You are on page 1of 5

ANAK ANAK LANGIT

Anak-anak itu tidak dilahirkan oleh seorang ibu, mereka dilahirkan oleh rahim kemiskinan.
Begitu lahir mereka langsung berumur 3,5,8, atau 12 tahun. Pada saat malam gelap gulita, tanpa
sepotong bulan pun dilangit, mereka muncul ke jalan raya, merayap dari dalam gorong-gorong
yang berbau serba busuk dengan tubuh penuh lumpur.
Mula-mula merayap, lantas merangkak, kemudian berdiri, langsung mengulurkan tangan di
perempatan jalan. Dari dalam lobang gorong-gorong itu muncul banyak sekali anak-anak kecil.
Tangan mereka menguak dari dalam lobang, menyingkirkan tutup gorong-gorong dari besi,
lantas melata dengan tubuh masih penuh lumpur yang menetes-netes ke aspal. Anak-anak
kecilyang manis, anak-anak kecil yang matanya manis, cemerlang bak bintang kejora, tapi yang
pelupuk matanya tetap saja layu. Dengan Lumpur yang mengerting dan menjadi daki yang
melekat bertahun-tahun, mereka menengadahkan tangannya ke kaca-kaca jendela mobil tanpa
harapan mendapatkan apapun.

Mereka mengulurkan tangan sambil mengulurkan tangan sambil mengkuyu-kuyukan wajahnya.


Kadang-kadang mereka bertepuk tangan dengan mulut seolah-olah bernyanyi padahal tidak
karena memang hanya mangap-mangap tanpa suara karena toh para pengemudi mobil itu tidak
akan mendengar suara mereka sedangkan kalau mendengar pun juga tidak akan pernah
menganggapnya indah meski hanya untuk secuil saja dari
keindahan sebuah suara yang bisa disebut indah walah mata anak-anak itu tetap saja indah
seindah pada saat ketika dilahirkan dimana mereka langsung jadi pengemis yang penuh dengan
tipu daya akal bulus supaya dikasihani namun mata mereka tetap mata yang murni seperti mata-
mata anak-anak mana pun di seluruh pelosok bumiyang selalu memikat karena anak-anak di
mana pun memang selalu murni tak peduli kelak ketika
sudah dewasa mereka akan jadi bajingan yang paling tengik paling norak paling kampungan
paling busuk dan paling tidak tahu diri.

Orang-orang di dalam mobil yang memenuhi jalan itu esoknya tidak pernah tahu darimana anak-
anak itu berasal. Mereka tiba-tiba saja berada di sana dengan tubuh penuh Lumpur, mengulurkan
tangan meminta-minta dengan mata menghiba-hiba tapi yang tetap kelihatan hanya berpura-pura
karena apabila lampu merah menjadi hijau dan mobil-mobil melaju kembali secepat kilat seperti
ingin meninggalkan kenyataan anak-anak itu kembali saling bercanda dan bermain tali
berguling-gulingan bagai berada di taman impian bagai berada di taman raja-raja bagai anak-
anak pangeran padahal tak lebih dan tak kurang
mereka hanya berada di sebuah petak semen yang tak juga mulus malah jebol-jebol di mana
lampu hijau itu berganti merah kembali.

Orang-orang di dalam mobil sudah kehabisan rasa kasihan melihat anak-anak itu. Orang-orang di
dalam mobil meluncurkan kalimat-kalimat cerdas yang membenarkan bahwa tak baik mendidik
anak-anak itu menjadi pengemis sambil mengeraskan volume CD Player yang melantunkan
suara seorang penyanyi opera, “Quando me’n vo soletta,” sementara
anak-anak yang memukul terban dan kecrekan bikinan sendiri dari tutup-tutup botol yang
dipakukan ke kayu memandang ke balik kaca dengan lapisan film-hitam 60% melihat betapa
penumpang di jok belakang itu sama selali tidak menoleh dan hanya terus menerus membaca
majalah The Economist.

Pada siang hari lumpur di tubuh mereka memang mongering, rontok, tapi tetap menyisakan daki
yang menghitam di kulit mereka, melumut dan menghitam bagaikan tiada pernah akan hilang
seperti takdir yang telah mematok nasib mereka di jalanan itu tak bisa diubah-ubah lagi
meskipun mereka bisa mandi seratus kali sehari di sungai itu, sungai yang airnya mengalir pelan-
pelan saja yang airnya hitam bercampur minyak dan oli hitan legam entah dari mana, mengalir
pelan-pelan dengan plastik atau mayat menggenang terseok-seok tiada yang akan peduli sampai
membusuk seperti bangkai kucing yang perutnya menggembung-bung-bung entah siapa dia –
entah siapa dia betapa
kesepian mati sendiri tidak terkubur tidak terupacarakan meski barangkali lebih baik mati dan
terbebaskan dari kesunyian jalanan yang begitu ramai tapi tiada seorangpun dari orang-orang di
dalam mobil yang mampu menghayati penderitaan meski Cuma secuil karena mereka memang
berusaha menghindarinya berusaha lepas lari tak ingin tak tahu
tak ingin mengerti tak sudi menatap kemiskina yang begitu kelam tapi begitu nyata tampil hadir
di depan mereka mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba diiringi wajah lain yang
menyanyi-nyanyi tak jelas sambil menepuk-nepuk tangan.

Dari balik kaca jendela dengan lapisan film-hitam 60% dan sejuk udara AC yang membuat suhu
diluar semakin panas, nampak jelas anak-anak berambut merah dengan baju dekil berlubang-
lubang berjalan dari satu jendela ke jendela lain tanpa terlalu banyak berharap seolah-olah
mereka tidak betul-betul terlalu lapar dan hanya menjalankan peran
mereka sebagai anak-anak jalanan yang getir yang akan terus menerus berada di sana karena
harus selalu ada peran itu di dunia ini karena betapa ajaib jika di dunia ini tidak ada penderitaan
tidak ada kegetiran atau apapun yang membuat kebahagiaan menjadi istimewa.

Tapi kenapa anak-anak itu nampak bahagia? Mata mereka cemerlang seperti bintang kejora.
Wajah mereka murni dan tanpa dosa, sampai tiba saatnya mereka merambah suatu keadaan di
mana anak laki-laki akan membayar pelacur yang termurah di bawah jembatan pada umur 12
tahun dan anak perempuan akan menjadi pelacur juga pada umur 12 tahun. Hidup memberi
pelajaran pada umur 12 tahun. Hidup memberi pelajaran kepada anak-anak perempuan
bagaimana memanfaatkan tubuhnya dari hari ke hari
dari tahun ke tahun sampai tubuh itu tak bisa dimanfaatkan lagi menjadi rongsokan di bawah
jembatan laying ditemukan orang sebagai mayat gelandangan yang sangat bisa berguna untuk
dibedah dan di potong-potong sebagai bahan pelajaran mahasiswa Kedokteran. Tengkorak
mereka diawetkan, jantung mereka di masukkan stoples, dan suatu saat para mahasiswa itu akan
menjadi kaya raya karena pengetuan mereka
tentang susunan urat syaraf, otot, kelenjar, dan segala macam jeroan yang contohnya diambil dari
mayat perempuan tak dikenal yang barangkali saja pelacur murahan terbuang yang dulunya
berasal dari dalam gorong-gorong.

Di dalam gorong-gorong yang gelap, suram dan berbau bacin, anak-anak yang menunggu untuk
keluar duduk berjajar-jajar menanti giliran. Mereka akan selalu ada di sana, tidak bisa
dihapuskan dan di lenyapkan, makin hari malah makin banyak bermunculan dari setiap lobang
gorong-gorong di seluruh kota. Begitu muncul mereka langsung
mengulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba, mereka memberi tanda betapa mereka butuh
uang untuk makan hari itu saja, seolah-olah mereka, seolah-olah mereka tidak tahu bahwa
mereka memang dilahirkan supaya merasa lapar, supaya menjadi pengemis, supaya menjadi
bukti bahwa kemiskinan itu ada. Mereka tetap mengulurkan tangan dari satu jendela ke jendela
lain sambil mencoba menengok ke dalam mobil yang berlampu diamana orang-orang membaca
Koran Asian Wallstreet Journal dengan penuh keluh dan penuh kesah karena perdagangan telah
menjadi sulit dan membuat utang mereka makin membengkak. Menurut kalkulasi para akuntan,
mereka jauh lebih miskin dari para pengemis di luar itu, yang meski begitu busuk, hina, dan
buruk rupa, sama sekali tidak punya utang. Satu sen pun tidak. Mereka menghela nafas. Hidup
begitu berat, pikir mereka. Sebagai hiburan, mereka mengubah mobilnya jadi gedung opera.
Dengarlah Monserrat Caballe berkumandang, “Spira sul mare esulla terra.”

***

Aku memikirkan semua itu sambil memandang mega-mega. Hamparan lautan kapas memutih
bagaikan surga kanak-kanak yang terindah. Dari balik jendela pesawat terbang, matahari
memang menjadi lain, cahayanya jatuh dengan lembut, keungu-unguan, keemas-emasan,
kemerah-merahan, menyepuh bantalan mega-mega yang seolah begitu empuk dan begitu
membahagiakan. Pramugari memintaku memilih minuman, dan aku memilih anggur putih
dengan nama yang sulit diucapkan. Setidaknya cocok untuk
menyantap ikan dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, dengan serbet di leher,
gaya makan orang-orang beradab, sambil menatap awan gemawan yang berwarna selembut
yoghurt, terbentang tanpa batas, sungguh suatu pemandangan impian. Di telingaku terpasang
headphone, membawaku ke gedung La Scala di Milan. Kudengar Placido Domingo bernyanyi,
“L’alba vindice appar.”. Menoleh lagi ke jendela, suaranya
bagaikan berada di langit itu. Seolah-olah ia berada di sana, dengan penonton yang duduk
meluruskan kaki di antara mega-mega.

Mengembara di antara awan memberikan perasaan betapa dunia ini begitu luas. Dikau bisa
melompat berlari dari bantalan mega yang satu ke mega yang lain. Bisa juga membayangkan diri
menunggang seekor kuda terbang, atau Lembu Andini, keluar masuk celah awan yang gemilang
dalam perubahan warna yang tak tertahan dari saat ke saat, dari pesona ke pesona, dari dunia ke
dunia. Langit tak pernah sama dengan bumi.
Setiap lapis yang ditembus memberikan makna dan cerita lain.

Menjelajah langit adalah mengarungi dunia cerita yang serba membentang serba menghampar
dan serba menjanjikan adanya sesuatu yang lebih menarik di balik awan. Kulihat juga dirimu
mengelus kucing itu, seperti seorang dewi yang berkelebat dari mimpi ke mimpi, dari sana ke
sini, terlihat sebentar lantas menghilang lagi.

”E lucevan lestele.”. Apakah kamu masih mendengarkan Puccini? Aku masih di dalam pesawat
duduk diikat sabuk pengaman, menyantap makanan beradab. Langit yang ungu bersepuh merah.
Kutenggak anggur putih. Lantas bersendawa. Ikan salmon yang ku telan menyublim ke udara.
Pramugari mengambil baki. Tak kulihat lagi kamu di luar jendela itu. Kemanakah kamu?
Apakah kamu masih menemui aku nanti di bumi? Aku sudah terlalu biasa dengan perpisahan –
semuanya selalu berakhir seperti itu. “Tutto e fenito.”. Selalu menyedihkan untuk menyadari,
bahwa setiap pertemuan dalam dirinya sudah mengandung perpisahan. Awan merekah. Cahaya
mengalir seperti sungai. Pesawat terbang menjadi perahu. Mega-mega bagaikan busa sabun yang
mengapung. Kemudian dari balik awan mega-mega yang terbentang seperti lautan kapas
menyembul anak-anak itu.

Anak-anak dengan tubuh penuh lumpur membumbung langsung dari gorong-gorong menembus
mega dan mengulurkan tangannya di jendela pesawat terbang. Aku terperangah. Kulepaskan
headphone. Apakah ini Cuma khayalanku? Ternyata tidak, karena para penumpang juga menjadi
gempar. Di setiap jendela disisi kiri maupun kanan muncul satu, dua, sampai tiga anan yang
menjulurkan tangan dengan wajah menghiba-hiba dan mata yang dikuyu-kuyukan, nampak
sekali berpura-pura, sedangkan yang lain menepuk-nepukkan kerecekan dengan mulut mangap-
mangap tak jelas menyanyi lagu apa, darimana pula anak-anak itu tahu sebuah lagu, kalalu tahu
pun sudah pasti bukan opera, dan anak yang lain lagi seperti biasa hanya bermodal tepuk-
tepukan tangan dengan mata yang tidak terlalu berharap karena sudah terlalu biasa menerima
lambaian penolakan.

Para penumpang yang duduk di bagian tengah berebutan melepaskan sabuk pengaman dan
berlompatan ke sisi kiri atau kanan jendela. Sebagian dengan cepat segera memotret dan
merekamnya dengan kamera video. Para pramugari yang biasanya tegas mengatur tata tertib kini
ikut histeris malah tanpa malu-malu melompati penumpang supaya bisa melongok ke jendela.
Ajaib. Anak-anak dari kolong bumi yang hanya pantas hidup
dalam kekelaman dan hanya pantas hidup dalam penderitaan kini menembus mega-mega,
menembus awan gemawan yang tebal melanjutkan kepengemisannya. Anak-anak itu bertebaran
sepanjang langit, beterbangan kian kemari membawa terban, kercekan, atau hanya menepuk-
nepukkan tangan, mengemis kepada setiap pesawat terbang yang
lalu lalang di atmosfir bumi. Mereka membubung langsung dari gorong-gorong yang bagai tiada
habisnya terus menerus memuntahkan anak-anak bersimbah lumpur, membumbung langsung ke
langit ke arah pesawat terbang dan mengulurkan tangan ke jendela-jendelanya. Di muka bumi
anak-anak itu mengulurkan tangan dengan pandangan mata tahu bahwa akan ditolak. “Kami
mengemis bukan karena butuh uang,” kata mata itu, “kami mengemis karena kami memang
dilahirkan sebagai pengemis.” Maka anak-anak membumbung langsung dari gorong-gorong ke
jendela setiap pesawat tanpa mengharap suatu ketika jendela itu akan dibuka dan akan menerima
uang logam seratus atau dua ratus rupiah. Lagipula, mana mungkin jendela pesawat dibuka untuk
memberi mereka sedekah?

Di langit yang senja, keindahan membentang bagaikan lautan syurgawi. Atap langit berkilau-
kilau karena matahari yang lain. Para penumpang di dalam pesawat terbang terperangah oleh
suara takbir dari langit yang menembus begitu halus ke badan pesawat. Di jendela, anak-anak
yang berlumpur dengan mata yang murni itu menatap kami, dari dalam pesawat kami menatap
mata anak-anak itu. Kemiskinan macam apakah kiranya yang tiada mungkin tertolong lagi dan
kekayaan macam apakah kiranya yang tak pernah mungkin mengubah kemiskinan itu?
Dalam iringan takbir di langit yang menenggelamkan opera duniawi manapun, anak-anak itu
membubung ke atas, melanjutkan perjalanannya. Kucoba menengok ke atas dan hanya kulihat
berkas-berkas cahaya berkilauan.

Vancouver – Los Angeles, Februari 1999.

You might also like