You are on page 1of 10

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR CERVIKAL

DI RUANG IGD RSUP DR KARIADI SEMARANG

Oleh:
IMANUEL DWIJAYANTO
G3A017029

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017-2018

PEMBAHASAN
A. Definisi
Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung kepala dan
menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah satutulang leher
disebut fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher.
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal
dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur
vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh
servikal.

B. Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai
tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang
dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma
langsung tersebut dapat berupa :
1. Kecelakaan lalulintas
2. Kecelakaan olahra
3. Kecelakaan industry
4. Jatuh dari pohon/bangunan
5. Luka tusuk
6. Luka tembak
7. Kejatuhan benda keras

C. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (2014) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai
berikut :
1. Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan
tidak ada gerakan (baik secara fisik maupun fungsional0 di bawah transeksi
spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi
daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori
diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan
sehari-hari seperti makan, mandi, dan berpakaian. quadriplegia pada C4
biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn dapat dilepaskan
dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat
makan sendiri dengan alat khsus.
2. Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernapasan.
Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada
otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat
levator skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi
menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan triagular anterior dari
daerah lengan atas.
3. Lesi C6
Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik,
dengan lengan abduksi dan lengan bawah fleksi. Ini karena aktivitasd tak
terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradiali
4. Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas
atas mengambil posis yang sama seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan
biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.

D. Patofisiologi
Akibat dari suatu trauma mengenai tulang belakang seperti jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, cedera olahraga, sedera tulang belakang
mengakibatkan patah tulang belakang , paling banyak cervikalis dan lumbalis
fraktur dapat berupa patah tulang sederhana , kompresi, kominutif dan dislokasi ,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kerusakan melintang
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah. Blok saraf pernafasan
respon nyeri hebat dan akut anastesi iskemia dan hipoksemia syock spinal
gangguan fungsi rectum , kandug kemih, gangguan rasa nyaman nyeri dan
potensial komplikasi hipotensi , bradikardia gangguan eleminasi.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, (2012) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
1. Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla
spinalis.
5. Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,
anterlektasis).
6. GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

F. Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :
a. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka
terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
b. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti
lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
c. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
d. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

G. Penatalaksanaan
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu:
1) Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2) Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip,
jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3) Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,
imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4) Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7)
dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi),
member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5) Menyediakan oksigen tambahan.
6) Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse
oksimetri.
7) Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8) Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh
dari hipotensi dan bradikardi.
9) Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10) Berikan antiemboli.
11) Tinggikan ekstremitas bawah
12) Gunakan baju antisyok.
13) Meningkatkan tekanan darah
14) Monitor volume infus.
15) Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16) Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi
gejala bradikardi.
17) Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18) Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19) Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal
cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam,
dimulai dari 8 jam setelah kejadian.

H. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal.
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik usus hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang Pola
kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL.
f. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan
reaksi pupil, ptosis.
g. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada derah trauma.
h. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
i. Keamanan : suhu yang naik turun.

2. Diagnosa Keparawatan
a. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma),
kompresi medulla spinalis.
b. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d adanya cedera pada cervikalis
c. Gangguan pola eliminasi urin : inkontinensia urin b.d kerusakan saraf
perkemihan
d. Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat
kerusakan persarafan usus & rectum.
e. Kerusakan mobiltas fisik b.d kelumpuhan pada anggota gerak.
3. Intervensi Dan Rasional
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
- Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
- Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaCo2<45 , PaO2>80, RR 16-20x/
menit, Tanda-tanda sianosis(-) : CRT 2 detik
- Intervensi keperawatan :
a. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan
untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
b. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan
karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
c. Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami
kelumpuhan.
d. Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi
sekret yang berakibat pnemonia.
e. Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang
memerlukan tindakan segera
f. Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragma
g. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi
sekret sebagai ekspektoran.
h. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus
menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
i. Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas
sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
j. Berikan oksigen dengan cara yang tepat.
Rasional : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi
pernapasan.
k. Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional : mencegah sekret tertahan.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera cervikalis
- Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan
dan pengobatan
- Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6
dalam waktu 2 X 24 jam
- Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu,
distensi kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu
mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat
3. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan syaraf
perkemihan.
- Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
- Kriteria hasil :
Produksi urine 50cc/jam, Keluhan eliminasi urin tidak ada.
- Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
Rasional : Kandung kemih yang menegang menunjukkan akumulasi
urine dalam kandung kemih meningkat dan harus di keluarkan.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter.
Rasional membantu proses pengeluaran urine

DAFTAR PUSTAKA

Amin, H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa Medis & NANDA .
Yogyakarta: Medication Jogja.

Lingga. (2012, february 21). Asuhan Keperawatan Lengkap. Retrieved October 21, 2015, from
Asuhan Keperawatan pada fraktur :
http://asuhankeperawatanlengkap.blogspot.co.id/2012/02/asuhan-keperawatan-pada-fraktur.html
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa kariasa IM. (2012). Rencana Asuhan Keperawata,
Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Persyarafan . Jakarta:
Salemba Medika.

Suddarth, B. &. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC.

You might also like