You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan pada
masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi merupakan
suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan
diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis
yaitu hipertensi primer atau esensial yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder
yang dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan
anak ginjal. Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus
menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu,
hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sidabutar,
2009).
Berdasarkan data dari WHO tahun 2000, menunjukkan sekitar 972 juta orang atau 26,4%
penduduk dunia menderita hipertensi, dengan perbandingan 50,54% pria dan 49,49 % wanita.
Jumlah ini cenderung meningkat tiap tahunnya (Ardiansyah, 2012). Data statistic dari Nasional
Health Foundation di Australia memperlihatkan bahwa sekitar 1.200.000 orang Australia (15%
penduduk dewasa di Australia) menderita hipertensi. Besarnya penderita di 1 negara barat seperti,
Inggris, Selandia Baru, dan Eropa Barat juga hampir 15% (Maryam, 2008). Di Amerika Serikat
15% ras kulit putih pada usia 18-45 tahun dan 25-30% ras kulit hitam adalah penderita hipertensi
(Miswar, 2004).
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, prevalensi hipertensi di Indonesia tahun
2004 sekitar 14% dengan kisaran 13,4 - 14,6%, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 16-
18%. Secara nasional Provinsi Jawa Tengah menempati peringkat ke-tiga setelah Jawa Timur dan
Bangka Belitung. Data Riskesdas (2010) juga menyebutkan hipertensi sebagai penyebab kematian
nomor tiga setelah stroke dan tuberkulosis, jumlahnya mencapai 6,8% dari proporsi penyebab
kematian pada semua umur di Indonesia (Depkes, 2010).
Menurut Profil Kesehatan Jawa Tengah Tahun 2012, kasus tertinggi penyakit tidak
menular di Jawa Tengah tahun 2012 pada kelompok penyakit jantung dan pembuluh darah adalah
penyakit hipertensi esensial, yaitu sebanyak 554.771 kasus (67,57%) lebih rendah dibanding tahun
2011 (634.860 kasus/72,13%). Berdasarkan data dari Puskesmas Kerjo Karanganyar tahun 2010
jumlah penderita hipertensi sebanyak 352 lansia. Tahun 2011 sebanyak 446 lansia dan tahun 2012
tercatat penderita hipertensi 598 lansia sedangkan pada bulan Januari-Mei 2013 tercatat penderita
hipertensi 482 lansia. Angka kejadian hipertensi ini menunjukkan bahwa penyakit hipertensi
menjadi prioritas utama masalah kesehatan yang terjadi di Kecamatan Kerjo tersebut. Penyakit
hipertensi ini bagi masyarakat sangat penting untuk dicegah dan diobati. Hal ini dikarenakan dapat
menjadi pencetus terjadinya stroke yaitu kerusakan pembuluh darah di otak.
Hipertensi sangat erat hubungannya dengan faktor gaya hidup dan pola makan. Gaya hidup
sangat berpengaruh pada bentuk perilaku atau kebiasaan seseorang yang mempunyai pengaruh
positif maupun negatif pada kesehatan. Hipertensi belum banyak diketahui sebagai penyakit yang
berbahaya, padahal hipertensi termasuk penyakit pembunuh diam-diam, karena penderita hipertensi
merasa sehat dan tanpa keluhan berarti sehingga menganggap ringan penyakitnya. Sehingga
pemeriksaan hipertensi ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan rutin/saat pasien datang dengan
keluhan lain. Dampak gawatnya hipertensi ketika telah terjadi komplikasi, jadi baru disadari ketika
telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung koroner, fungsi ginjal,
gangguan fungsi kognitif/stroke. Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para
penderitanya. Penyakit ini menjadi muara beragam penyakit degeneratif yang bisa mengakibatkan
kematian. Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang tinggi juga berdampak kepada
mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus ditanggung para penderitanya. Perlu pula diingat
hipertensi berdampak pula bagi penurunan kualitas hidup. Bila seseorang mengalami tekanan darah
tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan secara rutin dan pengontrolan secara teratur, maka hal ini
akan membawa penderita ke dalam kasus-kasus serius bahkan kematian. Tekanan darah tinggi yang
terus menerus mengakibatkan kerja jantung ekstra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadi
kerusakan pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata (Wolff, 2006)

. 2.1.1 Lansia
Lansia merupakan tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup
serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
Menurut WHO, batasan umur lanjut usia dibedakan menjadi empat antara lain
usiapertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly), antara
60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old),
di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Undang-undang nomor 13 tahun 1998, lanjut usia merupakan
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.
Pada tahap lanjut usia akan mengalami perubahan-perubahan terutama pada perubahan
fisiologis karena dengan semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun
baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit. Salah satu gangguan kesehatan yang paling
banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler yaitu terjadi penurunan elastisitas
dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, serta penurunan kemampuan jantung untuk
memompa darah. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume darah, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, serta
terjadinya hipertensi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Ismayadi, 2004).
2.1.2 Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah.
Tekanan ini bervariasi sesuai dengan pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah
paling tinggi terdapat pada arteri-arteri besar yang meninggalkan jantung dan secara bertahap
menurun sampai ke arteriol. Akhirnya setelah mencapai kapiler, tekanan ini sedemikian rendah
sehingga tekanan ringan dari luar akan menutup pembuluh darah ini dan mendorong darah keluar.
Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air
raksa telah dipakai sejak lama sebagai rujukan baku untuk pengukuran tekanan. Sebenarnya tekanan
darah berarti daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh.
Terkadang tekanan dinyatakan dalam sentimeter air (cm H2O) (Guyton & Hall, 2008:172).
Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Cara
langsung pengukuran tekanan darah dilakukan dengan memasukkan kateter arteri ke dalam arteri
kemudian diukur tekanannya. Sedangkan cara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan
sphygmomanometer dan stetoskop (Smeltzer & Bare, 2002:731). Cara pengukuran tekanan darah
secara tidak langsung dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
A. Cara Palpasi (metode Riva Rocci)
Pada metode ini semua pakaian harus dibebaskan dari lengan atas dan manset dipasang
pada lengan. Saluran karet dari manset kemudian dihubungkan dengan manometer. Kemudian raba
arteri radialis pada pergelangan tangan dan tekanan dalam manset kemudian diturunkan memutar
tombol pada pompa perlahan-lahan yaitu dengan kecepatan sekitar 3 mm/detik. Ketika denyut arteri
radialis teraba kembali, itu menunjukkan tekanan darah sistolik. Metode palpasi harus dilakukan
sebelum melakukan auskultasi untuk menentukan tinggi tekanan sistolik yang diharapkan. Palpasi
dilakukan bila tekanan darah sulit didengarkan tetapi dengan palpasi tekanan diastolik tidak dapat
ditentukan dengan akurat (Smeltzer & Bare, 2002:732).
B. Cara Auskultasi
Metode standar dalam pengukuran tekanan darah seseorang dengan metode auskultasi pertama kali
diperkenalkan dan dikembangkan oleh Korotkov pada tahun 1905. Metode auskultasi dapat
mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat. Untuk mengauskultasi tekanan darah,
ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di
bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakialis muncul di
antara kedua kaput otot biseps. Dalam cara auskultasi ini harus diperhatikan bahwa terdapat suatu
jarak paling sedikit 5 cm antara manset dan tempat meletakkan stetoskop. Manset dikempiskan
dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak
yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut yang dikenal sebagai bunyi Korotkoff,
terjadi bersamaan dengan detak jantung dan akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai
tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik. Pada titik tersebut bunyi akan menghilang.
Dalam praktik sebenarnya bunyi menjadi lebih sember (karakternya berubah) saat distolik tercapai
dan kemudian menghilang sekitar 10 mmHg di bawah tekanan diastolik. Hilangnya bunyi sangat
dekat dengan tekanan diastolik yang sebenarnya (Smeltzer & Bare, 2002:732).
Cara Osilasi
Metode ini dilakukan dengan cara melihat osilasi air raksa pada manometer. Manset dipompa
sampai tekanannya 10-20 mmHg melebihi tekanan sistolik yang ditentukan dengan metode Riva
Rocci. Tekanan manset diturunkan perlahan-lahan sambil memperhatikan air raksa manometer. Saat
timbulnya osilasi pada manometer menunjukkan tekanan sistolik. Tekanan manset terus diturunkan
sampai osilasi menghilang yang menunjukkan tekanan diastole (Smeltzer & Bare, 2002:732).

2.2.2 Manifestasi Klinis Hipertensi


Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa di antaranya sudah mempunyai faktor risiko
tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik. Menurut Elizabeth J. Corwin (2005), manifestasi klinis
yang timbul setelah mengetahui
hipertensi bertahun-tahun antara lain:
A. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat tekanan darah
intrakranium.
B. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
C. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf.
D. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
E. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
2.2.3 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi tekanan darah didasarkan pada The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) untuk pasien dewasa (umur = 18 tahun)
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis
(Chobaniam AV et al, 2003). Klasifikasi tekanan darah mencakup empat kategori, dengan nilai
normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80
mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-
pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi di masa yang akan
datang.
2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko yang dapat mempengaruhi hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu:
A. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang
hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi (Yundini, 2006). Dengan
bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan
usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% di atas umur 60 tahun
(Nurkhalida, 2003). Tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur merupakan hal
yang wajar. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon.
Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi
(Staessen A Jan et al, 2003).
2. Jenis kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi.
Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di
Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita (Yundini, 2006). Ahli lain
mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29
mmHg untuk peningkatan darah sistolik (Nurkhalida, 2003). Sedangkan menurut Arif Mansjoer,
dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi.
Riwayat Keluarga Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai
hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi
(faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer.
Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali
lipat (Chunfang Qiu et al, 2003). Genetik Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi
terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot
(satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-
50 tahun akan timbul tanda dan gejala
(Chunfang Qiu et al, 2003). Faktor yang dapat diubah/dikontrol Merokok Rokok juga dihubungkan
dengan hipertensi. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang
dihisap per hari. Merokok lebih dari satu pak rokok sehari berisiko 2 kali lebih rentan mengalami
hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok (Price & Wilson, 2006). Nikotin dan karbon
monoksida yang diisap melalui rokok, masuk ke dalam aliran darah dan merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri serta mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi (Nurkhalida, 2003).
2. Konsumsi garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Garam
menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar,
sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Seseorang yang mengkonsumsi garam 3
gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8
gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6
gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari (Nurkhalida, 2003).
3. Konsumsi lemak jenuh
Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari
hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan
tekanan darah (Sheps, 2005).
4. Konsumsi alkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei
menunjukkan bahwa 10% kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol (Khomsan, 2003).
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga,
peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah
berperan dalam menaikkan tekanan darah (Nurkhalida, 2003).
5. Kurang Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga teratur dapat
menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik
meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang
yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga
otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps, 2005).
6. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat
meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat
berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres dapat merangsang kelenjar adrenal melepaskan
hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan
darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa
hipertensi atau penyakit maag (Gunawan, 2005).
7. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Pada obesitas tahanan
perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin
plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab.
Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah
menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat
badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan
insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Sheps, 2005; Yundini, 2006).
2.2.5 Patofisiologi Hipertensi

Beberapa faktor dapat mempengaruhi konstriksi dan relakasi pembuluh darah yang berhubungan
dengan tekanan darah. Bila seseorang emosi, maka sebagai respon korteks adrenal mengekskresikan
epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu, korteks adrenal mengekskresi kortisol dan
steroid lainnya yang bersifat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi
menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah oleh enzim ACE (Angiotensin Converting
Enzyme) menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Rohaendi, 2008).

2.2.6 Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat
aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata,
ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko
kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan
kardiovaskularnya tersebut (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006).
Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat hipertensi antara lain:
A. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat perdarahan di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh
darah non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami ateroskelosis
dapat melemah dan kehilangan elastisitas sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya
aneurisma.
B. Infark miokardium
Penyakit ini dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat menyuplai darah
yang cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah
melalui arteri koroner. Karena hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen
miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan pembentukan
pembekuan darah.
Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan yang tinggi pada kapiler-
kapiler ginjal, yaitu glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit-unit fungsional
ginjal terganggu, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia serta kematian.
Dengan rusaknya membrane glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
Enselopati (kerusakan otak) Enselopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi
yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini dapat menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang interstitium di seluruh susunan
saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian mendadak.

2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dapat dilakukan
dengan dua jenis yaitu:
A. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Diuretik
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh melalui urin. Dengan
demikian, volume cairan dalam tubuh berkurang sehingga daya pompa jantung lebih ringan
(Dalimartha et al, 2008). Menurut Hayens (2003), diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara
mengurangi jumlah air dan garam di dalam tubuh serta melonggarkan pembuluh darah. Sehingga
tekanan darah secara perlahan-lahan mengalami penurunan. Selain itu, jumlah garam di dinding
pembuluh darah menurun sehingga menyebabkan vasodilatasi. Kondisi ini membantu tekanan darah
menjadi normal kembali.
2. Penghambat adrenergik (ß-bloker)
Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis beta
bloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti
asma bronkial (Lenny, 2008). Pemberian ß-bloker tidak dianjurkan pada penderita gangguan
pernapasan seperti asma bronkial karena pada pemberian ß-bloker dapat menghambat reseptor ß 2
di jantung lebih banyak dibandingkan reseptor ß 2 di tempat lain. Penghambatan ß 2 ini dapat
membuka pembuluh darah dan saluran udara (bronki) yang menuju ke paru-paru. Sehingga
penghambatan ß 2 dari aksi pembukaan ini dengan ß-bloker dapat memperburuk penderita asma
(Hayens, 2003).
 Vasodilator
Agen vasodilator bekerja langsung pada pembuluh darah dengan merelaksasi otot
pembuluh darah. Contoh yang termasuk obat jenis vasodilator adalah prasosin dan
hidralasin. Kemungkinan yang akan terjadi akibat pemberian obat ini adalah sakit kepala
dan pusing (Dalimartha et al, 2008). Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE
inhibitor) Obat ini bekerja melalui penghambatan aksi dari sistem renin-angiotensin. Efek
utama ACE inhibitor adalah menurunkan efek ACE. Kondisi ini akan menurunkan
perlawanan pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah (Hayens, 2003).
 Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium adalah sekelompok obat yang berkerja mempengaruhi jalan masuk
kalsium ke sel-sel dan mengendurkan otot-otot di dalam dinding pembuluh darah sehingga
menurunkan perlawanan terhadap aliran darah dan tekanan darah. Antagonis kalsium
bertindak sebagai vasodilator (Hayens, 2003). Golongan obat ini menurunkan daya pompa
jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk
golongan obat ini adalah nifedipin, diltiasem dan verapamil. Efek samping yang mungkin
timbul adalah sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah (Lenny, 2008).

B. Penatalaksanaan Non Farmakologis


Menurut Dalimartha et al (2008), upaya pengobatan hipertensi dapat dilakukan dengan pengobatan
non farmakologis, termasuk mengubah gaya hidup yang tidak sehat. Menerapkan gaya hidup sehat
bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang
penting dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006).
Penatalaksanaan non farmakologis hipertensi antara lain:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis seperti berhenti merokok,
pengurangan asupan makanan berlemak, dan mengurangi asupan alkohol (Nurkhalida, 2003).
2. Meningkatkan olahraga dan aktifitas fisik seperti jogging dan berenang. Dianjurkan untuk
olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah
walaupun berat badan belum tentu turun (Nurkhalida, 2003). Olahraga dapat menimbulkan perasaan
santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Gunawan, 2005).
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam dengan memperbanyak makanan segar, mengurangi makan yang
diproses, dan memilih produk dengan kandungan natrium rendah (Sheps, 2005).
b. Diet rendah lemak jenuh yang dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman, Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium
dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya
stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan
darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak mineral dapat
mengatasi hipertensi (Khomsan, 2003; Nurkhalida, 2003). Menghilangkan stres. Stres menjadi
masalah bila tuntutan dari lingkungan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya.
Perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat
meringankan beban stres (Sheps, 2005).

You might also like