama dari pada kekuasaan kelompok ras
tertentu.
Esack melihat ada dua implikasi dari fungsi manusia yang mulia tersebut
dalam ranah hermeneutika. Pertama, Alquran haruslah ditafsir dengan memberi
tekanan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan mendukung mayoritas.
Kedua, penafsiran mesti dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi manusia
mayoritas bukan pada kelompok minoritas yang diistimewakan. Namun demikian,
kekuasaan mayoritas harus dilandasi pada prinsip tauhid. Prinsip ini memagari
kekuasaan manusia yang memiliki potensi untuk menjadi otoriter dan mengaku
sebagai wakil Tuhan.
Al-Nas, Manusia sebagai khalifah Tuhan dibumi bagi masyarakat Afrika
Selatan mempunyai dua implikasi hermenutika, pertama menjadi esensi bahwa al-
Qur’an diinterpretasi dengan cara yang memberikan dukungan pada kepentingan
rakyat secara keseluruhan yang mayoritas daripada yang
minoritas. Kedua interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi
kemanusiaan sebagai berbeda dan saling berlawanan dengan minoritas istimewa.
Paham kemanusiaan sebagai kunci hermeneutika juga mempunya dua implikasi

90 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 130.

46
problem teologis:pertama, rakyat sebagai ukuran kebenaran, humanun adalah
suara kebenaran yang identik dengan kebenaran Tuhan, vox populivox kedua,
setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memasuki teks suci. Ide
hermeneutika al-Qur’an menentang konsep tradisional tentang kesucian teks yang
hanya dapat ditempuh oleh individu tertentu.91
An-nas dimaksudkan pula untuk menentang pendapat intelektual tradisional
yang menganggap "kesucian teks". Anggapan kesucian teks menjerumuskan para
penafsirnya pada asumsi bahwa dialah yang paling benar sebagai representasi
Tuhan. Akibatnya, atas nama Tuhan, sang penafsir bisa berlaku otoriter.
Manusialah pemberi makna atas kehendak Tuhan. Perbedaan adalah
keniscayaan.92
Al-mustad’afun, adalah kelas tetindas, marginal lawan mereka
adalah mustakbiruun. Nabi Muhammad berasal dari keluarga tani dan kelas
pekerja. Demikian juga nabi-nabi sebelumnya berasal dari keluarga petani dan
pengembala domba. Mereka mempunyai tujuan menciptakan tatanan sosial
egaliter, mereka menghapuskan ketidak adilan sosio-ekonomi, seperti rente,
bunga, dan semua praktek ekonomi spekulatif dan exploitatif. Al-Qur’an melarang
akumulasi kekayaan, memerintahkan pembebasan wanita dan budak. Banyak ayat
yang menghubungan agama dan humanism dan keadilan sosio ekonomi.
Sudarman menjelaskan bahwa Esack mengartikan konsep mustad‟afun
(kaum tertindas) secara elastis. Rakyat Palestina yang diusir dan diperlakukan
semena-mena oleh Israel adalah tertindas. Namun Esack pernah duduk di hotel
bintang lima di Paris. Di sana ada tiga orang Palestina yang duduk kemudian
mengamuk pada seorang pelayan kulit hitam. Maka yang menjadi penindas adalah
tiga orang Palestina itu. Penindasan inilah yang menjadi “musuh bersama”
kemanusiaan, yang oleh Esack harus dilawan dengan praksis pembebasan yang
berbasis pada pluralisme dan solidaritas antaragama (the basis of pluralism being
postulated in the Qur‟anis, one may say, liberative praxis). Inilah yang dimaksud
Esack dengan proyek hermeneutika pembebasan al-Quran.93

91 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 96-97.

92 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 132-135.

47
mustadh.afun. Mereka adalah orang yang tertindas, dianggap lemah dan
tidak berarti serta yang diperlakukan secara arogan. Mustadhafun berarti mereaka
yang berada dalam status sosial inferior, yang rentan, tersisih atau tertindas secara
sosioekonomis. Alquran sebenarnya menyebut mereka dalam karakter demikian
dengan berbagai kata seperti arâdhil (yang tersisih), 94 fuqara' (fakir) dan masâkîn
(orang miskin), namun yang membedakan dengan kata mustadhaafûn adalah
bahwa yang terakahir ada suatu pihak yang tertanggungjawab terhadap kondisi
mereka. Seseorang bisa menjadi mustadhaf bila ada kebijakan dari pihak yang
berkuasa dan arogan terhadap mereka. Orang atau kelompok yang menindas
adalah mustakbirûn (orang yang arogan, sombong dan menindas).
Alquran membela kelompok mustadhafûn sebagai komunitas yang dihadiri
oleh Tuhan. Para nabi, termasuk Muhammad muncul dari kategori kelompok ini.
Oleh karena itulah, kehadiran Nabi seringkali diidentikkan dengan pembelaan atas
mereka. Tuhan meminjam tangan para Nabi-Nya untuk mengankat derajat
mereka. Pada sisi lain, Tuhan sangat membenci kelompok sebaliknya,
mustakbirûn. Dalam konteks ini, para penafsir seharusnya menempatkan diri di
antara yang tertindas maupun dalam perjuangan mereka, serta menafsirkan teks
dari bawah permukaan sejarah dilandasi gagasan tentang keutamaan posisi kaum
tertindas dalam pandangan Tuhan dan kenabian. Karena itulah Esack bersama
kelompok-kelompok yang pro mustadh?afûn selalu menyuarakan firman Tuhan
QS. al-Qasas [28]:4-8.95 Para penafsir demikian berarti telah menyambung
kontinuitas kenabian untuk lokalitas dan temporalitasnya masing-masing.
Penafsir perlu menempatkan dirinya ditengah kaum marginal dan dalam
perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks dari bagian bawah sejarah,
didasarkan atas paham pilihan Tuhan dan kenabian atas orang-orang tertindas.

93 Sudarman, Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qur'an, Al-


AdYaN/Vol.X, N0.1/Januari-Juni/2015, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. hlm.
96-97.

94 QS Hûd [11]:27.

95 “Dan Kami hendak memberi karunia kepada mustadh'afûn di bumi dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisinya, dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, dan
akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman berseta tentaranya apa yang selalu mereka
khawatirkan dari mereka.” Lihat, Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 136-140.

48
Adl dan qist, keadilan dibangun atas dasar tawhid dan jalan menuju taqwa,
keadilan adalah raison detre, bagi tegaknya agama. Masyarakat Islam diharapkan
berpegang pada keadilan sebagai basis kehidupan sosio-ekonomi. Lawannya
adalah dulm dan udwan. Keadilan adalah ukuran untuk melakukan perjuangan
pembebasan. Visi keadilan al-Qur’an harus mensuplai gagasan visioner terhadap
perjuangan ini. Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu
untuk dikatakan pada teks, teks juga memiliki sesuatu untuk dikatakan pada
konteks (ketidak adilan dan penindasan Afrika Selatan). Dalam situasi ketidak
adilan al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan
dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi, pertama, harus
mencari jalan mendekati al-Qur’an untuk digunakan untuk melawan ketidak
adilan: netralitas dan objektivitas dalam konteks ini adalah
dosa. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan
menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai
yang terkandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas.96
Qisth dan „adl. Dua kata ini merujuk pada makna sama, yaitu keadilan,
berlaku adil dan sama. Keadilan digambarkan oleh Tuhan sebagai keteraturan
semesta (QS. al-Jashiyah [45]:22). Orang-orang yang berjuang dan mati karena
memperjuangkan keadilan dianggap sebagai mati "di jalan Allah" (QS. Ali-Imrân
[3]:20). Umat Islam dituntut untuk menegakkan keadilan sebagai basis kehidupan
sosiopolitik. Wilayah sosial yang sangat mungkin diselewengkan menurut Alquran
adalah soal harta anak-anak yatim dan anak yang diadopsi, hubungan kontraktual,
masalah hukum, hubungan antar agama, bisnis dan urusan dengan para musuh.
Alquran mempostulatkan ide keadilan sebagai basis penciptaan alam. Keteraturan
alam semesta dilandasi oleh keadilan. Penyimpangan atasnya berarti kekacauan.
Status quo karena itu adalah penentangan atas keadilan ini. Kondisi sosial
ekonomi yang tidak merata, akses politik yang timpang serta tidak ada pembagian
merata antar ras, suku dan budaya adalah lawan dari keadilan. Untuk upaya ini,
Alquran menegaskan agar manusia menjadi “saksi” Tuhan bagi keadilan (QS. an-

96 Sudarman, Pemikiran Farid Esack, hlm. 103-105

49
Nisâ. [4]:135.97Menjadi “saksi” maksudnya menjadi orang yang terlibat dalam
upaya penegakan keadilan bagi manusia.
Jihad adalah perjuangan dan praksis. artinya tindakan sadar oleh komunitas
Manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik. Didasarkan
pada realisasi bahwa Manusia menciptakan sejarah. Dalam konteks Afrika Selatan
jihad adalah paradigma perjuangan pembebasan dalam Islam, jihad dijalan Allah
adalah bagian dari iman, jihad untuk keadilan dan kebebasan Afrika Selatan
adalah suci98.
Jihad. Secara harfiah, jihâd berarti “berjuang”, “mendesak seseorang” atau
“mengeluarkan energi atau harta”. Jihâd memiliki makna lebih luas mencakup
perjuangan untuk mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum. Berbagai ayat
yang berbicara jihâd seperti QS. an-Nisâ. [4]:90; al-Furqân [25]:52, at-Taubah
[9]:4, dan lain-lain. Esackmenerjemahkan jihâd sebagai “perjuangan untuk
praksis”. Praksis menurutnya didefinisikan sebagai tindakan sadar yang diambil
suatu komunitas manusia yang bertanggungjawab atas tekad politiknya sendiri.
Alquran mendasarkan teori juga berdasarkan praksis seperti dalam QS. al-
„Ankabut [29]:69.99 Alquran menetapkan jihâd sebagai jalan untuk menegakkan
keadilan.100Sebagai kunci hermeneutika jihâd diperlukan sebagai kerangka
intelektual organik atau penafsir organik.
Di bawah ini teori Penafsiran Farid Esack.101

97 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm, 141-144.

98 Sahiron Syamsudin dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer antara. Wacana, Yogyakarta 2001, hlm.
193-209

99 “Orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan Kami.”

100 Farid Esack, Alquran, Liberasi, hlm. 145-146.

101 Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progresif menuju Tafsir Pembebasan, hlm. 90.

50
Dengan konteks masyarakat Afrika Selatan yang sedang tertindas, Esack
mencoba meramu sebuah metodologi untuk praksis pembebasan.
Hermeneutikanya tidak lahir dengan sendirinya masih terpengaruh oleh pemikir
sebelumnya, namun Farid Esack menambahkan 6 kunci kunci penafsiran. Farid
Esack menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks particular dan responsinya
terhadap kontek tanggapan audiens serta menentukan arti penting relevansi teks
dalam konteks kontemporer. Sehingga ditemukan makna baru yang dibutuhkan
yakni makna baru yang sesuai dengan kebutuhanan konteks particular.
Teorinya pertama kali didasarkan pada pembacaan terhadap realitas praksis.
Ketika relitas tersebut harus diubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana
dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena semangat teks
sesungguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Ayat-ayat dimaknai secara
baru untuk untuk mendukung gagasan dan upaya memberi perubahan sosial
masyarakat sesuai dengan elan vital al-Qur’an. Inilah rumusan khas hermeneutika
Farid Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya.
Hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack berangkat dari konteks baru
kepada teks. Hasil pembacaan terhadap teks dilanjutkan dengan praksis, dalam
kajian tekstual Farid Esack menempatkan hermeneutika dalam kerangka
fungsionalisme, yakni bahwa teks-teks al-Qur’an dapat disebut wahyu jika telah
melewati uji fungsional dan pragmatik, karena wataknya yang transformatif,
analisis ini mengubah bagaimana suatu teks diterima menjadi beragam pemaknaan
atas teks yang dimungkinkan. Interpretasi teks kemudian terfokus pada bagaimana
pemaknaan teks dengan hubungan kontek sosial tertentu. Dalam teori
hermeneutika kontemporer jenis aliran ini termasuk dalam hermeneutika obyektif
sekaligus fenomenologis model hermeneutika Faul Recour.102

102 E sumaryono, Hermeneutika, Kanisius,( Yogyakarta 1993), hlm. 102.

51
Selanjutnya, paradigma diatas diaktualisasikan dalam sebuah kerangka kerja
untuk mencapai kebebasan yang mewujud dalam refleksi. Kemudian dilanjutkan
ketingkat praksis103melalui lingkaran hermeneutika(hermeneutical circle).104
Hermeneutika dikendarai bukan hanya untuk membaca kenyataan, tapi juga
digunakan sebagai titik tolak mengubah struktur kenyataan dalam suatu proses
yang utuh dan integral, untuk semangat pembebasan.105
Esack menggunakan lingkaran hermeneutika dengan asumsi bahwa, paling
tidak tiga indikasi yang menunjukan kajian-kajian tafsir konvensional pada
dasarnya beroperasi hermeneutika. itu dibuktikan dengan,pertama, terdapat
pembahasan tentang asbabun nuzul, dan nasikh mansukh, kedua, adanya aturan,
teori, atau metode penafsiran al-Qur’an sejak dibakukannya Al-Qur’an, ketiga,
munculnya berbagai katagori semisal tafsir syi’ah, tafsir muktazilah, tafsir hukum,
tafsir filsafat, dan lain sebagainya yang menunjukan adanya kesadaran kelompok
tertentu ideologi tertentu, periode tertentu dan horizon sosial tertentu dari tafsir 106,
ketiga hal di atas menurut Esack indikasi adanya kesadaran akan historisitas
pemahaman yang berimplikasi kepada prularitas penafsiran, oleh karena itu
meskipun tidak disebut secara definitive, menurut Esack, dapat dikatakan corak
hermeneutika yang berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya sudah
dimiliki dalam ulumul Qur’an.107
Menurut Esack dengan kunci-kunci diatas, mengupayakan hermeneutika al-
Qur’an dalam situasi ketidakadilan, berarti menjalani teologi dan mengalami iman
sebagai solidaritas dengan kaum tertindas dan tersisih dalam perjuangan
pembebasan. Maka menyimpulkan bahwa hermeneutika ini merupakan alternatif
baru dari teologi tradisonal ataupun modern. Dengan beberapa titik perbedaan
dibawah ini, pertama, perbedaan paling signifikan adalah dalam soal lokasi
penafsir, situasi penindasan Islam hanya bisa benar-benar diresapi sebagai praksis

103 F wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya,( Jakarta
Pustaka sinar harapan, 1987), hlm. 10.

104 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat,( Gema Insani Press, Jakarta 2006), hlm. 292.

105 Hans George Gadamer, kebenaran dan metode, pengantar filsafat hermenutika. (truth and
method),( Pustaka pelajar, 2010), hlm. 241

106 Farid Esack….. al-qur’an,…hlm..61.

107 Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Tema-tema Kontoversl,( el-SAQ Press, Yogyakarta.
2005), hlm. 14.

52
solidaritas yang liberatif. Kedua, teologi hidup dalam dunia kekerasan dan
harapan, refleksi dan aksi, spiritual dan politik. Ketiga, kebenaran bagi penafsir
yang terlibat, tak pernah mutlak. Ketika hermeneutika seseorang terus bergerak,
dia terdorong kearah kebenaran yang kemudian mengarah pada praksis liberatif
yang lebih besar.108
O. Tanggapan Atas Hermeneutika Farid Esack
1. Tanggapan Terhadap historisitas Al-Qur’an
Setelah mengetahui bagaimana pandangan Farid Esack terhadap al-
Quran. bagaimana teori hermeneutika bekerja, maka sekarang akan
dapat dilihat bahwa metode yang dikembangkan Farid Esack hampir sama
dengan pemikir-pemikir kontemporer lainnya. Karena pada prinsipnya
hermeneutika tidak mempunyai hasil penafsiran yang paten, pasti hasilnya
akan relatif, dan subjektif, berubah dengan ruang dan waktu. Selain itu
apabila dilihat dari akar sejarah hermeneutika maka akan terlihat sisi
perbedaan yang sangat signifikan mengenai urgensi hermenenutika dengan
tafsir ulama klasik. Hermeneutika yang berasal dari pandangan hidup
Barat dan tidak bebas nilai, diciptakan dari pola fikir Barat, produk
kebudayaan, mitologi, dan filsafat Yunani.109 Berbeda dengan para penafsir
ulama tafsir terdahulu, mereka menafsirkan al-Qur’an dengan cara
pandang yang benar terhadap al-Qur’an, tidak ada keraguan didalamnya
mengenai otentisitas al-Qur’an. Metode tafsirnya berasumsikan keyakinan
bukan keraguan. menafsirkan dengan bekal berbagai perangkat ilmu,
terutama, ilmu hadist, ilmu bahasa, ushul fiqih dan perangkat lainnya.
Farid Esack berasumsi bahwa ulama terdahulu berada dalam proses
hermeneutika. Dengan alasan adanya asbabunnuzul dalam al-Qur’an,
adanya nasikh dan mansukh, dan munculnya beberapa aliran tafsir yang
berkembang. Untuk menanggapi argument tadi maka perlu diketahui
bahwa dalam al-Qur’an hanya sebagian kecil yang
mempunyai asbabunuzul. Menurut Al-Ja’bary, ada dua Cara Turunnya Al-
Qur’an. Pertama, turun Allah turunkan langsung/ secara tiba-tiba tanpa ada
kejadian dan sebab-sebab tertentu contohnya ketika Allah memerintahkan

108 Esack… Qur’an…hlm.150.

109 Hamid Famhi Zarkasy, dalam, Buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata,
Semarang 2010, hlm. 483

53
shalat, menunaikan Zakat, atau perintah pergi haji. kedua, Allah turunkan
setelah adanya pertanyaan, berkenaan dengan kejadian dan sebab-sebab
tertentu, namun para ulama tidak menjadikan sabab Nuzul sebagai
sandaran utama dalam memahami al-Qur’an. Akan tetapi ada banyak
hikmah ketika mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Kemudian
ulama tafsir klasik semuanya sepakat akan keotentikannya al-Qur’an
sebagai wahyu ilahi.110 Mereka menggunakan ilmu sabab nuzul sebagai
upaya menjelaskan atas keotentikan riwayat yang diterima dari Rasulullah
Saw, atau dari para sahabat. Semuanya disandarkan pada hadist Nabi
sebagai pemegang otoritas.111
Para ulama tidak bisa langsung melacak, memaknai, dan
menafsirkan al-Qur’an tanpa terkecuali mengetahui sebab-sebab turunnya
al-Qur’an. Diantara hikmah mengetahui ilmu sabab nuzul:Pertama, dengan
mengetahui sabab nuzul maka akan menegetahui hikmah dibalik turunnya
syari’ah Islam. Kedua, jalan terbaik untuk memahami ma’na yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. ketiga memperjelas supaya tidak
terjadi pertentangan.112
Meskipun ulama sepakat atas pentingnya asbabunuzul, namun dalam
realitasnya, sedikit sekali al-Qur’an yang mempunyai sabab nuzul. Dilihat
dari kuantitas surat, memang hampir semua surat ada asbabunuzulnya, tapi
dalam katagori ayat dari 6234 ayat, maka yang mempunyai asbabunuzul
hanya sebanyak 715 ayat (al-wahidi),113 711 ayat, (Al-Suyuti)114 dan 333
ayat (Muqbin Hadi al-Wadi’i). Dengan demikian ayat-ayat yang
mempunyaiasbabunnuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah
keseluruhan ayat dalam al-Qur’an.115 Indikasi sabab nuzulyang
110 Muhammad Imarah, Tayaraotul Fikri al- Islamiy, Darusyuruq, Mesir, 2008, hlm. 184.

111Mannaul Khalil Qattan , Ulumul Qur’an, Mansyurat Asr Hadist, 1999, hlm. 73.

112 Mannaul Khalil Qattan , Ulumul Qur’an, hlm. 73.

113 Al-Wahidi, Asbabunuzul, Bairut, Darl Fikr, 1988, hlm. 122.

114 Jalaluddin, as-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an juz, 1-2 beirut Dar fikr, 1979, hlm. 29.

115 Makalah, Roem Rowi, dalam buku ,Dlektika Islam dengan Problem Kontemporer, UIN Press,
LKiS, 2006, hlm. 103.

54
dijelaskan hadist pun demikian menurut Suyuti, dalam kitabnya, hanya
memuat 994 hadist dari 711 ayat yang dijelaskan. Sebagian hadist yang
dijelaskan tidak menerangkan secara spesifik tentang sabab nuzul, namun
hanya menerangkan posisi dimana al-Qur’an diturunkan,
Madinah atau Makkiyah.116 Senada dengan Muhammad imarah,
Bahwa, Asbabunujul bukan terjadi atas ayat Al-Qur’an karena itu
merupakan kesesuaian turunnya al-Qur’an antara satu ayat dengan ayat
lainnya, sehingga mempermudah memahami ayat. Para ulama klasik
telah menetapkan ilmu sabab nuzul dengan katagori yang mapan dan
paten. Di antaranya, pertama, tidak ada pendapat ulama yang
menghilangkan makna ayat dari kalam al-Qur’an secara
keseluruhan. Kedua, tidak ada dalam tradisi ulama fiqih atau tafsir, yang
memasukan tarikh Islam sebagai sandaran ilmu sabab nuzul, atau
memisahkan ayat dari sabab nuzulnya. Ketiga, metode tafsir yang dipakai
selalu disandarkan pada keumuman lafad, dan memperhatikan dalil-
dalil tafsir lainya untuk sebab-sebab turunnya ayat. Bahkan para mufasir
mengumpulkan, membandingkan ayat-ayat lainnya dalam konteks yang
sama secara universal tidak particular.117 Dengan keterangan tadi, maka
pendapat Esack yang selalu membawa kepada sabab nuzul dan konteks
historis al-Qur’an adalah usaha yang dipaksakan, nantinya banyak ayat-
ayat yang dipahami atas kebutuhannya, dan mengabaikan ayat-ayat yang
lain yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Maka berimplikasi pada
keumuman lafadz al-Qur’an, karena d mengambil dari hal yang
particular(khusus).
2. Kerancuan Hermeneutika.
Esack tidak secara langsung mengakui menggunakan hermeneutika
dalam metode memahami al-Qur’an, Namun dengan keterpengaruhan oleh
Rahman dan Mohammad Arkoun, maka dapat dijadikan justifikasi. Karena
Rahman dan Arkeon jelas-jelas dengan kentara menjadikan hermeneutika
sebagai epistimologi dalam memahami al-Qur’an. Untuk melacak

116 Makalah, Roem Rowi, dalam buku ,Dlektika Islam, hlm. 106.

117 Muhammad Imarah, Suqutul Guluw Almaniyi, Darusyruq, Mesir, 2002, hlm. 248.

55
hermeneutika yang gunakan dalam menafsiri al-Qur’an kiranya agak
kesulitan, karena dalam menggunakan metodenya tidak konsisten, dan
selalu ada keterpengaruhan. Misalnya pembebasan di Afrika Selatan Ia
gunakan lingkaran hermeneutiknya Gutierezz,.118 Dalam wacana
dekonstruksi syari’ah Ia gunakan regresif progresifnya Arkoun. Sehingga
mendapati hasil tafsiran yang baru yang sesuai dengan konteks saat ini. 119
Dalam mencari justifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan
Islam gunakan teorinya Rahman. Yaitu penafsir dipengaruhi oleh moral
sosial yang terjadi. Dengan dipengaruhi oleh sosio-politik,
maka membebaskan diri dari tradisi-tradisi, tafsiran-tafsiran tradisional,
serta kungkungan teologis yang telah mapan. Ia melihat dengan menafsiri
kembali kitab suci versi orang-orang tertindas, terpecah secara rasial,
dieksploitasi secara ekonomi, dan patriarkis.120 Implikasinya terhadap
penafsiran hasilnya dengan kemauan sendiri tanpa mempunyai metode
yang baku. Pokoknya yang menjadi kunci dalam melakukan semua
interpretasi ulang ialah adanya kesenjangan ekonomi politik, ras, agama,
budaya, dengan tolok ukur membebaskan kaum tertindas, untuk mencapai
keadilan.
Akan tetapi apabila ditelisik lebih dalam lagi, memakai teori
hermeneutika Gadamer. Terutama ketika menyampaikan bahwa semua
penafsir, maupun penafsiran dipengaruhi oleh sejarah, dan bahasa.
Sepatutnya apabila para tertindas, membuat penafsiran baru menurut
dirinya dan kebutuhannya pada konteks saat ini.121 Maka itu termasuk
hermeneutika filosofisnya Gadamer, yang menyatakan bahwa, untuk
memahami segala sesuatu tidak memerlukan metode. Secara ontologis
kebenaran itu sudah ada. Bersama dengan sejarah dan bahasa. kemudian,
pemahaman selalu melibatkan penerapan(aplikasi) sebuah teks ke situasi
penafsir (pembaca), Dengan demikian, jika masing-masing penafsir
118 Farid… Qur’an …. Hlm. 34.

119 Mohammad Arkoen, Dekonstruksi ..hlm. 199.

120 Mohammad Arkoen, Dekonstruksi, hlm. 113.

121 Farid Esck…. Qur’an,,…hlm.,121.

56
mempunyai situasi yang berbeda, maka otomatis pemahaman akan teks
akan berbeda pula. Oleh karena itu, teks dikatakan sudah dipahami jika
teks dipahami secara berbeda oleh pembacanya sesuai dengan perbedaan
ruang dan waktu.122 Apabila diterpakan pada penafsiran Al-Qur’an dengan
mengikuti hermeneutikanya Gadamer, seolah-olah penafsir akan selalu
dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budayanya.123
Bahaya hermeneutika apabila diterapkan dalam kajian al-Qur’an
akan terjadi kerancuan arti. Banyaknya aliran hermeneutika yang
berkembang. tapi belum ada tafsiran yang dapat dipertangungjawabkan
secara kolektif, sehingga hasil dari interpretasi melalui hermeneutika
selalu membawa kepada skeptik. Mulai dari muncul sampai pada
puncaknya, banyak perdebatan didalamnya. Hermeneutika mengandung
asumsi dan konsekuensi. Diantaranya adalah, pertama, hermeneutika
menganggap semua teks sama, semuanya merupakan karya Manusia.
Karena asumsi ini lahir dari kekecewaan umat kristiani terhadap bible.
Teks yang selama ini dianggap asli ternyata dalam perkembangannya ada
campur tangan Manusia. kedua, hermeneutika menganggap setiap teks
adalah produk sejarah, asumsi ini tepat untuk bible karena sejarah bible
sangat problematik, dengan munculnya berbagai versi bible yang
berkembang. Maka hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an yang
kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu. Dan pesan-pesannya
ditujukan kepada seluruh umat. Ketiga, hermeneutika menghendaki
pelakunya untuk menganut relativisme epistimologis. Tidak ada tafsir yang
mutlak semuanya relative, bisa kebenaran bagi seseorang, bagi yang
lainnya belum tentu bisa diterima. Kebenarannya tergantung pada konteks
tertentu.124 Selanjutnya praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap
skeptik, selalu meragukan kebenaran darimanapun datangnya.

122 Inyak Ridwan Muzir. Hermeneutika Filosofis Hans, George Gadamer, AR-RUZZ MED,
Yogyakarta, 2010, hlm.149.

123 Adnin Armas, dalam buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata, Semarang
2010, hlm. 532.

124 Syamsudi Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Gema Insani press, Jakarta 2008, hlm.
182

57
Argementasi diatas didukung oleh Naquib Al-latas, bahwa tafsir
benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, Kristen, dan tidak
sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur agama lain. Ilmu tafsir
al-Qur’an sangat penting Karena merupakan ilmu dasar yang diatasnya
dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian pandangan, dan kebudayaan
Islam.125 Kritik terhadap al-Qur’an melalui proses penerapan metode
hermeneutika sangat berimplikasi fatal, sebab ketika seorang hermeneut
menafsiri al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutika secara tidak
langsung telah mengubah status al-Qur’an yang tadinya kalamullah,
menjadi teks yang bersifat Manusiawi. Terjebak dalam ruang dan waktu.
Maka dengan hermeneutika seseorang dapat melakukan perubahan
teks (nash), dan perubahan makna aslinya untuk dapat didekonstruksi
sesuai dengan konteks sosial yang tidak lain adalah humanisme. Itu yang
terjadi pada Farid Esack.
Dengan berbagai argumentasi di atas, maka sepatutnya Esack
dimasukan sebagai pemikir liberal. telah menafsirkan al-Qur’an dengan
metodologi hermeneutika.
Meskipun menentukan kunci-kunci hermeneutika sebagai tolok ukur
bagi seorang penafsir, akan tetapi telah merubah paradigma tafsiran dari
sentralisasi teks yang merupakan wahyu, di ubah menjadi Manusia dan
konteks yang menjadi prioritas utama. Sehingga mengubah paradigma
teosentris menjadi antoprosentis, terlihat dengan kekecewaan Esack
terhadap teologi dan penafsiran konvensional yang selalu berkutat hanya
sebagai kebutuhan Tuhan semata. Tidak lebih lanjut kedalam urusan sosial
Manusia. Maka merumuskan teori penafsiran tersendiri sehingga
untuk diwilayah tertentu dalam hal ini di aplikasikan di Afrika Selatan.
Hasil dari praksis yaitu terciptanya kebebasan dari kaum apartied, untuk
mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Afrika pada konteks tertentu.
P. Aplikasi Praksis Tafsir Esack.
1. Pluralisme Agama.

125 Wan Mond Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Mizzan, Bandung, 1998.

58
Menurut Esack, al-Qur’an sebenarnya secara tegas dan jelas
menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama.126 “Sungguh,
orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di
antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat
kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka tidak
ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya
keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman
kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal
salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka127. Pernyataan ini
sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla128dan Thabathaba’i.129 Menurut
Ridla, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa
memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah
tidak mengutamakan satu kelompok dengan mendalimi kelompok yang
lain. Thabathaba’i dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada
nama dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung
oleh iman dan amal shalih. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat
Manusia. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’i, teks-teks
tersebut juga sebagai respon atas sikap keberagamaan yang sempit. Rasyid
Ridla menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam
sektarnisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan
kebajikan” Dalam membantu proyeknya untuk membebaskan yang
tertindas130
Imbasnya tokoh liberal Indones Zuhairi Misrawi menafsiri yang
sama dengan keterangan diatas bahwa:

126 Hamid. Fahmi Zarkasy. Liberalisasi Pemikiran Islam, CIOS- ISID, 2008, hlm. 104.

127Esack,..Qur’an…hlm. .83.

128 Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, Beirut, Dar al-Makrifah, 1980, hlm. 336.

129 Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973, hlm. 193

130 Rasyid Ridla, Tafsir al…….,hlm. 337.

59
Surga dijanjikan Tuhan kepada umat agama-agama lain dengan
beberapa syarat dan criteria tertentu. Tuhan menjadikan keragaman agama-
agama sebagai sunatullah yang harus digali manfaatnya dan
hikmahnya. Dan Tuhanlah yang memilih hambanya baik yang mendapat
petunjuk maupun tersesat. dalam ayat diatas disampaikan bahwa umat
agama-agama lain akan masuk surga. Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen,
dan kaum shabh yang beriman dan beramal shaleh adalah mereka yang
dijanjikan surga.131
Ulama klasik Berbeda dengan pandangan diatas dalam menafsirkan
ayat tersebut. Ibn Katsir,132 Baghawi,133 Fahruddin Razi,134 semuannya
sepakat, bahwa yang dimaksud dengan iman dalam ayat itu dalam
menunjukan iman dengan kenabian Muhammad, maka itulah yang
selamat. Dengan konsekuensi mereka meninggalkan syari’at-
syari’at sebelum kedatangannya kemudian beriman kepada Nabi
Muhammad SAW. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai Nabi
terakhir kepada umat Manusia, maka wajib bagi seluruhnya untuk
mempercayainya dan mengikuti seluruh syari’at yang dibawanya.
Diperkuat oleh al-Maraghi bahwa, orang yang beriman kepada ajaran Nabi
Muhammad. Dari kalangan Yahudi, Nasrani, atau Shabi’in, apabila mereka
teguh akan keimanannya kepada Allah dan rasulnya (Muhammad), maka
dijamin keselamatan di Akhirat kelak.135
Konsekuensi logisnya apabila ingin ada keselamatan sebagaimana
yang telah dituntutkan syari’at Muhammad, maka ikutilah, namun apabila
tetap berada dalam agama Yahudi, Kristen, dan lain sebagainya silahkan
saja berada pada koridor dan jalan masing-masing jangan mencampur
adukan. Dalam Islam telah jelas diatur, untukmulah agamamu, dan

131 Zuhairi Misrawi, al-Qur-an Kitab Toleransi, FITRAH, Jakarta, 2007, hlm. 310.

132 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kasir, zuj I, hlm. 258

133 Abu Husain Ibnu mas,ud al bagawi, Tafsir Baghawi. zuj 1, Daruul Tabi’ah, 1997, hlm. 103

134 Fahrudinn al-Razi, mafatihul ghaib zuj 2 ttd,, hlm. 135,

135 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz I Darul-Fikr, Siber, 2006, hlm. 78.

60
untukulah agamaku. Jadi telah jelas bahwa tidak boleh ada campur aduk
aqidah sebagaimana yang dilontarkan oleh Esack, dalam hal ini pemikiran
Esack telah dipengaruhi oleh paham pluralisme agama, yang mengklaim
ada banyak jalan kebenaran menuju satu Tuhan. Ataupun yang menyebut
ada kebenaran diluar agama Islam.136 maka pemahaman seperti itu adalah
keliru.
2. Kebebasan
Dalam gagasan hermeneutikanya Esack selalu menggebor-
gemborkan tentang kebebasan karena itu merupakan manisfetasi dari
perjuangannya untuk rakyat Afrika. Sehingga menginginkan terciptanya
kebebasan Manusia dari ras, agama, ekploitasi dan kungkungan ekonomi
dalam rezim Apartheid.137 Maka gunakan kunci-kunci hermeneutika untuk
sebagai tolok ukur supaya penafsiran seorang penafsir tidak terjerumus
kedalam subjektifitas penafsiran, namun telah lupa dengan meninggalkan
kaidah-kaidah penafsiran para mufassir terdahulu, kemudian menggunakan
alternatif hermneutika maka telah mendekonstruksi metode penafsiran.
Pendapat Esack di atas problematis. Karena kadang-
kadang menggunakan pembebasan Al-Qur’an, teologi pembebasan, dan
hermeneutika pembebasan. Ketiga istilah itu digunakan Esack. Misalnya
pembebasan al-Qur’an digunakan ketika mengambil contoh dari para Nabi
dan Rosul misalnya ketika Nabi Isa melakukan pembebasan dari
kungkungan Fir’aun. Dalam konteks Afrika Selatan meniru teologi
pembebasan amerika latin, perlu adanya perlawanan dari kaum tertindas
sebagai mana yang terjadi di Amerika Latin.
Terkait dengan penafsiran gunakan hermeneutika pembebasan.
sebagai, metode baru dalam mengaktualisasikan ayat-ayat yang sesuai
dengan zaman yang sedang berkembang saat ini. Untuk mencapai
keadilan yang dimaksudkan maka melakukan pembacaan ulang terhadap

136 Orang yang pertama kali mewacanakan diatas lah, Jon Hik,, dan Wilfret C. Smith, Wacana
pluralisme, Jon Hick Menganjurkan Keharusan “ transformasi orientasi dari pemusatan agama,
menuju pemusatan Tuhan. ini lihat dalam buku: Anis Malik Thaha. Tren Pluralisme Agama,
Gema insane Press Jakarta 2005, hlm. 77-89

137 Esack… al-qur’an, hlm. 123.

61
al-Qur’an, dalam konteks kontemporer. Ia melihat banyak ketimpangan
yang terjadi ketika tradisi, dan penafsiran ulama-ulama konservatif (dalam
pandangannya) dipertahankan. makanya perlu ada gagasan baru dalam
memahami al-Qur’an.
Dalam hal ini terjebak obsesinya. Untuk membebaskan kaum
tertindas, dengan meninggalkan semua tradisi, tafsir klasik terdahulu perlu
diinterpretasi ulang. Sebagai manifestasi dari
perjuangannya. menginginkan secara langsung menggali al-Qur’an
menurut tafsiran kaum tertindas.138 Maka tentukan kunci-kunci diatas
sebagai tolok ukur dalam menafsiri ayat. Penafsiranya kadang
menggunakan ayat sesuai dengan konteks yang sedang terjadi, melewati
metode-metode tafsir klasik, untuk mendapatkan tafsiran dalam standar
mereka. mengambil ayat yang mendukung dan mengabaikan metode
tafsir klasik, diganti dengan metode hermeneutika pembebasan.
Metode pembebasan al-Qur’an bukanlah pertama kali dilakukan.
Revolusiner Iran Ali Syari’ati,139 Asghar Ali Enginer,140 pernah mengusung
metode ini yang menjadikan justifikasi al-Qur’an sebagai teks
pembebasan, terbebas dari ekploitasi, kesenjangan ekonomi sosial,
patriarki, ketertindasan. Asghar berkesimpulan bahwa Islam yang tertumpu
pada pada al-Qur’an mempunyai perhatian sentral pada keadilan sosial
untuk membebaskan kaum yang lemah dan tertindas, pada dasarnya wahyu
menutur Asghar secara esensl bersifat religious, namun tetap menaruh
perhatian pada situasi yang memiliki kesadaran sejarah. 141 Demikian juga
yang digagas oleh Hasan Hanafi dengan hermeneutika pembebasan, dalam
proyek Islam kirinya untuk menguak unsur-unsur revolusi dalam
agama. Ia Menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi,
dengan kata lain memaknai agama sebagai revolusi. Dalam hal ini, agama

138 Esack, Qur’an, hlm. 57.

139Esack, Qur’an, hlm, 58.

140 Revolusioner asal Iran yang dengan Nama asli Muhammad Taqi Syari’ati, lihat Ali Rahnema,
Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, ERLANGGA, Jakarta, 2000, hlm,17.

141 Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab kritis, kompas med nusantra, Jakarta 2004, hlm 96.

62
menjadi landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman.142 Maka ketika
kelahiran agama dipahami sebagai protes terhadap masyarakat dan cara
hidupnya, disinilah sebenarnya apa yang dimaksud dengan dimensi kritis
dan revolusioner dari agama. sehingga agama lahir untuk menentang
segala bentuk ketidak adilan dan ketimpangan sosial lainnya.143
Maka karena itu perlu memahami makna dari pembebasan, apakah
itu kebebasan, hak asasi Manusia, atau lain sebagainya. Mengacu kepada
pendapat Muhammad Imarah, bahwa diera kontemporer ini umat Islam
sedang berada dalam perang terminologi, oleh karena itu perlu dijelaskan
bahwa terminologi yang berkembang di dunia muslim saat ini dipengaruhi
atau kiriman dari Barat. Di antanya adalah pembebasan.144
Padahal dalam Islam sudah ada istilah khusus mengenai hal itu.
Kebebasan menurut Islam adalah satu hak asasi Manusia dan kewajiban
ilahiyyah. Manusia dibebani taklif, syar’I (beban tugas syari’ah), yang
hukumnya wajib. Maka kebebasan dalam Islam bersifat substantif
sebagaimana dengan kedudukan hidup sebagai titik awal dan akhir dan
pangkal hubungan Manusia dengan keberadaanya di dunia ini. Manusia
sebagai khalifah dibumi ini, mempunyai kebebasan sebagai khalifah bukan
kebebasan sebagai penguasa bumi. Bebas dalam batasan
kapasitas Manusia sendiri, bukan manusia sendiri yang menciptakan
kebebasan.145 Manusia bebas dalam kerangka, dan tujuan sebagai
pemegang amanah dalam melaksanakan tujuan-tujuan syari’ah. Karena
syari’ah tidak bertentangan dengan kebebasan. Beberapa ciri pokok
kebebasan dalam syari’ah. Pertama, Syari’at Islam tidak menetapkan
kebebasan yang betentangan dengan kemajuan umat. Kedua, cakupan
kebebasan dalam Islam sangatlah luas, kebebasan ini tidak dipengaruhi
oleh kondisi, tempat atau zaman tertentu, karena kebebasan dalam Islam

142 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 2007.hlm.34.

143 Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Kiri Islam Hasan Hanafi, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta 1999.hlm. 56.

144 Muhammad Imarah, Perang Terminology, Islam versus Barat, Rabanni Press. 1998.hlm.xv..

145 Muhammad Imarah, Perang Terminology, hlm. 147.

63
bersifat umum dan fkelsibel. seseorang tidak bisa merasakan kebebasan
dalam Islam kecuali telah merasakan sendiri perubahan dalam Islam
setelah masuk Islam.146 Ketiga ajakan kebebasan dalam Islam amatlah kuat,
sehingga menembus relung hati kaum musyrikin. Jadi kebebasan dalam
Islam adalah kebebasan yang fleksibel serta dalam koridor syari’ah sesuai
dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Adapun pembebabasan menurut Al-Attas, ialah pembebasan dari
tradisi-tradisi yang berunsurkan kekuatan ghaib, mitologi, animism,
kebudayaan yang bertentangan dengan Islam kemudian pembebasan dari
kungkungan sekuler terhadap pola pikir umat Islam.147Jadi kebebasan yang
diusung oleh Farid Esack, kekebebasan yang menghilangkan nilai-nilai
agama, menentang syari’ah dan keterikatan manusia dengan penciptanya.
Maka ini dapat dijadikan justifikasi bahwa ia telah dipengaruhi oleh paham
sosialis yang menjauhkan agama. Yang menjadi prioritas utama ialah
kemanusiaan.
Menurut Esack, al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas
menunjukkan adanya semangat pembebasan. Hal ini jelas bahwa Esack
bermaksud melegitimasi sebuah ayat untuk melawan ketidakadilan rezim
apartheid148 seperti pada surat al-Qasash ayat 5;

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang


yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
(bumi). (QS. Al-Qasash : 5)
Bagi Islam fundamentalis istilah mustadl’afun hanya diberlakukan
untuk kalangan muslim. Sedang bagi Islam progresif (termasuk Esack)
istilah tersebut berlaku bagi semua orang yang tertindas di Afrika Selatan
terlepas dari latar belakang agamanya, seperti pada ungkapannya;

146 Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, Pusataka Kausar, Jakarta, 2005. Hlm. 124.

147 Al-Attas, Islam dan sekularisme. PIMPIM, Bandung, 2010, hlm 56

148 Achmad Khudori Soleh, Erik Sabti Rahmawati. Kerjasama Umat Beragama dalam Al-Qur’an
Perspektif Hermeneutika Farid Esack. (Malang: UIN Maliki Press. 2011). hlm.100

64
Tugas kaum muslimin adalah mempersatukan kekuatan progresif di
kalangan mustadl’afun, berperan serta demi kesatuan maustadh’afun,
meneriakkan dengan lantang pada para penindas: jika kamu memerangi
orang-orang lemah atau menghalangi jalan orang-orang tertindas, kami
diperintahkan Tuhan untuk membela diri menentang ketidakadilan dan
penindasan.
Selain itu bagi Esack acuan mustadh’afun pada bani Israil yang
ditindas oleh Fir’aun, mencerminkan posisi utama Tuhan bagi kaum
tertindas. Hal tersebut menandakan bahwa janji pembebasan tetap ada
walaupun dalam ketiadaan iman kepada Tuhan dan para Nabi-Nya.
Dengan argumen ketertindasan, mereka harus diselamatkan dahulu
sebelum menekankan keimanan kepada mereka.
Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel (Afrika
Selatan) temapt Farid Esack lahir boleh dikatakan sebagai kawasan yang
kurang dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam.Sebagaimana Islam
di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar Jazirah Arab dan Afrika
bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-
studi keislaman. Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf
tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam – dan oleh karenanya –
mengeklusi konvisinitas pemikiran keislaman yang muncul di kawasan
lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman yang timbul di luar Arab
selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of
Islam).
Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul
suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya
Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang
berambisi mewujudkan “Islam Afsel.” Struktur penindasan yang nyaris
sempurna seperti digambarkan Esack ketika melukiskan penderitaan
ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid,
patriarkhi dan kapitalisme, memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas
Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat
akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack sebagai “tempat berteologi”

65
(locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis
pembebasan kaum tertindas.
Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi
pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal
Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagasnya langsung merujuk
pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan
relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack. Apa yang
dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah
merupakan catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan
pergumulan praksis dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim
apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.
Metode hermeneutika Esack tidak lahir dengan sendirinya tetapi di
dasarkan dari berbagai pemikiran, khususnya Gueterrez, Arkoun dan
Rahman.149 Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez
dan double movement Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan
semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun untuk
memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian. Selain itu,
Esack juga berbeda dengan penempatan posisi penafsiran. Dalam pola
hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran)
ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma
atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack justru
menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts)
dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan
arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian,
sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru
yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-
keagamaan) Afrika Selatan.150
Teori hermenutika Esack ini didasarkan atas pembacaannya terhadap
realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi

149 Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. (Bandung:
Mizan, 2000), hlm. 120

150 Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas. hlm. 121

66
ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena
semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Inilah
rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam
hermeneutika lainnya. konsep kerja sama Esack benar-benar di dasarkan
atas pembacaannya atas realitas praksis Afrika Selatan dan metode
hermenutika yang dikembangkannya. Karena itu, hasilnya memang sering
berbeda atau bahkan berseberangan dengan penafsiran-penafsiran klasik.
Akan tetapi, Esack tidak berarti sama sekali meninggalkan tafsir klasik. Ia
tetap dan justru menggunakannya dalam upaya mendukung pemikiran dan
proses hermeneutikanya.
Esack meyakini bahwa al-Qur'an diwahyukan secara progresif sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada masa pewahyuan, dan pada masa
selanjutnya harus terus dibaca seperti itu. Pada tahap awal, Esack berupaya
menetapkan identitas al-Qur'an sebagai sebuah wahyu yang diturunkan
secara bertahap. Ini adalah satu-satunya cara untuk memahami sebagian
besar garis pedomannya (huda) yang abstrak kepada kemanusiaan
melintasi ruang dan masa. Prinsip tadrij atau pewahyuan secara gradual
sangat penting di sini. Hal ini telah jelas dinyatakan dalam al-Qur'an
sendiri pada surat al-Isra', ayat 106 dan al-Furqon ayat 32. Terdapat teknik
yurisprudensial lain yang digunakan oleh para ilmuwantradisional yang
menguatkan posisi ini. Teknik-teknik ini adalah asbab al-
nuzul dan naskh.151
Asbab al-nuzul adalah suatu prinsip yang banyak digunakan dalam
kajian Islam tradisional ketika menyangkut kampanye perang, biografi
Nabi, dan lain-lain. Lebih dari itu, sebenarnya ia lebih berfungsi sebagai
perangkat untuk membuktikan validitas kesejarahan al-Qur'an. Dalam
artian, bahwa Tuhan memperhatikan dan benar-benar mewahyukan kepada
masyarakat sesuai kebutuhannya.

151 Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana danPrilaku. (Depok: Insani Press,
2006), hlm. 167

. Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; hlm. 170

67
Naskh pada sisi lain, diperuntukkan bagi beragam situasi. Menurut
Esack, relevansinya bagi kita di sini adalah ketika ia digunakan untuk
mencabut ayat-ayat pertama untuk kepentingan yang terakhir, untuk
membatalkan praktik profetik dengan sebuah perintah al-Qur'an tertentu
dan akhirnya mencabut atau mengklarifikasi perintah al-Qur'an dengan
praktik Nabi. Semua ini menekankan keberadaannya sebagai wahyu
progresif yang, sebagaimana diyakini Esack, menampilkan
kontekstualisasi sebagai metode yang divalidasi oleh para ahli hukum
klasik dalam upaya mereka memahami al-Qur'an.152
Menurut Esack, meyakini signifikansi al-Qur'an yang abadi tidak
sama dengan meyakini sebuah teks yang tak memiliki waktu dan
ruang (ahistoris). Esack selalu menegaskan bahwa hermeneutika secara
umum harus dipahami sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana sebuah
kata atau peristiwa masa lalu dan budayanya bisa dipahami dan bermakna
secara eksistensial pada situasi kekinian.Hermeneutika sebagai metode
memahami al-Qur'an sangat mendesak penerapannya. Hal itu, menurutnya,
karena umat Islam, meskipun sangat bersepakat tentang sifat divinitas al-
Qur'an, memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur'an dan
cara memahaminya. Dalam kerja penafsiran, hermeneutika penerimaan
akan mengangkat persoalan tentang pergeseran yang terjadi dalam
horizon-horison audiens yang berbeda dan transformasi antara horizon
masa lalu dan masa kini tentang ekspektasi terhadap teks.
Bagi Esack, keilmuan Islam tradisional setidaknya akan memiliki
tiga kendala untuk bersinergi dengan hermenutika sebagai sebuah metode
memahami al-Qur'an, yaitu: Pertama, keilmuan Islam tradisional meskipun
memiliki cara pemahaman tesendiri tentang kontekstualisasi dalam
memahami al-Qur'an, benar-benar memegang teguh ide bahwa al-Qur'an
adalah kalam Tuhan yang trans-kontekstual dan oleh karenanya qadim. Di
sisi lain, desakan hermeneutika atas konteks dan kontingensi manusian
dalam upaya pencarian makna menunjukkan bahwa al-Qur'an tidak berarti

152 Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana danPrilaku. hlm. 170

68
apapun di luar konteks sosio-historisnya, namun selamanya ia adalah
sebuah teks yang memerlukan interpretasi.
Penekanan hermeneutika pada agensi manusia dalam memproduksi
makna bertentangan dengan ide keilmuan tradisional yang menegaskan
bahwa Tuhan bisa membekali manusia dengan sebuah pemahaman yang
paling tepat dan sempurna. Esack mengatakan: "memberi peran besar
kepada manusia berarti memandang bahwa makna itu sendiri merupakan
sebuah pertarungan dalam relasi-relasi kuasa; ketuhanan-pun berada di
dalamnya dan tak bisa dianggap transenden di luar pertarungan itu sebagai
penjamin makna paling akhir."153
Pada satu sisi, keilmuan Islam tradisional membuat pembedaan yang
ketat antara pewahyuan, penafsiran, dan penerimaan. Sementara itu,
hermeneutika penerimaan, di sisi lain, tidak berusaha menemukan
kehendak orisinal sang author yang tentu saja sulit diprediksi (apalagi
dalam kasus Tuhan). Sebaliknya, ia mempelajari konstribusi pemahaman
yang terus dan selalu berubah tentang teks.
Bagi Esack, persoalan fundamental dalam penafsiran al-Qur'an
adalah tentang; oleh siapa dan pada kepentingan siapa kerja hermeneutika
diperuntukkan. Memahami teks menurutnya mencakup suatu kesadaran
akan tiga unsure yang saling terkait, yakni teks dan author, penafsir, dan
penafsiran.154
Meskipun seseorang sadar akan pentingnya hermeneutika dan
dengannya memahami al-Qur'an, ia masih tidak mampu secara memadai
menjawab ketakutan yang dicemaskan keilmuan tradisional. Dalam hal ini,
Esack memberikan seperangkat panduan yang ia sebut sebagai kunci-kunci
hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an. Kunci-kunci ini tidak hanya
sebagai berfungsi sebagai sebuah lensa optic yang dengannya orang harus
mengamati al-Qur'an, namun juga berarti sebagai pematah setiap
penafsiran yang bertendensi sembarangan.

153 Farid Esack, Membebaskan,...hlm. .190

154 Farid Esack, Samudra Al-Qur'an. (Jakarta: Mizan 2007), hlm. 89

69
Kunci-kunci ini ketika digunakan secara seksama diharapkan akan
membekali orang beriman dengan seperangkat instrument guna memahami
pesan transenden al-Qur'an, walaupun, menurut Esack, tetap berujung pada
perdebatan. Bagi Esack, kunci-kunci ini hendak merefleksikan bahwa
praktik seseorang (praksis) akan menjadi ujian ata kepatan penafsiran
seseorang. Tidak ada mukjizat dan keajaiban yang akan datang dengan
menerapkan ini, ini hanya sebuah prosestrial and error, namun dengan
semacam kompas untuk membimbing seseorang mengarungi samudera
kehidupan yang bergolak.
Kunci-kunci hermeneutika yang diajukan oleh Esack dikembangkan
dari aktivitasnya sebagai seorang intelektual organik saat berjuang
melawan rezim Aphartheid di Afrika Selatan. Kunci-kunci itu
adalah taqwa (integritas dan kesadaran yang terkait dengan kehadiran
Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), nas (manusia atau rakyat),mustadl'afin fi
al-ard (kaum tertindas di muka bumi), 'adl dan qisth(keadilan),
dan jihad (perjuangan dan praksis). Kunci-kunci tersebut dimaksudkan
untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an
bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan
konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.155
Dari keenam kunci hermeneutika tersebut, secara singkat akan
penulis coba untuk memaparkanya satu persatu156 (Esack,);
1. Taqwa; melindungi penafsir dari dirinya sendiri?
Taqwa secara etimologi, berasal dari akar kata wa-qa-ya, yang
berarti mencegah, menjaga, memperhatikan atau melindungi, artian
tersebut menurut Esack termuat dalam Q.S. Ali Imran: 25 dan 120. Karena
itu bagi Esack kata taqwa dapat didefinisikan memperhatikan suara nurani

155 Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan Baru Berbagai
Metodologi Tafsir. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 200

156 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997, hlm. 124-148, lihat juga: Lukman
Abdul Jabbar, Hermeneutical Keys (Sebuah Metode Alternatif dalam Studi Al-Qur'an
Prespektif Farid Esack, Jurnal Khatulistiwa-Journal Of Islamic Stidies. Volume 3 Nomor 2
September 2013. Stain Pontianak. hlm. 179-182.

70
sendiri dalam kesadaran bahwa ia bergantung kepada Tuhan. Dari sekian
kata taqwa yang sangat komprehensif maknanya untuk konteks
menyatukan tanggung jawab baik kepada Tuhan maupun manusia serta
mengaitkan taqwa dengan interaksi sosial dan kepedulian pada sesama
yaitu pada Q.S. al-Lail: 5-10 dan al-Hujurat: 13;
“Adapun orang yang menderma pada yang lain dan bertaqwa
kepada Tuhan dan membenarkan adanya kebaikan tertinggi, maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah; dan adapun orang-
orang yang kikir dan merasa dirinya cukup serta mendustakan kebaikan
tertinggi, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar”
“Hai manusia! Kami telah menciptakan dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulian di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa”.
Berbicara mengenai keterkaitan makna taqwa dengan interaksi
sosial dan kepedulian pada sesama, tak salah jika dikutip pesan Call—
organisaasi yang mana Esack sangat intens di dalamnya—yang dikutip
Esack;
Keterlibatan kita (dalam perjuangan kemerdekaan) setelah
Ramadhan bakal menunjukkan apakah kita telah benar-benar belajar
bertaqwa, apakah kita benar-benar peduli pada keadaan buruk yang
menimpa kaum tertindas. Tanda seorang muslim yang berpuasa dengan
benar adalah kesiapannya untuk mempertaruhkan nasib bersama mereka
yang tertindas dalam perjuangan pembebasan bagi seluruh rakyat negeri
ini. (Call of Islam 1985, Eid Mubarak.h.1).
Esack mengakui, bahwa dimensi-dimensi kewajiban yang terdapat
dalam Ramdhan penuh dengan keterkaitan dengan persoalan sosial-
mayarakat, terlebih yang menonjol kewajiban mengeluarkan zakat fitrah
menjelang Idul Fitri, di sinilah terdapat tuntutan bagi seorang muslim
untuk peduli pada sesama. Perhatikan saja, kewajiban yang satu ini berlaku
bagi setiap muslim yang tidak terkategorikan sebagai penerima zakat, baik

71
itu bayi maupun hingga seorang jompo. Dimensi yang satu ini benar-benar
dekat sekali dengan tanggung jawab kepada sekeliling (Esack).
Selain kunci hermeneutika di atas taqwa juga ditampilkan sebagai
kualitas yang mesti dicapai oleh oleh kaum beriman di luar dan di atas
upaya interpretasi al-Quran. Prasangka dan nafsu pribadi merupakan dua
unsur yang memungkin menyimpangkan pemaknaan al-Quran. Karena itu
dengan taqwa sebagai salah satu kunci hermeneutika pembebasan al-
Quran dapat memastikan bahwa interpretasi yang dilakukan oleh seorang
interpreter dapat terbebakan dari obskurantisme teologis dan reaksi politis,
juga spekulasi pribadi yang murni subjektif, meskipun hal itu muncul dari
komunitas mustadh’afin dan tersisihkan. Selain konsekuensi tersebut,
konsekuensi keduanya taqwa dapat menjadi penyeimbang estetik dan
spritual interpreter. Dengan interpreter dapat melakukan introspeksi diri
dari kecendrungan yang membawa dirinya pada kondisi sosio-politik yang
mendominasi di sekitar kehidupannya. Dan konsekuensi ketiga taqwa
membawa interpreter ke dalam proses dialektika personal dan transformasi
sosio-politik157 (Mustaqim).
2. Tawhid; Tuhan yang satu bagi kemanusiaan yang satu.
Secara etimologi, tawhid memilki akar kata wa-h-ha-da dengan arti
sendiri, satu atau menyatu. Sebagaiman kata taqwa kata tawhid sebenarnya
tidak terdapat di dalam al-Quran, namun ia menjadi sinonim keesaan
Tuhan. Sebagaimana yang termuat dalm Q.S. al-Ikhlah yang begitu tegas
mengaklamikan ke-Esa-an Allah swt.
Sebenarnya, keyakinan bahwa tawhid itu merupakan jangtung bagi
pandangan sosio-politik yang komprehensif bukanlah hal yang baru, ia
telah
pernah ada sejak revolusi Iran 1979 yang digaungkan secara keras
oleh Ali Syariati dan Mujahidin-i Khalq, menentang praktek keserakahan,
penumpukan dan penghambaan pada harta serta bertujuan menghapuskan
stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrai.
Sementara dalam konteks Afrika Selatan ada dua penerapan spesifik.
Pertama; di tingkat eksistensial, merupakan penolakan terhadap konsep
157 Abdul Mustaqim, Study Al-Qur'an Kontempore, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002). hlm .205

72
dualistik eksistensi manusia, yaitu skular dan spritual, sakral dan profan.
Kedua; di tingkat sosio-politik, merupakan penentangan atas bentuk
praktek isolatif manusia secara etnis. Karena itu apartheid yang telah
menjadi ideologi Afrika Selatan adalah syirk.
Dengan memandang tawhid sebagai prinsip hermeneutika berarti
bahwa berbagai pendekatan kepada al-Quran, baik itu filosofis, spritual,
hukum maupun politis, mesti dilihat sebagai komponen dari satu jalinan.
3. al-Nas; (pemahaman) manusialah yang menentukan.
Secara etimologi, al-nas berarti manusia, ini dapat dirujuk antara lain
pada Q.S. al-Nas: 5-6 dan al-Jinn: 6. Dalam ayat lain yaitu Q.S. al-
Baqarah: 30, al-Quran mengungkap fungsi manusia adalah sebgai khalifah
di bumi. Karena itu ada dua implikasi hermeneutika dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Pertama; al-Quran mesti ditafsirkan dengan cara
memberikan dukungan khusus bagi kepentingan rakyat secra keseluruhan.
Kedua; penafsiran mesti dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi manusia
sebagai bentuk yang kontras dengan aspirasi minoritas yang
diistimewakan.
Kemudian, dalam menjadikan manusia sebagai kunci hermeneutika
al-Quran, tentunya akan menjadikannya berhadapan dengan dua problem
teologis. Pertama; terkait dengan manusia sebagai ukuran kebenaran.
Menurut Esack, tanpa manusia yang berbahasa, tentu tak ada konsep
bahwa Tuhan berbicara, tak ada campur tangan Tuhan dalam sejarah.
Kedua; mainsream legitimai kesucian teks dalam pandangan tradisional,
bahwa teks hanya dapat diinterpretasikan oleh kalangan tertentu, karena itu
dengan siapa pun orangnya yang dapat menginterpretasikan teks
menjadikan adanya “pelacuran hermeneutika” di sana.
4. Mustadh’afuna fi al-ardh; dari sudut pandang kaum marginal dan
tak berdaya.
Kata mustadh’af secara etimologi berasal dari akar kata dh’-a-fa
yang berarti lemah yang kemudian mengalami bergeseran bentuk ke
bentuk isim maf’ul menjadi mustadh’af (bentuk tunggal) dan
mustadh’afun (bentuk jamak) yang berarti orang-orang yang lemah dan
tertindas.

73
Namun apa yang membuat kelas mustadh’afun ini muncul, menurut
Esack hal tersebut adalah dikarenakan adanya pihak yang bertanggung
jawab ats kondisi mereka. Seseorang, tambahnya, akan menjadi
mustadh’af jika ada faktor penyebab seperti perilaku atau kebijakan pihak
yang berkuasa dan arogan. Karena itulah pula seorang penafsir perlu
memposisikan diri di antara yang tertindas maupun perjuangan mereka,
serta menafsirkan teks di bawah permukaan sejarah, yang dilandasi
gagasan tentang keutamaan posisi kaum tertindas dalam pandangan ilahi
dan kenabian. Komitmen dan solidarita aktif penafsir dengan
mustadh’afun akan muncul ketika membaca ulang realitas sosial maupun
teks melalui perspektif mereka, inilah yang kemudian membentuk
pencarian hermeneutika pluralisme al-Quran bagi pembebasan.
5. al-‘Adl dan al-qisth
Dua kata tersebut sama-sama menunjukkan makna keadilan. Al-‘Adl
berarti “berlaku sama, adil atau tepat”, sementara al-Qisth berarti
“kesamaan dan keadilan”. Menurut Esack, seruan penegakan keadilan
sebagai basis kehidupan sosio-politik telah begitu jelas dan banyak termuat
dalam ayat-ayat al-Quran, seperti masalah harta-harta anak yatim dan
anak-anak yang diadopsi (Q.S. al-Nisa: 3 dan al-Ahzab: 5), hubungan
matrimonial (Q.S. al-Nisa: 3 dan al-Hujurat: 9), kontrak (Q.S. al-Baqarah:
282), hukum (Q.S. al-Maidah: 42 dan al-Nisa: 56), hubungan antar agama
(Q.S. al-Mumtahanah: 8), bisnis (Q.S. Hud: 65), dan bahkan untuk urusan
dengan para musuh juga dituntut untuk tetap berlaku adil (Q.S. al-Maidah:
8). Perlu dicatat, bahwa keadilan merupakan faktor intrinsik keteraturan
semesta (Q.S. al-Jatsiyah: 22. dan al-rahman: 1-10), karena itu tanpa faktor
tersebut alam semesta akan hancur berantakan.
Lebih jauh menurut Esack, al-Quran telah menawarkan diri sebagai
pemberi ilham dan tuntutan dalam upaya perlawanan terhadap status quo,
serta dipelajari berdasarkan komitmen penghancuran penindasan dan
agresidan penegakan keadilan.

6. Jihad; sebagai praksis dan jalan menuju pemahaman

74
Kata jihad secara etimologis berarti berjuang, mendesak seseorang
atau mengeluarkan energi atau harta. Namun pada perkembangan berikut,
kata ini mengalami pemaknaan yang signifikan dalam perkembangan
konteksnya. Dari mainstream populer yang bermakna perjuangan atau
perang suci bersenjata, berkembang menjadi makna yang labih luas yaitu
perjuangan untuk mengubah keadaan seseorang ataupun kaum (Q.S. al-
Nisa: 90, al-Furqan: 52, al-Taubah: 41).
Bagi Esack, jihad merupakan perjuangan dan praksis sekaligus.
Praksis adalah tindakan sadar yang diambil oleh suatu komunitas manusia
yang bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri....berdasarkan
kesadaran bahwa manusilah yang membentuk sejarah.
Jihad sebagai kunci hermeneutika mengasumsikan bahwa hidup
manusia pada dasarnya bersifat praktis; teologi akan mengikuti.
Kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan
tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai
pembangunan kriteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa
teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme
dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas danal-mustad’afuna
fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas
penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth danjihad merupakan
refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk
pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang
diwarnai ketidakadilan.158
Teologi pembebasn yang diyakini Esack adalah salah satu upaya
untuk melepaskan agama dari struktur sosial, politik dan keagamaan yang
menuntut kepatuhan mutlak, menuju kearah kebebasan semua manusia
dari segala bentuk ketidakadilan dan ketertindasan termasuk dalam hal
etnis, gender, kelas dan agama.Teologi pembebasan berusaha untuk meraih
hal ini lewat kolaborasi dan kerja sama dengan mereka yang mencari
pembebasan sosial dan ekonomi. Sebuah teologi pembebasan Islam
merujuk inspirasinya dari al-Qur'an dan perjuangan semua Nabi. Hal itu

158 Abdul Mustaqim, Study Al-Qur'an Kontempore, hlm. 203

75
dilakukan dengan jalan memahami al-Qur'an dan keteladanan para Nabi
dalam suatu proses refleksi teologis bersama dan berkesinambungan demi
sepenuhnya peningkatan praksis pembebasan
Q. Buah Penafsiran Farid Essack
Ada tiga poin terpenting dalam penafsiran Farid Essack yang dikira
dapat memberi kontribusi besar terhadap pengembangan khazanah ilmu
pengetahuan dan relevansinya dengan perkembangan konteks, khususnya di
Afrika Selatan. Yaitu Iman, Islam, dan Kufur.
1. Iman
Seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur'an yang berbunyi:

Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-
ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat
dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya
dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia." (Q.S. al-Anfal [8]: 2-4)
Kontekstualisasinya dengan Afrika Selatan diperlukan konsep iman
dengan pengertian yang lebih inklusif mengenai golongan-golongan yang
tercakup di dalamnya, akan tetapi bukan sebatas iman yang dipahami
selama ini oleh tradisionalis yang hanya mencakup ruang yang sempit.
Essack berusaha memberi pemahan terhadap iman yang lebih dinamis dan
tidak hanya terbentuk dalam struktur kelembambagaan, seperti yang
terjadi di Afrika Selatan.
Dengan demikian, Essack mengaitkan dengan amal saleh. Begitu
juga dengan al-Qur’an kerap kali selalu mengaitkan dengan amal saleh.

76
Karena dengan adanya keterkaitan antara keduanya akan memberi gerak
yang aktif dan dapat lebih inklusif.
Essack memberi pengertian amal saleh tidak sebatas ibadah ritual
saja, melainkan diartikan dengan pengertian yang cakupannya lebih luas
dari pada sebatas ibadah ritual. Terutama dalam memberi kontribusi
terhadap upaya pembebasan di Afrika Selatan. Seperti yang dikutip dari
tulisannya Umi Baiki dalam Skripsinya yang berjudul Paradigma Tauhid
dalam al-Qur’an Kajian Metodologi Penafsiran Menurut Farid Essack, ia
menulis bahwa tauhid harus diberi ruang dalam ruang yang lebih praktis.
Ia juga mengaitkan dengan teori yang diungkapkan oleh Habermas dalam
teori prasisnya. Menurutnya, praksi mempunyai dua deminsi filosofi (kerja
dan interaksi komunikasi).
Signifikansi nya adalah, ketika iman dikaitkan dengan amal saleh
tentu secara pribadi penafsiran Essack diharapkan untuk melahirkan jiwa-
jiwa yang berkarakter perjuangan untuk pembebasan, lagi-lagi tujuannya
adalah pembebasan. Karena sebelumnya, amal saleh juga di Afrika Selatan
masih dipahami secara sempit. Maka keimanan menurut Essack
merupakan hubungan vertikal, yakni antara individu orang dengan
tuhannya, sesuai dengan kepercayaan agamanya masing-masing.
Keimanan bukan persoalan kelompok, golongan, ataupun yang telah
berhasil dilembagakan seperti di Afrika Selatan. Hal inilah yang
diharapkan mampu melahirkan antisipasi terhadap ketegangan-ketegangan
yang terjadi antar agama di Afrika Selatan.
Di sisi lain, untuk mempertahankan argumennya, Essack mengaitkan
dengan beberapa ayat, yang salah satunya yang artinya
berbunyi "Bagaimanakah nanti apabila mereka kami kumpulkan di hari
(kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan disempurnakan
kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak
dianiaya (dirugikan)" (al-Imran: 25) Hal inilah yang diharapkan dari
horizon harapannya, yakni untuk dapat memberi ruang bagi mereka yang
berjuang melawan penindasan (sebagai bagian dari amal saleh) terutama
dari golongan non-muslim yang selama ini justru aktif melawan Apartheid

77
yang tentunya ritual mereka bukanlah shalat seperti ritualnya orang-orang
muslim. Hal itu juga menunjukkan bahwasanya ibadah, dalam tafsir
Essack bukan hanya dipahami sebatas ritual semata, tetapi diartikan lebih
luas meskipun Essack berangkat dari ayat yang ironisnya menegaskan
secara eksplisit tentang keterkaitan antara iman dengan shalat.
2. Islam

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.


tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(Q.S. al-Imran [3]: 19)
Ayat tersebut, Essack berusaha memberikan suatu pemahaman yang
mampu memberikan jalan bagi kebasahan agama-agama lain di luar Islam.
Di antara penafsir yang dirujuk oleh Essack tidak satu pun yang
memberikan makna Islam sebagai agama yang dilembagakan. Dalam
penafsiran mengenai Islam, Essck terlebih dahulu mengartikan din sebagai
agama seperti para penafsir yang ia rujuk. Mereka memaknai din sebagai
penyerahan diri pada Tuhan dan juga lebih sebagai respon aktif terhadap
kehendak Tuhan daripada sekedar keanggotaan etno-sosial dalam
kelompok tertentu sehingga dari itu akan mampu memberi ruang bagi
ketundukan pribadi di luar parameter historis komunitas Islam.
Juga dari ayat tersebut ada suatu tempat yang terbuka untuk
membuktikan bahwa Islam bukan semata-mata agama yang dilembagakan,
meskipun sebagian makna bisa berimplikasi ke arah itu, namun bukanlah
satu-satunya penafsiran yang utama. Kenapa Essack lebih memaknai Islam
sebagai proses dan juga sebagai respon aktif daripada suatu komunitas
yang dilembagakan?. Karena ada faktor empiris dan pragmatis di Afrika
Selatan yang membutuhkan Islam yang inklusif. Itulah juga yang
menyebabkan dari pemahamannya lebih bersifat inklusif daripada Islam
dimaknai sebagai agama yang eksklusif yang hanya bersifat ideologis dan
politis. Otentisitas Islam adalah perdamaian (al-aslu fi al-islam huwa fi as-
salam), sementara masih ada golongan memahami bahwa otentitsitas Islam

78
adalam perang (al-aslu fi al-islam huwa fi al-harb)159. Seperti dalam firma-
Nya

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam


keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S. al-Baqarah
[2]:208).
3. Kufr

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan


membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-
orang yang menyuruh manusia berbuat adil, Maka gembirakanlah mereka
bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-
orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan
mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (Q.S. al-Imran [3]: 21-
22)
Lagi-lagi berbicara konteks yang ada di Afrika Selatan, istilah kafir
sendiri telah masuk dalam wacana rasialis Afrika Selatan sebagai ekspresi
yang dilekatkan pada mayoritas yang berkulit hitam.
Jelas, bahwa dari ayat tersebut kata kufr lebih cenderung pada suatu
tindakan yang aktif dan bukannya personalisasi (Yahudi). Karena
ketika kufr adalah lawan dari iman dan Islam, berarti kufr adalah juga
suatu perilaku sadar dan sekumpulan tindakan yang konkret disebabkan
iman dan Islam juga merupakan suatu tindakan yang aktif. Kufr bukan
sekedar lawan dari iman ataupun Islam, melainkan merupakan suatu
perilaku dan tindakan yang mengarah pada penolakan terhadap segala
kebenaran dan penghalangan terhadap terwujudnya keadilan di muka
bumi, khususnya lagi-lagi Afrika Selatan. Meskipun kufr tersebut ada yang
mengindikasikan sebagai kelompok, tetapi menurut Essack sebagaimana
yang tersurat dalam al-Qur’an, bahwa kufr selalu ditekankan pada

159 Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan
al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm. 146.

79
tanggung jawab individu, terutama dengan adanya konsep mengenai
pembalasan dan kebangkitan. Begitu juga walaupun dalam al-Qur’an
memuat berbagai kecaman yang sangat keras terhadap suatu kelompok,
tetapi selalu ada pengecualian tentang adanya kaum lain di luar komunitas
tersebut. Dengan asumsi ini sangat terlihat pada corak penafsiran Essack di
dalam mengkomunikasikan antara horizon teks dengan horizon
pemahaman untuk menemukan signifikansi penafsiran dengan konteks
yang ada160. Dari ide-ide yang ditelurkan oleh Essack merupakan
penafsiran yang bersifat pembaruan terhadap pemahaman-pemahaman
yang dibangun sebelumnya, yang akan selalu menafsirkan yang respon
sosio-kulturan yang ada161.
4. Dialog, Toleransi, dan Kerjasama
Dalam konteks Afrika Selatan, solidaritas inter-religious ditujukan
untuk melawan situasi penindasan yang distrukturisasi sistematis oleh
rezim Apartheid. Ke-wilayah-an tersebut, kata Esack,162 seyogyanya
memang harus dimaknai sebagai kolaborasi produktif antarumat beragama.
Hubungan dan kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak
terlarang.163 Nash yang melarang kerjasama harus diberi makna baru agar
sesuai yang relevan dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-
politik-kultur). 164Dengan spirit teologi eksklusif dan pluralistik, kerja
sama tersebut sama sekali tak dimaksudkan untuk, misalnya, mencampur-
aduk keyakinan teologis umat Islam dengan keyakinan kaum agama-
agama lain. Justru dengan menggalang solidaritas lintas agama yang
diabsahkan oleh spirit teologis tersebut, kerja sama itu dimaksudkan untuk

160 Sahiron Samsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (()ogyakarta:


Pesantren Nawesea Press), hlm. 48.

161 Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima
Yasa), hlm. 4.

162 Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997, hlm. 93-180.

163 Farid Esack, Qur’an, Liberation,.. hlm. 184-201.

164 Farid Esack, Qur’an, Liberation,.. hlm. 11

80
melayani kepentingan dan kemaslahatan sosial-politik semua umat
beragama sendiri.
Dalam konteks keindonesiaan yang berbeda dari Afrika Selatan kita
bisa menemukan relevansi terkait afinitas. Jika di afrika Selatan Islam
yang minoritas bersikap eksklusif hingga sulit diajak kerjasama, di
Indonesia jauh berbeda, Islamsebagai agama mayoritas justru
bermental seperti minoritas. Hal ini terlihat pada lapisan umat Islam yang
begitu tergopoh-gopoh bahkan terkesan kurang percaya diri.165 Dengan
hadirnya partai-partai berbasis keislaman yang sebenarnya hanya
menyalurkan aspirasi golongannya hingga kehadiran ormas-ormas
keagamaan. Kalangan yang mengatasnamakan pembela umat Islam (FPI,
Forkami, FUI, dan organisasi semacamnya) adalah lahir dari ketidak
percayaan diri ini. Hal yang tidak kalah mengherankan adalah oleh MUI
Pluralisme sendiri diharamkan.166 Fatwa ini kerap didasarkan dalil
pembenaran untuk menolak dialog, toleransi dan kerjasama dengan umat
agama lain. Rasa gugup dan kurang percaya diri umat Islam dalam
berbagai seginya ini tidak akan pernah menguntungkan bagi masa depan
demokrasi di Indonesia, dan membawa Islam kehilangan keramahannya.

165 Noer, Deliar (et.al.) Mengapa Partai Islam Kalah?: Perjalanan Politik Islam Dari Prapemilu
'99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999. Hlm. 115

166 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,
(Jakarta : Fitrah, 2007), hlm. 205.

81
BAB III

PENUTUP.

A. Kesimpulan.

Essack bernama Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town,
daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga miskin. Pendidikan
dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Di Pakistan, Esack
melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Tahun 1990,
Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di
sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Esack
menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim
(Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations (CSIC) University
of Birmingham (UK).
On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”,
Oneworld: England, 2000. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England,
1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme,
dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.“Muslim in
South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of Islam and Christian-
Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987). “Contemporary Religious Thought in South
Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of
Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991). “Qur’anic Hermeneutic:
Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993). “Three
Islamic Strands in the South African Struggle for Justice”, dalam Third World
Quarterly, Vol.10 No.12 (1998). “The Exodus Paradigm in The Light of Re-
interpretative Islamic Thought in South Africa”, dalamIsl amochristiana, Vol. 17
(1999).
Esack menggunakan metode hermeneutika. terpengaruh oleh Rahman dan
Mohammad Arkoun. Dengan teorinya double movement-nya rahman, Teologi
Pembebasan Gustavo Gutierrezz. Masalah afinitas (wilâyah) telah menjadi kajian
serius sejak masa klasik. Dengan kunci-kunci yang dimaksud adalah, taqwa

82
(integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), al-nas
(manusia), al-mustadh’afûn fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl and
qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan praksis). Kunci-
kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika
pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung
antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya
Farid Esack mengakui keabsahan wahyu sebagai kalam Ilahi. Akan tetapi
mempersolakan seputar tafsir dan penafsiran. menganggap penafsir tak mungkin
lepas dari sejarah dan keterkaitannya dengan tradisi, kebudayaan yang
berkembang saat turunnya wahyu.
Menurutnya, wahyu sebagai tanggapan atas masyarakat tertentu. Umat
Islam percaya bahwa ada satu realitas sejarah telah berkomunikasi dengan
mereka. Menurut Esack dengan pembacaan sepintas tentang al-Qur’an dapat
ditarik kesimpulan bahwa meskipun al-Qur’an diklaim sebagai petunjuk bagi
seluruh umat Manusia, tapi secara umum wahyu ditujukan bagi orang-orang hijaz
selama priode pewahyuan.
Dalam konteks keindonesiaan yang berbeda dari Afrika Selatan kita bisa
menemukan relevansi terkait afinitas. Jika di afrika Selatan Islam yang minoritas
bersikap eksklusif hingga sulit diajak kerjasama, di Indonesia jauh berbeda, Islam
sebagai agama mayoritas justru bermental seperti minoritas. Hal ini terlihat pada
lapisan umat Islam yang begitu tergopoh-gopoh bahkan terkesan kurang percaya
diri. Dengan hadirnya partai-partai berbasis keislaman yang sebenarnya hanya
menyalurkan aspirasi golongannya hingga kehadiran ormas-ormas keagamaan.
Kalangan yang mengatasnamakan pembela umat Islam (FPI, Forkami, FUI, dan
organisasi semacamnya) adalah lahir dari ketidak percayaan diri ini. Hal yang
tidak kalah mengherankan adalah oleh MUI Pluralisme sendiri diharamkan. Fatwa
ini kerap didasarkan dalil pembenaran untuk menolak dialog, toleransi dan
kerjasama dengan umat agama lain. Rasa gugup dan kurang percaya diri umat
Islam dalam berbagai seginya ini tidak akan pernah menguntungkan bagi masa
depan demokrasi di Indonesia, dan membawa Islam kehilangan keramahannya.

83
84
Daftar Pustaka.

Abd Al-Malik Ibn Hisyam, Sirah Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t),

Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010,

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010,194,


dan buku

Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan


Baru Berbagai Metodologi Tafsir. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

Abdullah An-Na’im, Mohammad Arkoun, Dekonstruksi syari’ah II, LKis,


Yogyakarta, 1993.

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LkiS, 2001)

Abu Husain Ibnu mas,ud al bagawi, Tafsir Baghawi. zuj 1, Daruul Tabi’ah, 1997,

Achmad Khudori Soleh, Erik Sabti Rahmawati. Kerjasama Umat Beragama


dalam Al-Qur’an Perspektif Hermeneutika Farid Esack. (Malang: UIN
Maliki Press. 2011).

Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani Press, Jakarta 2006,

Adnin Armas, dalam buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata,


Semarang 2010,

Adnin Armas, Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika AL-Qur’an, Majalah Islam,


Thn I NO. 1/Muharram 1425,

Adnin Armas. Metodologi Bible dan Studi dalam Al-Qur’an GP, Jakarta, 2005,

Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab kritis, kompas med nusantra, Jakarta 2004,

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz I Darul-Fikr, Siber, 2006,

Aksin Wijaya, Arah Baru Ulumul-Qur’an, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2009, 195-
197

85
Al-Attas, Islam dan sekularisme. PIMPIM, Bandung, 2010.

Al-Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt),

Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner,


ERLANGGA, Jakarta, 2000,

Al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, Beirut, Dar al-Ahya, tt,

Al-Razi, Tafsî Fakhr al-Râzi.

Al-Wahidi, Asbabunuzul, Bairut, Darl Fikr, 1988,

Anis Malik Thaha. Tren Pluralisme Agama, Gema insane Press Jakarta 2005

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), terutama bab I, II dan III.

Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: wacana Kesetaraan Kaum Beriman


(Jakarta: Paramadina, 2001)

Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti


Prima Yasa)

E sumaryono, Hermeneutika, Kanisius, Yogyakarta 1993,

F wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya,


Jakarta Pustaka sinar harapan, 1987,

Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, Gema Insani Press,
Jakarta 2010,

Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Tema-tema Kontoversl, el-SAQ Press,


Yogyakarta. 2005.

Fahrudinn al-Razi, mafatihul ghaib zuj 2 ttd,,

Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of


Interreligious Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997,

86
Farid Esack, “Negeri Ini Perlu Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran,” dalam
Tabloid Detak No. 132 tahun ke-3 April 2001,

Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi


Syariah II, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996),

Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi


Syariah II, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996)

Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas,


terj. Watung Budiman, (Bandung: Mizan, 2000),

Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme.


(Bandung: Mizan, 2000),

Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana danPrilaku. (Depok:


Insani Press, 2006),

Farid Esack, On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world Today,
(Oxford, Onerworld Publication, 1999),

Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of


Interreligious

Farid Esack, Samudera al-Qur’an, terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press,
2007),

Farid Esack, Samudra Al-Qur'an. (Jakarta: Mizan 2007),

Fatima Merr, Foreword, dalam Farid Esack, But Musa Went to Fir’aun, (Maitland,
The Call of Islam, 1989),

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:


Pustaka, 1985),

Fazrul Rahman Islam and modernity, the University of Chicago Press, London &
Cicago.1919,

87
Fazrul Rahman, Islam and Modernity, Tehe University if Chicago Press, London,
1984,

Francis Wahomo Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, LKiS, Yogyakarta,2000.

Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation,


Marryknoll: orbis Books, 1973,

Hamid Famhi Zarkasy, dalam, Buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika


kata, Semarang 2010

Hamid. Fahmi Zarkasy. Liberalisasi Pemikiran Islam, CIOS- ISID, 2008,

Hans George Gadamer, kebenaran dan metode, pengantar filsafat hermenutika.


(truth and method), Pustaka pelajar, 2010,

Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” dalam hsfound@iafrica.com.

http://www.scribd.com/doc/3927778/Kerjasama-Umat-Beragama-Farid-Esack
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kasir, zuj I,

Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an


Menurut Hasan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002

Inyak Ridwan Muzir. Hermeneutika Filosofis Hans, George Gadamer, AR-RUZZ


MED, Yogyakarta, 2010.

Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progresif menuju Tafsir Pembebasan: Telaah atas


Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011 :
77-97,Konsenterasi Pemikiran Islam Program Doktor PPS IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Jl. A. Yani 117 Surabaya, email: yudi_prapto@yahoo.com.

Jalaluddin, as-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an juz, 1-2 beirut Dar fikr, 1979,

John L. Esposito dan John O. Voll, dalam Demokrasi di negara-negara Muslim,


terj. Rahman Astuti (Bandung: Mizan, 1995),

Juan Louis segundo, The Theology of Liberation, (New York: Orbit Books, 1991.

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 2007.

88
Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Kiri Islam Hasan Hanafi,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999.

Louis Brenner, “Introdution,” dalam Louis Brenner (ed.), Moslem Identity and
Social Change in Sub-Saharian Africa (London: Hurst and Company, 1993),

Mannaul Khalil Qattan , Ulumul Qur’an, Mansyurat Asr Hadist, 1999,

Mohammad Arkoun, Rethingking Islam, (Washington, D.C for Contemporary


Arab Studies,

Muhammad Imarah, Perang Terminology, Islam versus Barat, Rabanni Press.


1998.

Muhammad Imarah, Suqutul Guluw Almaniyi, Darusyruq, Mesir, 2002,

Muhammad Imarah, Tayaraotul Fikri al- Islamiy, Darusyuruq, Mesir, 2008,

Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qurânic Text from Revelation
to Compilation. UK Islamic Academy Leicester- England. Tt. Dalam.
http://ekmekci.com/wpcontent/uploads/2012/07/16RESEARCHD.pdf.

Nasr Hamd Abu Zayd, Mafhum al-Nas, Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Kairo: al-
Hay’ah al-Mis}riyyah al-’Ammah li al-Kutub, 1993),

Noer, Deliar (et.al.) Mengapa Partai Islam Kalah?: Perjalanan Politik Islam Dari
Prapemilu '99 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet, 1999.

Nurcholish Madjid dalam Orasi Ilmiah Islamic Culrural Center, dimuat di Jawa
Pos, “Islam Agama Hibrida,” 11-12 Desember 2001.

Nurcholish Madjid, “Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang,” Kajian Islam
Utan Kayu, Jawa Pos, Minggu, 19 Agustus 2001.

Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: tantangan dan


Kemungkinan,” Republika, 10 Agustus 1999.

Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, Beirut, Dar al-Makrifah, 1980,

Rasyid Ridla, Tafsir al-Manâr, XI.

89
Rasyid Ridla,Tafsir al-Manar, I, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980.

Roem Rowi, dalam buku ,Dlektika Islam dengan Problem Kontemporer, UIN
Press, LKiS, 2006,

Sahiron Samsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,


(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.

Sahiron Syamsudin dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer antara Wacana,


Yogyakarta 2001, h. 193-209

Sudarman, Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qur'an,


Al-AdYaN/Vol.X, N0.1/Januari-Juni/2015, Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung.

Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & Kontekstual Usaha Memahami Kembali


Pesan al_Qur'an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syamsudi Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Gema Insani press, Jakarta
2008,

Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973,

Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973),


193

Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, Pusataka Kausar, Jakarta, 2005.

Wan Mond Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Mizzan,
Bandung, 1998.

www.Home page Farid Esack. com.

“Wawancara dengan Farid Esack.” dalam http//www.tempo.co.id

Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, II,

Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme dan


Multikulturalisme, (Jakarta : Fitrah, 2007),

90
Zuhairi Misrawi, al-Qur-an Kitab Toleransi, FITRAH, Jakarta, 2007,

91

You might also like