You are on page 1of 36

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

K3 atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam suatu pekerjaan, karena dengan tidak adanya K3 atau Kesehatan dan
Keselamatan Kerja akan tidak diragukan lagi banyak terjadi kecelakaan dalam kerja yang
bersifat ringan sampai yang berat.

Kebanyakan perusahaan juga merasa keberatan dengan adanya K3 atau Kesehatan dan
Keselamatan Kerja karena setiap perusahaan atau industri merasa mereka harus mengeluarkan
biaya tambahan padahal tidak demikian K3 merupakan langkah penghematan dan
meningkatkan produktifitas. Karena dengan K3 perusahaan tidak di bebani dengan biaya
kesehatan atau kecelakaan tenaga kerja atau karyawan karena kesehatan dan keselamatan
dalam kerja sudah terjamin.

Pemerintah membuat aturan K3 seperti pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja, yaitu : mencegah dan mengurangi kecelakaan; mencegah,
mengurangi dan memadamkan kebakaran; mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-
kejadian lain yang berbahaya; memberikan pertolongan pada kecelakaan; memberi alat-alat
perlindungan diri pada para pekerja; mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca,
sinar atau radiasi, suara dan getaran.

Untuk itu kami memilih judul Penerapan Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja karena dalam kenyataan banyak perusahaan atau industri yang mengabaikan tentang
pentingnya K3.

1
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
2) Apa tujuan dari pembuatan Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
3) Apa yang mendasari Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
4) Bagaimana peran pemerintah dalam menangani masalah K3 di Indonesia?
5) Apa saja Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
6) Bagaimana Struktur Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
7) Bagaimana Management Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
2) Untuk mengetahui tujuan dari pembuatan Undang-undang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
3) Untuk mengetahui yang mendasari Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja.
4) Untuk mengetahui peran pemerintah dalam menangani masalah K3 di Indonesia.
5) Untuk mengetahui Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
6) Untuk mengetahui Struktur Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
7) Untuk mengetahui Management Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja

BAB II

PEMBAHASAN

2
2.1 Sejarah Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Menurut Labib (2012: 1) peraturan K3 di Indonesia telah ada sejak pemerintahan
Hindia Belanda, peraturan K3 yang berlaku pada saat itu adalah Veiligheids Reglement.
Setelah kemerdekaan dan diberlakukannya UndangUndang Dasar 1945, maka beberapa
peraturan termasuk peraturan keselamatan telah dicabut dan diganti. Peraturan yang mengatur
tentang K3 adalah UndangUndang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970. Ketentuan-ketentuan
penerapan K3 yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 adalah: (1) tempat
kerja yang menggunakan mesin, pesawat, perkakas, (2) tempat kerja pembangunan perbaikan,
perawatan, pembersihan atau pembongkaran gedung, (3) tempat usaha pertanian, perkebunan,
pekerjaan hutan, (4) pekerjaan usaha pertambangan dan pengelolahan emas, perak, logam,
serta biji logam lainnya, dan (5) tempat pengangkutan barang, binatang, dan manusia baik di
daratan, melalui terowongan, permukaan air, dalam air dan di udara. Sesuai dengan Undang-
Undang tersebut, maka tempat yang telah disebutkan harus dilakukan pelaksanaan prosedur
K3.

Lahirnya Undang-undang keselamatan kerja sebagaimana yang kita kenal dengan


UUK3 tidak lepas dari sejarah pahit perjuangan bangsa. Dalam literatur hukum perburuhan
yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa yang sangat
suram yakni zaman perbudakan, rodi dan poenali sanksi. Menurut Abduh (dalam Labib, 2012:
2) “di Indonesia tingkat kecelakaan kerja merupakan salah satu yang tertinggi di dunia,
sedikitnya pada tahun 2007 terjadi 65.000 kasus kecelakaan kerja. Data tersebut diperkirakan
50% yang tercatat oleh Jamsostek dari jumlah sebenarnya”. Menyadari akan pentingnya
peranan pekerja bagi perusahaan, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga
keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan.
Menurut Mangkunegara (2002: 163) “K3 adalah suatu pemikiran dan

upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Keutuhan dan kesempurnaan tersebut ditujukan secara khusus terhadap tenaga kerja, sehingga
menghasilkan suatu hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat yang adil dan
makmur”. Penerapan konsep K3 muncul sejak manusia mengenal suatu pekerjaan.
Keselamatan kerja bertujuan dalam melakukan pekerjaan agar diperoleh suatu cara yang
mudah dan menjamin keselamatan dari gangguan alam, binatang maupun gangguan dari
manusia lainnya. Masalah K3 juga merupakan bagian dari suatu upaya perencanaan dan

3
pengendalian proyek sebagaimana halnya dengan biaya, perencanaa, pengadaan serta kualitas.
Hal itu saling mempunyai keterkaitan yang sangat erat (Barrie, 1995: 365). Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengemukakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja
mengalami beberapa perkembangan, antara lain:

 Dimulai dari perkembangan desain peralatan yang aman dan nyaman digunakan untuk
si pengguna pada zaman manusia batu dan goa ketika membuat peralatan berburu
seperti kapak dan sebagainya. Pada fase ini berkembang safety engineering.
 Perkembangan selanjutnya diikuti dengan perkembangan kesehatan kerja dan sanitasi
lingkungan.
 Selanjutnya terjadi pergeseran-pergeseran konsep K3 mulai dari factor manusia
sampai kepada elaborasi faktor manusia dalam sistem manajemen terpadu. Pada era
ini mulai berkembang pola koordinasi antar unit terkait safety, health dan
environment, sehingga munculah konsep “integratedHSE management system”.
 Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa K3 ternyata mempunyai ruang lingkup
yang lebih luas lagi tidak hanya terbatas di dalam dunia industri.

Sejarah kelahiran K3 timbuldengan memperhatikan banyaknya resiko yang diperoleh


perusahaan industri. Pemilik industri wajib mengatur dan memelihara ruangan, alat dan
perkakas, serta rambu-rambu peringatan di tempat kerja. Sehingga pekerja terlindungi dari
bahaya yang mengancam kesehatan badan, kehormatan dan harta bendanya. Lahirnya tatanan
baru dalam masyarakat yang ditandai dengan menguatnya tuntutan terhadap pelaksanaan K3
sebagai bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia berdasarkan nilai-nilai keadilan,
keterbukaan dan demokrasi maka pelaksanaan hukum K3 mutlak harus dilaksanakan secara
fair dan seimbang di semua tempat kerja.

2.2 Tujuan Pembuatan Undang-undang K3

Merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang yang bekerja dalam lingkungan
perusahaan, terutama yang secara khusus bergerak di bidang produksi, untuk dapat
memahami arti pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja kesehariannya.
Hal ini memiliki urgensi yang besar, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun karena
4
aturan perusahaan yang meminta untuk menjaga hal-hal tersebut dalam rangka meningkatkan
kinerja dan mencegah potensi kerugian bagi perusahaan. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah seberapa penting perusahaan berkewajiban menjalankan prinsip kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) di lingkungan perusahaannya. Patut diketahui pula bahwa ide tentang
K3 telah ada sejak dua puluh tahun yang lalu, namun hingga saat ini, masih ada pekerja dan
perusahaan yang belum memahami korelasi antara K3 dengan peningkatan kinerja
perusahaan, bahkan tidak mengetahui eksistensi aturan tersebut. Akibatnya, seringkali mereka
melihat fasilitas K3 sebagai sesuatu yang mahal dan seakan-akan mengganggu proses bekerja.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu landasan filosofis
pengaturan K3 yang telah ditetapkan pemerintah dalam undang-undang.

Tujuan Pemerintah membuat aturan K3 dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yaitu:

a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;


b. mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberikan pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar-luaskan suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis,
peracunan, infeksi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan
barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang berbahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

Dari tujuan pemerintah tersebut terlihat bahwa esensi dibuatnya aturan


penyelenggaraan K3 pada hakekatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja
5
dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan,
pemakaian, penggunaan, pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta pengaturan dalam
penyimpanan bahan, barang, produk tehnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan. Dengan adanya aturan tersebut, potensi bahaya kecelakaan
kerja dapat dieliminasi atau setidaknya direduksi.

Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan K3, yaitu:
(1) seberapa serius K3 hendak diimplementasikan dalam perusahaan; (2) pembentukan
konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3 serta
keterlibatan berupa dukungan serikat pekerja dalam pelaksanaan program K3 di tempat kerja;
dan (3) kualitas program pelatihan K3 sebagai sarana sosialisasi.

Hal lain yang juga diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya program K3
adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan efisiensi
program serta melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk dan atas nama
pekerja yang terkena musibah kecelakaan kerja. Apabila terjadi peristiwa demikian, maka
hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut.

a. Lingkungan Kerja terjadinya kecelakaan.


b. Pelatihan, Instruksi, Informasi dan Pengawasan kecelakaan kerja.
c. Kemungkinan resiko yang timbul dari kecelakaan kerja.
d. Perawatan bagi korban kecelakaan kerja dan perawatan peralatan sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja yang telah dilakukan.
e. Perlindungan bagi pekerja lain sebagai tindakan preventif.
f. Aturan bila terjadi pelanggaran (sanksi).
g. Pemeriksaan atas kecelakaan yang timbul di area kerja.
h. Pengaturan pekerja setelah terjadi kecelakaan kerja.
i. Memeriksa proses investigasi dan membuat laporan kecelakaan kepada pihak yang
berwenang.
j. Membuat satuan kerja yang terdiri atas orang yang berkompeten dalam penanganan
kecelakaan di area terjadi kecelakaan kerja.

Inti dari terlaksananya K3 dalam perusahaan adalah adanya kebijakan standar berupa
kombinasi aturan, sanksi, dan keuntungan dilaksanakannya K3 oleh perusahaan bagi pekerja
dan perusahaan, atau dengan kata lain adanya suatu kebijakan mutu K3 yang dijadikan
pedoman bagi pekerja dan pengusaha.

Penerapan K3 dalam perusahaan akan selalu terkait dengan landasan hukum


penerapan K3 itu sendiri. Landasan hukum tersebut memberikan pijakan yang jelas mengenai

6
aturan yang menentukan bagaimana K3 harus diterapkan. Di Indonesia, sumber-sumber
hukum yang menjadi dasar penerapan K3 adalah sebagai berikut.

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.


b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja.
d. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena
Hubungan Kerja.
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis
Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 10

Semua produk perundang-undangan pada dasarnya mengatur tentang hak dan


kewajiban tenaga kerja terhadap keselamatan kerja untuk:

a. memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan/atau ahli
keselamatan kerja;
b. memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
d. meminta pada pengurus agar melaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan
kerja yang diwajibkan;
e. menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan
kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam
hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih
dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai perwujudan program K3 yang diharapkan menjadi program perlindungan


khusus bagi tenaga kerja, maka dibuatlah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yaitu
suatu program perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.

Jauh sebelum tahun 1992, ketika program Jamsostek dicanangkan, pemerintah telah

7
mengeluarkan sebuah regulasi mengenai jaminan sosial yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Program-program
yang menjadi ruang lingkup aturan ini adalah:

a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);


b. Tabungan Hari Tua; dan
c. Jaminan Kematian (JK).

Setiap program tersebut dilaksanakan dengan mekanisme asuransi yang dikelola oleh
sebuah badan penyelenggara, yaitu PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1947, yang juga merupakan salah satu dasar hukum pembentukan
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja,
menyebutkan dalam Pasal 36 bahwa perusahaan yang diwajibkan membayar tunjangan
diwajibkan pula membayar iuran guna mendirikan suatu dana. Artinya, undang-undang
tersebut menentukan bahwa kewajiban membayar ganti kerugian bagi buruh yang tertimpa
kecelakaan kerja harus dilaksanakan sendiri oleh pihak majikan yang bersangkutan.

Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial


Tenaga Kerja mengalihkan kewajiban pembayaran ganti rugi tersebut dari pihak pengusaha
atau pemberi majikan kepada badan penyelenggara, yaitu PT Astek. Iuran untuk pembayaran
jaminan kecelakaan kerja ini seluruhnya ditanggung oleh perusahaan yang mengikutsertakan
diri dalam program tersebut.

Sejak 1992, bersamaan dengan dikeluarkannya aturan mengenai Jamsostek melalui


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, kedua peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan di atas pun dicabut dan menjadi tidak berlaku
lagi. Berkaitan dengan jaminan atas keselamatan kerja (kecelakaan kerja), Pasal 9 undang-
undang ini menguraikan yang termasuk jaminan kecelakaan kerja, yaitu meliputi:

a. biaya pengangkutan;
b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan;
c. biaya rehabilitasi;
d. santunan berupa uang yang meliputi:
e. santunan sementara tidak mampu bekerja;
f. santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya;
g. santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental;
h. santunan kematian.

8
Sementara itu, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) pertama kali diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan
undang-undang ini, pemeliharaan kesehatan diartikan sebagai upaya penanggulangan dan
pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan,
termasuk pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Yang berhak memperoleh
pemeliharaan jaminan kesehatan adalah tenaga kerja, suami atau istri, dan anak. Ruang
lingkup jaminan pemeliharaan kesehatan dalam undang-undang ini meliputi:

a. rawat jalan tingkat pertama;


b. rawat jalan tingkat lanjutan;
c. rawat inap;
d. pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. penunjang diagnostik;
f. pelayanan khusus; dan
g. pelayanan gawat darurat.

Semua pengelolaan program tersebut di atas dilaksanakan dengan mekanisme


asuransi oleh sebuah badan penyelenggara, yaitu PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
yang berdiri dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1995.
Dalam praktik di lapangan, pelaksanaan program Jamsostek belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya tuntutan dan protes yang datang dari
kalangan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota lembaga legislatif,
serta elemen masyarakat lainnya yang dialamatkan kepada pengusaha, PT Jamsostek, maupun
instansi pemerintah di bidang ketenagakerjaan. Secara luas, berita-berita mengenai fakta
tersebut dapat dengan mudah diakses melalui media cetak dan media elektronik, baik nasional
maupun daerah, namun nampaknya belum juga ada perubahan signifikan yang menjadikan
penyelenggaraan Jamsostek lebih baik.

Sebuah penelitian menunjukkan, jumlah perusahaan wajib lapor di Sumatera Utara


berjumlah sekitar 11.000 perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh sekitar 1.500.000 orang
termasuk pekerja kontrak, pekerja harian lepas, borongan, dan perusahaan kecil. Perusahaan
yang terdaftar menjadi peserta Jamsostek sampai dengan Agustus 2006 baru mencapai 6.537
perusahaan atau 59,42% (aktif 4.092 perusahaan/37,2%, nonaktif 2.445 perusahaan/62,8%).
Sementara itu, jumlah peserta (pekerja/buruh) terdaftar adalah 1.039.958 orang (peserta aktif
37.320/24,82% nonaktif 667,638 orang/75,18%). Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase
9
peserta aktif program Jamsostek masih tergolong rendah dan tentunya amat merugikan para
pekerja/buruh sehingga perlu penanganan secara khusus.

Demikian juga halnya dengan pelayanan kesehatan dalam JPK, tidak sedikit pekerja
dan keluarganya yang menyampaikan berbagai keluhan atas pelayanan rumah sakit atau klinik
yang menjadi penyedia layanan Jamsostek. Tidak jarang peserta Jamsostek harus menanggung
sendiri obat yang dibutuhkan. Karena itu, banyak perusahaan yang keluar dari program
Jamsostek untuk melaksanakan sendiri pelayanan kesehatan melalui rumah sakit yang lebih
baik agar kesehatan pekerja mereka lebih terjamin dan dapat lebih produktif dalam bekerja.

Berdasarkan fakta tersebut di atas, bahwa PT Jamsostek belum melaksanakan tugas


sebagaimana mestinya, termasuk perkara dugaan korupsi yang melibatkan oknum Direktur PT
Jamsostek dan pengelolaan keuangan yang tidak jelas, terlihat bahwa PT Jamsostek belum
berusaha secara optimal dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. Hal tersebut di
atas diungkapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno yang dengan
tegas mengatakan bahwa pemerintah akan segera mereformasi total PT Jamsostek
menyangkut kepastian hak pekerja/buruh dengan merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Reformasi ini juga akan dilakukan terhadap
seluruh aspek dalam PT Jamsostek, termasuk pembenahan para personil dalam jajaran direksi.
Selain itu, sistem pengelolaan harus dilaksanakan dengan mekanisme wali amanat agar dapat
diawasi secara tripartit sebagai pemangku kepentingan peserta Jamsostek yaitu pengusaha,
pekerja, dan pemerintah.

2.3 Alasan-alasan yang mendasari dikeluarkannya undang-undang K3

1. Kemelut dalam perindustrian Indonesia mulai terasa setelah PD II meletus, yang


membawa akibat terputusnya hubungan Indonesia dengan Eropa, sehingga mesin-mesin
yang diperlukan di Indonesia tidak didatangkan lagi. Karena keadaan yang memaksa,
mesin-mesin atau bagian-bagian dari mesin-mesin yang tidak memenuhi syarat-syarat
penjagaan keamanan tidak boleh digunakan lagi.
2. Selama Pemerintahan Jepang, tidak sedikit mesin-mesin yang diangkut keluar Indonesia
atau dipindahkan ke pabrik yang lain untuk dipasang lagi dengan tidak mengindahkan
peraturan-peraturan penjagaan keselamatan karyawan.

10
3. Setelah Indonesia merdeka, semua fenomena diatas tidak dapat diatasi sekaligus.
Akibatnya jumlah kecelakaan kerja yang menimpa karyawan dalam perusahaan semakin
bertambah.

2.2.1 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam UU K3

Penggunaan mesin-mesin yang memberikan kemudahan bukanlah berarti


mengesampingkan teknologi tradisional. Tujuan pokoknya adalah penekanan biaya produksi
dan hal ini juga akan memacu pekerja untuk semakin meningkatkan keselamatan kerja untuk
menekan kecelakaan kerja akibat penggunaan teknologi mesin-mesin.

Penyebab kecelakaan kerja yang terbesar adalah faktor manusia, yaitu kurangnya
kesadaran pengusaha

dan tenaga kerja sendiri terutama dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-
undangan. Namun setelah berlakunya UU Tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan
kerja dan ditegaskan kembali dalam Pasal 86 ayat UU NO.13 Tahun 2003 tentang ketenaga
kerjaan kesadaran para pengusaha dan tenaga kerja itu sendiri meningkat. Sebab menurut
Pasal 86 ayat UU NO.13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan bahwa buruh atau pekerja
berhak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.

Menurut Susilo Martoyo (2000: 140) bahwa program-program keselamatan yang


dapat dilakukan pada perusahaan adalah sebagai berikut:

1) Mempergunakan mesin-mesin yang dilengkapi alat-alat pengaman


2) Menggunakan peralatan-peralatan yang lebih baik
3) Melakukan pemeliharaan fasilitas pabrik secara berkala.
4) Memberikan petunjuk-petunjuk dalam hal pengoperasian peralatan-peralatan beserta
larangan-larangan yang dianggap perlu.
5) Memberikan pengarahan kepada karyawan akan pentingnya keselamatan kerja.

Sedangkan menurut Justine T. Sirait (2007: 262) pelaksanaan program keselamatan dapat
dilakukan dalam bentuk sebagai berikut:

1) Dukungan oleh manajemen puncak


2) Menunjuk seorang direktur keselamatan
3) Mendidik para karyawan untuk bertindak aman
4) Menganalisis kecelakaan

11
Adapun penjelasan dari bentuk pelaksanaan program keselamatan yang dikemukakan oleh
Justine T. Sirait adalah sebagai berikut:

1. Dukungan manajemen puncak

Dukungan manajemen puncak mutlak diperlukan agar program keselamatan kerja bisa
berjalan dengan efektif. Dukungan manajemen puncak bisa dilihat dari kehadiran karyawan
pada pertemuan yang membahas masalah keselamatan kerja, inspeksi karyawan secara
periodik, laporan keselamatan kerja yang teratur, dan pencantuman masalah keselamatan kerja
pada berbagai rapat yang dilakukan oleh para pempinan perusahaan.

2. Menunjuk seorang direktur Keselamatan

Untuk menjalankan suatu program, seseorang haruslah diberi tugas dan tanggung
jawab untuk menyusun dan memelihara program tersebut. Biasanya ditentukan oleh besar
atau tidaknya perusahaan itu sendiri, jika perusahaan terlalu kecil dilakukan penambahan
tugas terhadap seseorang untuk melaksanakan usaha-usaha keselamatan kerja. Jika
perusahaan berskala besar, biasanya diangkat seorang staf direktur program keselamatan
kerja.

3. Mendidik Para Karyawan Untuk Bertindak Aman

Sebagian besar program keselamatan kerja haruslah di titik beratkan untuk mendidik
karyawan agar bertindak, berpikir, dan bekerja secara aman. Beberapa cara pendidikan yang
dapat dilakukan, antara lain melalui:

1) Pemberian penjelasan pada karyawan baru pada fase orientasi


2) Penekanan segi-segi keselamatan kerja selama periode latihan terutama untuk on the
job training.
3) Usaha-usaha khusus yang dilakukan oleh atasan langsung.
4) Pembentukan panitia keselamatan kerja.
5) Penyelenggaraan education session secara berkala.
6) Penggunaan gambar-gambar atau poster yang menekankan pentingnya masalah
keselamatan kerja.

4. Menganalisa Kecelakaan

12
Kecelakaan dapat dipelajari dari berbagai aspek, misalnya personalianya, pekerjaan
yang menimbulkan kecelakaan, alat-alat dan perlengkapan yang dipergunakan, departemen
tempat terjadinya kecelakaan, dan akibatnya. Analisis ini bertujuan agara kelak dikemudian
hari terjadi perbaikan . Cara yang umum yang digunakan dalam menganalisa kecelakaan
adalah meminta pendapat dari mandor atau pengawas pekerjaan.

Disamping usaha untuk mencegah para karyawan mengalami kecelakaan, perusahaan


perlu juga memelihara kesehatan para karyawan. Kesehatan ini menyangkut kesehatan fisik
dan kesehatan mental. Kesehatan para karyawan dapat terganggu akibat stress maupun karena
kecelakaan. Kesehatan karyawan yang buruk akan mengakibatkan kecenderungan tingkat
absensi yang tinggi dan tingkat produktivitas yang rendah. Adanya program kesehatan yang
baik akan menguntungkan secara material, karena karyawan yang sehat akan jarang sakit dan
jarang absen, bekerja dalam lingkungan yang lebih menyenangkan, sehingga secara
keseluruhan mereka akan mampu bekerja lebih lama. Istilah kesehatan menurut Susilo
Martoyo (2000: 140):“adalah kondisi kesehatan jasmani maupun rohani. Sehat jasmani berarti
seluruh organ tubuh berfungsi baik dan normal. Sedangkan sehat rohani adalah apabila
seeorang telah mampu beradaptasi dengan organisasi dimana ia bekerja, mampu mengatasi
stress dan frustasi”.

Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan dalam hal penciptaan kesehatan kerja:

1) Menjaga kesehatan karyawan dari gangguan-gangguan penglihatan, pendengaran,


kelelahan, dan sebagainya.
2) Penyediaan fasilitas-fasilitas pengobatan dan pemeriksaan bagi karyawan.

Menurut Leon C. Megginson dalam Mangkunegara (2004: 161) kesehatan kerja


membicarakan tentang risiko kesehatan atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan
kerja. Adapun di bawah ini beberapa contoh penyakit kerja yang terjadi dalam sektor industri
yang dikemukakan oleh Basir Barthos (2001: 145) adalah sebagai berikut:

1) Kelembaban lantai yang mengakibatkan rematik dan masuk angin


2) Kelembaban udara yang dapat mengakibatkan penyakit radang paru-paru basah.
3) Pencahayaan yang yang dapat mengakibatkan kerusakan mata akibat keremangan dan
kesilauan.
4) Partikel debu yang berterbangan yang tidak terlihat mengakibatkan sesak napas
5) Model tempat duduk atau bangku yang disediakan tak sesuai yang mengakibatkan
sakit punggung.

13
Menurut Justine T. Sirait (2007: 266) bahwa pelaksanaan program kesehatan dapat berupa
dan sebaiknya terdiri dari salah satu atau keseluruhan elemen-elemen berikut:

1) Pemeriksaan kesehatan pada waktu karyawan pertama kali diterima bekerja.


2) Pemeriksaan kesehatan para karyawan kunci secara periodik
3) Pemeriksaan kesehatan secara sukarela untuk semua karyawan secara periodik.
4) Tersedianya peralatan dan staf medis yang cukup.
5) Pemberian perhatian yang sistematis dan preventif terhadap masalah ketegangan
industri (industrial stresses)
6) Tersedia psychiatrist untuk konsultan.
7) Kerja sama dengan psychiatrist di luar perusahaan atau yang ada di lembaga –lembaga
konsultan.
8) Mendidik para karyawan perusahaan tentang arti pentingnya kesehatan.

Menurut Basir Barthos (2001: 150) upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal
mengurangi penyakit akibat kerja antara lain sebagai berikut:

1) Pengaturan Jam Kerja


2) Pemberian Perhatian Terhadap Daya Tahan Tubuh Pekerja
3) Memperhatikan Kenyamanan Kerja
4) Memperhatikan Keamanan Kerja

Adapun penjelasan dari upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal mengurangi
penyakit akibat kerja yang dikemukakan oleh Basir Barthos (2001: 150) adalah sebagai
berikut:

1. Pengaturan Jam Kerja

Jam kerja normal 40 jam kerja seminggu untuk era industri tidak lagi memberikan
jaminan produktivitas tinggi. Kaitan positif antara jam kerja dengan produktivitas belum
benar-benar akurat. Yang sudah jelas adalah keadaan pekerja dapat dipengaruhi oleh
kurangnya istirahat yang memadai sehingga menimbulkan pengaruh kejiwaan terhadap para
pekerja. Sebagai contoh mengatasi penggunaan shift kerja harus ada pembatasan yang tegas.

2. Pemberian Perhatian Terhadap Daya Tahan Tubuh Pekerja


14
Daya tahan tubuh pekerja baik secara fisik maupun mental mempengaruhi
keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Pekerja yang daya tahan tubuhnya buruk akan
mempengaruhi motivasi dalam bekerja, kreativitas bekerja.

3. Memperhatikan Kenyamanan Kerja

Kenyamanan kerja perlu diupayakan di semua sektor pekerjaan, mengingat setiap


pekerjaan mempunyai tingkat kerawanan tertentu. Beberapa contoh dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut :

a. Penggunaan bahasa asing pada manual dan label yang dapat disalah tafsirkan dalam
melaksanakan tugas.
b. Perbedaan model-model instrumentasi dan alat-alat pengamanan yang tidak sesuai
dengan kondisi orang asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Contohnya
penggunaan model kursi empuk dengan karet busa dalam ruangan ber AC bagi orang
barat sangat serasi dan nyaman, tetapi bagi orang Indonesia malahan dapat membuat
mengantuk sehingga menurunkan produktivitas kerja. Sebaiknya bagi orang Indonesia
menggunakan kursi rotan tanpa bahan-bahan busa.

4. Memperhatikan Keamanan Kerja

Keamanan kerja dalam melakukan suatu pekerjaan ditandai dengan adanya


kesempurnaan di dalam lingkungan kerja, alat kerja, bahan kerjayang dikendalikan oleh
sistem manajemen yang baik. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa rasa aman di dalam
menjalankan tugas masih menjadi dambaan bagi semua pekerja.

Sebagai contoh:

1) Terdapatnya alat-alat terutama pada industri pengolahan yang terbuka yang


mengundang bahaya
2) Curahan bahan yang dpaat menyebarkan partikel-partikel bahan-bahan yang dapat
menyebabkan sakit.
3) Perencanaan lingkungan oleh limbah industri pengolahan yang dapat mengganggu
keamanan si pekerja.
4) Sistem manajemen yang terbuka yang dapat memepengaruhi sikap kerja yang baik.

2.4 Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Masalah K3

15
Cara pemerintah dalam menanggulangi maslah K3 yaitu dengan membuat aturan K3
seperti pada Pasal 3 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, yaitu :
mencegah dan mengurangi kecelakaan; mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
mencegah dan mengurangi bahaya peledakan; memberi kesempatan atau jalan
menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
memberikan pertolongan pada kecelakaan; memberi alat-alat perlindungan diri pada para
pekerja; mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran.

Lalu dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, melindungi tenaga kerja dalam bentuk
santunan berupa uang sebagai pengganti dari sebagian penghasilan yang hilang atau
berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Program
Jamsostek sebagai pengejawantahan dari program K3 diwajibkan berdasarkan Pasal 2 Ayat 3
PP No. 14 Tahun 1993 bagi setiap perusahaan.

2.5 Macam-macam Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Undang-Undang K3

1. Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie).

2. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3. Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 203 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Pemerintah terkait K3

1) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 : Tentang Pengawasan atas Peredaran,


Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida
2) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1973 : Tentang Pengaturan dan Pengawasan
Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1979 : Tentang Keselamatan Kerja pada
Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
4) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 : Tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
5) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2004 : Tentang Pengelolaan Dan Investasi Dana
Program Jamsostek

16
6) Peraturan Pemerintah No. 01 Tahun 2005. : Tentang Penangguhan Mulai Berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
7) Peraturan Pemerintah No. 64 th. 2005. : Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja

8) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun. 2007. : Tentang Tata Cara Memperoleh Informasi
Ketenagakerjaan Dan Penyusunan Serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja
9) Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2007. : Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
10) Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketujuh atas Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

12) Peraturan Pemerintah Republik indonesia No. 53 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga KerjPeraturan Menteri terkait K3

13) Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi


Dokter Perusahaan.

14) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.

15) Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang Serta


Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli
Keselamatan Kerja.

16) Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan Hygienen


Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis Perusahaan.

17) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja pada Konstruksi


Bangunan.

17
18) Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

19) Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan


Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.

20) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat


Kerja.

21) Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.

22) Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru Las.

23) Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja.

24) Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis.

25) Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pemakaian Asbes.

26) Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.

27) Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut.

28) Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.

29) Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator


Pesawat Uap.

30) Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator


Keran Angkat.

31) Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi-instalasi Penyalur


Petir.

32) Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan
Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

33) Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan


Kesehatan Kerja.

34) Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja.

18
35) Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan
Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Dasar
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

36) Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan
Kecelakaan.

37) Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan tata


Kerja Dokter Penasehat.

38) Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan


Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang.

Keputusan Menteri terkait K3

1. Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri


Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan,
Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.

2. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174
Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi.

3. Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan


Kerja.

4. Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit


Akibat Kerja.

5. Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Nasional.

6. Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di


Tempat Kerja.

19
7. Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di
Tempat Kerja.

8. Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.

9. Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional


Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi
Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.

10. Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang


Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.

11. Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan


HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Instruksi Menteri terkait K3

Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan Khusus K3


Penanggulangan Kebakaran.

Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan


Pengawasan Ketenagakerjaan terkait K3

1. Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998 tentang Cara
Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.

2. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak dan
Kewajiban Teknisi Lift.

3. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.

20
2.5.1 Mengenal Dasar Hukum K3 Indonesia

Dasar hukum Kesehatan dan Keselamat Kerja adalah dimana suatu perbuatan atau
tingkah untuk melakukan pekerjaan seesuai dengan dasar hukum yang ada sesuai dengan
aturan:

1) Undang-undang No. 1 Tahun 1951 tentang Kerja

Di dalam UU No.1 tahun 1951 tentang Kerja, mengatur tentang jam kerja, cuti
tahunan, cuti hamil, cuti haid bagi pekerja wanita, peraturan tentang kerja anak-anak, orang
muda, dan wanita, persyaratan tempat kerja, dan lain-lain. Dalam Pasal 16 ayat 1 UU No. 1
Tahun 1951 yang menetapkan, bahwa “Majikan harus mengadakan tempat kerja dan
perumahan yang memenuhi syarat-syarat kebersihan dan Kesehatan”.

2) Undang-undang No. 2 Tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja

Undang-undang No. 2 tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja, Undang-Undang


Konpensasi Pekerja (Workmen Compensation Law) Undang-undang ini menentukan
penggantian kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

3) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-undang Keselamatan Kerja diundangkan pada tahun 1970 dan menggantikan


Veilligheids Reglement pada Tahun 1910 (Stb. No. 406).

Mengatur tentang syarat-syarat keselamatan kerja, kewajiban dari pengurus, sanksi


terhadap pelanggaran terhadap undang-undang ini dan juga mengatur tentang Panitia Pembina
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang merupakan jenis


perlindungan prevensif yang diterapkan untuk mencegah timbulnya Kecelakaan Kerja (K2)
dan Penyakit Akibat Kerja (PAK). Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja menegaskan bahwa perlindungan terhadap Pekerja/buruh di tempat kerja merupakan
hak yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh.

Secara umum perlindungan di tempat kerja (work place) mencakup :

a. Keselamatan dan Kesehatan Kerja;

21
b. Moral dan Kesusilaan;

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Selain Undang-undang tentang Keselamatan Kerja, Pemerintah telah mengeluarkan


regulasi guna mendukung Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, berbagai peraturan
yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) antara lain :

1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;


2) Permenaker No. 4 Tahun 1995 Tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan
Kerja;
3) Instruksi Menaker RI No. 5 Tahun 1996 Tentang Pengawasan dan Pembinaan K3
pada Kegiatan Konstruksi Bangunan; dan
4) Permenaker No. 5 Tahun 1996 tentang SMK3

2.5.2 Urgensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, dibuatlah berbagai ketentuan yang mengatur tentang
kesehatan dan keselamatan kerja. Berawal dari adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1969 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang dinyatakan dalam Pasal 9 bahwa “setiap
tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan dan pemeliharaan
moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat, martabat, manusia, moral dan agama”.
Undang-Undang tersebut kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini ada beberapa hal yang diatur antara
lain:
a. Ruang lingkup keselamatan kerja, adalah segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah,
di permukaan air, di dalam air, maupun di udara yang berada dalam wilayah hukum
kekuasaan RI. (Pasal 2).

b. Syarat-syarat keselamatan kerja adalah untuk:


 Mencegah dan mengurangi kecelakaan
 Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran
22
 Mencegah dan mengurangi peledakan
 Memberi pertolongan pada kecelakaan
 Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja
 Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
 Memelihara kesehatan dan ketertiban
 dll (Pasal 3 dan 4).
c. Pengawasan Undang-Undang Keselamatan Kerja, “direktur melakukan pelaksanaan umum
terhadap undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya undang-undang ini dan
membantu pelaksanaannya. (Pasal 5).

d. Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembinaan Kesehatan dan


Keselamatan Kerja untuk mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi
yang efektif dari pengusaha atau pengurus tenaga kerja untuk melaksanakan tugas bersama
dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja untuk melancarkan produksi. (Pasal 10).

e. Setiap kecelakan kerja juga harus dilaporkan pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja di dinas yang terkait. (Pasal 11 ayat 1). (Suma’mur. 1981: 29-34).

Dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 86 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur
pula bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a. Keselamatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Selain diwujudkan dalam bentuk undang-undang, kesehatan dan keselamatan kerja


juga diatur dalam berbagai Peraturan Menteri. Diantaranya Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor Per-01/MEN/1979 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

Tujuan pelayanan kesehatan kerja adalah:


a. Memberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri dengan pekerjaanya.
b. Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan
atau lingkungan kerja.
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental, dan kemapuan fisik tenaga kerja.
d. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang
menderita sakit.
23
Selanjutnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-02/MEN/1979 tentang
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja meliputi:
pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan
khusus. Aturan yang lain diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib
Lapor Ketenagaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/MEN/1984 tentang
Mekanisme Pengawasan Ketenagakerjaan.

Arti penting dari kesehatan dan keselamatan kerja bagi perusahaan adalah tujuan dan
efisiensi perusahaan sendiri juga akan tercapai apabila semua pihak melakukan pekerjaannya
masing-masing dengan tenang dan tentram, tidak khawatir akan ancaman yang mungkin
menimpa mereka. Selain itu akan dapat meningkatkan produksi dan produktivitas nasional.
Setiap kecelakaan kerja yang terjadi nantinya juga akan membawa kerugian bagi semua
pihak. Kerugian tersebut diantaranya menurut Slamet Saksono (1988: 102) adalah hilangnya
jam kerja selama terjadi kecelakaan, pengeluaran biaya perbaikan atau penggantian mesin dan
alat kerja serta pengeluaran biaya pengobatan bagi korban kecelakaan kerja.

Menurut Mangkunegara tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai
berikut:
a) Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara
fisik, sosial, dan psikologis.
b) Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya dan seefektif
mungkin.
c) Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
d) Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
e) Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
f) Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi
kerja.
g) Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja
Melihat urgensi mengenai pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, maka di setiap
tempat kerja perlu adanya pihak-pihak yang melakukan kesehatan dan keselamatan kerja.
Pelaksananya dapat terdiri atas pimpinan atau pengurus perusahaan secara bersama-sama
dengan seluruh tenaga kerja serta petugas kesehatan dan keselamatan kerja di tempat kerja
yang bersangkutan. Petugas tersebut adalah karyawan yang memang mempunyai keahlian di
bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dan ditunjuk oleh pimpinan atau pengurus tempat
kerja/perusahaan.
24
Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam melaksanakan kesehatan dan
keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang baru, ia berkewajiban menjelaskan
tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di tempat kerja, semua alat pengaman diri yang
harus dipakai saat bekerja, dan cara melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang
telah dipekerjakan, pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala,
menyediakan secara cuma-cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya
di tempat kerja dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker
setempat.
Para pekerja sendiri berhak meminta kepada pimpinan perusahaan untuk dilaksanakan
semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja, menyatakan keberatan bila melakukan
pekerjaan yang alat pelindung keselamatan dan kesehatan kerjanya tidak layak. Tetapi pekerja
juga memiliki kewajiban untuk memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan dan menaati
persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku. Setelah mengetahui urgensi
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, koordinasi dari pihak-pihak yang ada di tempat
kerja guna mewujudkan keadaan yang aman saat bekerja akan lebih mudah terwujud.

2.5.3 Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) Bersertifikasi


BNSP Latar Belakang Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Bersertifikasi BNSP :
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi RI No.
PER15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja
pada Bab 2, Pasal 3, ayat 1 & 2 sebagaimana ayat 1 yang berbunyi : “ Petugas P3K di tempat
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 harus memiliki lisensi dan buku kegiatan
P3K dari kepala Instansi yang bertanggung dibidang ketenagaakerjaan” Dan ayat 2 yang
berbunyi: “Untuk mendapatkan lisensi sebagai mana dimaksud pada ayat 1 harus memenuhi
syarat – syarat sebagai berikut :

1. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan;


2. Sehat jasamani dan rohani;
3. Bersedia ditunjuk menjadi petugas P3K; dan
4. Memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar di bidang P3K di Tempat kerja yang
dibuktikan dengan sertifikat pelatihan.

25
Guna dapat mengantisipasi terjadinya gangguan kesehatan yang mendadak dan
kecelakaan kerja diperlukan pedoman Undang-undang No. 1 tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.
03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

Untuk dapat ditunjuk sebagai Petugas P3K di tempat kerja oleh perusahaan, petugas P3K
tersebut perlu mendapatkan pelatihan dengan kurikulum yang sesuai dengan Permenakertrans
No. 15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada kecelakaan (P3K) di Tempat
Kerja.

Sasaran dan Manfaat Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Bersertifikasi BNSP :
 Peserta diharapkan akan memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk memahami
peraturan dan konsep P3K.
 Peserta memiliki keterampilan dan mampu melakukan pertolongan pertama pada
kecelakaan jika terjadi kecelakaan di tempat kerja.
 Peserta mampu memberikan pertolongan jika terjadi penyakit mendadak ditempat
kerja.
 Peserta mampu mengembangkan sistem P3K ditempat kerja.
2.6 Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Husen (2009: 193) “program K3 sangat perlu karena setiap institusi,
perusahaan ataupun perorangan, serta lainnya memang diwajibkan oleh Undang-undang
untuk melaksanakannya”. Guna terlaksanakannya Undang-undang, pemerintah melakukan
pengawasan dengan membentuk panitia pengawasan yang bermutu dan memiliki banyak
pengalaman di bidangnya. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja, dapat diketahui struktur pengawasan hukum K3 adalah sebagai berikut

26
Bagan 1: Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Penjelasan:
a. Direktur pengawasan adalah Menteri Tenaga Kerja yang melakukan pengawasan
pelaksanakan umum terhadap Undang-undang K3.
b. Pegawai pengawas ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya
Undang-undang K3 dan membantu pelaksanaannya.
c. Ahli K3 merupakan instansi-instansi pemerintah dan instansi-instansi swasta yang
dapat mengoperasikan K3 dengan tepat, sama seperti pegawai pengawas Ahli K3
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang K3
dan membantu pelaksanaannya.
d. Panitia Banding adalah panitia teknis yang anggota-anggotanya terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang yang diperlukan.
e. Panitia Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) bertugas
memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban bersama dibidang K3, dalam rangka melancarkan
usaha berproduksi.

2.7 Manajemen Undang-undang Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Hukum manajemen K3 berlandaskan pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.
Per-05/MEN/1966 tentang sistem sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
selanjutnya disebut SMK3. SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan
yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian
27
dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian
resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman dan
produktif.
Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau
lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau
bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja wajib menerapkan sistem
manajemen K3, sistem manajemen K3 dilaksanakan oleh pengurus, pengusaha, dan seluruh
tenaga kerja sebagai satu kesatuan.
Isi dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1966 tentang sistem
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yakni sebagai berikut:
 Komitmen dan Kebijakan
Pengurus harus menunjukkan kepemimpinan dan komitmen terhadap K3
dengan menyediakan sumber daya yang memadai. Pengusaha dan pengurus harus
menunjukkan komitmen terhadap K3 yang diwujudkan dalam: (1) menetapkan
organisasi K3 pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan, (2)
menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang
diperlukan di bidang K3, (3) menetapkan personel yang mempunyai tanggung jawab,
wewenang dan kewajiban yang jelas dalam penanganan k3, (4) perencanaan K3 yang
terkoordinasi, (5) melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan K3.

 Perencanaan
Perusahaan harus membuat perencanaan yang efektif guna mencapai
keberhasilan penerapan SMK3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan harus memuat tujuan, sasaran dan indikator kinerja yang ditetapkan
dengan mempertimbangkan identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian
resiko sesuai dengan persyaratan perundangan yang berlaku serta hasil pelaksanaan
tinjauan awal terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Perusahaan harus
menetapkan dan memelihara prosedur untuk inventarisasi, identifikasi dan
pemahaman peraturan perundangan dan persyaratan lainnya yang berkaitan dengan K3
sesuai dengan kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Pengurus harus menjelaskan
peraturan perundangan dan persyaratan lainnya kepada tenaga kerja.

 Penerapan
Dalam penerapan SMK3 yang efektif perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai
berikut: (1) menyediakan sumber daya yang memadai sesuai dengan ukuran dan
28
kebutuhan, (2) melakukan identifikasi kompetensi kerja yang diperlukan pada setiap
tingkatan manajemen perusahaan dan menyelenggarakan setiap pelatihan yang
dibutuhkan, (3) membuat ketentuan untuk mengkomunikasikan informasi keselamatan
dan kesehatan kerja secara efektif, (4) membuat peraturan untuk mendapatkan
pendapat dan saran dari para ahli, (5) membuat peraturan untuk pelaksanaan
konsultasi dan keterlibatan tenaga kerja sacara aktif.

 Pengukuran dan Evaluasi


Audit adalah pemeriksaan secara sistematik dan independen untuk menentukan
suatu kegiatan dan hasil-hasil yang berkaitan sesuai denganpengaturan yang
direncanakan, dan dilaksanakan secara efektif dan cocok untuk mencapai kebijakan
dan tujuan perusahaan. Audit sistem manajemen K3 harus dilakukan secara berkala
untuk mengetahui keefektifan penerapan SMK3. Audit harus dilaksanakan secara
sistematik dan independen oleh personel yang memiliki 9 kompetensi kerja dengan
menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Frekuensi audit harus ditentukan
berdasarkan tinjauan ulang hasil audit sebelumnya dan bukti sumber bahaya yang
didapatkan ditempat kerja. Hasil audit harus digunakan oleh pengurus dalam proses
tinjauan ulang manajemen.

 Tinjauan Ulang dan Peningkatan Oleh Pihak Manajemen


Pimpinan yang ditunjuk harus melakukan tinjauan ulang seluruh kegiatan,
produk barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan. Tinjauan
ulang SMK3 dilakukan secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan
yang berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3. Tinjauan ulang
sistem manajemen K3 harus meliputi: (1) evaluasi terhadap penerapan kebijakan dan
keselamatan kerja, (2) tujuan, sasaran dan kinerja K3, (3) hasil temuan audit SMK3,
(4) evaluasi efektifitas penerapan SMK3.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Sejarah kelahiran K3 sudah ada pada zaman batu. Pada saat itu masyarakat sudah
menerapkan K3 dalam kehidupannya. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya
zaman, serta akibat dari banyaknya kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, membuat
masyarakat sadar akan pentingnya pengelolaan K3.
2. Dalam rangka mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya
tempat kerja yang aman membuat masyarakat mulai memikirkan bahwa perlindungan
ketenagakerjaan sangat diperlukan, sehingga pemerintah membuat payung hukum
ketenagakerjaan tentang K3. Adapun produk hukumnya adalah Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri tentang K3.
3. Pelaksanaan hukum K3 diawasi oleh direktur yaitu Menteri Tenaga Kerja dan direktur
menunjuk atau membentuk Panitia Pengawas, Tenaga Ahli K3, Panitia Banding,
P2K3. Pengawasan dilakukan oleh staf-staf/tenaga-tenaga yang bermutu dan memiliki
banyak pengalaman di bidangnya.
4. Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur,
proses dan sumber daya yang dibutuhkan pengembangan, penerapan, pencapaian,
pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya
tempat kerja yang aman dan produktif. Hukum manajemen K3 berlandaskan pada
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1966 tentang sistem sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

3.2 Saran
1. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam memahami
keseimbangan air dan elektrolit pada olahraga penghasil keringat.
2. Perlu diadakan penelitian dan penulisan lebih lanjut mengenai kajian ini
30
Daftar Pustaka

______. Evaluasi dan Penunjukan Calon Ahli K3 Materi 9. Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi

R.I. ______. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan dan


Kesehatan Kerja.

Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Direktorat


Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi R.I.

Barrie, Donald S. Dan Boyd C., Jr., Paulson. 1995. Manajemen Konstruksi
Profesional(Sudinarto, Ed.). Jakarta: Erlangga.

Bhuyung.2014.Undang-undang Keselamatan kerja.Tersedia http://bhuyunk123.blogspot.co.id


/2014/ 05/ undang-undang-keselamatan-kerja.html

Ferli.1982.Keselamatan dan kesehatan kerja. Tersedia: https://ferli1982.wordpress.com /


2012/08/13/kesehatan- dan-keselamatan-kerja-sebagai- komponen-jamsostek-
berdasarkan-uu-nomor-1-tahun-1970-uu-no-3-tahun-1992-dan-uu-nomor-40-tahun-
2004

Husen, Abrar. 2009. Manajemen Proyek. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Labib, Syahrul. 2012. Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Bagi Pekerja pada Proyek Bangunan Tinggi di Wilayah Kota Malang. Skripsi
tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Teknik UM.

Mangkunegara, A.A. Prabu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia


Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

PPKI UM. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Edisi Ke Lima). Malang:


Universitas Negeri Malang.

http://sentraltraining.com/training-petugas-pertolongan-pertama-pada-kecelakaan-p3k-
bersertifikasi-bnsp/

https://primamoklet.wordpress.com/2010/07/16/makalah-tentang-fungsi-uu-k3/
31
http://adicandahar.blogspot.co.id/2010/11/keselamatan-dan-kesehatan-kerja-k3.html

http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.co.id/2013/11/kumpulan-perundang-
undangan-k3.html

LAMPIRAN

Lampiran 1 (Soal Latihan)

1.Pada zaman apakah peraturan K3 di Indonesia berlaku?


a. Zaman batu
b. Zaman Hindia Belanda
c. Zaman pra-sejarah
d. Zaman kemerdekaan
e. Masa Orde baru
Kunci Jawaban: b

2. Peraturan apakah yang berlaku pada saat zaman Hindia Belanda mengenai Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3)?
a. UndangUndang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1966
c. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
d. Veiligheids Reglement
e. ILO Convention No. 81
Kunci Jawaban: d

3. Apa tahapan yang terjadi setelah perkembangan desain peralatan yang aman dan nyaman
digunakan untuk si pengguna pada zaman manusia batu dan goa?
a. Perkembangan kesehatan kerja dan sanitasi lingkungan
b. Pergeseran konsep K3
c. Perkembangan dibidang kualitas gizi pada perusahaan makanan
d. Pengadaan program asuransi
e. Pergeseran sistem K3

Kunci Jawaban: a

4. Dari peraturan pemerintah di bawah ini, manakah peraturan pemeintah yang mengatur
tentang pengaturan dan pengawasan keselamatan kerja di bidang pertambangan?
a. Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1979
b. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1973
c. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1979
d. Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1973
e. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1979
Kunci Jawaban: b

5. Dari jabatan berikut, manakah posisi yang bukan dibawahi oleh direktur?
a. Pegawai pengawas
b. Karyawan perusahaan
32
c. Ahli K3
d. Panitia Banding
e. Panitia Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3)
Kunci Jawaban: b

6. Siapakah yang bertugas sebagai Menteri Tenaga Kerja yang melakukan pengawasan
pelaksanakan umum terhadap Undang-undang K3?
a. Direktur pengawasan
b. Pegawai pengawas
c. Ahli K3
d. Panitia Banding
e. Panitia Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3)
Kunci Jawaban: a

7. Apa landasan Hukum managemen K3?


a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-03/MEN/1978
b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-02/MEN/1996
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1966
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-15/MEN/1966
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1976
Kunci Jawaban: c

8. Diwah ini, manakah yang bukan termasuk isi dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No.
Per-05/MEN/1966?
a. Komitmen dan Kebijakan
b. Perencanaan
c. Penerapan
d. Pengukuran dan evaluasi
e. Kerjasama
Kunci Jawaban: e
9. Bagaimanakah Manfaat Training Petugas Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Bersertifikasi BNSP?
a. mampu mengembangkan sistem P3K ditempat kerja
b. Mengenal Dasar Hukum K3 Indonesia
c. Sehat jasamani dan rohani
d. Mampu berorganisasi
e. Mudah mencari pekerjaan

Kunci Jawaban : a

10. Menurut Basir Barthos (2001: 150) upaya-upaya apa yang dapat dilakukan dalam hal
mengurangi penyakit akibat kerja?
a. Penambahan gaji
b. Mengadakan karya wisata
c. Pengaturan Jam Kerja
d. Memperbanyak libur

Kunci jawaban : c
33
Essay

1. Gambarkan Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja, beserta penjelasannya!


Jawaban:

Bagan 1: Struktur Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Penjelasan:
a. Direktur pengawasan adalah Menteri Tenaga Kerja yang melakukan pengawasan
pelaksanakan umum terhadap Undang-undang K3.
b. Pegawai pengawas ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya
Undang-undang K3 dan membantu pelaksanaannya.
c. Ahli K3 merupakan instansi-instansi pemerintah dan instansi-instansi swasta yang
dapat mengoperasikan K3 dengan tepat, sama seperti pegawai pengawas Ahli K3
ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang K3
dan membantu pelaksanaannya.
d. Panitia Banding adalah panitia teknis yang anggota-anggotanya terdiri dari ahli-ahli
dalam bidang yang diperlukan.
e. Panitia Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) bertugas
memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
34
melaksanakan tugas dan kewajiban bersama dibidang K3, dalam rangka melancarkan
usaha berproduksi.
2. Menurut anda hal apa yang diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya
progam K3?
Jawaban:
Hal yang juga diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya program
K3 adalah adanya suatu komite K3 yang bertindak sebagai penilai efektivitas dan
efisiensi program serta melaksanakan investigasi bila terjadi kecelakaan kerja untuk
dan atas nama pekerja yang terkena musibah kecelakaan kerja.
3. Menurut anda apakah penting pengusaha menerapkan progam K3 dalam
melakukan usahanya?Berikan alasanya!
Jawaban:
Penting sekali karena Pengusaha sendiri juga memiliki kewajiban dalam
melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja. Misalnya terhadap tenaga kerja yang
baru, ia berkewajiban menjelaskan tentang kondisi dan bahaya yang dapat timbul di
tempat kerja, semua alat pengaman diri yang harus dipakai saat bekerja, dan cara
melakukan pekerjaannya. Sedangkan untuk pekerja yang telah dipekerjakan,
pengusaha wajib memeriksa kesehatan fisik dan mental secara berkala, menyediakan
secara cuma-cuma alat pelindung diri, memasang gambar-gambar tanda bahaya di
tempat kerja dan melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi kepada Depnaker
setempat.
Pertanyaan dan Jawaban dari Audien
1. Apa sanksi perusahaan jika tidak menerapkan K3
Jawaban:
Sesuai dengan pasal 151, UU No.4 Tahun 2009, perusahaan yang lalai pada pelaksaan
K3 akan diberikan sanksi adminstratif berupa:
 Peringatan tertulis
 Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi
produksi
 Pencabutan IUP,IPR, atau IUPK
2. Apakah ada UU K3 Internasioonal?
Jawaban:
Ada, Sebelum Indonesia menerapkan UU K3 dalam negeri. International sudah
menerapkan UU K3 Internasional, dan UU K3 sudah diterapakan sudah lama guna untuk
menjaga kesehatan dan keselamatan para pekerja supaya tidak terjadi halangan untuk
melakukan pekerjaan dan tidak terjadi kecelakaan.

35
3. Bagaimana para pegawai memperoleh keadilan upah dari perusahaan?
Jawaban:
Para pekerja berhak mendapatkan upah dari perusahaan secara adil sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan dan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari para pekerja.

36

You might also like