You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Hipotiroidisme merupakan suatu sindroma klinis akibat penurunan

produksi dan sekresi hormon tiroid. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan

laju metabolisme tubuh dan penurunan glukosaminoglikan di interstisial terutama

dikulit dan otot.1 Hipotiroidisme biasanya disebabkan oleh proses primer dimana

jumlah produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid tidak mencukupi. Dapat juga

sekunder oleh karena gangguan sekresi hormon tiroid yang berhubungan dengan

gangguan sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang adekuat dari kelenjar

hipofisis atau karena gangguan pelepasan Thyrotropin Releasing Hormone (TRH)

dari hipotalamus (hipotiroid sekunder atau tersier). Manifestasi klinis pada pasien

akan bervariasi, mulai dari asimtomatis sampai keadaan koma dengan kegagalan

multiorgan (koma miksedema).2,3

Hipotiroidisme merupakan suatu penyakit kronik yang sering ditemukan di

masyarakat. Diperkirakan prevalensinya cukup tinggi di Indonesia mengingat

sebagian besar penduduk bermukim di daerah defisiensi iodium. Sebaliknya di

negara-negara Barat, penyebab tersering adalah tiroiditis autoimun.4

Gejala-gejala klinis hipotiroidisme sering tidak khas, juga dapat ditemukan

pada orang normal atau penyakit-penyakit lain, maka untuk menegakkan

diagnosisnya perlu diperiksa fungsi tiroid. Kesalahan dalam mendiagnosis

hipotiroidisme dapat berakibat berbagai efek yang tidak diinginkan oleh terapi

hormon tiroid, sementara penyakit dasar yang sebenarnya tidak terdiagnosis.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid7,10


Kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus yang simetris, dihubungkan oleh

Isthmus, terkadang terdapat lobus pyramidalis. Kelenjar tiroid dibungkus oleh

fascia propria (true capsule) dan fascia pretrakealis (false capsule). Berat kelenjar

tiroid ± 500 gram dan tinggi ± 5 cm. Kelenjar tiroid letak ventral di bagian kaudal

laring (Kartilago Thyreoidea + Cricoidea) di bagian cranial trakea (s/d cincin

kartilago trakealis VI). Kelenjar tiroid ditutupi oleh otot-otot Infrahyoid. Di

medial (sisi dalam) kelenjar tiroid terdapat laring, trakea, esofagus, carotid sheath,

dan N. Recurrens laryngeus. Kelenjar tiroid melekat pada laring dan ikut gerakan

naik-turun laring. Kelenjar tiroid diperdarahi oleh A.thyreoidea superior (cab.

A.carotis externa), A.thyreoidea inferior (cab.truncus threocervicalis) mensuplai

ke sebagian besar kelenjar dan A.thyreoidea ima (cab. Truncus brachiocephalicus

atau langsung dari arcus aortae). Aliran darah vena (v.thyreoidea superior dan

inferior), v.thyreoidea superior bermuara ke dalam v.jugularis interna dan

v.thyreoidea inf bermuara ke v.brachiocephalica.

2
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid7

Kelenjar tiroid berperan mempertahankan derajat metabolisme dalam

jaringan pada titik optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada

kebanyakan sel tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang,

dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan serta maturasi normal. Apabila tidak

terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin, akan timbul kelambanan

mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi mental dan dwarfisme.

Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan menimbulkan penyusutan tubuh,

gugup, takikardi, tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang

kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triiodotironin (T3). Iodium

nonorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid.

Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas

yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini

kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4

kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar

yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid akan terikat

oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau

prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA).

Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang

peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan

oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai negative

3
feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi.

Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian terhadap

perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh.

Gambar 2. Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid7

B. Definisi

Hipotiroidisme adalah sindroma yang disebabkan oleh konsentrasi hormon

tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh

secara umum. Kejadian hipotiroidisme sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor

geografik dan lingkungan seperti asupan iodium dan goitrogen, predisposisi

genetik dan usia. Secara klinis dikenal 1. Hipotiroidisme sentral, karena kerusakan

hipofisis/hipotalamus; 2. Hipotiroidisme primer apabila yang rusak kelenjar tiroid

dan 3. Karena sebab lain: sebab farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan

4
yodium dan resistensi perifer. Yang paling banyak ditemukan ialah hipotiroidisme

primer.5,6

Hipotiroidisme merupakan kumpulan tanda dan gejala yang

manifestasinya tergantung dari: a) Usia pasien b) cepat tidaknya hipotiroidisme

terjadi c) ada tidaknya kelainan lain. Hipotiroidisme intrauterin dan neonatal

mengakibatkan retardasi mental dan fisik yang ireversibel apabila tidak diberi

pengobatan segera setelah lahir. Sedangkan apabila terjadi pada anak dan dewasa,

meskipun berat tetapi reversibel. Pada usia lanjut klinisnya cenderung kurang jelas

dan spesifik, sebab banyak yang menyerupai gejala usia lanjut. Makin cepat

hipotiroidisme terjadi, makin jelas gejala dan tanda klinisnya. Pada tiroiditis

autoimun kronik mengalami fase subklinis yang terjadi selama bertahun-tahun

sebelum terjadi manifestasi klinis.6

C. Epidemiologi
Insidensi hipotiroidisme bervariasi tergantung kepada faktor geografik dan

lingkungan seperti kadar iodium dalam makanan dan asupan zat goitrogenik.

Selain itu juga berperan faktor genetik dan distribusi usia dalam populasi tersebut.

Di seluruh dunia penyebab hipotiroidisme terbanyak adalah akibat kekurangan

iodium. Sementara itu di negara-negara dengan asupan iodium yang mencukupi,

penyebab tersering adalah tiroiditis autoimun. Di daerah endemik, prevalensi

hipotiroidisme adalah 5 per 1000, sedangkan prevalensi hipotiroidisme subklinis

sebesar 15 per 1000. Hipotiroidisme umumnya lebih sering dijumpai pada wanita,

dengan perbandingan angka kejadian hipotiroidisme primer di Amerika adalah 3,5

per 1000 penduduk untuk wanita dan 0,6 per 1000 penduduk untuk pria.1,4
The Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES

III) yang melakukan survey pada 17.353 individu yang mewakili populasi di

5
Amerika Serikat melaporkan frekuensi hipotiroidisme sebesar 4,6% dari populasi

(0,3% dengan klinis jelas dan 4,3% sub klinis). Lebih banyak ditemukan pada

wanita dengan ukuran tubuh yang kecil saat lahir dan indeks massa tubuh yang

rendah pada masa kanak-kanak. Dan prevalensi hipotiroidisme ini lebih tinggi

pada ras kulit putih (5,1%) di bandingkan dengan ras hispanik (4,1%) dan Afrika-

Amerika (1,7%).3,5
Prevalensi hipotiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melakukan pemeriksaan kadar TSH sebagai

salah satu penunjang diagnostik gangguan tiroid. Dari pemeriksaan TSH tersebut

didapatkan 2,7% laki-laki dan 2,2% perempuan memiliki kadar TSH tinggi yang

menunjukkan kecurigaan adanya hipotiroid.8

D. Etiologi
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer,

sekunder, tersier, serta resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid.

Hipotiroidisme primer terjadi akibat kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid,

sedangkan hipotiroidisme sekunder adalah akibat defisiensi hormon TSH yang

dihasilkan oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier disebabkan oleh defisiensi TRH

yang dihasilkan oleh hipotalamus. Penyebab terbanyak hipotiroidisme adalah

akibat kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme primer).1,6

Dibedakan hipotiroidisme klinis dan hipotiroidisme subklinis.

Hipotiroidisme klinis ditandai dengan kadar TSH tinggi dan kadar FT4 rendah,

sedangkan pada hipotiroidisme subklinis ditandai dengan kadar TSH tinggi dan

kadar FT4 normal, tanpa gejala atau ada gejala sangat minimal. Akibat jangka

panjangnya yaitu hiperkolesterolemia dan menurunnya faal jantung. Masih ada

kontroversi tentang diobati atau tidak diobati kasus hipotiroidisme subklinis ini.

6
Pengalaman menunjukkan substitusi tiroksin pada kasus dengan TSH >10 mU/ml

memperbaiki keluhan dan kelainan objektif jantung. Dosis harus disesuaikan

apabila pasien hamil. Untuk mencegah krisis adrenal pada pasien dengan

insufisiensi adrenal, glukokortikoid harus diberikan terlebih dahulu sebelum terapi

tiroksin.6

Tabel 1. Etiologi Hipotiroidisme7

Tiroiditis Hashimoto mungkin merupakan penyebab hipotiroidisme

tersering. Pada pasien-pasien lebih muda, lebih sering dihubungkan dengan goiter;

pada pasien lebih tua, kelenjar mungkin dihancurkan total oleh proses imunologis

dan satu-satunya sisa penyakit ini adalah uji antibodi mikrosomal antitiroid yang

terus-menerus positif. Seperti juga, stadium terakhir penyakit Graves adalah

hipotiroidisme. Hal ini makin dipercepat dengan terapi destruktif seperti

pemberian iodin radioaktif atau tiroidektomi subtotal. Kelenjar tiroid yang terlibat

dalam penyakit autoimun lebih rentan terhadap asupan iodida berlebihan, (seperti

iodide-containing cough preparat atau obat antiaritmia amiodaron) atau

pemberian media kontras radiografik yang mengandung iodida. Sejumlah besar

iodida yang besar menghambat sintesis hormon tiroid, menimbulkan

hipotiroidisme dengan goiter pada pasien dengan kelainan kelenjar tiroid; kelenjar

normal biasanya "lolos" dari blok iodida.7,10

7
Walaupun prosesnya bisa disembuhkan sementara dengan menghentikan

iodida, penyakit dasarnya biasanya akan terus berlangsung dan biasanya akan

terjadi hipotiroidisme. Hipotiroidisme dapat terjadi selama fase lanjut tiroiditis

subakut; ini biasanya sementara, akan tetapi dapat menjadi permanen pada kira-

kira 10% pasien. Defisiensi iodida adalah penyebab hipotiroidisme yang jarang

ditemukan di Amerika Serikat tapi lebih sering di negara-negara berkembang.

Obat-obat tertentu dapat menghambat sintesis hormon dan menimbulkan

hipotiroidisme dengan goiter; pada saat ini litium karbonas merupakan penyebab

farmakologis tersering dari hipotiroidisme (di samping iodida), yang digunakan

dalam terapi keadaan manik-depresif, dan amiodaron. Terapi kronis (jangka

panjang) dengan obat-obat antitiroid propiltiourasil dan metimazol akan berakibat

sama. Kelainan bawaan sintesis hormon tiroid akan berakibat terjadinya

hipotiroidisme berat bila hambatan pada sintesis hormon adalah lengkap, atau

hipotiroidisme ringan bila hambatan hanya sebagian. Disfungsi hipofisis dan

hipotalamus cukup jarang ditemukan sebagai penyebab hipotiroidisme. 7,10

E. Patogenesis
Defisiensi hormon tiroid mempengaruhi semua jaringan tubuh, sehingga

gejalanya bermacam-bermacam. Kelainan patologis yang paling khas adalah

penumpukan glikosaminoglikan--kebanyakan asam hialuronat--pada jaringan

interstisial. Penumpukan zat hidrofilik dan peningkatan permeabilitas kapiler

terhadap albumin ini bertanggung jawab terhadap terjadinya edema interstisial

yang paling jelas pada kulit, otot jantung dan otot bergaris. Penumpukan ini tidak

berhubungan dengan sintesis berlebih tapi berhubungan dengan penurunan

destruksi glikosaminoglikan.10

8
F. Manifestasi Klinis 2,8,9
Spektrum gambaran klinik hipotiroidisme sangat lebar, mulai dari keluhan

cepat lelah atau mudah lupa sampai gangguan kesadaran berat (koma miksedema).

Dewasa ini sangat jarang ditemukan kasus-kasus dengan koma miksedema. Gejala

yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan dingin,

berat badan naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot.
1. Tanda kardiovaskular-- Hipotiroidisme ditandai oleh adanya gangguan

kontraksi otot, bradikardi, dan penurunan curah jantung. EKG memperlihatkan

kompleks QRS tegangan rendah dan gelombang P dan T, dengan perbaikan

pada respons terhadap terapi. Pembesaran jantung dapat terjadi; pembesaran ini

bisa disebabkan oleh edema interstisial, pembengkakan miofibril non-spesifik,

dan dilatasi ventrikel kiri tapi sering karena efusi perikardial. Derajat efusi

perikardial dengan mudah dapat ditentukan dengan ekokardiografi. Walau

curah jantung berkurang, jarang dijumpai gagal jantung kongestif dan edema

pulmonum. Ada pertentangan apakah miksedema mendorong terjadinya

penyakit arteri koronaria, tetapi penyakit arteri koronaria lebih umum terjadi

pada pasien dengan hipotiroidisme, khususnya pasien lebih tua. Pada pasien

dengan angina pektoris, hipotiroidisme dapat melindungi jantung dari stres

iskemik, dan terapi penggantian dapat mencetuskan angina.


2. Fungsi paru-- Pada orang dewasa, hipotiroid ditandai dengan pernapasan

dangkal dan lambat dan gangguan respons ventilasi terhadap hiperkapnia atau

hipoksia. Kegagalan pernapasan adalah masalah utama pada pasien dengan

koma miksedema.
3. Peristaltik usus jelas menurun, berakibat konstipasi kronis dan kadang-kadang

ada sumbatan feses berat atau ileus.

9
4. Fungsi ginjal terganggu, dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan

kegagalan kemampuan untuk mengekskresikan beban cairan. Hal ini

disebabkan pasien miksedema mempunyai predisposisi terhadap intoksikasi

cairan jika cairan dalam jumlah berlebihan diberikan.


5. Anemia-- Setidaknya ada empat mekanisme yang turut berperan dalam

terjadinya anemia pada pasien hipotiroidisme: (1) gangguan sintesis

hemoglobin sebagai akibat defisiensi hormon tiroksin; (2) defisiensi zat besi

dari peningkatan kehilangan zat besi akibat menoragia, demikian juga karena

kegagalan usus untuk mengabsorbsi besi; (3) defisiensi asam folat akibat

gangguan absorbsi asam folat pada usus; dan (4) anemia pernisiosa, dengan

anemia megaloblastik defisiensi vitamin B12. Anemia pernisiosa seringkali

merupakan bagian spektrum penyakit autoimun, termasuk miksedema akibat

tiroiditis kronika berhubungan dengan autoantibodi tiroid, anemia pernisiosa

berhubungan dengan autoantibodi sel parietalis, diabetes melitus berhubungan

dengan autoantibodi sel-sel pulau Langerhans, dan insufisiensi adrenal

berhubungan dengan autoantibodi adrenal .


6. Sistem neuromuskular-- Banyak pasien mengeluh gejala-gejala yang

menyangkut sistem neuromuskular, seperti, kram otot parah, parestesia, dan

kelemahan otot.
7. Gejala-gejala sistem saraf pusat dapat termasuk kelemahan kronis, letargi,

dan tidak mampu berkonsentrasi. Hipotiroidisme mengakibatkan gangguan

konversi metabolisme perifer dari prekursor estrogen menjadi estrogen,

berakibat perubahan sekresi FSH dan LH dan siklus anovulatoar dan

infertilitas. Hal ini dihubungkan dengan menoragia berat. Pasien-pasien

miksedema biasanya cukup tenang tapi dapat sangat depresi atau bahkan sangat

agitatif ("kegilaan miksedema" = "myxedema madness").

10
Gambar 3. Efek dan manifestasi klinis hipotirodisme11

G. Diagnosis
Terdapat tiga pegangan klinis untuk mencurigai adanya hipotiroidisme,

yaitu apabila ditemukan:13


1. Klinis keluhan-keluhan dan gejala fisik akibat defisiensi hormon tiroid.
2. Tanda-tanda adanya keterpaparan atau defisiensi, pengobatan ataupun

etiologi dan risiko penyakit yang dapat menjurus kepada kegagalan tiroid

dan hipofisis.
3. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit

tiroiditis autoimun kronis.


Kombinasi FT4 serum yang rendah dan TSH serum meningkat adalah

diagnostik adanya hipotiroidisme primer. Kadar T3 bervariasi dan dapat berada

11
dalam batas normal. Uji positif terhadap autoantibodi tiroid mengarah tiroiditis

Hashimoto yang mendasari. Pada pasien dengan miksedema hipofisis, FT 4 akan

rendah tapi TSH serum tidak akan meningkat. Kemudian mungkin perlu

membedakan penyakit hipofisis dari hipotalamus, dan untuk hal ini uji TSH

paling membantu. Tidak adanya respons TSH terhadap TRH menunjukkan adanya

defisiensi hipofisis. Respon parsial atau "normal" menunjukkan bahwa fungsi

hipofisis intak tapi bahwa defek ada pada sekresi TRH hipotalamus. Pasien

mungkin mendapatkan terapi tiroid (levotiroksin atau tablet tiroid kering) ketika

pertama kali kita jumpai.10

Kelenjar tiroid yang teraba atau membesar dan uji positif terhadap

autoantibodi tiroid akan mengarahkan pada adanya tiroiditis Hashimoto yang

mendasari, pada kasus mana terapi harus diteruskan. Jika antibodi tidak ada, terapi

harus dihentikan selama 6 minggu. Masa penghentian 6 minggu diperlukan karena

waktu paruh tiroksin cukup panjang (7 hari) dan memungkinkan kelenjar tiroid

penyembuhan kembali setelah penekanan yang cukup lama. Pola penyembuhan

fungsi tiroid setelah penghentian T4. Pada individu hipotiroid, TSH menjadi jelas

meningkat pada 5-6 minggu dan T 4 tetap normal, kemudian keduanya normal

setelah 6 minggu pada pengawasan eutiroid.10

Pada pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis

didapatkan hasil:14

a. Serum TSHs

Normal : 0,3 – 5,0 mU/L ; Pada Hipotiroid ( > 5,0 mU/L)

b. Hormon Tiroid Total (TT4 dan TT3)

12
Normal T4 : 4,5-11,7 g/dl

T3 : 0,8 – 1,8 g/dl  Pada hipotiroid akan


c. Hormon Tiroid Bebas (FT3 dan FT4)
Normal FT4 : 0,9 – 1,9 ng/dl
FT3 : 3,5 – 6,1 pg/ml Pada hipotiroid akan
d. Perubahan biokimia
Kadar kolesterol serum akan pada hipotiroid
Pemeriksaan yang dilakukan secara radiologis biasanya jarang dilakukan

karena memiliki sifat yang tidak spesifik, akan tetapi pemeriksaan juga dapat

dilakukan untuk menghilangkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan seperti: FNAB, CT-Scan dan MRI (deteksi adanya tumor), USG atau

CT scan tiroid (menunjukkan ada tidaknya goiter), X-foto tengkorak

(menunjukkan kerusakan hipotalamus atau hipofisis anterior), dan Tiroid

scintigrafi dan pemeriksaan radiologi pada rangka dapat menunjukkan tulang

yang mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan, disgenesis epifis dan

keterlambatan perkembangan gigi. Pada pemeriksaan USG dapat memberikan

informasi yang tepat tentang ukuran, bentuk kelenjar tiroid maupun nodul.14

Gambar 4. Diagnosis Hipotiroidisme7


Untuk mendiagnosis hipotiroidisme juga dapat digunakan indeks

diagnostik Billewicz. Indeks ini digunakan juga untuk memisahkan antara

eutiroidisme dan hipotiroidisme.6

13
Tabel 2. Indeks diagnostik Billewicz
H. Diagnosis Banding12

Gambaran klinik suatu hipotiroidisme yang berkembang dengan jelas dan

lengkap adalah sangat karakteristik, tetapi jika tidak ada dugaan yang menjurus ke

arah hipotiroidisme, maka anomali klinik kadang-kadang tidak dikenali oleh

klinisi yang telah berpengalaman sekalipun. Meskipun test yang spesifik tidak

mahal dan tersedia, seringkali para klinisi tidak bisa mengenali gejala klinik

hipotiroidisme primer. Diperlukan kecermatan yang tinggi agar tidak terjadi hal

demikian. Hipotiroidisme yang ringan, seringkali menunjukkan gejala klinis yang

tumpang tindih dengan penyakit lainnya.

Orang usia lanjut sering mengidap hipotiroidisme, hal ini menyebabkan

kekeliruan dan diagnosis yang kurang peka. Pada beberapa kasus menunjukkan

penurunan aktifitas mental dan fisik, kulit kering, rambut mudah rontok,

merupakan gejala yang mirip dengan hipotiroidisme. Orang tua seringkali mudah

mengalami hipotermia jika terpapar udara dingin. Pasien dengan gagal ginjal

kronik juga menunjukkan gejala anoreksia, bengkak periorbital, anemia, torpor,

warna kulit yang kepucatan. Keadaan klinis seperti ini memerlukan pemeriksaan

klinik yang lebih lanjut. Sindrom Nefrotik perlu dibedakan dengan hipotiroidisme

mengingat dari pemeriksaan klinik seringkali sulit dibedakan. Pada penyakit ini

jika terdapat waxy pallor, edema, hiperkolesterolemia, hipometabolisme mungkin

14
mengarah ke hipotiroidisme. Serum T4 total mungkin menurun, jika terjadi

penurunan thyroid binding globulin melalui urin tetapi FT4 dan TSH dalam batas

normal.

Pasien anemia pernisiosa, dan gangguan psikiatris, kulit pucat, numbnes,

dan tingling pada ekstremitas mungkin mirip dengan gejala klinis pada

hipotiroidisme. Meskipun gejala klinik dan imunologis antara hipotiroidisme dan

anemia pernisiosa tumpang tindih, tidak ada keterkaitan antara keduanya. Pada

pasien kritis dan terutama pada usia lanjut sering pula disertai dengan

hipotiroidisme. Pada pasien ini kadar T4 total mungkin menurun, tetapi secara

umum FT4 tetap normal, kecuali pasien dalam keadaan yang sangat kritis. Adanya

gambaran klinik demikian jika disertai dengan tidak adanya peningkatan TSH,

umumnya membedakan antara pasien kritis dalam keadaan eutiroid dengan

hipotiroidisme primer. Kadar serum TSH dapat meningkat sementara sampai

mencapai 20 mU/L selama fase penyembuhan dari sakit berat.

I. Penatalaksanaan Hipotiroidisme 6,7,10,15,16

Hipotiroidisme diobati dengan levotiroksin (T4), yang terdapat dalam

bentuk murni dan stabil dan tidak mahal. Levotiroksin dikonversi menjadi T3 di

intraselular, sehingga kedua hormon sama-sama didapatkan dalam tubuh

walaupun hanya satu jenis. Tiroid kering tidak memuaskan karena isi hormonnya

yang bermacam-macam, dan triiodotirosin (sebagai liotironin) tidak memuaskan

karena absorpsinya yang cepat dan waktu paruhnya yang singkat dan efek

sementara. Waktu paruh levotiroksin kira-kira 7 hari, jadi hanya perlu diberikan

sekali sehari. Preparat ini diabsorpsi dengan, kadar dalam darah mudah dipantau

15
dengan cara mengikuti FT4 dan kadar TSH serum. Dosis harian levotiroksin

sebaiknya diminum pagi hari untuk menghindari gejala-gejala insomnia yang

dapat timbul bila diminum malam hari. Sebagai tambahan, ketika kadar serum

tiroksin dipantau, adalah penting mengukur darah puasa atau sebelum mendapat

dosis harian hormon untuk mendapat data yang konsisten. Dosis levotiroksin :

Dosis penggantian rata-rata levotiroksin pada dewasa adalah 112 µg/hari atau 1,6

µg/kg atau 100-125 mg/hari. Untuk L-T3 25-50 µg. Kadar TSH awal seringkali

dapat digunakan patokan dosis pengganti: TSH 20 µU/ml butuh 50-75 µg tiroksin

sehari, TSH 44-75 µU/ml butuh 100-150 µg. Sebagian besar kasus dibutuhkan

100-200 µg L-T4 sehari. Dosis levotiroksin bervariasi sesuai dengan umur dan

berat badan. Anak kecil membutuhkan dosis yang cukup mengejutkan dibanding

orang dewasa. Pada orang dewasa, rata-rata dosis penggantian T4 kira-kira 1,7

µg/kg/hari atau 0,8 µg/pon/hari. Pada orang dewasa lebih tua, dosis penggantian

lebih rendah, kira-kira 1,6 µg/kg/hari, atau sekitar 0,7 µg/pon/hari. Untuk supresi

TSH pada pasien dengan goiter nodular atau kanker kelenjar tiroid, rata-rata dosis

levotiroksin kira-kira 2,2 µg/kg/hari (1µg/pon/hari). Keadaan malabsorbsi atau

pemberian bersama preparat aluminium atau kolestiramin akan mengubah

absorbsi T4, dan pada pasien-pasien seperti ini dibutuhkan dosis T 4 lebih besar.

Levotiroksin mempunyai waktu paruh cukup panjang (7 hari) sehingga jika pasien

tidak mampu mendapat terapi lewat mulut untuk beberapa hari; meniadakan terapi

levotiroksin tidak akan mengganggu. Namun, jika pasien mendapat terapi

parenteral, dosis parenteral T4 kira-kira 75-80% dosis per oral.

Terapi Koma Miksedema: Koma miksedema adalah kedaruratan medis yang

akut dan harus ditangani di unit perawatan intensif. Gas darah harus dimonitor

16
secara teratur, dan pasien-pasien biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi

mekanis. Penyakit-penyakit yang berhubungan seperti infeksi atau gagal jantung

dicari dan harus diobati dengan terapi yang tepat. Cairan intravena harus diberikan

dengan hati-hati dan asupan cairan bebas berlebihan harus dihindarkan karena

pasien-pasien dengan koma miksedema mengabsorpsi semua obat-obatan dengan

buruk, pemberian levotiroksin harus secara intravena. Pasien-pasien ini

mempunyai deplesi tiroksin serum yang sangat jelas dan sejumlah besar tempat

tempat pengikatan yang kosong, pada globulin pengikat tiroksin dan jadi harus

menerima dosis muatan awal tiroksin intravena, diikuti dengan suatu dosis harian

intravena yang kecil. Suatu dosis awal sejumlah 300-400 µg levotiroksin

diberikan intravena, diikuti oleh 50 µg levotiroksin intravena setiap hari. Petunjuk

klinis adanya perbaikan adalah peningkatan suhu tubuh dan kembalinya fungsi

serebral yang normal dan fungsi pernapasan. Jika diketahui pasien memiliki

fungsi adrenal normal sebelum koma, dukungan adrenal mungkin tidak

diperlukan. Namun, bila tidak ada data tersedia, kemungkinan adanya penyerta

insufisiensi adrenal (berhubungan dengan penyakit adrenal autoimun atau

insufisiensi) bisa terjadi. Pada kasus ini, kortisol plasma harus diukur atau, jika

waktu memungkinkan (30 menit), uji stimulasi kosintropin harus dilakukan.

Kemudian, dukungan adrenal penuh harus diberikan, seperti, hidrokortison

hemisuksinat 100 mg intravena, diikuti dengan 50 mg intravena tiap 6 jam,

tapering dose setelah 7 hari. Dukungan adrenal dapat dihentikan lebih dini jika

kortisol plasma praterapi sekitar 20 µg/dL atau 1ebih besar atau hasil stimulasi

kosintropin dalam batas normal. Bila memberikan levotiroksin intravena dosis

17
besar ada risiko bawaan mempresipitasi angina, kegagalan jantung, atau aritmia

pada pasien-pasien tua dengan dasar penyakit arteri koronaria. Jadi, jenis terapi ini

tidak dianjurkan untuk pasien-pasien rawat jalan dengan miksedema adalah lebih

baik untuk memulai dengan perlahan-lahan dan kemudian sampai dosis seperti

disebut di atas.

Gambar 5. Dosis penggantian Levotiroksin7


7,10
J. Komplikasi

Koma miksedema: Koma miksedema adalah stadium akhir dari

hipotiroidisme yang tidak diobati. Ditandai oleh kelemahan progresif, stupor,

hipotermia, hipoventilasi, hipoglikemia, hiponatremia, intoksikasi air, syok dan

meninggal. Walaupun jarang, ini dapat terjadi lebih sering dalam masa

mendatang, dihubungkan dengan peningkatan penggunaan radioiodin untuk terapi

penyakit Graves, dengan akibat hipotiroidisme permanen. Karena ini paling sering

pada pasien-pasien tua dengan adanya dasar penyakit paru dan pembuluh darah,

mortalitasnya sangat tinggi. Pasien (atau seorang anggota keluarga bila pasien

koma) mungkin ingat akan penyakit tiroid terdahulu, terapi radioiodin, atau

tiroidektomi. Anamnesis menunjukkan awitan bertahap dari letargi terus berlanjut

menjadi stupor atau koma. Pemeriksaan menunjukkan bradikardi dari hipotermia

18
berat dengan suhu tubuh mencapai 24° C (75° F). Pasien biasanya wanita tua

gemuk dengan kulit kekuning-kuningan, suara parau, lidah besar, rambut tipis,

mata membengkak, ileus dan refleks-refleks melambat. Mungkin ada tanda-tanda

penyakit–penyakit lain seperti pneumonia, infark miokard, trombosis serebral atau

perdarahan gastrointestinal. Petunjuk laboratorium dari diagnosis koma

miksedema, termasuk serum "lactescent", karotin serum yang tinggi, kolesterol

serum yang meningkat, dan protein cairan serebrospinalis yang meningkat. Efusi

pleural, perikardial atau abdominal dengan kandungan protein tinggi bisa juga

didapatkan. Tes serum akan menunjukkan FT4 yang rendah dan biasanya TSH

yang sangat meningkat. Asupan iodin radioaktif tiroid adalah rendah dan antibodi

antitiroid biasanya positif kuat, menunjukkan dasar tiroiditis. EKG menunjukkan

sinus bradikardi dan tegangan rendah. Seringkali bila pemeriksaan laboratorium

tidak tersedia, diagnosis harus dibuat secara klinis.

Patofisiologi koma miksedema menyangkut 3 aspek utama : (1) retensi

CO2 dan hipoksia; (2) ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; dan (3)

hipotermia. Retensi CO2 telah lama dikenal sebagai bagian internal dari koma

miksedema dan dianggap diakibatkan oleh faktor-faktor seperti: obesitas,

kegagalan jantung, ileus, imobilisasi, pneumonia, efusi pleural atau peritoneal,

depresi sistem saraf pusat dan otot-otot dada yang lemah cukup turut berperan.

Kegagalan pasien miksedema berespons terhadap hipoksia atau hiperkapnia

mungkin akibat hipotermia. Kegagalan dorongan ventilatori sering berat, dan

bantuan pernapasan hampir selalu dibutuhkan pada pasien dengan koma

miksedema. Terapi hormon tiroid pada pasien-pasien miksedema memperbaiki

hipotermia dan sangat meningkatkan respons ventilasi terhadap hipoksia. Karena

19
dorongan ventilasi yang terganggu, respirasi yang dibantu hampir selalu perlu

pada pasien dengan koma miksedema. Gangguan cairan dan elektrolit yang utama

adalah intoksikasi cairan akibat syndrome of inappropriate secretion of

vasopressin (SIADH). Kelainan ini terlihat sebagai hiponatremia dan ditangani

dengan restriksi air. Hipotermia sering tidak dikenali karena termometer klinis

biasanya hanya sampai kira-kira 34°C (93°F); suatu jenis termometer laboratorium

yang mencatat skala yang lebih besar harus digunakan untuk mendapatkan

pembacaan suhu tubuh yang tepat. Suhu tubuh yang rendah bisa disebabkan

karena hilangnya stimulasi tiroksin pada mekanisme transpor natrium kalium dan

aktivitas ATPase yang menurun. Penghangatan kembali tubuh secara aktif adalah

kontra indikasi, karena dapat menginduksi vasodilatasi dan kolaps vaskular.

Peningkatan suhu tubuh adalah indikasi yang berguna untuk melihat efektivitas

tiroksin. Kelainan-kelainan lain yang dapat mendorong terjadinya koma

miksedema termasuk gagal jantung, edema paru, efusi pleural atau peritoneal,

ileus, kelebihan pemberian cairan, atau pemberian pemberian obat-obat sedatif

atau narkotik pada pasien dengan hipotiroidisme berat. Insufisiensi adrenal

kadang-kadang terjadi berkaitan dengan koma miksedema, tetapi ini relatif jarang

dan biasanya berhubungan dengan miksedema hipofisis atau insufisiensi adrenal

autoimun yang terjadi bersamaan (Sindroma Schmidt).

Kejang, episode perdarahan, hipokalsemia atau hiperkalsemia bisa

dijumpai. Adalah penting untuk membedakan miksedema hipofisis dari

miksedema primer. Pada miksedema hipofisis, bisa didapatkan insufisiensi

adrenal dan pengganti adrenal perlu dilakukan. Petunjuk klinis tentang adanya

miksedema hipofisis termasuk riwayat adanya amenore atau impotensi dan rambut

20
pubis atau aksilar yang jarang; kolesterol serum normal dan kadar TSH hipofisis

yang normal atau rendah. Pada CT scan atau MRI dapat memperlihatkan

pelebaran sella tursika.

K. Prognosis7,10
Perjalanan miksedema yang tidak diobati adalah penurunan keadaan

secara lambat yang akhirnya menjadi koma miksedema dan kematian. Namun,

dengan terapi sesuai, prognosis jangka panjang sangat menggembirakan. Karena

waktu paruh tiroksin yang panjang (7 hari), diperlukan waktu untuk mencapai

keseimbangan pada suatu dosis yang tetap. Jadi, perlu untuk memantau FT4 dan

kadar TSH setiap 4-6 minggu sampai suatu keseimbangan normal tercapai.

Setelah itu, FT4 dan TSH dapat dipantau sekali setahun. Dosis T4 harus

ditingkatkan kira-kira 25% selama kehamilan dan laktasi. Pasien lebih tua

memetabolisir T4 lebih lambat, dan dosis akan diturunkan sesuai dengan umur.

Pada suatu waktu angka mortalitas koma miksedema mencapai kira-kira 80%.
Prognosis telah sangat membaik dengan diketahuinya pentingnya respirasi

yang dibantu secara mekanis dan penggunaan levotiroksin intravena. Pada saat

ini, hasilnya mungkin tergantung pada seberapa baiknya masalah penyakit dasar

dapat dikelola.

21
BAB III
KESIMPULAN

Hipotiroidisme adalah sindroma yang disebabkan oleh konsentrasi hormon

tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh

secara umum. Kejadian hipotiroidisme sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor

geografik dan lingkungan seperti asupan iodium dan goitrogen, predisposisi

genetik dan usia. Secara klinis dikenal 1. Hipotiroidisme sentral, 2.

Hipotiroidisme primer, 3. Karena sebab lain: sebab farmakologis, defisiensi

yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer. Yang paling banyak ditemukan

ialah hipotiroidisme primer.


Spektrum gambaran klinik hipotiroidisme sangat lebar, mulai dari keluhan

cepat lelah atau mudah lupa sampai gangguan kesadaran berat (koma miksedema).

Dewasa ini sangat jarang ditemukan kasus-kasus dengan koma miksedema.

Diagnosis hipotiroid dapat ditegakkan selain dari gejala klinis yang ada tetapi juga

dari pemeriksaan FT4 dan serum TSH. Kombinasi FT 4 serum yang rendah dan

TSH serum meningkat adalah diagnostik adanya hipotiroidisme primer.


Penatalaksanaan hipotiroidisme yaitu dengan memberikan preparat

levotiroksin. Komplikasi dari hipotiroidisme adalah miksedema sebagai akibat

dari keterlambatan pengobatan dan dapat berujung pada kematian. Prognosis dari

hipotiroidisme adalah baik jika didiagnosis sedini mungkin dan diberikan terapi

yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Soewondo P, Cahyanur R. Hipotiroidisme dan gangguan akibat kekurangan

yodium. Dalam: Penatalaksanaan penyakit-penyakit tiroid bagi dokter.

Departemen ilmu penyakit dalam FKUI/RSUPNCM. Jakarta. Interna

publishing. 2008. 14-21


2. Syahbuddin S. Diagnosis dan pengobatan hipotiroidisme. Dalam:

Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T, GD Pemayun T, Nugroho

KH,editors. The 2nd Thyroidologi Update 2009. Badan penerbit Universitas

Diponegoro. Semarang. 2009. 197-205


3. Sumual AR, Langi Y. Hipotiroidisme. Dalam: Djokomoeljanto, editor. Buku

ajar tiroidologi klinik. Badan penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

2007. 295-317
4. Vaidya B, Pearce Simon HS. Management of hypothyroidism in adult. BMJ.

2008; 337: 284-289


5. Orlander PR. Hypothyroidism. [Online] 2015 Feb 19 [cited 2016 Juni 16]:

Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/122393-

overview#a1
6. Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1993-

2003
7. Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. Eighth

edition. New York: Mc graw Hill; 2007.p. 240-8


8. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis

penyakit tiroid; 2015: 1-7


9. Schteingart DE. Gangguan kelenjar tiroid. Dalam: Price SA Wilson LM.

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC;

2005. h.1231-2
10. Anwar R. Fungsi dan kelainan kelenjar tiroid.(Referat). Fakultas Kedokteran

UNPAD; 2005

23
11. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. New York: Thieme;

2000. p.280-1, 284-5


12. Gaitonde DY. Rowley KD. Sweeney LB. Hypothyroidism: an update.

American Family Physician. 2012;86(3):244-251


13. McCullough D. Screening for thyroid disease. Recommended statement.

Annals of Int med, 2004; 140(2): 125-127


14. Eng CY, Quraishi MS, Bradley PJ. Management of Thyroid nodules in adult

patients. Head and Neck Oncology; 2010.p.2-11.


15. Ladenson PW. Problem in the management of hypothyroidism. In: Braverman

FE. Diseases of thyroid. New Jersey: Humana Press; 2003. p.161-173


16. Okosieme O, Gilbertt J, Abraham P, Boelaert K, Dayan C, Gurnell M, et al.

Management of primary hypothyroidism: statement by the British Thyroid

Association Executive Committee. Clinical Endocrinology. 2015;1-10

24

You might also like