You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertusis (batuk rejan) di sebut juga whooping cough, tussis quinta,violent
cough, dan di Cina disebut batuk 100 hari. Uraian pertama epidemi penyakit
ini di tulis pada tahun 1578 di dan Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada
tahun 1908 oleh Bodet Gengou. Pertusis merupakan penyakit yang di sebabkan
oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan penyakit infeksi saluran
nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Orang
yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin
terjangkit. Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan
kesakitan pada anak terutama di negara berkembang. (World Health
Organization) WHO memeperkirakan ± 600.000 kematian disebabkan pertusis
setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak di imunisasi.dengan kemajuan
perkembangan anti biotik dan program imunisasimaka mortalitas dan
morbiditas penyakit ini mulai menurun. Imunisasi amat mengurangi resiko
terinfeksi,tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Jika di derita bayi penyakit ini
merupakan penyakit yang gawat dengan kematian 15%-30%. Pada anak-anak
penyakit ini jarang menyebabkan kematian,tetapi pengobatan terhadap
penyakit ini sulit dan memakan waktu lama(8 minggu) sehingga pengobatan
terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pertusis ?
2. Bagaimana etiologi terjadinya pertusis ?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari pertusis ?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis ?
5. Apa komplikasi dari pertusis ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari pertusi ?

1
7. Bagaimana penatalaksanaan klien anak dengan pertusis ?

C. Tujuan
1. Mengerti dan memahami tentang pengertian pertusis.
2. Mengerti dan memahami tentang penyebab terjadinya pertusis.
3. Mengerti dan memahami tentang manifestasi klinis dari pertusis.
4. Mengerti dan memahami tentang patofisiologi terjadinya pertusis.
5. Mengerti dan memahami tentang komplikasi dari pertusis.
6. Mengerti dan memahami tentang pemeriksaan penunjang dari pertusis.
7. Mengerti dan memahami tentang penatalaksanaan klien anak dengan
pertusis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pertusis
Pertusis adalah penyakit radang paru (pernapasan) yang disebut juga batuk
rejan atau batuk 100 hari, karena lama sakitnya dapat mencapai 3 bulan lebih
atau 100 hari (Anik Maryunani, 2010). Pertusis adalah penyakit saluran napas
yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis
quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari (Arif Mansjoer, 2000).

B. Etiologi
Penyakit pertusis terbanyak disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis
tetapi kadang-kadang juga oleh Bordetella parapertusis di beberapa daerah
dunia. Bakteri Bordetella parapertusis termasuk bakteri gram negatif yang
dapat dibiakkan dari swab nasofaring penderita pertusis dengan media khusus
(ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou).

C. Manifestasi Klinis
Gejala umumnya dibagi dalam 3 fase yaitu fase kataral, fase paroksimal
(serangan), dan fase konvalesen (penyembuhan) yang berlangsung selama 6-8
minggu.
1. Fase Kataral (1-2 minggu)
Gejala infeksi saluran napas atas: pilek, batuk ringan, keluar air mata,
mata merah, panas tak tinggi. Pada fase ini umumnya sulit di diagnosis
sebagai pertusis, karena tidak khas.
2. Fase serangan (2-4 minggu)
Batuk semakin berat sehingga pasien gelisah dengan muka merah dan
sianotik. Batuk terjadi paroksimal berupa batuk-batuk khas. Serangan
batuk panjang dan tidak ada inspirasi diantaranya dan di akhiri dengan
whoop (tarikan napas panjang dan dalam, berbunyi melengking). Sering
diakhiri muntah di sertai sputum kental. Anak-anak dapat sempat terberak-

3
berak dan terkencing-kencing. Akibat tekanan saat batuk saat terjadi
perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis. Tampak keringat, pembuluh
darah leher, dan muka lebar.
3. Fase konvalesen (1-2 minggu)
Jumlah dan beratnya serangan batuk berjurang, muntah berkurang,
dan nafsu makan timbul kembali.

D. Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan
akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis toxin (PT) dan protein 69- KD
berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke
seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif karena pada
pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toxin yang akan menyebabkan penyakit yang kita
kenal dengan whooping cough.
Toxin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toxin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toxin sub
unit B selanjutnya berkaitan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan
sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membarane sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Toxin mediated
adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein
dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologi dari
sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula
darah. Toxin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperklasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,

4
maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. Influenzadan
Staphylococcus aureus). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang
dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan
timbulnya apnea saat terserng batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toxin ataukah
sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible,
pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan,
karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

E. Komplikasi
1. Sistem pernapasan
Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis
yang di sebabkan sumbatan mukus, emfisema, bronkhietaksis, dan
tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.
2. Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak
menjadi kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul
karna tingginya tekanan intra abdominal, ultus pada ujung lidah karena
tergosek pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.
3. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak,
mungkin pula terjadi perdarahan otak

F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan sputum
2. Pemeriksaan serologis untuk bordetela pertusis

5
3. Foto toraks
4. Tes ELISA (Enzyme-Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar scret
Ig A
5. Pembiakan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang
ditandai sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara
20.000-50.000 sel/mm3 darah.

G. Penatalaksanaan
1. Antibiotik
a. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat
ini menghilangkan bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-6 hari
( rata-rata 3-6 hari), dengan demikian memperpendek kemungkinan
penyebaran infeksi.
b. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
c. Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol, dan tetrasiklin
2. Imunoglobulin diberikan bila diperlukan
3. Pencegahan dengan imunisasi
Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman bordetella pertusis
yang tela dimatikan untuk mendapatkan imunitas aktif. Vaksin ini
diberikan bersama vaksin difteri dan tetanus. Dosis yang dianjurkan 12
unit diberikan pada umur 2 bulan.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
a. Panas lebih dari 33oC
b. Riwayat kejang
c. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu
tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi
anafilatik lainnya
4. Terapi suportif
5. Hindari makanan yang sulit di telan
6. Lingkungan perawatan penderita yang tenang
7. Pemberian jalan nafas

6
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Fokus Pengkajian
1. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Gejala: batuk-batuk dan tampak lemah
2. Pola nutrisi dan metabolik
Gejala: nafsu makan berkurang, mual muntah, dan penurunan berat badan
3. Pola eliminasi
Gejala: BAB dan BAK lancar
4. Pola aktivitas dan latihan
Gejala: batuk panjang, kelelahan, dan demam ringan
5. Pola tidur dan istirahat
Gejala: mudah terbangun dan gelisah
6. Pola persepsi kognitif
Gejala: komunikasi terhambat karena batuk
7. Pola persepsi dan konsep diri
Gejala: gelisah
8. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
Gejala: stres terhadap stres yang dialaminya

B. Nursing care Plan


1. Diagnosa Keperawatan
a. Kebersihan jalan napas tidak efektif
b. Pola napas tidak efektif
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Intoleran aktivitas
2. Tujuan dan kriteria hasil
a. Kebersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan dan kriteria hasil:

7
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2) Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang
normal, tidak ada suara napas abnormal)
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan napas

b. Pola napas tidak efektif


Tujuan dan kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2) Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang
normal, tidak ada suara napas abnormal)
3) Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernapasan)

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan dan kriteria hasil:
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3) Mampu mengidentifikasikan kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

d. Intoleran aktivitas
Tujuan dan kriteria hasil:

8
1) Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa di sertai peningkatan
tekanan darah, nadi, dan RR
2) Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
3) Tanda-tanda vital normal
4) Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan lain
5) Status sirkulasi baik

3. Intervensi
a. Kebersihan jalan napas tidak efektif
Intervensi:
1) Monitor status oksigen pasien
2) Berikan oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
suction nasotrakeal
3) Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter
dikeluarkan dari nasotrakeal
4) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
5) Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan

b. Pola napas tidak efektif


Intervensi:
1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
3) Monitor pola pernapasan normal
4) Berikan bronkodilator bila perlu
5) Pertahankan jalan napas yang paten

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
2) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
3) Kaji adanya alergi makanan

9
4) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

d. Intoleran aktivitas
Intervensi:
1) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
dilakukan
2) Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
3) Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual

10
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertusis adalah penyakit radang paru (pernapasan) yang disebut juga batuk
rejan atau batuk 100 hari, karena lama sakitnya dapat mencapai 3 bulan lebih
atau 100 hari (Anik Maryunani, 2010). Pertusis di sebabkan oleh bakteri
bordetella pertusis. Manifestasi klinis dari pertusis di bagi menjadi 3 tahap
yaitu fase kataral,fase paroksimal dan fase konvalesensi. Pemeriksaan
penunjang dari pertusis antara lain pemeriksaan sputum dan pemeriksaan
toraks.

B. Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan
pemberian vaksin DPT pada usia 2,4, dan 6 bulan sesuai dengan program
pengembangan imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster
di anjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis
tidak memberi kekebalan permanen.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, AAA. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika
Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: Trans
Info Media
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak, Vol. 2, Edisi 15. Jakarta: EGC

12

You might also like