You are on page 1of 21

ASUHAN KEPERAWATAN ABRUPTIO PLASENTA

A. Pengertian
Abruptio plasenta atau sering disebut Solusio Plasenta adalah terlepasnya plasenta
yang letaknya normal pada korpus uteri sebelum janin lahir. Biasanya terjadi pada
trimester 3 kehamilan, walaupun dapat pula terjadi setiap saat dalam kehamilan. Plasenta
dapat terlepas selurunya (solusio plasenta totalis), sebagian (solusio plasenta parsialis)
atau hanya sebagian kecil pinggir plasenta (rupture sinus marginalis). Secara klinis
solusio plasenta dibagi dalam solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang, solusio
plasenta berat. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda kliniknya, hal ini sesuai
dengan derajat terlepasnya plasenta.(Bambang Karsono,2002).
Solusio Plasenta adalah lepasnya plasenta dengan implantasi normal sebelum
waktunya pada kehamilan yang berusia di atas 28 minggu. (Arif Mansjoer, 2001).
Solusio Plasenta adalah suatu keadaan dalam kehamilan viable, dimana plasenta yang
tempat implantasinya normal (pada fundus atau korpus uteri) terkelupas atau terlepas
sebelum kala III. (Dr. Chrisdiono. M. Achadiat,SP, 2003).
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya sebelum janin
lahir diberi beragam sebutan; abruptio plasenta, accidental haemorage. Beberapa jenis
perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes diantara selaput ketuban dan
uterus dan kemudian lolos keluar menyebabkan perdarahan eksternal. Yang lebih jarang,
darah tidak keluar dari tubuh tetapi tertahan diantara plasenta yang terlepas dn uterus
serta menyebabkan perdarahan yang tersembunyi.

B. Penyebab
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
faktor yang menjadi predisposisi :
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia
dapat menyebabkan solution plasenta. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa
terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita
yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik dan sisanya hipertensi
yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung
berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu.
2. Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain dekompresi uterus pada hidroamnion dan
gemeli, tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan, trauma langsung,
seperti terjatuh atau terkena tendangan.
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat
bahwa dari 83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada
wanita multipara dan 18 pada primipara. Pengalaman di RSUPNCM menunjukkan
peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium.
4. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya
peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini
dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi
menahun.
5. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh
darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum
terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan
kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.
6. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta
sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat
diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan
beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya
7. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio
plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat
solusio plasenta sebelumnya.
8. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan.

C. Klasifikasi
Plasenta yang terlepas semuanya disebut Solutio Plasenta Totalis, plasenta yang
terlepas sebagian disebut Solutio Plasenta Parsial, plasenta yang terlepas hanya sebagian
kecil pinggir plasenta disebut Ruptura Sinus Marginalis. Klasifikasi Solutio Plasenta
menurut derajatnya :
1. Solusio Plasenta Ringan.
Perdarahannya kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari
seperlima bagian. Perut ibu masih lemas sehingga bagian janin mudah di raba. Tanda
gawat janin belum tampak dan terdapat perdarahan hitam per vagina.
2. Solusio Plasenta Sedang.
Lepasnya plasenta antara seperempat sampai dua pertiga bagian dengan
perdarahan sekitar 1000 cc. perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit di raba.
Janin sudah mengalami gawat janin berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam
menunjukkan ketuban tegang. Tanda persalinan telah ada dan dapat berlangsung cepat
sekitar 2 jam.
3. Solusio Plasenta Berat.
Lepasnya plasenta sudah melebihi dari dua pertiga bagian. Perut nyeri dan tegang
dan bagian janin sulit diraba, perut seperti papan. Janin sudah mengalami gawat janin
berat sampai IUFD. Pemeriksaan dalam ditemukan ketuban tampak tegang. Darah
dapat masuk otot rahim, uterus Couvelaire yang menyebabkan Antonia uteri serta
perdarahan pascapartus. Terdapat gangguan pembekuan darah fibrinogen kurang dari
100-150 mg%. pada saat ini gangguan ginjal mulai nampak.
Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio
plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1. Ringan
Perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan,
janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen
plasma lebih 150 mg%.
2. Sedang
Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat janin
atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar fibrinogen
plasma 120-150 mg%.
3. Berat
Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati,
pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

D. Manifestasi Klinis
1. Solusio Plasenta Ringan
Rupture sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil plasenta yang tidak
berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi keadaan ibu dan janinnya. Apabila
terjadi perdarahan per vagina, warnanya akan kehitaman dengan jumlah yang sedikit.
Perut mungkin terasa agak sakit, atau agak tegang. Walaupun demikian bagian-bagian
janin masih mudah teraba. Uterus yang agak tegang ini harus diawasi terus menerus
apakah akan menjadi lebih tegang lagi karena perdarahan yang terus menerus. Salah
satu tanda yang menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan solusio plasenta ringan
ialah perdarahan per vagina yang berwarna kehitaman.
2. Solusio plasenta sedang
Plasenta terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum sampai dua pertiga luas
permukaannya. Tanda dan gejalanya dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, atau mendadak dengan gejala sakit perut terus-menerus, yang tidak
lama kemudian disusul dengan perdarahan per vagina. Walaupun perdarahan per
vagina tampak sedikit, seluruh perdarahannya mungkin telah mencapai 1000ml. ibu
jatuh dalam keadaan syok, demikian juga keadaan janinnya yang gawat. Dinding
uterus teraba tegang dan nyeri tekan sehingga bagian-baian janin sulit diraba. Apabila
janin dalam keadaan hidup bunyi jantung sulit didengar dengan stetoskop biasa harus
dengan stetoskop ultrasonic.
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua pertiga permukaannya. Terjadi sangat tiba-
tiba, biasanya ibu telah jatuh kedalam syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya
sangat tegang seperti papandan sangat nyeri. (Bambang Karsono,2002)
E. Patofisiologi
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Apabila
perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan plasenta,
peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda serta gejalanya
pun tidak jelas. Kejadiannya baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada
pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah
lama yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah
meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan
perdarahannya. Akibatnya, hematoma retroplasenter akan bertambah besar, sehingga
sebagian dan akhirnya seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan
menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina; atau menembus selaput
ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan ekstravasasi di antara
serabut-serabut otot uterus.
Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat, seluruh permukaan uterus akan berbercak
biru atau ungu. Hal ini disebut uterus Couvelaire, menurut orang yang pertama kali
menemukannya. Uterus seperti itu akan terasa sangat tegang dan nyeri. Akibat kerusakan
jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter, banyak tromboplastin akan masuk
ke dalam peredaran darah ibu, sehingga terjadi pembekuan intravaskuler di mana-mana,
yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya, terjadi
hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya di uterus,
akan tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya. Perfusi ginjal akan terganggu karana syok
dan pembekuan intravaskuler. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli
ginjal mendadak yang masih dapat sembuh kembali, atau akibat nekrosis korteks ginjal
mendadak yang biasanya berakibat fatal. Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta
yang terlepas dari dinding uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,
mungkin tidak berpengaruh sama sekali, atau mengakibatkan gawat janin. Waktu, sangat
menentukan hebatnya gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan nasib janin.
Makin lama sejak terjadinya Solutio plasenta sampai selesai, makin hebat umumnya
komplikasinya (Arif Mansjoer. 2001).
Solusio plasenta di awali perdarahan kedalam desidua basalis. Desidua kemudian
terpisah, meninggalkan satu lapisan tipis yang melekat ke endometrium. Akibatnya,
proses ini pada tahapnya yang paling awal memperlihatkan pembentukan hematom
desidua yang menyebabkan pemisahan, penekanan, dan akhirnya destruksi plasenta yang
ada di dekatnya. Pada tahap awal mungkin belum ada gejala klinis. Pada beberapa kasus,
arteri spiralis desidua mengalami rupture sehingga menyebabkan hematom retroplasenta,
yang sewaktu membesar semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas.
Bagian plasenta yang memisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. Karena
masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat beronntraksi untuk menjepit
pembuluh darah yang robek yang memperdarahi tempat implantasi plasenta. Darah yang
keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul
sebagai perdarahan eksternal, atau mungkin tetap tertahan dalam uterus.

Pathway Solutio Plasenta

Faktor pencetus Faktor resiko


a. Hipertensi ( preeklamsi dan eklamsi) a. Multi paritas dan usia ibu
b. Tali pusat pendek / lilitan tali pusat b. Penyalahgunaan cocain
c. Uterus yang sangat kecil c. Merokok dan alkohol
(hidramnion, gemelli) d. Riwayat solusio plasenta
d. Tekanan pada vena cava inferior
e. Trauma abdomen

Perdarahan pada pembuluh darah plasenta / uterus

Perdarahan kedalam disudua basalis / hematoma pada desidua

Desidua terkelupas dan tersisa semua lapisan tipis


Perdarahan terperangkap di cavum uteri
yang melekat pada miometrium.

Terjadi separasi ( desakan ) dan plasenta tertekan


oleh hematoma desidula

Arteri spiralis pada desidua pecah

Hematoma retroplasenta semakin luas


Plasenta terkelupas sampai mendekati tepi plasenta

Uterus berkontraksi dan serviks dilatasi Gangguan rasa nyaman nyeri

Darah merembes ke pinggir membran


Resiko tinggi infeksi
Perdarahan ( revealed)
Ansietas

Hipovolemi

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

F. Pemeriksaan Diagnostik
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta antara
lain :
1. Anamnesis.
a) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat menunjukkan
tempat yang dirasa paling sakit.
b) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan sekonyong-konyong (non-
recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna
kehitaman.
c) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak
tidak bergerak lagi).
d) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat
anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
e) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi.
a) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
b) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
c) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu)
3. Palpasi
a) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
b) Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden
uterus) baik waktu his maupun di luar his.
c) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
d) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di
atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang
terlepas lebih dari satu per tiga bagian.
5. Pemeriksaan Dalam
a) Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
b) Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang, baik
sewaktu his maupun di luar his.
c) Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan
turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini
sering meragukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan Umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita
penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok.
Nadi cepat, kecil dan filiformis.
7. Pemeriksaan Laboratorium
a) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan
leukosit.
b) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l
jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar
normalnya 15O mg%).
8. Pemeriksaan Plasenta
Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan cekung di
bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang
biasanya menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma retroplacenter.
9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain: terlihat daerah
terlepasnya plasenta-Janin dan kandung kemih ibu, darah, tepian plasenta.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
Menunda pelahiran mungkin bermamfaat pada janin masih imatur serta bila
solusio plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin
lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk
memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang
masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada
solusio plasenta yang nyata secara klinis
2. Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang hidup hampir selalu berarti seksio caesaria.
Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena ia mengalami hipovolemia berat dan
koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parahnya sehingga
menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali
apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan dengan
penggantian darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang menghalangi
persalinan pervaginam.
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala
klinis, yaitu:
Klasifikasi Penanganan Klinis
Solusio  Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada
Plasenta perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang,
Ringan janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu
persalinan spontan.
 Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio
plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio
plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri.
 Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan
amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
Solusio  Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan,
Plasenta penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus
Sedang Dan oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
Berat  Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan
telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus
segera diberikan.
 Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan
intrauterin.
 Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi
ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari
hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-
mana.
 Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang
bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah
mengalami gangguan.
 Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya
yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya
masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik.
 Bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali.
 Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh
karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran
urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio
plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan
preeklamsia.
 Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang,
pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia,
menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan
pembekuan darah.
 Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan
pengamatan pembekuan darah.
 Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh
karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang
sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan
persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan
pembekuan darah.
 Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio
plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan
amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan
persalinan adalah seksio sesaria.
 Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi
histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan
setelah dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu
dilakukan.

H. Komplikasi
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak
dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan
telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena
kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III
persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat
keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat. Tekanan
darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat
perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan
mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi.
Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian
darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet
dan faktor pembekuan.
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan
yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya
masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu
karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat
nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya
dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin
dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi
penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan
pembekuan darah.
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di
RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus
solusio plasenta yang ditelitinya. Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil
cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar
fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan
darah. Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase, yaitu:
a) Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan
darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran
darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar
fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga
coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan
tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat
gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-
alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan
oliguria/anuria.
b) Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan
fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi
kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya
kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium,
namun di klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan
yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu
lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di
bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini
menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru
atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire.
Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada
kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan. Komplikasi yang
dapat terjadi pada janin:
a) Fetal distress
b) Gangguan pertumbuhan/perkembangan
c) Hipoksia dan anemia
d) Kematian

I. Pengkajian Keperawatan
Bagi kondisi perdarahan pada kehamilan tua, beberapa pengkajian keperawatan harus
dilakukan segera dan yang lainnya dapat ditunda sampai intervensi awal telah diambil
untuk menstabilkan status kardiovaskular dari ibu hamil. Prioritas pengkajian
keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Jumlah dan sifat perdarahan (waktu serangan, perkiraan kehilangan darah sebelum
dating ke rumah sakit, dan keterangan tentang jaringan yang terlepas). Wanita hamil
harus diajarkan untuk menyimpan linen jika berada di rumah sakit, sehingga darah
dapat dideteksi secara akurat.
2. Nyeri
a) Jenisnya: menetap, intermiten, tajam, tumpul, keras.
b) Serangan: berangsur-angsur, mendadak.
c) Lokasinya: menyeluruh pada abdomen, local.
3. Uterus : Apakah uterus terasa lembut dengan palpasi yang lembut.
4. Tanda-tanda vital ibu hamil apakah dalam rentang normal atau terjadi hipotensi,
takikardi atau keduanya. Hipertensi mungkin apat terjadi pada awal abruption
plasenta. Pemantauan kondid janin secara elektronik dapat menentukan denyut
jantung janin, adanya percepatan, dan respon janin terhadap aktivitas uterus.
5. Kontraksi uterus: penggunaan monitor eksterna dan menentukan frekuensi dan
lamanya kontraksi. Tekanan intrauterus dapat mengidentifikasi kontraksi hipertonik
dan menungkatkan hubungan irama istirahat dengan obruptio plasenta. Palpasi dapat
mengidentifikasi apakah uterus mengalami relaksasi antara kontraksinya atau tidak.
6. Riwayat kehamilan (gravid, para, riwayat aborsi, dan melahirkan bayi premature).
7. Lamanya usia kehamilan (HTHP, tinggi fundus, hubungan tinggi fundus dengan usia
kehamilan) jika terjadi perdarahan kedalam miometrium, fundus akan membesar
sesuai dengan perdarahan. Perawat mengonservasi dan melaporkan ukuran tinggi
fundus yang akan menunjukkan bahwa perdarahan kedalam otot uterus sedang terjadi.
8. Data laboraturium (Hb, Ht, golongan darah, pembekuan darah). Data laboraturium
diperoleh untuk mempersiapkan tranfusi darah yang diperlukan.
9. Disamping pengkajian fisik, respon emosi ibu hamil dan pasangan juga harus
diperhatikan. Mereka sering merasa cemas, sedih, ragu, dan aktivitas yang berlebihan.
Mereka mugkin memiliki pengetahuan yang sedikit mengenai manajemen kesehatan
dan tidak menyadari bahwa janin akan segera lahir, sehingga penjelasan prosedur
operasi merupakan hal yang penting. Mereka mungkin merasa takut dan khawatir
tentang kehidupan ibu dan janin.

J. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan hipovolemi
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
4. Cemas berhubungan dengan ancaman status kesehatan
K. Intervensi Keperawatan
Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan agen injuri fisik  Pain Level,  Lakukan pengkajian
Batasan karateristik :  Pain control, nyeri secara
 Comfort level komprehensif termasuk
Setelah dilakukan tindakan lokasi, karakteristik,
Keperawatan selama 1x24 durasi, frekuensi,
jam pasien tidak mengalami kualitas dan faktor
nyeri, dengan presipitasi
kriteria hasil:  Observasi reaksi
 Mampu mengontrol nonverbal dari
nyeri (tahu penyebab ketidaknyamanan
nyeri, mampu  Bantu pasien dan
menggunakan tehnik keluarga untuk mencari
nonfarmakologi untuk dan menemukan
mengurangi nyeri, dukungan
mencari bantuan)  Kontrol lingkungan
 Melaporkan bahwa yang dapat
nyeri berkurang dengan mempengaruhi nyeri
menggunakan seperti suhu ruangan,
manajemen nyeri pencahayaan dan
 Mampu mengenali nyeri kebisingan
(skala, intensitas,  Kurangi faktor
frekuensi dan tanda presipitasi nyeri
nyeri)  Kaji tipe dan sumber

 Menyatakan rasa nyeri untuk

nyaman setelah nyeri menentukan intervensi

berkurang  Ajarkan tentang teknik

 Tanda vital dalam non farmakologi: napas

rentang normal dalam, relaksasi,

 Tidak mengalami distraksi, kompres


gangguan tidur hangat/ dingin
 Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
2 Ketidakefektifan perfusi NOC : NIC :
jaringan perifer Setelah dilakukan tindakan Perawatan Sirkulasi
berhubungan dengan keperawatan selama 1x24  Kaji secara
hipovolemi jam tidak adaa gangguan komperehensif sirkulasi
pada status sirkulasi pasien perifer (nadi perifer,
dengan indikator : edema, kapillary refill,
 Tekanan daeah sistolik warna dan temperature
dan diastolik dalam ekstremitas)
batas normal  Eveluasi nadi perifer
 Kekuatan nadi dalam dan edema
batas normal  Kaji tingkat nyeri
 Rata-rata tekanan darah  Monitor status cairan
dalam batas normal masuk dan keluar

 Tekanan vena sentral  Jaga keadekuatan

dalam batas normal hidrasi untuk mencegah

 Tidak ada bunyi hipo peningkatan viskositas


jantung abnormal darah
 AGD dalam batas  Kolaborasi pemberian
normal antiplatelet atau
 Perfusi jaringan perifer antikoagulan
 Kekuatan pulasasi  Monitor laboratorium
jaringan perifer Hb, Ht

 Tidak ada edema perifer


Monitor tanda vital
Setelah dilakukan tindakan  Monitor tekanan darah

keperawatan selama 1x24  Monitor jumlah dan

jam tidak ada gangguan irama jantung

pada perfusi jaringan perifer  Monitor bunyi jantung

pasien dengan indikator :  Monitor suhu, warna

 Pengisisan kapiler dan kelembaban kulit

 Warna kulit normal


 Kekuatan fungsi otot Manajemen cairan
 Catat intake dan output
 Kekuatan kulit
cairan
 Suhu kulit hangat
 Monitor status hidrasi
 Tidak ada nyeri
 Monitor tanda-tanda
ekstremitas
vital
 Monitor status nutrisi
3 Resiko Infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan  Immune Status  Pertahankan teknik
trauma jaringan  Knowledge : Infection aseptif
control  Batasi pengunjung bila
 Risk control perlu
Setelah dilakukan tindakan  Cuci tangan setiap
keperawatan selama 1x24 sebelum dan sesudah
jam pasien tidak mengalami tindakan keperawatan
infeksi dengan kriteria hasil:  Gunakan baju, sarung
 Klien bebas dari tanda tangan sebagai alat
dan gejala infeksi pelindung
 Menunjukkan  Ganti letak IV perifer
kemampuan untuk dan dressing sesuai
mencegah timbulnya dengan petunjuk umum
infeksi  Gunakan kateter
 Jumlah leukosit dalam intermiten untuk
batas normal menurunkan infeksi
 Menunjukkan perilaku kandung kencing
hidup sehat  Tingkatkan intake
 Status imun, nutrisi
gastrointestinal,  Berikan terapi
genitourinaria dalam antibiotic bila perlu
batas normal  Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan local
 Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Monitor adanya luka
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada
pasien setiap 4 jam
4 Cemas berhubungan NOC : NIC :
dengan ancaman status  Kontrol kecemasan Anxiety Reduction
kesehatan  Koping (penurunan kecemasan)
Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan
Selama 1x24 jam yang menenangkan
diharapkan kecemasan klien  Jelaskan semua
teratasi dgn kriteria hasil: prosedur dan apa yang
 Klien mampu dirasakan selama
mengidentifikasi dan prosedur
mengungkapkan gejala  Temani pasien untuk
cemas memberikan keamanan
 Mengidentifikasi, dan mengurangi takut
mengungkapkan dan  Berikan informasi
menunjukkan tehnik faktual mengenai
untuk mengontol cemas diagnosis, tindakan
 Vital sign dalam batas prognosis
normal  Libatkan keluarga
 Postur tubuh, ekspresi untuk mendampingi
wajah, bahasa tubuh dan klien
tingkat aktivitas  Instruksikan pada
menunjukkan pasien untuk
berkurangnya menggunakan tehnik
kecemasan relaksasi
 Dengarkan dengan
penuh perhatian
 Identifikasi tingkat
kecemasan
 Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan
kecemasan

L. Implementasi
Pelaksanaan atau implementasi adalah pemberian tindakan keperawatan yang
dilasanakan untuk mencapai tujuan rencana tindakan yang telah disusun setiap tindakan
keperawatan yang dilakukan dan dicatat dalam pencatatan keperawatan agar tindakan
keperawatan terhadap klien berlanjut. Prinsip dalam melaksanakan tindakan keperawatan
yaitu cara pendekatan pada klien efektif, tehnik komunikasi teraupetik serta penjelasan
untuk setiap tindakan yang di berikan kepada klien. Dalam melakukan tindakan
keperawatan mengunakan tiga tahap yaitu independent, dependent, dan interdependent.
Tindakan keperawatan secara independent adalah suatu tindakan yang di lakukan oleh
perawat tanpa petunjuk dan perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dependent
adalah tindakan yang sehubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis dan
interdependent adalah tindakan keperawatan yang menjelaskan suatu kegiatan yang
memerlukan suatu kerja sama dengan tenaga kesehatan lainya,

M. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses kerawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai kemungkinan terjadi pada tahap evaluasi adalah masalah dapat
diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi atau timbul masalah yang baru.
Evaluasi dilakukan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah yang
dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap tindakan. Sedangkan evaluasi hasil
adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan
sesuai dengan waktu yang ada pada tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Dr. Chrisdiono M. 2004. Prosedur Tetap Obstetrik Dan Ginekologi. Jakarta : EGC

Arief, Mansjoer. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Cunningham, FG., et al. (2013). Obstetri Williams (Williams Obstetri). Jakarta : EGC.

Karsono, Bambang. Profil Biofisik Janin I. Dalam: Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal.
Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia; 2004. H.

You might also like