You are on page 1of 38

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KASUS

MIKSEDEMA

KELOMPOK : 3

PSIK 3.1

Alfin Pratama
Maya Sari lingga
Iin
Effendi Putra Hulu
Ramaya Pinte
Theresia

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TA 2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan pada penulis, dan atas berkat rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Kasus Miksedema ”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas Sistem
Endokrin II. Makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan pihak terkait. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
yang membantu baik secara moral maupun material, terutama kepada :
1. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara
Indonesia
2. Taruli Yohana Sinaga, M.KM, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
3. Ns. Rinco Siregar, S.Kep, MNS, selaku ketua Program Studi Ners
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia
4. Ns. Jek Amidos Pardede, M.kep, Sp. Kep.J, selaku Koordinator Profesi
Ners Universitas Sari Mutiara Indonesia
5. Ns. Agnes Marbun, S.Kep, Selaku Koordinator dan Dosen pengajar
Sistem Endokrin II Universitas Sari Mutiara Indonesia
6. Ns. Laura Siregar, M. Kep, Selaku Dosen pengajar Sistem Endokrin II
Universitas Sari Mutiara Indonesia
7. Seluruh Dosen Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia
8. Seluruh staff Program Studi Ners Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, dengan
demikian penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak dalam rangka penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi
seluruh pihak, akhir kata penulis mengucapkan terimah kasih.

Medan, 28 Maret 2018

Penulis Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................... 1
1.2.1. Tujuan Umum ................................................................. 1
1.2.2. Tujuan Khusus ................................................................ 1
1.3 Manfaat ....................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS MEDIS


2.1 Definisi .................................................................................... 7
2.2 Anatomi Fisiologi ...................................................................... 13
2.3 Etiologi ..................................................................................... 14
2.4 Manifestasi Klinis ..................................................................... 15
2.5 Klasifikasi .................................................................................. 16
2.6 Komplikasi ................................................................................ 17
2.7 Patofisiologi ............................................................................... 18
2.8 Pathway ..................................................................................... 19
2.9 Pemeriksaan Diagnostik ............................................................ 20
2.10 Penatalaksanaan ....................................................................... 23

BAB 3 TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian ................................................................................ 24
3.2 Diagnosa keperawatan .............................................................. 28
3.3 Intervensi .................................................................................. 36

BAB 4 TINJAUAN KASUS

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 37
5.2 Saran ......................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Koma miksedema merupakan salah satu penyakit kedaruratan pada kelenjar tiroid
yang membahayakan jiwa akibat hipotiroidisme ekstrim. Hipotiroidisme adalah
gangguan umum disertai gambaran klinis yang luas, pasien dapat asimptomatik
atau dapat mengalami sakit berat disertai koma miksedema. Hipotiroidisme sering
terjadi pada wanita dan insidennya meningkat sesuai bertambahnya usia. Sekitar
10% sampai 15% pasien lansia mengalami peningkatan TSH akibat
hipotiroidisme dan penapisan rutin kelompok berisiko tinggi sering dilakukan
pada lingkungan keperawatan primer (Morton, 2014).

Koma miksedema biasanya dijumpai pada lansia yang mengalami hipotiroidisme


dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Koma miksedema lebih sering
terjadi pada wanita lansia yang mengalami tiroiditis otoimun. Koma miksedema
juga dapat terjadi setelah penyakit akut tiroiditis otoimun pada wanita lansia.
Pajanan yang lama terhadap cuaca dingin pada individu lansia dapat menimbulkan
gangguan ini (Corwin, 2015).

Menurut data insiden pada umumnya koma miksedema mengenai individu berusia
30-50 tahun. Hipotiroidisme sering terjadi pada wanita yang memiliki jumlah
prevelensi 1-2% dan meningkat dengan usia (10% dewasa > 65 tahun). Koma
miksedema merupakan hipotiroidisme paling serius dan sering di picu oleh
penyakit lain. Koma miksedema juga dapat meningkatkan mortalitas 100 % jika
tidak diobati (Smeltzer, 2014). Angka kematian dapat diturunkan hingga kurang
dari 20% dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid.

Koma miksedema menggambarkan stadium hipotiroidisme yang paling ekstrim


dan berat, di mana pasien mengalami hipotermia dan tidak sadarkan diri. Pasien
dapat mengalami gejala depresi respiratorik sehingga timbul hipoventilasi
alveolar, retensi CO2 progresif, keadaan narcosis dan koma, disertai dengan
kolaps kardiovaskuler dan syok. Pasien dengan koma miksedema memerlukan
terapi yang agresif dan intensif. Namun, terapi yang intensif sekalipun dapat
menyebabkan kematian dengan angka mortalitas yang masih tetap tinggi (Brunner
& Suddarth. 2013).

Buruknya kondisi pasien dengan koma miksedema bila tidak ditangani lebih awal
dapat berakibat fatal karena dalam keadaan ini dijumpai dekompensasi satu atau
lebih sistem organ. Berdasarkan data-data tersebut, koma miksedema
menyebabkan mortalitas yang sangat tinggi, kecurigaan dengan diagnosis yang
dini dan penanganan yang adekuat prognosis biasanya akan lebih baik. Oleh
karena itu diperlukan perawatan yang intensif dan pengawasan terus menerus dan
juga yang terpenting adalah pemahaman yang tepat tentang kasus tersebut
terutama mengenai diagnosis dan penalaksanaannya baik secara medis maupun
keperawatan. Sehingga dengan pemahaman tersebut dapat lebih meningkatkan
kuliatas dan kuantitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan
koma miksedema.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Setelah pembelajaran materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus miksedema secara
komprehensif.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Menjelaskan anatomi dan fisiologi kelenjar tiroid
2) Menjelaskan hormon yang terdapat pada kelenjar tiroid
3) Menjelaskan definisi koma miksedema
4) Menjelaskan etiologi koma miksedema
5) Menjelaskan WOC pada koma miksedema
6) Menjelaskan penatalaksanaan koma miksedema.
a. Pemeriksaan penunjang
b. Medis
7) Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan koma miksedema
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS MEDIS

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi

Gambar 2.1.1 Kelenjar Tiroid (Pustaka Sekolah, 2013)

Gambar 2.1.2 Kelenjar Tiroid (Pustaka Sekolah, 2013)


Kelenjar tiroid terdiri atas dua buah lobus yang terletak di sebelah kanan dan kiri
trakhea, dan diikat bersama oleh secarik jaringan tiroid yang disebut istmus tiroid
dan yang melintasi trakhea di sebelah depannya.

Struktur. Kelenjar tiroid terdiri atas sejumlah besar vesikel yang dibatasi oleh
epitelium silinder, mendapat persediaan darah berlimpah-limpah dan yang
disatukan oleh jaringan ikat. Sel itu mengeluarkan sekret cairan yang bersifat lekat
yaitu koloida tiroid, yang mengandung zat snyawa yodium; zat aktif yang utama
dari senyawa yodium ini adalah hormon tiroksin. Sekret ini mengisi vesikel dan
dari sini berjalan ke aliran darah darah, baik langsung ataupun melalui saluran
limfe (Pearce, 2014).

Hormon tiroid (thyroid hormon, TH) adalah hormon amina yang di sintesis dan
dilepaskan dari kelenjar tiroid. Hormon ini dibentuk ketika satu atau dua molekul
iodin disatukan dengan glikoprotein besar disebut tiroglobulin, yang disintesis di
kelenjar tiroid dan mengandung asam amini tirosin. Kompleks yang mengandung
iodin disebut iodotirosin. Dua iodotirosin kemudian menyatu untuk membentuk
dua jenis TH yang bersirkulasi disebut T3 dan T4. T3 dan T4 berbeda dalam jumlah
total molekul iodin yang dikandungnya. Sebagian besar (90%) HT yang
dilepaskan ke dalam aliran darah adalah T4 tetapi T3 secara fisiologis lebih poten
(Corwin,2015).

2.1.2 Fisiologi
Sekresi tiroid diatur oleh sebuah hormon dari lobus anterior kelenjar hipofisis,
yaitu oleh hormon tirotropik. Fungsi kelejar tiroid sangat erat bertalian dnegan
kegiatan metabolik dalam hal pengaturan susunan kimia dalam jaringan; bekerja
sebagairangsang proses oksidasi, mengatur penggunaan oksigen dan dengan
sendirinya mengatur pengeluaran karbon dioksida.

Hiposekresi (hipotiroidisma). Bila kelenjar tiroid kurang mengeluarkan sekret


pada waktu bayi maka mengakibatkan suatu keadaan yang dikenal sebagai
kretinisme, berupa hambatan pertumbuhan mental dan fisik. Pada orang dewasa,
kekurangan sekresi mengakibatkan miksedema; proses metabolik mundur dan
terdapat kecendenrungan untuk bertambah berat, gerakannya lamban, cara
berpikir dan bicara lamban dan kulit menjadi tebal dan kering, rambut rontok
danmenjadi jarang. Suhu badanya di bawah normal, dan denyut nadi perlahan
(Pearce, 2014).

Jika gangguan berupa hipotiroid tidak segera ditangani, maka akan dapat
mengakibatkan terjadinya koma miksedema yang menggambarkan hipotiroid
yang paling ekstrem dan berat, dimana pasien mengalami hipotermia dan tidak
sadarkan diri. Sedangkan jika hipertiroid tidak segera ditangani, maka akan dapat
mengakibatkan krisis tiroid berupa hipertiroid berat yang biasanya terjadi dengan
awitan mendadak dan ditandai dengan hiperpireksia, takikardia yang ekstrim serta
perubahan status mental yang sering terlihat sebagai delirium (Smeltzer&
Susanne, 2014).

2.2 Pengertian
Koma miksedema adalah kedaruratan yang membahayakan jiwa akibat
hipotiroidisme ekstrem yang jarang terjadi. Koma miksedema biasanya terjadi
pada pasien lansia selama musim dingin setelah faktor pencetus seperti stress,
peajanan terhadap suhu dingin yang ektrem, atau trauma. Selain koma, komplikasi
koma miksedemaadalah efusi perikardium dan pleura, megakolon disetai ileus
paralitik, dankejang. Kematian dapat terjadi jika hipoksia dan hipokapnea berat
tidak terobati (Hudak, 2015).

Miksedema adalah keadaan lebih lanjut yang diakibatkan oleh karena kadar
hormon tiroid dalam darah berkurang. Karena kurang aktifnya kelenjar tiroid
dalam menghasilkan hormon tiroid atau hormon tiroid yang dihasilkan terlalu
sedikit (Hipotiroidisme). Miksedema merupakan bentuk hipotiroid terberat, pasien
menjadi letargi dan bisa berlanjut pada keadaan stupor atau Koma Miksedema
(John A. Boswick, 2013).
Koma Miksedema adalah keadaan yang mengancam nyawa yang ditandai oleh
eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermia tanpa
menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran yang
menyebabkan koma (Corwin, 2015).

2.3 Etiologi

Koma tercetus pada pasien hipotiroid kronis karena terpajan dingin, infeksi,
hipoglikemia, agen depresan pernafasan, reaksi alergi, atau stres metabolik
lainnya.(Graber,dkk.2015)

Koma miksedema lebih sering terjadi pada wanita lansia yang mengalami
tiroiditis otoimun, pajanan yang lama terhadap cuaca dingin pada individu lansia
dapat juga menimbulkan gangguan tersebut (Corwin,2015).

Faktor predisposisi menurut Hudak (2015) :

a. Usia
b. Stress
c. Pajanan terhadap suhu dingin yang ektrem
d. Trauma

2.4 Patofisiologi
Pada hipotiroidisme terjadi penurunan metabolism basal dan pasien mudah
merasa kedinginan. Penggunaan oksigen, ventilasi, dan eritropoiesis akan
berkurang. Berkurangnya lipolisis mendorong peningkatan berat badan dan
hiperlipidemia sedangkan berkurangnya pemecahan kolesterol menjadi asam
empedu dengan segera menyebabkan hiperkolesterolemia sehingga memudahkan
terjadinya aterosklerosis. Gangguan glikogenolisis dan glukoneogenesis dapat
menyebabkan hipoglikemi. Berkurangnya pemecahan glukosaminoglikan
menyebabkan penumpukan senyawa tersebut diberbagai jaringan dan di kulit
dengan konsistensinya menyerupai adonan yang merupakan alasan mengapa
penyakit ini disebut miksedema. Selain itu fibronektin,kolagen,dan albumin
plasma juga ditimbun di kulit. Berkurangnya perubahan karoten menjadi vitamin
A menyebabkan hyperkeratosis. Demikian juga berkurangnya sekresi keringat dan
sebasea kulit menjadi kering dan produksi panas yang berkurang membuat kulit
terasa dingin. Pasien seringkali memiliki suara parau. Menurun perangsangan
jantung oleh hormone tiroid menyebabkan penurunan kontraktilitas, frekuensi
denyut jantung, volume sekuncup, curah jantung dan kadang-kadang juga tekanan
darah diastolic. Pada defisisiensi hormone tiroid yang nyata dapat terjadi gagal
jantung, efusi pleura, dan perikard. Frekuensi pernapasan melambat dan reaksi
ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia terganggu. Laju filtrasi
glomerulus,aliran plasma ginjal,dan kapasitas transport tubulus berkurang.
Ekskresi ginjal menurun menyebabkan retensi air dan natrium. Penurunan
perangsangan otot-otot usus menyebabkan konstipasi. Gangguan fungsi pada otot
esophagus dapat menyebabkan refluks lambung dan esofagitis. Aktivitas dan
efektivitas saraf otonom akan berkurang pada hipotiroidisme. Eksitabilitas
neuromuskuler juga berkurang sehingga menyebabkan gangguan fungsi sensorik,
hiporefleksia, kehilangan nafsu makan, kehilangan ingatan, depresi dan kesadaran
berkabut yang bahkan berlanjut menjadi koma. Selain itu pertumbuhan tulang
menjadi terlambat pada anak-anak. Retardasi pertumbuhan dan kemampuan
mental yang terganggu menyebabkan gambarab kreatinisme yang khas
(Lang,2013).

Hipotiroidisme disebabkan oleh defisiensi pembentukan hormon tiroid oleh


kelenjar tiroid. Kondisi ini dapat primer atau sekunder. Pembentukan hormon
tiroid yang rendah mengakibatkan keadaan klinis yang disebut hipertiroidisme.
Koma miksedema merupakan kegawatan yang megancam hidup, jarang terjadi
yang disebabkan pada pada keadaan hipotiroidisme ekstrim. Keadaan ini biasanya
terjadi pada pasien lansia selama musim dingin. Hipotiroidisme adalah penyakit
kronis, dengan insiden 10 kali lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, dan
terjadi pada semua golongan usia di atas 50 tahun; keadaan ini kurang umur
dibanding hipotiroidisme. Hipotiroidisme dapat primer atau sekunder. Penyebab
primer termasuk kelainan kongenital, kehilangan jaringan tiroid setelah
pengobatan hipertiroidisme, kelainan sintesis hormon karena proses otoimun, dan
pemberian obat antitiroid atau defisiensi iodin. Penyebab sekunder termasuk
resistensi perifer terhadap hormon tiroid, tumor atau infark pituitari, dan gangguan
hipotalamus. Hipotiroidisme transien dapat terjadi setelah penghentian
pengobatan T3 dan T4 jangka panjang. Hipotiroidisme umumnya mempengaruhi
semua sistem tubuh; rendahnya laju metabolik basal, penurunan energi
metabolisme, dan pembentukan panas merupakan ciri-cirinya. Miksedema yang
diakibatkan oleh perubahan komposisi dermis dan jaringan lain. Jaringan ikat
dipisahkan oleh peningkatan jumlah protein dan mukopolisakarida; jaringan ini
mengikat air, menyebabkan edema nonpitting, boogy, terutama di sekitar mata,
tangan, dan kaki juga bertanggung jawab terhadap penebalan lidah dan laring dan
membran mukosa faring, mengakibatkan bicara tidak jelas dan sakit tenggorok.
Selain gejala-gejala klinis dari hipotiroidisme, penurunan T3 dan T4 bebas adalah
temuan yang umum (Hudak & Gallo, 2015).

2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang ditemukan pada pasien dengan koma miksedema menurut
Baughman (2013) adalah sebagai berikut :

a. Gejala dini umum yang tidak spesifik


b. Keletihan ekstrem
c. Kulit menjadi menebal, rambut menipis dan rontok; wajah menjadi tanpa
ekspresi dan seperti topeng
d. Suara parau dan serak
e. Pasien dengan miksedema lanjut mengalami hipotermik . secara abnormal
sensitif pada sedaif, opiat dan preparat anastetik; obat-obat ini diberikan
dengan kewaspadaan penuh.
Gambaran dominan yang dapat muncul menurut Stillwell (2013) antara
lain :
a. Hipotermia
b. Bradikardia
c. Bradipnea
d. Hipertensi
e. Kulit : kasar dan kering, kemungkinan warna karotena, edema periorbital
dan edema pada wajah
f. Neurologis : tumpul, koma, atau kejang, refleks lambat
g. Gastrointestinal : penurunan bising usus
h. Endokrin : tiroid mungkin tidak dapat dipalpasi, membesar, atau berbentuk
nodular
i. Hipoventilasi
j. Penurunan fungsi mental
k. Keletihan yang berat
l. Intoleransi aktivitas
m. Hiporefleksia
n. Gagal jantung dan gagal nafas

Menurut Linda (2014), manifestasi klinis koma miksedema adalah sebagai


berikut:
a. Kulit pucat, dengan warna kekuningan yang dihasilkan dari peningkatan
deposito karoten.
b. Penurunan metabolic rate ditandai dengan hipotermia, hypoventilasi,
hypoxemia, hyponatremia, hipoglikemia, bradicardia, hipercolesterol,
hyperlipidemia dan anemia.
c. Output urine menurun
d. Peristaltic usus menurun,anoreksia,kelebihan BB,konstipasi
e. Kelemahan,somnolen,suara parau,depresi,apatis,letargi.
f. Penurunan reabsorpsi tulang

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Penurunan T3 dan T4 bebas adalah hal yang paling umum terjadi, sedangkan
natrium biasanya menurun dan kalium meningkat. TSH meningkat secara
mencolok pada hipotiroidisme primer. Analisis gas darah arteri (GDA) biasanya
menunjukkan hiperkapnea berat disertai penurunan tegangan oksigen arteri (PaO2)
dan peningkatan tegangan karbon dioksida arteri (PaCO2) (Morton, 2014).
Diagnosis yang ditegakkan berdasarkan indeks kecurigaan yang tinggi.
Pemeriksaan tiroid yang mengindikasikan hipotiroidisme primer adalah :
a. Peningkatan kadar hormon perangsang tiroid (TSH) (Tes Standar
Emas) dan indeks tiroksin bebas yang rendah (jika hasil pemeriksaan
TSH tidak definitif).
b. Hiponatremia dan hipoglikemia mungkin terjadi
c. EKG menunjukkan voltase rendah, interval QT memanjang, dan
gelombang T datar atau invers.
d. Kadar kortisol juga mungkin rendah.
(Stillwell, 2013)

2.7 Penatalaksanaan
Komplikasi hipertiroidisme yang paling serius adalah perkembangan penyakit
menjadi koma miksedema dan kematian, jika hipotiroidisme tidakdiobati.
Pendekatan multisistem harus digunakan dalam perawatan kedaruratan dalam
kondisi ini. Ventilasi mekanik digunakan mengendalikan hipoventilasi,
hiperkapnea, dan henti nafas. Pemberian salin normal hipertonik dan glukosa
secara intravena mengoreksi keadaan hiponatremia dan hipoglikemia. Pemberian
cairan disertai terapi vasopressor dapat diperlukan untuk mengoreksi hipotensi.
Terapi farmakologis meliputi pemberian hormon tiroid dan kortikosteroid.
Terdapat banyak pendekatan untuk aspek penatalaksanaan medis ini. Terapi obat
awal meliputi 300 – 500 µg T4 secara intravena untuk menjenuhkan sema protein
yang berikatan dan mempertahankan kadar T4 tetap relatif normal. Dosis lanjutan
dapat meliputi 100 µg setiap hari. T3 oral atau inravena merupakan instruksi
alternatif. Panduan penggantin T3 adalah25 µg secara intravena setiap 8 jam
untuk 24 jam sampai 48 jam pertama. Dosis T3 oral setiap 8 jam juga diresepkan.
Penggantian hormon harus diberikan perlahan-lahan dan pasien harus dipantau
terus-menerus selama pengobatan untuk menghindari peningkatan kebutuhan
metabolik yang tiba-tiba dan infark miokard. Penggantian cairan dan
menghangatkan kembali pasien juga harus dilakukan dengan urutan teratur untuk
menghindari komplikasi. (Morton, 2014)
Intervensi tambahan meliputi penanganan distensi abdomen dan impaksi feses dan
penatalaksanaan hipotermia dengan penghangatan pasien kembali secara bertahap
menggunakan selimut dan kaos kaki. Alat mekanis tidak digunakan. Status
neurologis dan perubahan tingkat kesadaran pasien dipantau. Dilakukan tindakan
pencegahan kejang. Ketika pasien dalam keadaan koma, perawatan meliputi
pencegahan komplikasi akibat aspirasi, imobilitas, kerusakan kulit, dan infeksi.
Fungsi jantung dan pernafasan dibantu. Pemeberian cairan juga harus dipantau
karena terdapat risiko kelebihan beban cairan. Aspek perawatan yang penting
adalah mendeteksi tanda-tanda awal komplikasi. Seiring penyembuhan pasien,
fokus intervensinya adalah perawatan mandiri dan penyuluhan. Tindak lanjut
pasien meliputi pemeriksaan menyeluruh bagaimana hipotiroidisme berat dan
bagaimana cara terbaik untuk menghindarinya agar tidak terjadi pada masa yang
akan datang. Penyuluhan pasien, tindak lanjut keluarga, pelaksanaan kewaspadaan
medis, dan pelibatan dukungan masyarakat mungkin diperlukan untuk pasien
kompleks ini (Morton, 2014).

Beberapa penanganan pada pasien koma miksedema menurut Graber, dkk (2015)
diantaranya:
a. Penggantian tiroid, untuk meningkatkan kadar hormon tiroid
b. Oksigen tambahan dan intubasi/ventilasi mekanis, untuk memperbaiki
ventilasi/oksigenasi.
c. Metode pemanasan, untuk memperbaiki ventilasi/oksigenasi.
d. Kristaloid dan agen vasopresor, untuk memperbaiki stabililitas
hemodinamik.
e. 500 mikrogram tiroksin (T4) IV yang diikuti dengan tiroksin oral 0,1 mg
setiap hari. T4 IV dapat digantikan dengan 40 mikrogram T3 IV jika
tersedia.
f. Hiponatremia dan hipoglikemia sering terjadi dan harus diobati dengan
benar.
g. Hipotermia atau kehilangan panas harus dihindari.
Nilai T3 dan T4

T3 normal : 80-160 µg/dl

2.8 T4 normal : 4-11 µg/dl WOC


Pasien hipotiroid kronis akibat terpajan suhu
T3 ↓ :
Hipotiroidisme dingin, infeksi, agen depresan pernafasan,
reaksi alergi, tiroiditis otoimun, trauma, usia, T4 ↓ :
gagal minum obat

Koma Miksedema

Kekurangan asupan yodium

Defisiensi Iodin (-) Defisiensi T3 dan T4

Ginjal Jantung Tulang Sistem pernafasan Laju Gastrointestinal


metabolisme
basal ↓
Penurunan respon Motilitas usus ↓
Penurunan hormon Hormon calsitonin
ventilatorik
aldosteron
produksi panas ↓
Mipopati otot MK : Konstipasi
Calsium pada jantung ↓ Calsium pada tulang ↓
Retensi Na+ dan H2O saluran nafas
stimulasi Na+, K+ ,
MK : Penurunan ATPase dalam semua
Osteoporosis Kelemahan
Curah jantung jaringan ↓
Edema difus dan pitting diafragma

MK : Resiko
MK : Kelebihan atrium otot jantung Hipoventilasi MK : Hipotermia
Cidera
volume cairan alveolus kronik

aritmia HR ↓
MK : Gangguan
pertukaran gas
MK : Kelemahan
BAB 3

TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

1) Pengkajian
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat
rencana asuhan keperawatan klien.
a. Biodata /identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa,
pekerjaan, kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal MRS,nomor register
dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji.
Biasanya klien mengeluh : tampak lelah, loyo, tidak tahan dingin, daya ingat
menurun, sembelit, menstruasi tidak teratur.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan,
misalnya gejala awal sakit, keluhan utama. Pada orang dewasa, paling sering
mengenai wanita dan ditandai oleh peningkatan laju metabolik basal,
kelelahan dan letargi, kepekaan terhadap dingin, dan gangguan menstruasi.
Bila tidak diobati, akan berkembang menjadi miksedema nyata. Pada bayi,
hipotiroidisme hebat menimbulkan kretinisme. Pada remaja hingga dewasa,
manifestasinya merupakan peralihan dengan retardasi perkembangan dan
mental yang relatif kurang hebat serta miksedema disebut demikian karena
adanya edematus, penebalan merata dari kulit yang timbul akibat
penimbunan mukopolisakarida hidrofilik pada jaringan ikat di seluruh tubuh.
d. Riwayat penyakit sebelumnya
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama, riwayat
ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan. Apakah
sebelumnya klien pernah mengalami hipotiroidisme.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan
klien.
f. Kebiasaan hidup sehari-hari, seperti:
1) pola makan (misal: mengkonsumsi makanan yang kadar yodiumnya
rendah, dan nafsu makan menurun)
2) pola tidur (misal: klien menghabiskan banyak waktu untuk tidur, sering
tidur larut malam)
3) pola aktivitas (misal: klien terlalu memforsir pekerjaan sehingga sering
mengeluh kelelahan).
g. Pengkajian psikososial
Klien sangat sulit membina hubungan sosial dengan lingkungannya,
mengurung diri/bahkan mania. Klien sangat malas beraktivitas, dan ingin
tidur sepanjang hari. mengkaji bagaimana konsep diri klien mencakup
kelima komponen konsep diri.
h. Pengkajian fungsi seksual
1. Penurunan libido
2. Impotensi, infertilitas
3. Abnormalitas menstruasi (amenorea atau perdarahan menstruasi lama)
2) Pemeriksaan fisik persistem
a. B1 (Breathing)
Terdapat penurunan pernapasan seperti hipoventilasi, penahanan CO2,
dispnea, edema, penahanan air, bisa terjadinya efusi pleura.Selain itu
terdapat juga tanda-tanda adanya gerakan dada, retraksi atau otot bantu
pernafasan, pada saat auskultasi terdengar adanya bunyi nafas
tambahan (Gurgling, Krakels, ronkhi, wheezes).
b. B2 (Blood)
Terdapat penurunan fungsi jantung seperti penurunan kontraktilitas
jantung, penurunan stroke volume, penurunan HR, dan penurunan
cardiac output. Pasien dapat berkembang menjadi efuse pericardial
sehingga adanya perubahan atau penurunan listrik jantung pada EKG.
Terjadinya hipotensi karena stimulasi adrenergic menurun akibat
penurunan tiroid.
Terdapat juga tanda berupa ekstermitas pucat, dingin, nadi lambat dan
lemah, waktu pengisian kapiler >3 detik, tekanan darah turun, dan
sianosis
c. B3 (Brain)
Terdapat tanda gejala akibat penurunan metabolism yang
menghasilkan penurunan kesadaran, depresi, letargi, somnolen, kurang
berkonsentrasi, suara parau, hiporefleksia. Pengaturan panas tubuh
menurun sehingga terjadinya hipotermia (26,7oC) dan bisa terjadi
kegawatan. Diagnosa koma miksedema tergantung pada gejala – gejala
klinis dan identifikasi faktor pencetus yang mendasari. Faktor pencetus
yang paling umum adalah infeksi paru; yang lain meliputi trauma,
stress, infeksi, obat – obatan seperti barbiturate, pembedahan, dan
gangguan metabolic
d. B4 (Bladder)
Penurunan keluaran urine akibat fungsi ginjalterganggu dengan
penurunan kecepatan filtrasi glomerulusdan kegagalan kemampuan
untuk mengekskresikan beban cairan.
e. B5 (Bowel)
Terdapat tanda dan gejala berupa penurunan bising usus, anoreksia,
konstipasi, ileus paralisis, peningkatan berat badan dan asites.
f. B6 (Bone)
Penurunan refleks otot, kulit kering dan bersisik, rambut kepala tipis
dan rapuh, pertumbuhan kuku buruk, kuku menebal, rambut rontok,
edema kulit terutama dibawah mata
3) Diagnosa Keperawatan
a. Hipotermia berhubungan dengan terpajan lingkungan yang dingin atau
kedinginan (dalam waktu lama).
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan dan respons pernapasan sentral yang tumpul terhadap
hipoksemia dan hiperkapnea.
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang
berlebihan.
d. Kelemahan berhubungan dengan
e. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran cerna.
f. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran dan
kekurangan volume cairan sekunder akibat gangguan bersihan air bebas
4) Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI


KEPERAWATAN (NOC) (NIC)
1 Hipotermia Setelah dilakukan Pengkajian
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Catat nilai dasar tanda-tanda
terpajan lingkungan selama 2x24 jam vital
yang dingin atau diharapkan klien mampu: 2. Lakukan pemantauan jantung
kedinginan (dalam Menunjukkan pada pasien
waktu lama) termoregulasi, yang 3. Kaji gejala hipotermia
dibuktikan oleh indikator: 4. Kaji kondisi medis yang dapat
- Peningkatan suhu menyebabkan hipotermia
kulit 5. Regulasi suhu.
- Suhu mulai - Pasang alat pantau inti
normal 36,50C tubuh kontinu
- Tidak menggigil - Pantau suhu setiap 2 jam
bila perlu
Penyuluhan untuk
pasien/keluarga
1. Regulasi suhu
- Ajarkan kepada pasien,
khususnya pasien lanjut,
tindakan untuk mencegah
hipotermia akibat terpajan
suhu dingin
- Ajarkan indikasi
hipotermia dan tindakan
kedaruratan yang
diperlukan, jika perlu
2. Anjurkan klien untuk
mengenakan pakaian yang
hangat jika tidak
memungkinkan untuk
menaikkan suhu ruangan,
bahkan gunakan jaket, topi
bila perlu
Kolaboratif
1. Untuk hipotermia berat bantu
dengan teknik
menghangatkan suhu inti
tubuh
2 Gangguan pertukaran Pasien sadar dan Pemantauan Pasien
gas yang berhubungan terorientasi a. Pantau saturasi oksigen secara
dengan kelemahan otot RR 12-20 kali/menit, kontinu dengan oksimetri nadi
pernapasan dan respons eupnea (SpO2). Pantau aktivitas
pernapasan sentral yang PaO2 80-100 mm Hg pasien dan intervensi yang
tumpul terhadap PaCo2 35-45 mm Hg dapat berpengaruh buruk pada
hipoksemia dan pH 7,35-7,45 saturasi oksigen.
hiperkapnea Saturasi O2 ≥ 95 % b. Pantau EKG secara kontinu
untuk mengetahui adanya
disritmia yang mungkin
berhubungan dengan
hipoksemia atau
ketidakseimbangan asam-basa.
Pengkajian Pasien
a. Kaji status pernapasan: catat
frekuensi, irama, dan
kedalaman pernapasan. Pasien
biasanya diintubasi dan paru-
paru pasien dipasang ventilasi
mekanis.
b. Kaji pasien untuk mengetahui
perkembangan sekuele klinis .
Pengkajian Diagnostik
Tinjau GDA serial untuk
mengevaluasi oksigenasi dan
keseimbangan asam-basa.
Penatalaksanaan Pasien
a. Berikan oksigen tambahan
sesuai intruksi (untuk
penatalaksanaan pasien pada
terapi ventilasi)
b. Berikan levotiroksin sesuai
dengan yang diresepkan
c. Ubah posisi pasien untuk
memperbaiki oksigenasi dan
mobilisasi sekresi. Evaluasi
respons pasien terhadap
perubahan posisi dengan SpO2
atau GDA guna menentukan
posisi terbaik untuk
oksigenasi.
d. Jika pasien stabil secara
hemodinamik, berikan higinie
paru untuk mencegah
komplikasi
e. Hindari pemberian depresan
SSP karena obat tersebut
dimetabolisme secara lambat
oleh pasien hipotiroid
3 Penurunan curah Pasien sadar dan Pemantauan Pasien
jantung berhubungan berorientasi a. Pantau EKG secara kontinu
dengan bradikardia dan TDS 90-140 mm Hg untuk mengetahui adanya
penurunan isi sekuncup MAP 70-105 mm Hg disritmia atau bradikardia
(IS) FJ 60-100 kali/menit berat yang dapat
Haluaran urine 30 berpengaruh buruk pada
ml/jam atau 0,5-1 curah jantung. Internal QT
ml/kg/jam yang memanjang berkaitan
Denyut nadi perifer dengan torsade de pointes.
dapat dipalpasi Pantau perubahan segmen
SAP 15-30 mm Hg ST-T yang menunjukkan
DAP 5-15 mm Hg komplikasi iskemia
IJ 2,5-4 L/menit/m2 miokardium yang merugikan
pada permulaan terapi
levotiroksin.

b. Pantau tekanan AP secara


kontinu, CVP (jika dapat
dilakukan), dan TD.
Dapatkan hasil pemeriksaan
IJ dan PAWP untuk
mengevaluasi fungsi jantung
dan respons pasien terhadap
terapi. Pantau MAP, MAP <
60 mm Hg berpengaruh
buruk pada perfusi serebal
dan perfusi ginjal.
c. Pantau status volume cairan:
ukur haluaran urin setiap jam
dan tentukan keseimbangan
cairan setiap 8 jam,
bandingkan berat badan
serial, perubahan yang cepat
(0,5-1 kg/hari) menunjukkan
ketidakseimbangan cairan.
Pengkajian Pasien
a. Kaji status kardiovaskular:
catat kualitas denyut nadi
perifer dan pengisian kapiler.
Observasi adanya
peningkatan tekanan vena
jugularis (JVP) dan pulsus
paradoksus, yang dapat
mengidikasikan efusi
pericardium. Auskultasi
bunyi jantung, frekuensi
jantung, dan suara napas
untuk mengetahui
perkembangan gagal jantung.
Observasi adanya takikardia
dan iskemia miokardium
pada terapi penggantian
hormone tiroid.
b. Kaji pasien untuk
mengetahui perkembangan
sekuele klinis
Pengkajian Diagnostik
Tinjau pemeriksaan tiroid jika
ada. Kadar TSH harus
menurun dalam waktu 24
jam terapi dan harus normal
setelah 7 hari terapi.
Penatalaksanaan Pasien
a. Berikan cairan intravena
sesuai intruksi untuk
mempertahankan TDS > 90
mm Hg, pantau secara
cermat untuk mengetahui
kelebihan cairan dan
perkembangan gagal jantung.
b. Agens vasopresor dapat
digunakan jika hipotensi
refraktori terhadap
pemberian volume cairan
dan jika penggantian tiroid
tidak mempunyai waktu
untuk bekerja. Pantau pasien
secara cermat untuk
mengetahui disritmia letal.
4 Risiko cedera Kriteria Hasil Pemantauan Pasien
berhubungan dengan Pasien sadar dan a. Pantau status volume
perubahan tingkat berorientasi cairan: ukur asupan dan
kesadaran dan Tidak ada kejang haluaran setiap jam,
kekurangan volume Pasien tidak akan tentukan keseimbangan
cairan sekunder akibat mencederai diri sendiri cairan setiap 8 jam.
gangguan bersihan air Asupan seimbang dengan Bandingkan berat badan
bebas haluaran serial: perubahan yang
Natrium serum 135-145 cepat (0,5-1 kg/hari)
mEq/L menunjukkan
Osmolalitas serum 275- ketidakseimbangan
295 mOsm/L cairan. Kenaikan berat
Berat jenis urine 1,010- badan tanpa edema
1,030 mungkin terobservasi.
b. Pantau tingkat kesadaran
dengan menggunakan
Skala Koma Glasgow.
Penurunan tingkat
kesadaran mungkin
berkaitan dengan
intoksikasi air.
Pengkajian Pasien
a. Kaji adanya keluhan sakit
kepala, keletihan, atau
kelemahan
b. Kaji status hidrasi: catat
turgor kulit pada paha
bagian dalam atau dahi,
observasi membrane
bukal, dan kaji adanya
rasa haus.
c. Kaji paru-paru pasien
untuk mengetahui adanya
suara tambahan, kaji
bunyi jantung untuk
mengetahui
perkembangan S3 (tanda
utama gagal jantung)
d. Kaji paisen untuk
mengetahui
perkembangan sekuele
klinis
Pengkajian Diagnostik
Tinjau natrium serum,
osmolalitas serum, dan
berat jenis urine.
Hiponatremia dapat
menyebabkan status
tumpul.
Penatalaksanaan Pasien
a. Jika kadar natrium <120
mEq/L, salin isotonic
dapat diberikan dan air
bebas dibatasi.
b. Berikan cairan dan
diuretic secara cermat.
Jelaskan kepada pasien
tentang retriksi cairan
c. Lakukan tindakan
kewaspadaan kejang
d. Hidrokortison 50-100 mg
melalui IV setiap 6-8 jam
dapat diberikan sampai
fungsi adrenal kembali
normal.
e. Pertahankan lingkungan
yang aman. Orientasikan
kembali pasien yang
kebingungan pada setiap
interaksi.
BAB 4

KASUS

Ny. K usia 55 tahun, BB 48 kg, TB 160 cm, klien datang diantar oleh keluarga ke RSUD dr.
Sutomo dalam kondisi letargi. Sebelumnya klien mengeluh kedinginan dan menggigil walaupun
udara di lingkungan panas. Riwayat penyakit: dua tahun yang lalu pasien pernah melakukan
pengobatan hypotiroid, nafsu makan klien menurun, rambut rontok, dan sering sesak nafas, klien
juga sering merasakan dada sering berdebar-debar meski tidak melakukan aktivitas berat. Dalam
2 bulan ini berat badannya sudah menurun drastis dari 65kg menjadi 48kg, nafsu makan tetap
menurun, sesak nafas,pembengkakkan atau edema kulit di bawah mata dan pada pergelangan
kaki .
Hasil pemeriksaan fisik jantungnya membesar, nadi <60 x/menit, matanya exofthalmus, suhu
30,5°c, RR 14 x/menit, TD 150/90 x/menit, urin < 500cc/hari. Pemeriksaan laboratorium TSH
<0,004µIU/ml, FT4 20µg/dl, FT3 15pg/dl . Kemudian oleh dokter disarankan untuk melakukan
pemeriksaan iodium radioaktif dan fineddle aspiration biopsy (FNAB).
1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Klien mengatakan kedinginan dan menggigil walau udara di lingkungan panas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan dalam 2 bulan ini berat badannya sudah menurun drastis dari 65kg
menjadi 48kg, nafsu makan tetap mnenurun, sesak nafas,pembengkakkan atau edema
kulit di bawah mata dan pada pergelangan kaki.
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan dua tahun yang lalu klien pernah melakukan pengobatan hypotiroid,
nafsu makan klien menurun, rambut rontok, dan sering sesak nafas, klien juga sering
merasakan dada sering berdebar-debar meski tidak melakukan aktivitas berat
d. Riwayat kesehatan keluarga
Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit keturunan
e. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Dispnea, terdapat suara nafas tambahan wheezing (+), RR 14x/m
B2 (Blood)
Terdapat penurunan curah jantung, terdapat kardiomegali TD 150/90 x/menit,nadi <60
x/menit, suhu 30,5°C, pemeriksaan laboratorium TSH <0,004µIU/ml, FT4 20µg/dl, FT3
15pg/dl
B3 (Brain)
Klien tampak letargi, suara parau, suhu 30,5oC
B4 (Bladder)
Urin < 500 cc/hari, status hidrasi: dehidrasi ringan
B5 (Bowel)
Klien anoreksia, bising usus lambat, konstipasi (+)
B6 (Bone)
Klien terdapat penurunan refleks otot, kulit kering dan bersisik, rambut kepala tipis dan
rapuh, , kuku menebal, rambut rontok, edema kulit terutama dibawah mata dan
pergelangan kaki

2. Analisa data

NO DATA ETIOLOGI PROBLEM


1 DS: Penurunan hormon Hipotermia
Klien mengatakan tiroid
kedinginan walau
suhu lingkungan Sebasea kulit
panas menjadi kering

DO: Produksi panas


Klien tampak menurun
menggigil
Suhu : 30,5o C, TD Terpajan suhu
150/90 x/menit,nadi dingin
<60 x/menit
Hipotermia
2 DS : Penurunan hormon Penurunan curah
Keluarga klien tiroid jantung
mengatakan
klienlemas, dada Penurunan
berdebar saat rangsangan jantung
beraktivitas Penurunan
kontraktilitas
DO: Penurunan volume
Klien tampak letargi, sekuncup
terdapat kardiomegali, Penurunan curah
RR 14x/m, TD 150/90 jantung
x/menit,nadi <60
x/menit, suhu 30,5°C,
pemeriksaan
laboratorium TSH
<0,004µIU/ml, FT4
20µg/dl, FT3 15pg/dl

3. Diagnosa keperawatan
a. Hipotermia berhubungan dengan terpajan lingkungan yang dingin atau kedinginan (dalam
waktu lama)
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan bradikardia dan penurunan isi sekuncup
(IS)
4. Intervensi keperawatan

NO DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI


KEPERAWATAN (NOC) (NIC)
1 Hipotermia berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pengkajian
dengan terpajan keperawatan selama 2x24 1. Catat nilai dasar tanda-
lingkungan yang dingin jam diharapkan klien tanda vital
atau kedinginan (dalam mampu: 2. Lakukan pemantauan
waktu lama) Menunjukkan jantung pada pasien
termoregulasi, yang 3. Kaji gejala hipotermia
dibuktikan oleh indikator: 4. Kaji kondisi medis yang
- Peningkatan suhu dapat menyebabkan
kulit hipotermia
- Suhu mulai normal 5. Regulasi suhu.
36,50C - Pasang alat pantau inti
- Tidak menggigil tubuh kontinu
- Pantau suhu setiap 2
jam bila perlu
Penyuluhan untuk
pasien/keluarga
1. Regulasi suhu
- Ajarkan kepada
pasien, khususnya
pasien lanjut, tindakan
untuk mencegah
hipotermia akibat
terpajan suhu dingin
- Ajarkan indikasi
hipotermia dan
tindakan kedaruratan
yang diperlukan, jika
perlu
3. Anjurkan klien untuk
mengenakan pakaian
yang hangat jika tidak
memungkinkan untuk
menaikkan suhu
ruangan, bahkan
gunakan jaket, topi bila
perlu
Kolaboratif
1. Untuk hipotermia berat
bantu dengan teknik
menghangatkan suhu inti
tubuh
2 Penurunan curah jantung Pasien tidak sadar dan Pemantauan Pasien
berhubungan dengan berorientasi a. Pantau EKG secara
bradikardia dan TD 90-140 mm Hg kontinu untuk mengetahui
penurunan isi sekuncup MAP 70-105 mm Hg adanya disritmia atau
(IS) FJ 60-100 kali/menit bradikardia berat yang
Haluaran urine 30 ml/jam dapat berpengaruh buruk
atau 0,5-1 ml/kg/jam pada curah jantung.
Denyut nadi perifer dapat Internal QT yang
dipalpasi memanjang berkaitan
SAP 15-30 mm Hg dengan torsade de
DAP 5-15 mm Hg pointes. Pantau
IJ 2,5-4 L/menit/m2 perubahan segmen ST-T
yang menunjukkan
komplikasi iskemia
miokardium yang
merugikan pada
permulaan terapi
levotiroksin.
b. Pantau tekanan AP secara
kontinu, CVP (jika dapat
dilakukan), dan TD.
Dapatkan hasil
pemeriksaan IJ dan
PAWP untuk
mengevaluasi fungsi
jantung dan respons
pasien terhadap terapi.
Pantau MAP, MAP < 60
mm Hg berpengaruh
buruk pada perfusi
serebal dan perfusi ginjal.
c. Pantau status volume
cairan: ukur haluaran urin
setiap jam dan tentukan
keseimbangan cairan
setiap 8 jam, bandingkan
berat badan serial,
perubahan yang cepat
(0,5-1 kg/hari)
menunjukkan
ketidakseimbangan
cairan.
Pengkajian Pasien
a. Kaji status kardiovaskular:
catat kualitas denyut nadi
perifer dan pengisian
kapiler. Observasi adanya
peningkatan tekanan vena
jugularis (JVP) dan pulsus
paradoksus, yang dapat
mengidikasikan efusi
pericardium. Auskultasi
bunyi jantung, frekuensi
jantung, dan suara napas
untuk mengetahui
perkembangan gagal
jantung. Observasi adanya
takikardia dan iskemia
miokardium pada terapi
penggantian hormone
tiroid.
b. Kaji pasien untuk
mengetahui perkembangan
sekuele klinis
Pengkajian Diagnostik
Tinjau pemeriksaan tiroid
jika ada. Kadar TSH harus
menurun dalam waktu 24
jam terapi dan harus
normal setelah 7 hari
terapi.
Penatalaksanaan Pasien
a. Berikan cairan intravena
sesuai intruksi untuk
mempertahankan TDS >
90 mm Hg, pantau secara
cermat untuk mengetahui
kelebihan cairan dan
perkembangan gagal
jantung.
b. Agens vasopresor dapat
digunakan jika hipotensi
refraktori terhadap
pemberian volume cairan
dan jika penggantian tiroid
tidak mempunyai waktu
untuk bekerja. Pantau
pasien secara cermat untuk
mengetahui disritmia letal.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Gangguan sekresi hormone tiroid berupa hipotiroid dapat mengakibatkan keadaan yang dapat
mengarah ke kematian jika tidak diberikan manajemen penatalaksanaan. Koma miksedema
merupakan suatu kondisi yang menggambarkan stadium hipotiroidisme yang paling ekstrim dan
berat, dimana pasien mengalami hipotermia dan tidak sadarkan diri. Koma miksedema bisa
disebabkan oleh penyebab primer berupa faktor kongenital dan penyebab sekunder berupa
resistens perifer terhadap hormone tiroid. Penyakit ini perlu penanganan segera karena
berhubungan dengan konsentrasi oksigen di otak yang mengakibatkan koma.

Sehingga salah satu bentuk penanganan segera yang diberikan kepada pasien koma miksedema
adalah berupa pemberian ventilasi mekanik yang digunakan untuk mengontrol hipoventilasi,
hiperkapnea dan henti napas. Pemberian cairan intravena normal salin hipertonik dan glukosa
juga dapat diberikan untuk mengoreksi pengenceran hiponetremia dan hipoglikemia. Pemberian
cairan ditambah terapi vasopressor diperlukan untuk mengoreksi hipotensi.

5.2 Saran

Sebagai seorang perawat sebaiknya kita harus memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
koma miksedemia dengan jelas agar dapat memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara
tepat, sehingga pelayanan yang diberikan sesuai dan dapat mengurangi serta memperbaiki
kondisi klien. Selain itu dengan pentingnya pengetahuan berupa teori bagi mahasiswa
keperawatan untuk dapat diaplikasikan dalam bentuk praktik keperawatan maka makalah Asuhan
keperawatan pada klien dengan koma miksedema ini dapat digunakan sebagai bahan referensi
untuk menambah pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

Brunner&Suddart. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2015). Buku Saku Patofisiologi ed: 3. Jakarta: EGC

Hudak, Carolyn. M. (2015). Keperawatan kritis: Pendekatan Holistik ed: 6 vol. 2. Jakarta: EGC

Jevon, Philip. (2014). Pemantauan Pasien Kritis: Seri Keterampilan Klinis Esensial untuk
Perawat ed: 2. Jakarta: ERLANGGA

Lang,F (2013). Teks dan atlas berwarna Pathofisisologi. Jakarta: EGC


Linda, dkk. (2014). Critical care nursing diagnosis and management. The PointSt. Louis :Mosby
Elsevier, New York.
Mary, Baradero. (2013). Klien Gangguan Endokrin. Jakarta: EGC

Morton, Patricia Gonce. (2014). Keperawatan kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta: EGC

Pearce, Evelyn. C. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. GRAMEDIA

Price, Sylvia A., Wilson, Lorrraine M.(2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses – proses
Penyakit.Jakarta:EGC
Saputra, Lyndon. (2015). Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang: BINARUPA AKSARA

Stillwell, Susan. B. (2013). Pedoman Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

You might also like