You are on page 1of 8

Nama : Lifia

NIM : 03031381520057

RESUME JURNAL

1. Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (MET) terhadap


Pertumbuhan Scenedesmus Isolat Subang
Scenedesmus merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit. Sebagian
besar Scenedesmus dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar dan
payau. Scenedesmus juga ditemukan di tanah atau tempat yang lembab. Sel
Scenedesmus berbentuk silindris dan umumnya membentuk koloni. Koloni
Scenedesmus terdiri dari 2, 4, 8, atau 16 sel tersusun secara lateral. Ukuran sel
bervariasi, panjang sekitar 8 sampai 20 μm dan lebar sekitar 3 sampai 9 μm.
Scenedesmus dapat dimanfaatkan sebagai makanan tambahan dalam
bentuk Protein Sel Tunggal (PST), pakan alami, dan pakan ternak karena memiliki
kandungan gizi tinggi. Scenedesmus mengandung 55% protein, 13% karbohidrat,
asam-asam amino, vitamin, dan serat. Scenedesmus juga mengandung vitamin
seperti vitamin B1, B2, B12, dan vitamin C.
Perbanyakan biomassa Scenedesmus dapat dimanipulasi menggunakan
teknik kultur. Kultur mikroalga membutuhkan optimasi berbagai faktor pendukung
hidup untuk memperoleh biomassa yang tinggi. Keberhasilan teknik kultur
bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga yang dibudidayakan dan
beberapa faktor lingkungan. Upaya untuk meningkatkan produksi biomassa dapat
dilakukan dengan memanipulasi faktor lingkungan seperti cahaya, kadar CO2, suhu,
pH, salinitas, bentuk wadah kultur, dan media.
Media kultur merupakan salah satu faktor yang penting untuk pemanfaatan
mikroalga. Media kultur mengandung makronutrien dan mikronutrien yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga. Komposisi nutrien yang lengkap dan
konsentrasi nutrien yang tepat menentukan produksi biomassa dan kandungan gizi
mikroalga.
Media yang umum digunakan untuk kultur mikroalga adalah media sintetik
dan alami. Media sintetik terdiri dari senyawa-senyawa kimia yang komposisi dan
jumlahnya telah ditentukan . Medium Basal Bold (MBB) merupakan media sintetik
yang umum digunakan dalam kultur mikroalga Chlorophyta. Media alami dibuat
dari bahan-bahan alami, seperti air kelapa, atau diperoleh dari limbah pembuatan
produk tertentu, seperti limbah pengolahan produk kacang kedelai, limbah
minuman teh, limbah cair tahu dan tapioka. Ekstrak tauge juga dapat digunakan
sebagai media alami bagi pertumbuhan mikroalga yang disebut dengan Medium
Ekstrak Tauge (MET).
Media perlakuan terdiri atas Medium Ekstrak Tauge (MET) dengan
konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6%, Medium Basal Bold (MBB), dan
akuabides. Pemurnian kultur Scenedesmus dilakukan dengan menggunakan metode
pengenceran. Sebelum digunakan sebagai inokulum, biakan kultur persediaan
diremajakan pada media perlakuan. Setelah diinokulasi, sel Scenedesmus dihitung
dengan menggunakan kamar hitung Improved Neubauer pada Haemacytometer.
Data jumlah sel digunakan untuk menghitung kerapatan sel dan laju pertumbuhan.
Rerata kerapatan sel meningkat selama 10 hari pengamatan, kecuali pada
kultur yang ditumbuhkan dalam akuabides. Peningkatan rerata kerapatan sel
tersebut menandakan bahwa sel-sel Scenedesmus dapat beradaptasi dan tumbuh
dalam MET maupun MBB. Hal tersebut menandakan nutrien dalam MET dapat
diserap dan dimanfaatkan oleh sel Scenedesmus untuk pertumbuhannya.
Media perlakuan MET mengandung nutrien organik seperti karbohidrat,
protein, dan lemak yang dibutuhkan sebagai sumber energi bagi Scenedesmus.
Media perlakuan MET juga mengandung nutrien anorganik yang tergolong
makronutrien (K, P, Ca, Mg, dan Na) dan mikronutrien (Fe, Zn, Mn, dan Cu).
Makronutrien dibutuhkan oleh sel Scenedesmus sebagai komponen penyusun sel,
sedangkan mikronutrien dibutuhkan oleh sel baik sebagai kofaktor enzim, maupun
sebagai komponen pembentuk klorofil. Senyawa-senyawa tersebut akan
mengefektifkan fotosintesis dan mempengaruhi produk yang dihasilkan.
Di dalam MET juga terdapat beberapa vitamin yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan alga, antara lain tiamin, kobalamin, dan biotin. Tiamin berfungsi
dalam reaksi β-dekarboksilasi dan transketolase. Kobalamin berfungsi untuk
sintesis deoksiribosa. Biotin berfungsi dalam sintesis asam lemak, β-dekarboksilasi,
dan fiksasi karbondioksida.
Peningkatan rerata kerapatan sel dapat dilihat dari perubahan warna kultur.
Warna kultur mikroalga merupakan warna pigmen utama yang terdapat dalam
sitoplasma sel, yaitu klorofil. Pada pengamatan hari ke-0 (saat inokulasi), kultur
Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET, MBB, dan akuabides terlihat bening.
Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah sel inokulum belum sebanding dengan
volume media. Selain itu, perbandingan antara volume media dengan kadar klorofil
belum dapat memberikan warna pada kultur.
Pada hari ke-3 pengamatan, kultur Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam
MET dan MBB terlihat berwarna hijau muda. Pada pengamatan hari ke-6, kultur
dalam MBB, MET 1%, MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau muda, kultur dalam
MET 4% berwarna hijau apel, dan kultur dalam MET 5% dan MET 6% berwarna
hijau lumut. Pada pengamatan hari ke-10, kultur dalam MBB dan MET 1%
berwarna hijau muda, kultur dalam MET 2%, dan MET 3% berwarna hijau apel dan
kultur dalam MET 4%, 5%, 6% berwarna hijau tembaga. Perubahan warna hijau
kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga menunjukkan bahwa populasi
sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur.
Gradasi warna hijau kultur selain menunjukkan peningkatan populasi sel,
juga mengindikasikan kadar klorofil yang terkandung dalam sel. Hasil pengukuran
kadar klorofil menunjukkan peningkatan konsentrasi MET menghasilkan kadar
klorofil yang meningkat pula. Kultur yang ditumbuhkan dalam MET 6%
menghasilkan klorofil dengan kadar tertinggi, yaitu sebesar 10,18896 mg/l. Hal
tersebut terjadi kemungkinan karena unsur-unsur komponen pembentuk klorofil
tersedia dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan MET konsentrasi
yang lebih rendah.
Rerata kerapatan sel tertinggi saat peak dicapai oleh kultur dalam MET 4%
(3.981.071 sel/ml). Rerata kerapatan sel lebih rendah dicapai oleh kultur dalam
MET 3% (2.396.250 sel/ml), MET 2% (1.348.962 sel/ml), MBB (1.174.897 sel/ml),
MET 1% (918.750 sel/ml), MET 5% (898.750 sel/ml), MET 6% (660.693 sel/ml).
Rerata kerapatan sel paling rendah dicapai oleh kultur dalam akuabides, yaitu
sebesar 87.096 sel/ml. Waktu yang diperlukan untuk mencapai peak bervariasi
antara 3 sampai 8 hari.
Hasil kerapatan sel (sel/ml) yang berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan
konsentrasi MET. Konsentrasi MET yang optimum untuk pertumbuhan sel
Scenedesmus terdapat pada kisaran 2 sampai 4%. Kerapatan sel pada MET 2 sampai
4% lebih tinggi dibandingkan kerapatan sel dalam MBB. Medium Ekstrak Tauge 4%
menghasilkan kerapatan sel tertinggi (3.981.071 sel/ml) saat peak. Kemungkinan
konsentrasi dan kelengkapan komposisi nutrien yang terlarut dalam MET 4% sesuai
dengan kebutuhan sel Scenedesmus sehingga Scenedesmus tumbuh baik.
Medium Ekstrak Tauge 1% menghasilkan kerapatan sel rendah (918.750
sel/ml) dibandingkan dengan MET 2%, 3%, dan 4%. Konsentrasi nutrien di dalam
MET 1% semakin berkurang akibat pengenceran. Hal tersebut kemungkinan
menyebabkan konsentrasi dan kelengkapan komposisi nutrien yang ada dalam MET
1% tidak mencukupi kebutuhan sel Scenedesmus.
Rerata kerapatan sel lebih rendah pada konsentrasi MET 5% (898.750
sel/ml) dan MET 6% (660.693 sel/ml). Hal tersebut kemungkinan terjadi karena
nutrien yang terkandung dalam konsentrasi media tersebut, melebihi nutrien yang
seharusnya dibutuhkan oleh Scenedesmus. Kelebihan nutrien tertentu tidak
menyebabkan gangguan yang berarti pada metabolisme sel Scenedesmus. Akan
tetapi, kelebihan nutrien yang termasuk ke dalam logam seperti Cu dan Mn dapat
mengganggu metabolisme sel.
Sebaliknya, kerapatan sel saat peak dalam MET 4%, 3%, dan 2% lebih
tinggi dibandingkan pada MBB. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi
tersebut kelengkapan nutrien di dalam MET tersebut, mendukung pertumbuhan
Scenedesmus sehingga menghasilkan kerapatan sel yang tinggi. Medium Basal Bold
hanya mengandung senyawa anorganik, sedangkan MET mengandung senyawa
anorganik, organik dan beberapa vitamin.
Kultur dalam media perlakuan akuabides menghasilkan kerapatan sel
terendah (87.096 sel/ml) pada saat peak. Proses penyulingan menghasilkan
akuabides yang bebas dari kontaminan seperti mikroorganisme, senyawa organik,
dan anorganik. Akibatnya, sel-sel Scenedesmus yang diinokulasikan ke dalam
akuabides tidak mendapatkan nutrien yang dibutuhkan bagi pertumbuhan.
Kerapatan sel Scenedesmus dalam MET tidak sebanding dengan kadar
klorofil yang dikandungnya. Kemungkinan yang terjadi adalah kadar klorofil dalam
tiap individu sel Scenedesmus pada MET 6% lebih banyak dibandingkan kadar
klorofil dalam individu sel Scenedesmus pada konsentrasi yang lebih rendah. Hal
tersebut, terlihat dari warna sel Scenedesmus yang ditumbuhkan dalam MET 6%
berwarna lebih hijau dibandingkan dengan sel Scenedesmus dalam MET
konsentrasi yang lebih rendah.
Media perlakuan MET 6% menghasilkan kadar klorofil yang tinggi, karena
unsur-unsur pembentuk klorofil tersedia dalam jumlah yang lebih banyak
dibandingkan pada MET konsentrasi lebih rendah, akan tetapi kerapatan sel paling
rendah. Kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan penyerapan nutrien-nutrien
pembentuk molekul klorofil seperti Fe dan Mg yang tergolong nutrien logam.
Penyerapan nutrien logam dipengaruhi oleh permukaan sel mikroalga. Permukaan
sel mikroalga memiliki berbagai gugus fungsional yang memiliki afinitas tinggi
bagi ion-ion logam sehingga mempermudah penyerapan melewati membran sel.
Sementara itu, nutrien non logam yang konsentrasinya cukup tinggi dalam MET 6%
tetapi dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel agak sulit diserap oleh
sel. Akibatnya dalam MET 6% proses sintesis klorofil oleh sel lebih optimal
dibandingkan dengan pertumbuhan dan proses pembelahan sel.

2. Evaluasi Pertumbuhan Mikroalga dalam Medium POME: Variasi


Jenis Mikroalga, Medium dan Waktu Penambahan Nutrient
Budidaya alga dalam limbah merupakan suatu alternatif yang efektif dan
efisien. Palm Oil Mill Effluent (POME) yang kaya akan mineral seperti N, P, K dan
berbagai mineral lain sangat cocok untuk digunakan sebagai pupuk atau nutrien
pada tanaman. Dengan mengolah POME sebagai nutrien bagi alga, selain dapat
memaksimalkan pengolahan limbah untuk menjadi limbah yang tidak berbahaya,
produksi alga juga dapat ditingkatkan.
Alga yang ditumbuhkan pada medium POME ada tiga macam, yaitu
Spirulina plantesis, Nannochloropsis sp. dan Chlorella sp. Spirulina plantesis
merupakan mikroalga hijau kebiruan, mengandung 72% protein, 8% lipid, dan 16%
karbohidrat. Nannochloropsis sp. berwarna kehijauan, tidak motil, tidak berflagel,
dan hidup di air tawar dan air laut. Chlorella sp. berbentuk bulat, hidup soliter, dan
mengandung 50% protein, lemak, vitamin (A, B, D, E, K), dan pigmen hijau
(klorofil) yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis. Fotosintesis
merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan mikroalga dan beberapa bakteri
untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Mikroalga menangkap
energi dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakannya untuk
mengubah substansi anorganik menjadi senyawa gula sederhana.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain kondisi optimum untuk
pertumbuhan mikroalga dalam POME, kemampuan hidup bagi mikroalga dalam
POME, kandungan unsur N, P dan C dalam limbah POME sebagai media
pertumbuhan dan perkembangan mikroalga. Nutrien yang digunakan pada medium
POME terdiri dari urea dan natrium bikarbonat. Variabel bebas yang digunakan
adalah medium pertumbuhan (limbah POME, fresh water, saline water), jenis
mikroalga (Spirulina, Nannochloropsis, Chlorella), jenis nutrien (tanpa
penambahan nutrien, penambahan urea, penambahan natrium bikarbonat,
penambahan keduanya), serta waktu penambahan (di awal, setiap dua hari sekali).
Optical Density (OD) berbanding lurus dengan biomass dan jumlah selnya.
Pada OD yang dama, biomassa yang dihasilkan oleh Spirulina merupakan yang
terbesar, kemudian Chlorella, dan yang paling rendah adalah Nannochloropsis.
Spirulina memiliki jumlah sel tiap milimeter yang paling sedikit di antara
Nannochloropsis dan Chlorella. Hal ini dikarenakan ukuran Spirulina (panjang 200
sampai 300 μm dan lebar 5 sampai 70 μm) lebih besar dari Nannochloropsis
(diameter 2 sampai 4 μm) dan Chlorella (diameter 2 sampai 8 μm), sehingga jumlah
sel Spirulina tidak sebanyak Nannochloropsis dan Chlorella untuk mencapai OD
atau kerapatan yang sama. Berdasarkan ukuran dan jumlah sel untuk OD atau
kerapatan yang sama, urutan biomassa yang dihasilkan terbanyak adalah Spirulina,
Chlorella, dan Nannochloropsis.
Laju pertumbuhan mikroalga Spirulina, Nannochloropsis, dan Chlorella
dalam limbah POME lebih tinggi daripada mikroalga yang dibiakkan dalam media
fresh dan saline water. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan nutrien yang dibutuhkan
mikroalga cukup besar, yaitu perbandingan massa C:N:P = 56:9:1, sedangkan
limbah POME yang digunakan mengandung nutrien (C, N, P) yang cukup besar
yaitu dengan perbandingan massa C:N:P = 34:16:1.
Selain itu, mikroalga yang hidup dalam saline water memiliki laju
pertumbuhan lebih tinggi daripada mikroalga yang hidup dalam fresh water. Hal ini
disebabkan ketiga jenis mikroalga ini paling optimum hidup dalam kondisi salinitas
5 sampai 15 ppm, sedangkan saline water yang digunakan mengandung salinitas 10
ppm.
Waktu penambahan nutrien yang berbeda mempengaruhi laju
pertumbuhan mikroalga. Laju pertumbuhan pada penambahan nutrien setiap dua
hari sekali lebih tinggi daripada penambahan nutrien di awal atau tanpa penambahan
nutrien. Hal ini dikatenakan nutrien yang ada pada POME kurang mencukupi
kebutuhan nutrien mikroalga, sehingga suplai nutrien tambahan yang dibutuhkan
mikroalga lebih berlimpah pada penambahan nutrien setiap dua hari.
Mikroalga menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses
fotosintesis. Reaksi fotosintesis mikroalga adalah sebagai berikut.
122 CO2 + 16 NH4 + PO33− + 58 H2O → C122H179O44N16P + 131 O2 + H+
Hasil biomassa yang maksimal diperoleh adalah 0,2 gram/L. Dengan asumsi bahwa
biomassa yang dihasilkan sebanding dengan produk (C122H179O44N16P), maka
dengan perbandingan mol didapatkan kebutuhan nutrien C (pada CO2) adalah 0,102
gram/L dan N (pada NH4) adalah 0,016 gram/L.
Pada medium POME, nutrien yang diberikan selain didapatkan dari
medium juga didapat dari nutrien yang ditambahkan yakni NaHCO3 dan CO(NH2)2.
Pada penambahan awal, diberikan NaHCO3 sebesar 50 ppm dan CO(NH2)2 sebesar
25 ppm, sedangkan pada penambahan 2 hari sekali diberikan NaHCO3 sebesar 30
ppm dan CO(NH2)2 sebesar 5 ppm. Dari data perbandingan unsur C, N, dan P yang
dibutuhkan mikroalga dan yang terkandung dalam medium POME, didapatkan
bahwa penambahan nutrien N tidak diperlukan karena sudah tercukupi dari POME,
tetapi masih memerlukan penambahan nutrien C. Pada perhitungan didapatkan
bahwa penambahan nutrien dua hari sekali memiliki kebutuhan nutrien C yang
paling mendekati kebutuhan C optimal untuk pertumbuhan mikroalga.
Pada medium saline dan fresh water, tidak terdapat kandungan C, N dan P
sehingga nutrien yang dibutuhkan mikroalga murni hanya didapatkan dari
penambahan nutrien yang dilakukan dua hari sekali. Pada perlakuan tanpa nutrien
terlihat nutrien C kurang dapat memenuhi kebutuhan mikroalga, sedangkan nutrien
N pada POME sudah melebihi kadar optimum sehingga pertumbuhannya lebih
rendah daripada perlakuan penambahan nutrien di awal dan dua hari sekali. Pada
medium saline dan fresh water dengan nutrien berjumlah sama, pertumbuhan
mikroalga pada saline water lebih baik daripada pertumbuhan mikroalga pada fresh
water karena saline water merupakan habitat dari miktoalga.
Mikroalga Spirulina platensis mengalami pertumbuhan paling baik
dibanding kedua mikroalga lain, karena Spirulina platensis adalah mikroalga yang
mampu tumbuh dalam berbagai kondisi. Laju pertumbuhan Chlorella lebih tinggi
dari Nannochloropsis, karena Chlorella memiliki toleransi lebih tinggi terhadap
kebutuhan CO2 dibanding Nanochloropsis.

DAFTAR PUSTAKA

Mahdi, M. Z., dkk. 2012. Evaluasi Pertumbuhan Mikroalga dalam Medium POME:
Variasi Jenis Mikroalga, Medium dan Waktu Penambahan Nutrient. Jurnal
Teknologi Kimia dan Industri. 1(1): 312−319.
Prihantini, N. B., dkk. 2007. Pengaruh Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge (MET)
terhadap Pertumbuhan Scenedesmus Isolat Subang. Makara Seri Sains.
11(1): 1−9.

You might also like