You are on page 1of 6

PRESENTASI JURNAL

Asthma and corticosteroid time for a more precise approach to treatment

Diajukan kepada :
dr . Andreas, Sp. PD

Disusun oleh :
Tressa Sugiharti G4A016116

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI JURNAL

Asthma and corticosteroid time for a more precise approach to treatment

Disusun oleh :

Tressa Sugiharti G4A016116

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, September 2017

Pembimbing,

dr. Andreas, Sp. PD


Asma dan kortikosteroid: Waktunya untuk pendekatan terapi yang lebih akurat

Kemampuan kortikosteroid untuk memperbaiki asma pada subkelompok pasien yang


bahwa respondennya selalu cukup besar untuk menghasilkan perbedaan statistik yang signifikan
pada manifestasi asma saat steroid dibandingkan dengan placebo pada pasien yang tidak dipilih.
Telah diketahui secara umum konsistensi data percobaan klinis yang menunjukkan manfaat dari
kortikosteroid, khususnya pada pasien dengan asma ringan, menjadi alasan mengapa setiap
panduan terapi asma selalu menganjurkan penggunaan kortikosteroid harian pada setiap jenis
asma kecuali pada asma yang paling ringan. Panduan terapi juga umumnya menganjurkan
pendekatan empiris untuk mengetahui dosis kortikosteroid, dimana dosis kortikosteroid akan
meningkat seiring dengan tingkat keparahannya. Pendekatan empiris tersebut kini dinilai
memiliki kekurangan dan penekanannya beralih kepada perkembangan pendekatan terapi yang
dipandu oleh endotip molekular berbasis mekanisme daripada fenotip klinis berbasis sifat.
Alasannya sederhana: sifat asma seperti gejala dan penyempitan saluran nafas merupakan hasil
dari mekanisme molekular heterogen, dan paradigma terapi yang versifat “satu untuk semuanya”
mengobati sifat-sifat tersebutdirasa tidak tepat.

Sebagaimana penekanan terapi beralih pada ketelitian, pencarian biomarker yang


memprediksi respon kortikosteroid semakin intensif. Pencarian ini didasarkan pada pengetahuan
tentang mekanisme kortikosteroid dalam memperbaiki asma. Efek kortikosteroid pada berbagai
jalur inflamasi tipe 2 merupakan hal yang utama dari mekanisme kortikosteroid. Contohnya,
kortikosteroid menekan sitokin tipe 2 dan berbagai efek dari sitokin tersebut pada sel epitel
saluran nafas, termasuk meningkatkan kadar nitrit oksida pada saat ekspriasi. Kortiksteroid juga
efektif dalam mendorong apoptosis eosinofil. Data tersebut menyajikkan dasar teori untuk
penelitian Berthon et al, yang dilaporkan pada isu terkini European Respiratory Journal. Para
peneliti tersebut meneliti seberapa baik tanda biomarker ekspresi six-gene pada sputum induksi
untuk memprediksi fungsi paru sebagai respon dari pemberian dosis tinggi prednisolone oral
pada 55 orang dewasa dengan asma stabil. Diantara 6 gen tersebut, terdapat satu penanda
eosinofil (Kristal Charchot Leyden) dan satu penanda sel mast (carboksipeptidase A3). Peneliti
menemukan bahwa 45% pasien merespon prednisolone dan bahwa subkelompok responder
tersebut memiliki karakteristik eosinophilia saluran nafas dan sistemik serta fungsi paru yang
lebih rendah. Sebagai tambahan, tanda biomarker ekspresi six-gene memiliki hasil yang lebih
baik dalam memprediksi respon steroid daripada jumlah eosinofil pada darah dan sputum. Data
tersebut mendukung konsep bahwa asma dengan inflamasi saluran nafas tipe-2 asma dengan
kadar Th tinggi lebih responsif terhadap kortikosteroid daripada asma dengan kadar rendah Th2.
Namun data juga menunjukkan bahwa penanda inflamasi saluran nafas tipe-2 tidak selalu
memprediksi respon terhadap steroid. Contohnya, 41% pasien yang tidak merespon steroid
memilki asma eosinofilik pada awalnya, dan 17% pasien yang diterapi dengan prednisolone
memiliki eosinofil sputum yang tinggi setelah terapi. Data tersebut sejalan dengan banyak
penelitian tentang eosinofil yang menetap pada subkelompok asmatik meskipun diterapi dengan
steroid dosis tinggi. Oleh karena itu, kurangnya respon terhadap kortikosteroid pada asma terjadi
pada dua scenario klinis; yaitu pasien yang tidak memiliki endotip responsif (asma rendah Th2),
dan subset pasien yang memiliki asma tinggi Th2.

Terdapat berbagai alasan mengapa subset pasien asma tinggi Th2 dapat tidak merespon
kortikosteroid dengan baik, termasuk kurangnya kepatuhan pengobatan. Namun tidak bijak
menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan konsumsi obat adalah alasan utama terjadinya fenomena
ini, karena hal tersebut akan menyingkirkan kemungkinan alasan biologis yang dapat
mendukung pendekatan terapi baru. Salah satu mekanisme biologis tersebut yaitu sitokin tipe-2
mendorong terjadinya resistensi kortikosteroid. Contohnya, meskipun kortikosteroid
menyebabkan apoptosis eosinofil, efek apoptosis tersebut tertunda secara in vitro dengan
stimulasi dosis rendah IL-5 dan terhambat secara keseluruhan pada eosinofil yang terpapar dosis
tinggi IL-5. Maka dari itu, in vivo pada asma mungkin terdapat ambang efek IL-5 diatas yang
memiliki efek biologis yang mengurangi efikasi steroid, dan mekanisme biologi ini mungkin
tidak dapat diatasi dengan dosis steroid yang lebih tinggi. Pada skenario ini, penargetan IL-5
lebih efektif dibandinkan dengan meningkatkan dosis steroid, dan hal tersebut dapat menjelaskan
efikasi inhibitor IL-5 pada asma. Contoh untuk IL-5 merupakan yang paling tepat dalam
menjelaskan mekanisme sitokin tipe-2 dan resistensi steroid, namun terdapat kemiripan data
untuk IL-13 praterapi dari monosit yang menekan steroid pada lipopolisakarida terinduksi IL-6.

Meskipun penggunaan steroid efektif pada subkelompok pasien asma, steroid bukan
merupakan terapi yang dapat digunakan untuk setiap pilihan. Meskipun begitu, steroid tetap
menjadi andalan terapi asma dan sering diresepkan (dengan pedoman) dengan dosis yang
semakin tinggi pada pasien yang tidak merespon kortikosteroid dosis rendah dengan baik. Data
yang ada, termasuk penelitian oleh Berthon et al, tidak mendukung pendekatan ini. Data yang
ada mendukung paradigma terapi dimana dosis steroid tidak perlu dtambah pada pasien yang
tidak menunjukkan peningkatan biomarker inflamasi tipe-2. Dengan tidak adanya kelainan pada
biomarker ini, sulit untuk membuktikan peninkatan empiris dosis steroid pada psien dengan
asma dan efek samping yang menyertai dosis yang lebih tinggi tersebut. Meskipun dengan
biomarker inflamasi tipe-2 yang positif, kita harus mempertimbangkan penggunaan inhibitor
tipe-2 yang lebih awal (IgE, IL-4, IL-5, IL-13, CRTH2), karena inhibitor sitokin tipe-2,
utamanya, dapat mempromosikan sensitivitas steroid dan memungkinkan pasien untuk diterapi
steroid dengan dosis yang lebih rendah dan lebih aman. Kini, harga inhibitor tipe-2 ini mungkin
menjadi penghambat pendekatan ini karena alasan ekonomi, namun diharapkan akan menjadi
lebih terjangkau seiring dengan penurunan biaya dari waktu ke waktu dan karena pasar menjadi
lebih kompetitif.
Gambar 1. Skema menunjukan bagaimana resistensi steroid pada asma meningkat sejalan dengan
peningkatan inflamasi tipe-2. Steroid memiliki efikasi yang terbatas pada asma rendah tipe-2. Pada
pasien dengan tipe-2 yang tinggi, terdapat ambang efek IL-5 dan IL-13 diatas dimana sitokin
tersebut memiliki efek biologis yang menyebabkan eosinofil dan monosit kurang sensitive terhadap
steroid. Hal tersebut dapat menjelaskan eosinophilia saluran nafas yang menetap pada subkelompok
pasien dengan tipe-2 yan tinggi yang diterapi dengan steroid dosis tinggi.

You might also like