You are on page 1of 92

Asuhan Keperawatan untuk BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

Askep BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat
membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar
urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi
sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi
kelenjar-kelenjar periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak).
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka
dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi
prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh
karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah
RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50
tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn,
E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria
lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran
urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).

2. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti
kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan
terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi .

2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3. Interaksi stroma – epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming
growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4. Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar
prostat.

5. Teori sel stem

Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan
produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-
75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).

3. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital

1. Uretra

Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi
dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan
sfingter uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Pada saat
buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan sendirinya karena dindingnya
terdiri atas otot polos yang disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri
atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat
kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.
Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 3-5 cm,
sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan
keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada
pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar
prostat, dan uretra pars membranasea.

Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum, dan
disebelah kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir
dari pars deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan
verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus
yang tersebar di uretra prostatika.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra
anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan meatus uretra
eksterna.

Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam
proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis
bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang
bermuara di uretra pars pendularis.
2. Kelenjar Postat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih, di
belakang simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya
seperti buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini
mengelilingi uretra dan dipotong melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan
kelanjutan dari vas deferen.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam beberapa
daerah arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior. (
Purnomo, 2000, hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)

Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid sampai
sel kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan rangsangan
androgenik. Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang membentuk
bagian besar dari cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering
mengandung hasil sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora
amilasea. Asinus dikelilingi oleh stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah
ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka interna cabang vesika inferior dan rectum
tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian
ke vena iliaka interna.

Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari
cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Cairan ini merupakan + 25 % dari volume ejakulat.

Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat
membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.
Kelenjar prostat dapat terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui pemeriksaan
rektal. Kelenjar prostat membesar saat remaja dan mencapai ukuran optimal pada laki-
laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-laki, ukurannya terus bertambah seiring
pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga dari semua laki-laki mengalami
pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada mikturisi dengan menjepit
uretra sehingga mengganggu perkemihan.

4. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli,
dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada
orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan
dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar
prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus
urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran
prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum
dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap
awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,
sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung
urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga
terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

5. Manifestasi Klinik

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS)
terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:


o (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
o (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
o (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
o (disuria).nyeri pada saat miksi
Gejala obstruktif meliputi:

orasa tidak lampias sehabis miksi.


o(hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
o (straining) harus mengejan
o (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya
menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat
keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology
membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia,
peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3. Gejala di luar saluran kemih

Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 –
78; Mansjoer, 2000, hal 330).
4. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4)
derajat gradiasi sebagai berikut :

Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine


I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah 50 – 100 ml
III dicapai. > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urine total

5. Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda
dan gejala:

1. Hemorogi
1. Hematuri
2. Peningkatan nadi
3. Tekanan darah menurun
4. Gelisah
5. Kulit lembab
6. Temperatur dingin

2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat

3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:

7. bingung
8. agitasi
9. kulit lembab
10. anoreksia
11. mual
12. muntah

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya
BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal
ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada
stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini
adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup
besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat
dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan
dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol,
tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa

 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran
kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)


Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa
prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang
berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher
kandung kemih pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui
antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan
BPH adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan
bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan
patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat
penonjolan prostat ke dalam rektum.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

A. Pengkajian

1. Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
2. Data Obyektif :
o Terdapat luka insisi
o Takikardi
o Gelisah
o Tekanan darah meningkat
o Ekspresi w ajah ketakutan
o Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter


2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi

1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat
kenyamanan secara adekuat.

Kriteria hasil :
o Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
o Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi :

o Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)


o Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta
penghilang nyeri.
o Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan
tekanan darah dan denyut nadi)
o Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
o Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen
tegang)
o Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
o Lakukan perawatan aseptik terapeutik
o Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.
2. Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

Kriteria hasil :
o Klien akan melakukan perubahan perilaku.
o Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
o Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan
berobat lanjutan.

Intervensi :

o Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.


o Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
o Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
o Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
o Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

3. Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

Kriteria hasil :
o Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
o Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
o Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi :

o Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari.

Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi


kebisingan.

o Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.


o Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
(analgesik).

Daftar Pustaka

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.


Surabaya

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

ASKEP BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

A. Pengertian

 BPH merupakan dimana kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang keatas


kedalam kandung kemih dan menyambut aliran urin dengan menutupi orifisium uretra.
 BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi
beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu
Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
 BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua
dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

B. Etiologi
Penyebab BPH tidak dapat dimengerti, berbagai hubungan antara diet, obesitas, aktivitas
sexsual dan suku etnik telah diselidiki, tak satupun memberikan pengetahuan yang spesifik pada
etiologi. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa hormon menyebabkan
hiperplasia jaringan penyangga stromal damn elemen glandular pada prostat.

 1. Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen


menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
 2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron Pada proses penuaan
pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.
 3. Interaksi stroma - epitel Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast
growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
 4. Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

C. Patofisiologi
Hormon androgen yang memperantarai pertumbuhan prostat pada semua usia adalah
dihirosteron (DHT), DHT dibentuk dalam prostat dari testosteron. Meskipun produksi androgen
menurun pada pria lansia, tetapi prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT. Pada preia estrogen
dipropduksi dalam jumlah kecil dan memperlihatkan kepekaannya pada kelenjar prostat dan
berpengaruh terhadap DHT. Jumlah estrogen yang meningkat dihubungkan dengan penuaan atau
relatif meningkat dihubungkan dengan jumlah testosteron yang berkontribusi terhadap hiperplasia
prostat.
Wilayah prostat, BPH dimulai dengan nodul-nodul kecil dalam transisi wilayah prostat,
disebelah uretra. Nodul-nodul dengan glanular ini dibentuk dari jaringan hiperplastilk. Jaringan
yang berkembang akan menekan jaringan yang disekitarnya, dan menyebabkan penyempitan
uretra. BPH yang menekan atau tidak, dapat menimbulkan gejala. Gejala-gejala tersebut
bergantung pada kekuatan kapsul prostat, jika kapsul prostat ini kuat, maka kelenjar akan
berkembang sedikit dan menimbulkan obstruksi pada uretra. Penyempitan postrat uretra
menyebabkan gejala BPH. Hipertropi otot mengkonpensasi perningkatan.
Resisten aliran urin, meskipun akhirnya kompliern bleder menurun dan ketidakstabilan
bleder ini dapat menghasilkan gejala BPH. Nokturia, peningkatan urin yang berklebihan pada
malam hari, peningkatan frekuensi tersebut dihubungkan dengan BPH. Jika tidak diobati
peningkatan tekanan dalam bleder menyebabkan terjadinya refkux urin kedalam ureter, yang
disebut “fesikouretal reflux”. Masalah-masalah ini menjadi dasar terjadinya hidro ureter dan
idronefrosis, yang bisa membahayakan fungsi renal. Komplikasi ini jarang terjadi, karena
kebanyakan pria segera mencari pertolongan sebelum gejalanya berkembang.

D. Manifestasi klinik
 Keluhan dan Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
 a. Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot
destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk
dapat melampaui tekanan di uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
b. Gejala Iritasi
1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

2. Pemeriksaan Fisik

 a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
 b. Pemeriksaan abdomen dilakukan pada saat palpasi terasa adanya ballotemen
dan klien akan terasa ingin miksi.
 c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur
uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
 d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
3. Pemeriksaan Diagnostik

 a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
 b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
 c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
 d. Pemeriksaan UroflowmetriSalah satu gejala dari BPH adalah melemahnya
pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan
uroflowmeter dengan penilaian :

1) Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.


2) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
3) Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstrukti

 e. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

1) BOF (Buik Overzich )


Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
2) USG (Ultrasonografi)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli
termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.

E. Penatalaksanaan
Perawatan pada klien dengan BPH difokuskan pada diagnosa dari kerusakan, memperbaiki atau
meminimalkan obstruksi urinaria dan mencegah atau mengobati komplikasi yang terjadi sekarang
ini. Pembedahan dan pengobatan BPH mengalami perubahan yang cepat dengan berbagai
pengobatan yang baru. Saat ini, pengobatan dan perawatan lebih difokuskan pada beratnya gejala.
Beberapa pria di diagnosa dengan BPH selama pemeriksaan fisik secara urin sebelum gejala
berkembang. Beberapa diantaranya menunggu sampai timbul ketidaknyamanan dari dysuria,
urgensi, dan retensi urin hampir tidak dapat diatasi. Sebelum mencari pertolongan.
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan
klien
2. Farmakologi
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai
penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa
repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

 a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
 b. Klien dengan residual urin > 100 ml.
 c. Klien dengan penyulit.
 d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
 e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

 a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95 % )


 b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
 c. Perianal Prostatectomy
 d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Riwayat keperawatan
- Bagaimana BPH mempengaruhi gaya hidup.
- Apa saja masalah urinaria yang terjadi.
- Apa ada masalah ketidaknyamanan yang berkaitan, misalnya : nyeri punggung
- Bagaimana riwayat kesehatan keluarga
3. Pemeriksaan fisik

B. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat.
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih dan infeksi urinaria.
3. Retensi kekurangan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal.
4. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port masuknya mikroorganisme melalui
kateterisasi
5. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C. Intervensi Keperawatan
DX INTERVEN RASIONA
SI L
KEPERAW
ATAN
1 - Dorong - Meminimal
pasien kan retensi
berkemih 2-4 urin dan
jam dan bila distensi
tiba-tiba berlebihan
dirasakan. pada
kandung
- Tanyakan kemih.
pasien - Tekanan
tentang uretral
inkontinentia tinggi
stress menghamba
- Observasi t
aliran urin, pengosonga
perhatikan n kandung
ukuran dan kemih
kekuatan - Berguna
- Perkusi/palp unutuk
asi area mengevalua
suprapubik si obstruksi
dan pilihan
- Dorong intervensi
masukan - Distensi
cairan kandung
sampai 3000 kemih dapat
ml sehari dirasakan
dalam diarea
kondisi suprapubik
jantung bila - Peningkatan
diindikasika aliran cairan
n memepertra
hankan
perfusi
ginjal,
membersihk
an ginjal
dan kandung
kemih dari
bakteri
2 - Kaji nyeri, - Memberika
perhatikan n informasi
lokasi, untuk
intensitas membantu
lamanya dalam
- Pertahankan intervensi
tirah baring - Tirah baring
bila mungkin
diindikasika diperlukan
n pada awal
selama fase
akut.
Namun
- Dorong ambulasi
teknik dini dapat
relaksasi memperbaik
i pola
berkemih
- Dorong normal dan
menggunaka menghilang
n rendam kan nyeri
duduk kolik
- Plester - Meningkatk
selang an relaksasi,
drainase memfokusk
pada paha an kembali
dan kateter perhatian
pada dan dapat
abdomen meningkatk
- Berikan obat an koping
sesuai - Meningkatk
indikasi an relaksasi
otot
- Mencegah
penarikan
kandung
kemih dan
erosi
pertemuan
penis-
skrotal
- Diberikan
untuk
menghilang
kan nyeri
berat,
memberikan
relaksasi
dan fisik
3 - Awasi - Diuresis
keluaran cepat dapat
dengan hati- menyebabka
hati, tiap jam n
bila kekurangan
diindikasika total volume
n. Perhatikan cairan,
keluaran karena
100-200 ketidak
ml/jam cukupan
jumlah
natrium
- Dorong diabsorpsi
peningkatan dalam
pemasukan tubulus
oral ginjal
berdasarkan - Pasien
kebutuhan dibatasi
individu pemasukan
oral dalam
upaya
- Awasi TD, mengontrol
nadi dengan urinaria,
sering, homeostatik
evaluasi penguranga
pengisian n cadangan
kaviler dan dan
membran penigkatan
mukosa oral
- Tingkatkan resiko
tirah baring dehidrasi
dengan - Memampuk
kepala tinggi an deteksi
dini /
- Awasi intervensi
elektrolit hipovolemik
khususnya sistemik
natrium
- Menurunka
n kerja
jantung,
memudahka
- Berikan n kerja
cairan IV homeostatis
(garam faal sirkulasi
hipertonik) - Bila
sesuai pengumpula
kebutuhan n cairan
tekumpul
dari area
eksreselular
natrium
dapat
mengikuti
perpindahan
menyebabka
n
hiponatremi
a
- Menggantik
an
kehilangan
cairan dan
natrium
untuk
mencegah/
memperbaik
i
hipovolemia
4 - Observasi - Mengontrol
insisi luka insisi
(adanya
indurasi
drainage dan- Mencegah
kateter), masuknya
(adanya bakteri /
sumbatan, mikroorgani
kebocoran) sme ke luka
- Lakukan insisi
perawatan
luka insisi - Mengidenti
5 secara fikasi
aseptik, jaga adanya
kulit sekitar infeksi.
kateter dan
drainage - Mencegah
- Monitor tanda-tanda
balutan luka, Shock
Observasi
urine: warna,- Menunjuka
jumlah, bau. n perhatian
- Monitor Dn
tanda-tanda keinginan
sepsis (nadi untuk
lemah, membantu
hipotensi,
nafas - Membantu
meningkat, pasien
dingin) memahami
- Selalu ada tujuan dari
untuk pasien, apa yang
buat dilakukan
hubungan dan
saling mengurangi
percaya masalh
dengan karena
pasien / ketidaktahua
orang n, termasuk
terdekat ketakutan
- Berikan akan kanker.
informasi Namun
tentang kelebihan
proseduf dan ionformasi
tes khusus tidak
dan apa yang membantu
akan terjadi dan dapat
misalnya meningkatk
pemasangan an
kateter kecemasan
- Menyatakan
penerimaan
dan
- Pertahankan menghilang
perilaku kan rasa
nyata dalam malu pasien
melakukan
prosedur, - Mendefinisi
lindungi kan
privsi klien masalah,
- Dorong memberikan
psien / orang kesempatan
terdekat untuk
menyatakan menjawab
masalah / pertanyaan,
perasaan memperjelas
kesalahan
konsep, dan
solusi
- Beri pemecahan
penguatan masalah
informasi - Memingkin
pasien yang kan pasien
telah untuk
diberikan menerima
sebelumnya kenyataan
dan
menguatkan
kepercayaan
pada
pemberian
perawatan
dan pemberi
informasi

D. Evaluasi
1. Menunjukan penurunan ansietas
2. Menunjukan rasa nyeri yang minimal
3. Tanda-tanda vidal dalam batas normal
4. Tanda peradangan hemoragi tidak ada
5. Sistem drainase oprtimal
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn S DENGAN GANGGUAN RASA
NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT
BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA atau
yang lebih khususnya membahas tentang etiologi ,Patofisiologi serta Asuhan keperawatan BPH.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita. Amin.
Semarang, 3 juli 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN PENULISAN
C. METODE PEENULISAN
D. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II KONSEP DASAR
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Anatomi dan Fisiologi
2. Pengertian
3. Etiologi
4. Patofisiologi
5. Manifestasi Klinis
6. Penatalaksanaan
B. KONSEP KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN RASA NYAMAN
1. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
2. Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
3. Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman.
BAB III RESUME ASKEP
A. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
B. Pathways Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
C. Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien, Dan Fokus Intervensi
Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien.
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
Simpulan Dan Saran.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli buli
dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011). Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy
organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine
keluar dari buli-buli atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat
Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo, 1994).
Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah lain,
masalah yang dapat terjadi setelah tindakan trans vesica prostatectomy (TVP) seperti pasien akan
kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi
infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 %
diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi adalah perforasi usus,
infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien (98%), perubahan berkemih pada 32
pasien (19%) dan perubahan usus (11%). Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan,
yang paling sering (64%) adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006).
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut, ditandai dengan
pertumbuhan yang sangat cepat pada epitel prostat dan daerah transisi jaringan fibromuscular pada
daerah periurethral yang bisa menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urin yang tertahan.
Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90 % terjadi pada
rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang
berpengaruh terhadap BPH adalah umur 50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI : 1,71-22,99 ; p = 0,006),
riwayat keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI : 1,78-15,69 ; p = 0,003), kurangnya makan-makanan
berserat (OR = 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p = 0,001) dan kebiasaan merokok (OR = 3,95 ; 95%
CI : 1,35-11,56 ; p = 0,012). Sedangkan faktor-faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap BPH
adalah riwayat obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ; p = 0,156), kebiasaan berolahraga
(OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p = 0,006), Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (OR = 5,829
; 95% CI : 1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan minum-minuman beralkohol (OR = 1,973 ; 95%
CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126). Probabilitas untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor
risiko diatas adalah sebesar 93,27 %. Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak adalah
umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-makanan berserat dan kebiasaan merokok (Amalia,
2010).

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N
dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn
N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
b. Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N
dengan Benigna Prostat Hiperplasia
c. Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N
dengan Benigna Prostat Hiperplasia
d. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N
dengan Benigna Prostat Hiperplasia

C. METODE PENULISAN
1. Metode Diskriptif yang menggunakan pendekatan studi kasus melalui pendekatan proses
keperawatan dengan langkah pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2. Sumber data :
Studi kepustakaan dengan mempelajari buku sumber yang berhubungan dengan masalah Benigna
Prostat Hiperplasia.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan seminar/presentasi keperawatan penulis membagi 5 BAB :
1. BAB I : PENDAHULUAN yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode peenulisan dan
sistematika penulisan.
2. BAB II : KONSEP DASAR yang berisi konsep dasar BPH yang meliputi pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan. Konsep kebutuhan dasar gangguan rasa
nyaman meliputi pengkajian fokus gangguan kebutuhan rasa nyaman, pathways keperawatan
gangguan kebutuhan rasa nyaman, diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman, dan
fokus intervensi dan rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman.
3. BAB III : RESUME ASKEP BPH berisi Pengkajian fokus gangguan kebutuhan rasa nyaman pada
pasien, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, diagnosa
keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, dan fokus intervensi dan rasionalnya
gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien.
4. BAB IV : PEMBAHASAN berisi kesenjangan antara teori dan kasus, disertai justifikasi yang
jelas.
5. BAB V : PENUTUP berisi simpulan dan saran.
BAB II
KONSEP DASAR

A. KONSEP DASAR BPH


1. Anatomi dan Fisiologi Prostat
1) Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih,
mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli,
sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul.

Gambar 2. 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat dibentuk oleh
jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian
lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat
bagian yang berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari
fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada
os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica
membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari
fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50 kelenjar yang terbagi atas
empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang
terletak di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan
uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra
dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya
lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar
dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam
vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran
urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari besar.
Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan
berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 %
adalah jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus atau
pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik
dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel
prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra
posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos
prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian
pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat
menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo,
2011).
2) Fisiologi Prostat
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung kepada
pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka
terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh
karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen
berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk
enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat mensekresi sedikit
cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam
fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul
kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat
keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan
ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak
cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini
dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan
bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari
seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan
perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat
menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan
pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

2. Pengertian BPH
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli
adalah :
1) Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya
terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,
2002).
2) BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan
pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3) BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang
ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi
nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (
Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami
oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat
menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
3. Penyebab BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti
kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan
terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

c. Interaksi stroma – epitel


Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
e. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjprostat menjadi berlebihan (Poernomo,
2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger
Kirby, 1994 : 38 ).

4. Patofisiologi BPH
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi
alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak
deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten),
dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang
tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi
kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia
dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang
mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung
kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat
dan De jong, 2005).

5. Manifestasi Klinis BPH


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri
atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:


a. (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
b. (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
c. (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
d. (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:

a. rasa tidak lampias sehabis miksi.


b. (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan
tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
c. (straining) harus mengejan
d. (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan
otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu
miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology
membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.

2) Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3) Gejala di luar saluran kemih


Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

4) warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan nadi
c. Tekanan darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit lembab
f. Temperatur dingin
2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah

6. Penatalaksanaan BPH
1) Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari
obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat
barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan
kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih
dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control
keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan
mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan
kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran
grafik pancaran urin.
2) Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa
adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron
(DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1) Penghambat adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,
terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik
karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di
trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-
obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di
hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat- obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2) Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis
1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat
ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan
bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek
samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3) Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat.
Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan
terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan
pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi
ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap
pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare
(2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan
endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah
:
a) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian
dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain
yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen
mayor.
b) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi
dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode
pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera
rectal.
c) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen
rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah
dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan


memakai tenaga elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus
medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat
pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan
waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung
kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas
(Baradero dkk, 2007).
b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat
tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau
berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah
dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan
Bare, 2002).

c) Terapi invasive minimal


Menurut Purnomo (2011) terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi
terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe
Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
1. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di
beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang
mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
2. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran
kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter.
Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini
sekarang jarang digunakan
3. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang
menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan
prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang
terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang
pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya
uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika.
Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko
pembedahan yang cukup tinggi.

B. KONSEP DASAR GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA PENYAKIT BPH


1. Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
Pengkajian nyeri akut penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena
nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing
individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor
fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua
komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi
langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan
pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara
PQRST :
P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.

a. Riwayat Nyeri

Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk
mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka
sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan bagaimana ia
berkoping terhadap aspek, antara lain :
1). Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya.
Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai bagian
tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang memiliki lebih
dari satu sumber nyeri.
2). Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk
menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5
atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri
“terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien
melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien
yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak
yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan
komunikasi.
Keterangan
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa berkomunikasi).

3). Kualitas Nyeri


Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu
mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang
akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang
diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval
nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung,
apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor Presipitasi
Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas fisik
yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat
dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh
awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan
membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu
dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpesonal,
hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu seggang serta status emosional.
8). Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi
tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi
nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya
perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri klien.

b. Observasi respons perilaku dan fisiologis

Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :


1). Ekspresi wajah:
a) Menutup mata rapat-rapat
b) Membuka mata lebar-lebar
c) Menggigit bibir bawah
2). Vokalisasi:
a) Menangis
b) Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan digerakan tubuh tanpa tujuan yang
jelas):
a) Menendang-nendang
b) Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi
nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a) Peningkatan tekanan darah
b) Nadi dan pernapasan
c) Diaforesis
d) Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b) Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.
3. Intervensi Keperawatan

ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN BPH POST PROSTATEKTOMY


DI RUANG PRABU KRESNA RSUD KOTA SEMARANG

A. BIODATA

1. Identitas pasien
Nama : Tn. Sugiyan
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah 1 kali
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Alamat : Pucang Gading RT/RW : 07/11 ,Mranggen,Demak
Tanggal Masuk : 22 Juni 2015
No. Register : 198785
Diagnosa medis : BPH

2. Penanggung jawab
Nama : Ny. Neli Darwati
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : MTs
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri

B. RIWAYAT KESEHATAN

1. Keluhan Utama
Perut bagian kiri sakit, dada sakit

2. Riwayat penyakit sekarang

a. Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit


BAK sulit

b. Faktor pencetus
Umur sudah tua

c. Lamanya keluhan
2 hari

d. Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak)


bertahap

e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya


Jika sakit dipijitkan

3. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu


Pernah dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid

4. Riwayat kesehatan keluarga


Paman pernah menderita tumor

C. POLA KESEHATAN FUNGSIONAL( DATA FOKUS)

1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

a. Persepsi pasien tentang kesehatan diri


Sebelum sakit : kesehatan adalah nikmat dari Allah
Setelah dirawat : kesehatan adalah nikmat dari Allah

b. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakitnya


Sebelum sakit : perut kiri ada benjolan
Setelah dirawat : BAK sulit karena penyakit prostat

c. Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan


Sebelum sakit : pasien jarang bberobat
Setelah dirawat : pasien berobat langsunng ke Puskesmas

d. Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan (apa yang dilakukan pasien bila sakit,
kemana pasien biasa berobat bila sakit)
elum sakit : pasien biasa kerokan kalau sakit
Setelah dirawat : pasien periksa di Puskesmas dan Rumah Sakit
e. Kebiasaan hidup
Sebelum sakit : pasien dahulu konsumsi kopi dan rokok
Setelah dirawat : pasien tidak merokok dan minum kopi

f. Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan kesehatan


Sebelum sakit : pasien terdaftar di Jamkesmas
Setelah dirawat : pasien terdaftar di Jamkesmas

2. Pola nutrisi dan metabolik

a. Pola makan
Sebelum sakit : pasien biasa makan 3 kali sehari
Setelah dirawat : pasien makan tidak seperti biasanya

b. Apakah keadaan sakit saat ini mempengaruhi pola makan/minum


Sebelum sakit : pasien biasa habis 1 porsi setiap makan
Setelah dirawat : pasien tidak habis 1 porsi setiap makan

c. Makanan yang disukai pasien, adakah makanan pantangan / makanan tertentu yang
menyebabkan alergi, adakah makanan yang dibatasi
elum sakit :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
elah dirawat :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan

d. Adakah keyakinan atau kebudayaan yang dianut yang mempengaruhi diit


elum sakit : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
elah dirawat : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit

e. Kebiasaan mengkonsumsi vitamin/obat penambah nafsu makan (jumlah yang dikonsumsi


setiap hari, sudah berapa lama)
elum sakit : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
elah dirawat : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
f. Keluhan dalam makan
elum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam makan
elah dirawat : pasien mual setelah operasi

g. Pola minum
elum sakit : pasien biasa minum air putih kurang lebih 8 gelas sehari
elah dirawat : pasien biasa minum 3 gelas sehari

h. Bila pasien terpasang infuse berapa cairan yang masuk sehari


Pasien terpasang infus pada ektremitas atas sebelah kanan dan dalam satu hari cairan yang masuk
1-3 plabot perhari

i. Keluhan demam
Post operasi hari ke 1-3 pasien merasa demam

3. Pola eliminasi

a. Eliminasi feses
Sebelum sakit : pasien biasa BAB 1 kali sehari
Setelah dirawat : pasien belum pernah BAB setelah dioperasi
b. Eliminasi urin
Sebelum sakit : pasien BAK seperti biasanya, warna urin jernih
Setelah dirawat : pasien BAK melalui kateter, warna urin pasien keruh

4. Pola aktifitas dan latihan


a. Kegiatan dalam pekerjaan
Sebelum sakit : pasien biasa bekerja dan beraktivitas
Setelah dirawat : pasien tidak bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasanya
b. Keluhan dalam aktivitas
Sebelum sakit : pasien biasa melakukan aktivitas tanpa bantuan
Setelah dirawat : semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga

5. Pola istirahat dan tidur

1. Kebiasaan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur setelah tengah malam
Setelah dirawat : pasien biasa tidur setelah tengah malam

2. Kesulitan tidur
Sebelum sakit : pasien biasa tidur pulas
Setelah dirawat : pasien mudah terbangun

6. Pola persepsi sensori dan kognitif

a. Keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensasi


elum sakit : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
elah dirawat : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori

b. Kemampuan kognitif
Sebelum sakit : pasien tidak mengalami gangguan kognitif
Setelah dirawat : pasien tidak mengalami gangguan kognitif

c. Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan pendekatan P,Q,R,S,T


P = nyeri bertambah saat beraktivitas
Q = nyeri seperti dicengkeram
R = nyeri ulu hati
S = Skala 3
T = 2 hari

7. Pola hubungan dengan orang lain


Sebelum sakit : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain
Setelah dirawat : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain

8. Pola reproduksi dan seksual


elum sakit : pasien biasa berhubungan seksual dengan istrinya
elah dirawat : pasien tidak bisa berhubungan seksual dengan istrinya

9. Persepsi diri dan konsep diri


elum sakit :Pasien biasa menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga
Setelah dirawat :pasien tidak bisa bekerja

10. Pola Mekanisme koping


elum sakit : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
elah dirawat : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Sebelum sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu
Setelah sakit : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu

D. PENGKAJIAN FISIK

1. Keadaan umum : Baik


2. Tingkat kesadaran : Composmentis
3. Tanda-tanda vital

a. Suhu tubuh : C
b. Tekanan darah : 150/82 mmHg
c. Respirasi : 28x/menit, cepat, teratur
d. Nadi : 82 x/menit, kuat, teratur
e. Pengkajian nyeri : Nyeri dada kanan, skala 2
4. Pengukuran antropometri : LiLA= 29 cm
5. Kepala : Mesocephal
a. Rambut
warna hitam, lebat, nampak bersih
b. Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c. Hidung
hidung nampak bersih
d. Telinga
pendengaran baik, telinga nampak bersih
e. Mulut
bibir tidak kering, tidak ada ginggivitis

1. Leher dan tenggorok : tonsil tidak membesar


2. Dada dan thorak
Bentuk dada simetris

3. Paru-paru : tidak ada ronchi dan wheezing


4. Jantung : Ictus cordis tidak tampak
5. Abdomen : luka operasi post prostatektomi
6. Genital : nampak bersih, terpasang kateter
7. Ekstremitas

a. Inspeksi kuku, kulit


Tidak sianosis, turgor baik, tidak ada edema

b. Capillary refill
< 2 detik

c. Kemampuan berfungsi
Tonus otot baik

d. Bila terpasang infus


tidak ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8. Kulit
Kulit nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema

E. DATA PENUNJANG
1) Hasil pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb : 10,0 g/dL
Hematokrit : 32,9 %
Leukosit : 10.000 sel/mm3
Trombosit : 206.000 sel/mm3
Eritrosit : 3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau : Khas
Warna : Kuning
Kekeruhan : Keruh
Ph : 7,0
Protein :+
Reduksi :-
Keton :-
Bilirubin :-
Urobilin :-
Nitrit :-
BJ urin : 1,010
Sedimen
Eritrosit : 6-8
Lekosit : 25-30 (ada yang bergelombang)
Bakteri : positif
Benang mucus : +
Kristal : AMORS/+
b. Pemeriksaan Radiologi
X Foto BNO - IVP :
UTI dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran kelenjar prostat

c. Pemeriksaan UGS
Kesan :
Cystitis
Pembesaran kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi

d. Diit yang diperoleh


e. TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
f. Therapy
Infus RL 20 tpm
Inj. Gentamicin 2x80 mg
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Shorax 4x750 m

PENGELOMPOKAN DATA
NO TGL DATA (DS DAN DO) TTD & NAMA
1. Selasa, DS :
30 juni Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada
2015 sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ;
RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus
RL 20 tpm
2. Rabu,1 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka
post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu makan,
ingin cepat pulang ke rumah.

DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi
3. Jum’at, 3 DS :
juni 2015 Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)

DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

ANALISA DATA
DATA (DS dan DO) MASALAH (P) ETIOLOGI (E)
DS : Nyeri akut Agen cidera fisik :
Pasien mengatakan perut sebelah post operasi TVP
kiri sakit, dada sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N :
78X/menit, S : 35,6 ; RR
20X/menit ; Terpasang DC,
Drain, dan Infus RL 20 tpm
DS : Resiko infeksi Prosedur invasif :
Pasien mengatakan masih nyeri luka post operasi
di perut bagian luka post operasi, TVP
pasien mengatakan tidak nafsu
makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang
terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post
operasi
Pasien mengatakan nyeri sudah Hambatan mobilitas fisik Ketidaknyamanan :
berkurang (< 3), lemas. pemasangan kateter,
luka post operasi.
DO :
Pasien tampak lemas, tidak
banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b/d Agen cidera fisik, post operasi TVP


2. Resiko infeksi b/d Prosedur invasif, luka post operasi TVP
3. Hambatan mobilitas Fisik b/d Ketidaknyamanan, pemasangan kateter, luka post operasi.

PERENCANAAN
NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL
DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
1. 30 juni 2015 Setelah dilakukan 1. Manajemen nyeri 1. Meringankan atau
tindakan mengurangi nyeri
keperawatan sampai pada
selama 3X24 jam, tingkat
pasien tidak kenyamanan yang
mengalami nyeri, dapat diterima oleh
dengan kriteria pasien.
hasil : 2. Pemberian 2. Untuk mengurangi
- Mampu analgetik : atau
mengontrol nyeri ( menggunakan menghilangkan
tahu penyebab agens-agens nyeri.
nyeri, mampu farmakologi
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri, mencari
bantuan),
- melaporkan
bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan
manajemen nyeri,
- mampu
mengenali
nyeri(skala,
intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri),
- menyatakan rasa
nyaman setelah
nyeri berkurang

NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL


DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
2 Rabu,1 juni Setelah dilakukan 1. Perawatan 1. Meningkatkan
2015 tindakan sirkulaasi: sirkulasi arteri
keperawatan insufisensi arteri
selama 1x24 jam, 2. Perawatan luka 2. Membersihkan,
pasien tidak insisi memantau dan
mengalami infeksi memfasilitasi
dengan kriteria proses
hasil : penyembuhan luka
- Klien bebas dari yang ditutup
tanda dan gejala dengan jahitan.
infeksi
- menunjukkan 3. Perawatan luka 3. Mencegah
kemampuan untuk terjadinya
mencegah komplikasi pada
timbulnya infeksi, luka dan
jumlah leukosit memfasilitasi
dalam batas proses
normal penyembuhan luka.
- menunjukkan
perilaku hidup
sehat.

NO WAKTU TUJUAN & RENCANA RASIONAL


DX (TGL/JAM) KRITERIA (NIC)
(NOC)
3 Jum’at, 3 Setelah dilakukan 1. Promosi 1. Memfasilitasi
juni 2015 tindakan mekaanika tubuh penggunaan postur
keperawatan dan pergerakan
selama 3x24 jam, dalam aktivitas
hambatan sehari hari untuk
mobilitas fisik mencegah
teratasi dengan keletihan dan
kriteria hasil : ketegangan atau
- Klien meningkat cedera
dalam aktivitas muskuloskeletal
fisik, mengerti 2. Terapi latihan 2. Meningkatkan dan
tujuan dari fisik : ambulasi membantu dalam
peningkatan berjalan untuk
mobilitas, mempertahankan
memverbalisasikan atau
perasaan dalam mengembalikan
meningkatkaan fungsi tubuh
kekuatan dan autonom
kemampuan
berpindah, 3. Terapi latihan 3. Menggunakan
memperagakan fisik : mobilisasi gerakan tubuh aktif
penggunaan alat sendi dan pasif untuk
bantu untuk mempertahankan
mobilisasi. atau
mengembaliakn
fleksibilitas sendi
4. Bantuan 4. Membantu individu
perawatan diri untuk mengubah
posisi tubuhnya

TINDAKAN KEPERAWATAN
NO TINDAKAN RESPON PS TTD &
DX TGL/JAM NAMA
30 juni Manajemen nyeri : Nyeri sedikit berkurang
1.
2015 Teknik relaksasi napas dalam Lebih nyaman

Rabu,1 juni Perawatan luka post operasi di Pasien mengatakan nyaman


2.
2015 perut, mengganti botol drain, setelah dibersihkan lukanya
dan perawatan kateter
Jum’at, 3 Mobilisasi dini: Pasien mengatakan tubuhnya
3.
juni 2015 Mengubah posisi pasien miring tidak kaku dan lebih nyaman.
kanan dan kiri dan melatih
ROM aktif dan pasif secara
perlahan.
CATATAN PERKEMBANGAN
NO WAKTU EVALUASI TTD &
DX (TGL/JAM) NAMA
Selasa, 30 S : pasien mengatakan nyeri di luka post operasi
1.
juni 2015 O : KU baik, pasien tampak menahan nyeri, terpasang
infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang
kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam
Rabu,1 juni S : pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
2.
2015 O : TD 110/60 mmHg, S 36 º c, N 80x/menit, RR
20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang
drain, dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi luka
P : perawatan luka, perawatan kateter, mengganti botol
drain.
Jum’at, 3 juni S : pasien mngetakan lemas, takut untuk bergerak,
3.
2015 duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini
PATHWAYS
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC


Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong2002.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

BENIGNA PROSTAT HYPERPLASI (BPH)

Disusun oleh:

Lutfy Nooraini

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

BPH merupakan penyakit degeneratif yang lebih sering terjadi kepada orang dengan usia alebih
lanjut. Pada usia yang lanjut masalah yang mungkin muncul pada kasus BPH aklan lebih komplek karena
psikologis yang menurun, ketahanan tubuh yang menurun.

Setiap pasien yang masuk rumah sakit pastilah mempunyai masalah, dan mereka berharap besar
bahwa masalahnya akan segera terselesaikan. Akan lebih baik apabila
kita tidak hanya berprioritas menyelesaikan maslaahnya saja tetapi juga menyiapkan pasien agar mampu
mengatasai masalah setelah sepulang dari rumah sakit.

Agar hal tersebut bisa dicapai maka pasien BPH memerlukan perawatan yang komprehensif dan
profesional. Agar pasien merasa terlindungi dan terjada dari masalah yang muncul akibat penyakitnya.

2. Tujuan

Tujuan dalam penulisan ini adalah :

a. Mengetahui dan memehami tentang penyakit BPH dan penatalaksanaannya.

b. Mengetahui dan memahami masalah keperawatan yang muncul pada kasus BPH

c. Menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dnegan BPH.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat
menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (urethra).

2. Etiologi

Mulai ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan
bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80 % menderita kelainan ini.

Sebagai etiologi sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin. Testosteron dianggap


mempengaruhi bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi
bagian tengah prostat.
3. Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya
Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :

a. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)

b. Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostatmengalami hiperplasia.

c. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron

d. Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron
sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

e. Interaksi stroma - epitel

f. Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth
faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.

g. Penurunan sel yang mati

h. Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

i. Teori stem cell

j. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.

4. Patofisiologi

BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun ) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat
penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan
dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan/pembesaran prostat. Makrokospik dapat mencapai
60 - 100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih. Tonjolan biasanya terdapat
pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis,
yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya
karsinoma (Moore). Tonjolan ini dapat menekan urethra dari lateral sehingga lumen urethra menyerupai
celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang
sewaktu-waktu dapat menutup lumen urethra. Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan
dengan jaringan prostat yang masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang
bertambah.

Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka warnanya kung kemerahan,
berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih
keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan maka akan keluar caiaran seperti susu. Apabila unsur
fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan
seperti halnya jaringan prostat yang terdesak sehingga batasnya tidak jelas. Gambaran mikroskopik juga
bermacam-macam tergantung pada unsur yang berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi
ialah unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh
epitel torak atau koboid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lumen.
Membran basalis masih utuh. Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga
menyerupai adenokarsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan
corpora anylacea. Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka terjadi gambaran yang terjadi atas
jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling berjauhan. Gambaran ini
juga dinamai hiperplasi fibrimatosa atau hiperplasi leiomymatosa.

Pada jaringan ikat atau jaringan otot biasanya terdapat serbukan limfosit. Selain gambaran di atas
sering terdapat perubahan lain berupa :

a. Metaplasia skwamosa epitel kelenjar dekat uretra.

b. Daerah infark yang biasanya kecil-kecil dan kadang-kadang terlihat di bawah mikroskop.

Tanda dan gejala dari BPH adalah dihasilkan oleh adanya obstruksi jalan keluar urin dari kandung
kemih.

Ada tiga cara pengkuran besarnya hipertropi prostat :

a. Rectal Grading, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang menonjol ke dalam
lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli kosong.

Gradasi ini adalah :

0 - 1 cm : grade 0

1 - 2 cm : grade 1

2 - 3 cm : grade 2
3 - 4 cm: grade 3

> 4 cm : grade 4

Pada grade 3 - 4 batas prostat tidak teraba. Prostat fibrotik, teraba lebih kecil dari normal.

b. Clinical Grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun pasien disuruh
kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.

Sisa urine 0 cc : normal

Sisa urine 0-50 cc : grade 1

Sisa urine 50-150 cc : grade 2

Sisa urine > 150 cc : grade 3

Tidak bisa kencing : grade 4

c. Intra Uretral Grading, dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat bebrapa jauh penonjolan lobus
lateral ke dalam lumen uretra.

Grade I :

Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran
lemah, nokturia.

Grade II :

Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.

Grade III :

Gejala makin berat

Grade IV :

Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence dibiarkan dengan adanya
infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-41 celsius, kesadaran menurun.

5. Tanda dan gejala


Walaupun hyperplasi prostat selalu terjadi pada orangtua, tetapi tidak selalu disertai gejala-gejala
klinik.

Gejala klinik terjadi terjadi oleh karena 2 hal, yaitu :

a. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.

b. Retensi air kemih dalam kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung
kemih dan cystitis.

Gejala klinik dapat berupa :

a. Frekuensi berkemih bertambah

b. Berkemih pada malam hari.

c. Kesulitan dalam hal memulai dan menghentikan berkemih.

d. Air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih.

e. Rasa nyeri pada waktu berkemih.

Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, penderita sama sekali tidak dapat berkemih sehingga
harus dikeluarkan dengan kateter. Selain gejala-gejala di atas oleh karena air kemih selalu terasa dalam
kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selanjutnya kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis,
pyelonefritis.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

a. Gejala Obstruktif yaitu :

1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh
karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal
guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot
destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat
melampaui tekanan di uretra.

5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

b. Gejala Iritasi yaitu :

1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan
pada siang hari.

3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Radiologi

Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk

a. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia

b. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine

c. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak

Beberapa Pemeriksaan Radiologi

a. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.

Indikasi : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis

Tanda BPH : Impresi prostat, hockey stick ureter

b. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal

c. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.

d. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat
jinak/ganas

Pemeriksaan Endoskopi.

Pemeriksaan Uroflowmetri

Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli
Q max : > 15 ml/detik  non obstruksi

10 - 15 ml/detik  border line

< 10 ml/detik  obstruktif

Pemeriksaan Laborat

a. Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine
Kultur)

Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.

b. RFT  evaluasi fungsi renal

c. Serum Acid Phosphatase  Prostat Malignancy

7. Penatalaksanaan

A. Non Pembedahan

1. Memperkecil gejala obstruksi  hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.

2. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic mencegah oven
distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.

3. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin, decongestan.

4. Observasi Watchfull Waiting

Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien,
Indikasi : BPH dengan IPPS Ringan, Baseline data normal, Flowmetri non obstruksi

5. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia

Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa
disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well
motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan
Alfa Bloker.

a. Fito Terapi

1. Hypoxis rosperi (rumput)


2. Serenoa repens (palem)

3. Curcubita pepo (waluh )

b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :

1. Inhibitor 5 alfa reduktase

2. Anti androgen

3. Analog LHRH

c. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin,
Doxazonsin, Terazosin

6. Bila terjadi retensi urine

a. Kateterisasi  Intermiten

Indwelling

b. Dilakukan pungsi blass

c. Dilakukan cystostomy

7. Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)

B. Pembedahan

1. Trans Uretral Reseksi Prostat : 90 - 95 %

2. Open Prostatectomy : 5 - 10 %

BPH yang besar (50 - 100 gram)  Tidak habis direseksi dalam 1 jam. Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm),
multiple. Fasilitas TUR tak ada.

Mortalitas Pembedahan BPH

0 - 1 % KAUSA : Infark Miokatd

Septikemia dengan Syok

Perdarahan Massive

Kepuasan Klien : 66 – 95 %
Indikasi Pembedahan BPH

 Retensi urine akut

 Retensi urine kronis

 Residual urine lebih dari 100 ml

 BPH dengan penyulit

 Hydroneprosis

 Terbentuknya Batu Buli

 Infeksi Saluran Kencing Berulang

 Hematuri berat/berulang

 Hernia/hemoroid

 Menurunnya Kualitas Hidup

 Retensio Urine

 Gangguan Fungsi Ginjal

 Terapi medikamentosa tak berhasil

 Sindroma prostatisme yang progresif

 Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif

 Flow. Max kurang dari 10 ml

 Kurve berbentuk datar

 Waktu miksi memanjang

Kontra Indikasi

 IMA

 CVA akut

Tujuan :
 Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli

 Memperbaiki kualitas hidup

Trans Uretral Reseksi Prostat  90 - 95 %

Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.

Keuntungan :

 Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan

 Tak perlu insisi pembedahan

 Hospitalisasi dan penyebuhan pendek

Kerugian :

 Jaringan prostat dapat tumbuh kembali

 Kemungkinan trauma urethra  strictura urethra.

Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy

 Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih

Perianal Prostatectomy

 Pembesaran prostat disertai batu buli-buli

 Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif

 Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat


9. Pengkajian

a Sirkulasi :

Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )

b Eliminasi :

 Penurunan kekuatan / kateter berkemih.

 Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.

 Nokturia, disuria, hematuria.

 Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.

 Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).

 Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)

 Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan tekanan abdomen pada
saat pengosongan kandung kemih)

c Makanan / cairan:

 Anoreksia, nausea, vomiting.

 Kehilangan BB mendadak.

d Nyeri / nyaman :

 Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada prostatitis akut).

e Rasa nyaman : demam

f Seksualitas :

 Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.

 Takut beser kencing selama kegiatan intim.


 Penurunan kontraksi ejakulasi.

 Pembesaran prostat.

g Pengetahuan / pendidikan :

 Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.

 Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika / antibakterial untuk saluran kencing, obat
alergi.

PRE OPERATIF CARE

Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan


informasi yang akurat pada klien

 Type pembedahan

 Jenis anesthesi  TUR – P, general / spina anesthesi

 Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).

Persiapan orerasi lainnya yaitu :

 Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit

 Pemeriksaan EKG

 Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.

 Pemeriksaan Uroflowmetri  Bagi penderita yang tidak memakai kateter.

 Pemasangan infus dan puasa

 Pencukuran rambut pubis dan lavemen.

 Pemberian Anti Biotik


 Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).

POST OPERATIF CARE

Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap respirasi,
sirkulasi dan kesadaran pasien :

1. Airway : Bebaskan jalan fafas

Posisi kepala ekstensi

Breathing : Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan

Observasi pernafasan

Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal
(6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.

Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali

Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan
 segera cek Hb dan lapor dokter.

Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus
waspada terjadinya syndroma TUR  segera lapor dokter.

Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah
 terjadi retensi urine dalam buli-buli  lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna
urine yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila
produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih.

Bila perlu Analisa Gas Darah

Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.

Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.

2. Pemberian Anti Biotika

 Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1
X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.
 Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama
pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus
diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.

3. Perawatan Kateter

Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter)
ukuran 24 Fr.

Ketiga lubang tersebut gunanya :

1. Untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan

2. Untuk melakukan irigasi/spoling

3. Untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).

Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke salah satu paha
pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.

Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke
arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk
mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat
pada kateter.

Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami
ischemia.

Tujuan pemberian spoling/irigasi :

1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.

2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter

3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ

Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus
sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa
spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa
atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.

Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :

1. Terbentuknya bekuan darah

2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.

10. Diagnosa Keperawatan

a Pre operasi

1. Retensi urin

2. Nyeri kronis

3. Cemas

b Post operasi

1. Nyeri akut

2. Kurang pengetahuan

3. Risiko infeksi
11. Rencana Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Kerusakan eliminasi urine NOC : NIC :


urin
 Urinary continence Urinary Chateterization

 Urinary elimination - Jelaskan prosedur dasn rasional


Definisi : dari intervensi

Pengosongan kandung - Sediakan peralartan kateterisasi


kemih yang tidak sempurna Kriteria Hasil :
- Pertahankan teknik aseptik yang
1. Pengeluaran urin dapat ketat
diprediksi
Batasan karakteristik : - Masukan secara langsung atau
2. Dapat secara sempurna dan retensi kateter ke dalam bladder
- Distensi kandung kemih teratur mengeluarkan urin
dari kandung -
kemih; Hubungkan kateter pada kantung
- Sedikit, sering kencing atau
mengukur volume residual drainase
tidak adanya urin yang
urin < 150 – 200 ml atau 25
keluar - Amankan kateter pada kulit
% dari total kapasitas
- Urin jatuh menetes kandung kemih - Pertaahankan sistem drainase
tertutup
- Disuria 3. Mengoreksi atau
menurunkan gejala
- Monitor intake dan input.
- Inkontinentia overflow
obstruksi
- Urin residual
4. Klien bebas dari kerusakan
Urinary Retentiuon care
- Sensasi penuh dari saluran kemih bagian atas.
kandung kemih - Monitor eliminasi urin

- Monitor tanda dan gejala retensi


urin
Faktor yang berhubungan :
- Ajarkan kepada klien tanda dan
- Infeksi traktus urinarus
gejala retensi urin
- Obstruksi anatomik
- Catat waktu setiap eliminasi urin
- Penyebab multiple
- Anjurkan klien/keluarga untuk
- Kerusakan sensori motorik menmcatat outpout urin

- Ambil spesimen urin


- Ajarkan klien meminum 8 gelasa
cairan sehari

- Bantu klien dalam BAK rutin

Fluid management

 Timbang popok/pembalut jika


diperlukan

 Pertahankan catatan intake dan


output yang akurat

 Monitor status hidrasi (


kelembaban membran mukosa,
nadi adekuat, tekanan darah
ortostatik ), jika diperlukan

 Monitor vital sign

 Monitor masukan makanan / cairan


dan hitung intake kalori harian

 Lakukan terapi IV

 Monitor status nutrisi

 Berikan cairan

 Berikan cairan IV pada suhu


ruangan

 Dorong masukan oral

 Berikan penggantian nesogatrik


sesuai output

 Dorong keluarga untuk membantu


pasien makan

 Tawarkan snack ( jus buah, buah


segar )

 Kolaborasi dokter jika tanda cairan


berlebih muncul meburuk

 Atur kemungkinan tranfusi

 Persiapan untuk tranfusi


2. Nyeri Kronis NOC : NIC :

 Pain Level,
Pain Management
Definisi :  Pain control,  Lakukan pengkajian nyeri secara
Sensori yang  Comfort level
tidak komprehensif termasuk lokasi,
menyenangkan dan karakteristik, durasi, frekuensi,
pengalaman emosional kualitas dan faktor presipitasi
yang muncul secara aktual Kriteria Hasil :  Observasi reaksi nonverbal dari
atau potensial kerusakan ketidaknyamanan
jaringan 1. Mampu mengontrol nyeri
atau
menggambarkan adanya (tahu penyebab nyeri,  Gunakan teknik komunikasi
kerusakan (Asosiasi Studi mampu menggunakan terapeutik untuk mengetahui
Nyeri Internasional): tehnik nonfarmakologi pengalaman nyeri pasien
serangan mendadak atau untuk mengurangi nyeri,
 Kaji kultur yang mempengaruhi
pelan intensitasnya dari mencari bantuan) respon nyeri
ringan sampai berat yang 2. Melaporkan bahwa nyeri
dapat diantisipasi dengan berkurang 
dengan Evaluasi pengalaman nyeri masa
akhir yang dapat diprediksi menggunakan manajemen lampau
dan dengan durasi lebih nyeri  Evaluasi bersama pasien dan tim
dari 6 bulan.
3. Mampu mengenali nyeri kesehatan lain tentang
(skala, intensitas, frekuensi ketidakefektifan kontrol nyeri masa
dan tanda nyeri) lampau
Batasan karakteristik :
4. Menyatakan rasa nyaman  Bantu pasien dan keluarga untuk
- Laporan secara verbal atau mencari dan menemukan dukungan
non verbal setelah nyeri berkurang

5. Tanda vital dalam rentang Kontrol lingkungan yang dapat
- Fakta dari observasi mempengaruhi nyeri seperti suhu
normal
- Posisi antalgic untuk ruangan, pencahayaan dan
menghindari nyeri kebisingan

- Gerakan melindungi  Kurangi faktor presipitasi nyeri

- Tingkah laku berhati-hati  Pilih dan lakukan penanganan nyeri


(farmakologi, non farmakologi dan
- Muka topeng inter personal)
- Gangguan tidur (mata sayu,  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
tampak capek, sulit atau menentukan intervensi
gerakan kacau,
menyeringai)  Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit  Berikan analgetik untuk mengurangi
(penurunan persepsi nyeri
waktu, kerusakan proses
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan  Tingkatkan istirahat
lingkungan)
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada
- Tingkah laku distraksi, keluhan dan tindakan nyeri tidak
contoh : jalan-jalan, berhasil
menemui orang lain
dan/atau aktivitas, aktivitas  Monitor penerimaan pasien tentang
berulang-ulang) manajemen nyeri

- Respon autonom (seperti


diaphoresis, perubahan
tekanan darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi Analgesic Administration
pupil)  Tentukan lokasi, karakteristik,
- Perubahan autonomic kualitas, dan derajat nyeri sebelum
dalam tonus otot (mungkin pemberian obat
dalam rentang dari lemah  Cek instruksi dokter tentang jenis
ke kaku) obat, dosis, dan frekuensi
- Tingkah laku ekspresif  Cek riwayat alergi
(contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada,  Pilih analgesik yang diperlukan atau
iritabel, nafas kombinasi dari analgesik ketika
panjang/berkeluh kesah) pemberian lebih dari satu

- Perubahan dalam nafsu  Tentukan pilihan analgesik tergantung


makan dan minum tipe dan beratnya nyeri

 Tentukan analgesik pilihan, rute


pemberian, dan dosis optimal
Faktor yang berhubungan :
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
Agen injuri (biologi, kimia, untuk pengobatan nyeri secara
fisik, psikologis) teratur

 Monitor vital sign sebelum dan


sesudah pemberian analgesik
pertama kali

 Berikan analgesik tepat waktu


terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

3. Nyeri akut b/d cidera fisik NOC :


akibat pembedahan
 Pain Level,
NIC :
 Pain control, Pain Management
Definisi :
 Comfort level  Lakukan pengkajian nyeri secara
Sensori yang tidak komprehensif termasuk lokasi,
menyenangkan dan karakteristik, durasi, frekuensi,
pengalaman emosional Kriteria Hasil : kualitas dan faktor presipitasi
yang muncul secara aktual
1. Mampu mengontrol nyeri  Observasi reaksi nonverbal dari
atau potensial kerusakan
ketidaknyamanan
jaringan atau (tahu penyebab nyeri,
menggambarkan adanya mampu menggunakan  Gunakan teknik komunikasi
kerusakan (Asosiasi Studi tehnik nonfarmakologi terapeutik untuk mengetahui
Nyeri Internasional): untuk mengurangi nyeri, pengalaman nyeri pasien
serangan mendadak atau mencari bantuan)
 Kaji kultur yang mempengaruhi
pelan intensitasnya dari 2. Melaporkan bahwa nyeri respon nyeri
ringan sampai berat yang berkurang dengan
dapat diantisipasi dengan menggunakan manajemen  Evaluasi pengalaman nyeri masa
akhir yang dapat diprediksi nyeri lampau
dan dengan durasi kurang
dari 6 bulan. 3. Mampu mengenali nyeri  Evaluasi bersama pasien dan tim
(skala, intensitas, frekuensi kesehatan lain tentang
dan tanda nyeri) ketidakefektifan kontrol nyeri masa
lampau
Batasan karakteristik : 4.Menyatakan rasa nyaman
 Bantu pasien dan keluarga untuk
- Laporan secara verbal atau setelah nyeri berkurang
mencari dan menemukan dukungan
non verbal 5. Tanda vital dalam rentang
normal  Kontrol lingkungan yang dapat
- Fakta dari observasi
mempengaruhi nyeri seperti suhu
- Posisi antalgic untuk ruangan, pencahayaan dan
menghindari nyeri kebisingan

- Gerakan melindungi  Kurangi faktor presipitasi nyeri

- Tingkah laku berhati-hati  Pilih dan lakukan penanganan nyeri


(farmakologi, non farmakologi dan
- Muka topeng
inter personal)
- Gangguan tidur (mata sayu,
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
tampak capek, sulit atau
menentukan intervensi
gerakan kacau,  Ajarkan tentang teknik non
menyeringai) farmakologi

- Terfokus pada diri sendiri  Berikan analgetik untuk mengurangi


nyeri
- Fokus menyempit
(penurunan persepsi  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
waktu, kerusakan proses
 Tingkatkan istirahat
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan  Kolaborasikan dengan dokter jika ada
lingkungan) keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
- Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,  Monitor penerimaan pasien tentang
menemui orang lain manajemen nyeri
dan/atau aktivitas, aktivitas
berulang-ulang)

- Respon autonom (seperti Analgesic Administration


diaphoresis, perubahan  Tentukan lokasi, karakteristik,
tekanan darah, perubahan kualitas, dan derajat nyeri sebelum
nafas, nadi dan dilatasi pemberian obat
pupil)
 Cek instruksi dokter tentang jenis
- Perubahan autonomic obat, dosis, dan frekuensi
dalam tonus otot (mungkin
dalam rentang dari lemah  Cek riwayat alergi
ke kaku)  Pilih analgesik yang diperlukan atau
- Tingkah laku ekspresif kombinasi dari analgesik ketika
(contoh : gelisah, merintih, pemberian lebih dari satu
menangis, waspada,  Tentukan pilihan analgesik tergantung
iritabel, nafas tipe dan beratnya nyeri
panjang/berkeluh kesah)
 Tentukan analgesik pilihan, rute
- Perubahan dalam nafsu pemberian, dan dosis optimal
makan dan minum
 Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara
Faktor yang berhubungan : teratur

Agen injuri (biologi, kimia,  Monitor vital sign sebelum dan


fisik, psikologis) sesudah pemberian analgesik
pertama kali

 Berikan analgesik tepat waktu


terutama saat nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)

4. Kurang pengetahuan NOC :


tentang kondisi,
 Kowlwdge : disease process
NIC :
prognosis,kebutuhan
pengobatan  Kowledge : health Behavior
b/d
Teaching : disease
keterbatasan kognitif.
Process
Kriteria Hasil :
Definisi :  Berikan penilaian tentang
1. Pasien dan keluarga tingkat pengetahuan pasien
Tidak adanya atau menyatakan pemahaman tentang proses penyakit
kurangnya informasi tentang penyakit, kondisi, yang spesifik
kognitif sehubungan prognosis dan program  Jelaskan patofisiologi dari
dengan topic spesifik. pengobatan penyakit dan bagaimana
hal ini berhubungan dengan
2. Pasien dan keluarga anatomi dan fisiologi,
mampu melaksanakan dengan cara yang tepat.
Batasan karakteristik :
prosedur yang dijelaskan  Gambarkan tanda dan
memverbalisasikan adanya
secara benar gejala yang biasa muncul
masalah, ketidakakuratan
pada penyakit, dengan cara
mengikuti instruksi,
3. Pasien dan keluarga yang tepat
perilaku tidak sesuai. mampu menjelaskan  Gambarkan proses
kembali apa yang dijelaskan penyakit, dengan cara yang
perawat/tim kesehatan tepat
Faktor yang berhubungan : lainnya  identifikasi kemungkinan
keterbatasan kognitif, penyebab, dengna cara
interpretasi terhadap yang tepat
informasi yang salah,  Sediakan informasi pada
kurangnya keinginan untuk pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
mencari informasi, tidak
 Hindari harapan yang
mengetahui sumber-
kosong
sumber informasi.  Sediakan bagi keluarga
informasi tentang
kemajuan pasien dengan
cara yang tepat
 Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk
mencegah komplikasi di
masa yang akan datang dan
atau proses pengontrolan
penyakit
 Diskusikan pilihan terapi
atau penanganan
 Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
 Eksplorasi kemungkinan
sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
 Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.

5. Resiko Infeksi b/d tindakan NOC :


invasive Resiko Infeksi b/d
 Immune Status
NIC :
tindakan invasive
 Knowledge : Infection Infection Control
control
Definisi : Peningkatan (Kontrol infeksi)
 Risk control
resiko masuknya organisme  Bersihkan lingkungan setelah
patogen dipakai pasien lain

Kriteria Hasil :  Pertahankan teknik isolasi

Faktor-faktor resiko : 
1. Klien bebas dari tanda dan Batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi
- Prosedur Infasif  Instruksikan pada pengunjung
2. Mendeskripsikan proses untuk mencuci tangan saat
- Ketidakcukupan
penularan penyakit, factor berkunjung dan setelah berkunjung
pengetahuan untuk
yang mempengaruhi meninggalkan pasien
menghindari paparan
penularan serta
patogen  Gunakan sabun antimikrobia untuk
penatalaksanaannya,
cuci tangan
- Trauma
3. Menunjukkan kemampuan
 Cuci tangan setiap sebelum dan
- Kerusakan jaringan dan untuk mencegah timbulnya
sesudah tindakan keperawatan
peningkatan paparan infeksi
lingkungan  Gunakan baju, sarung tangan
4. Jumlah leukosit dalam
- Ruptur membran amnion batas normal sebagai alat pelindung

- Agen farmasi
5. Menunjukkan 
perilaku Pertahankan lingkungan aseptik
(imunosupresan) hidup sehat selama pemasangan alat
- Malnutrisi  Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai dengan
- Peningkatan paparan
petunjuk umum
lingkungan patogen
 Gunakan kateter intermiten untuk
- Imonusupresi
menurunkan infeksi kandung
- Ketidakadekuatan imum kencing
buatan
 Tingktkan intake nutrisi
- Tidak adekuat pertahanan
 Berikan terapi antibiotik bila perlu
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan
respon inflamasi)

- Tidak adekuat pertahanan Infection Protection


tubuh primer (kulit tidak (proteksi terhadap
utuh, trauma jaringan,
penurunan kerja silia, infeksi)
cairan tubuh statis,  Monitor tanda dan gejala infeksi
perubahan sekresi pH, sistemik dan lokal
perubahan peristaltik)
 Monitor hitung granulosit, WBC
- Penyakit kronik
 Monitor kerentanan terhadap
infeksi

 Batasi pengunjung

 Saring pengunjung terhadap


penyakit menular

 Partahankan teknik aspesis pada


pasien yang beresiko

 Pertahankan teknik isolasi k/p

 Berikan perawatan kuliat pada area


epidema

 Inspeksi kulit dan membran mukosa


terhadap kemerahan, panas,
drainase

 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah

 Dorong masukkan nutrisi yang


cukup

 Dorong masukan cairan


 Dorong istirahat

 Instruksikan pasien untuk minum


antibiotik sesuai resep

 Ajarkan pasien dan keluarga tanda


dan gejala infeksi

 Ajarkan cara menghindari infeksi

 Laporkan kecurigaan infeksi

 Laporkan kultur positif

6. Cemas b/d perubahan NOC :


status kesehatan (rencana
 Anxiety control
NIC :
tindakan operasi )
 Coping Anxiety Reduction
 Impulse control (penurunan kecemasan)
Definisi :
 Gunakan pendekatan yang
Perasaan gelisah yang tak
menenangkan
jelas dari ketidaknyamanan Kriteria Hasil :
atau ketakutan yang  Nyatakan dengan jelas harapan
disertai respon autonom 1. Klien mampu terhadap pelaku pasien
(sumner tidak spesifik atau mengidentifikasi dan
mengungkapkan  Jelaskan semua prosedur dan apa
gejala
tidak diketahui oleh
cemas yang dirasakan selama prosedur
individu); perasaan
keprihatinan disebabkan 2.  Pahami prespektif pasien terhdap
Mengidentifikasi,
dari antisipasi terhadap mengungkapkan dan situasi stres
bahaya. Sinyal ini menunjukkan tehnik untuk
merupakan peringatan  Temani pasien untuk memberikan
mengontol cemas
adanya ancaman yang akan keamanan dan mengurangi takut
datang dan memungkinkan 3. Vital sign dalam batas
 Berikan informasi faktual mengenai
individu untuk mengambil normal
diagnosis, tindakan prognosis
langkah untuk menyetujui 4. Postur tubuh, ekspresi
terhadap tindakan wajah, bahasa tubuh dan  Dorong keluarga untuk menemani

Ditandai dengan tingkat aktivitas anak


menunjukkan  Lakukan back / neck rub
 Gelisah berkurangnya kecemasan
 Dengarkan dengan penuh
 Insomnia
perhatian
 Resah
 Identifikasi tingkat kecemasan
 Ketakutan
 Sedih  Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
 Fokus pada diri
 Dorong pasien untuk
 Kekhawatiran
mengungkapkan perasaan,
 Cemas ketakutan, persepsi

 Instruksikan pasien menggunakan


teknik relaksasi

 Barikan obat untuk mengurangi


kecemasan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Guyton, Arthur C, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, EGC Penerbit buku kedokteran, Jakarta, 1987.

Johnson., Mass. 1997. Nursing Outcomes Classification, Availabel on: www.Minurse.com, 28 Oktober 2009

McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). Mosby, St. Louise.

NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002), Philadelphia.

You might also like