You are on page 1of 11

Indikasi pencitraan trauma ginjal

Panduan trauma urogenital terbaru menyatakan bahwa klinisi harus

melakukan tomografi terkomputerisasi (computed tomography (CT)) dengan

kontras (pencitraan langsung dan terlambat) pada semua pasien trauma tumpul

stabil dengan gejala hematuria jelas atau hematuria mikroskopik dengan tekanan

sistolik < 90 mmHg. Sebagai tambahan, mereka merekomendasikan modalitas ini

pada pasien stabil dengan mekanisme cedera dengan keterlibatan ginjal seperti

deselerasi cepat, fraktur iga, cedera abdomen tembus, dan/atau ekimosis panggul

(flank). Modalitas ini memungkinkan deteksi dan intervensi dini untuk cedera

ginjal.

Dua studi dijadikan dasar panduan di atas. Studi pertama menemukan

bahwa pada 1146 pasien suspek trauma ginjal, tidak ditemukan cedera ginjal yang

bermakna dari semua pasien dengan hematuria mikroskopik tanpa syok. Penelitian

kedua, McAninch dkk. menganalisis 2254 pasien dengan hematuria dan riwayat

cedera tumpul atau tembus pada ginjal dan menemukan bahwa kebanyakan trauma

ginjal terjadi akibat cedera tumpul (2023/2254 = 89.7%). Dari pasien yang

dilakukan pencitraan, hanya 3 pasien yang memiliki cedera di atas grade 1 (3/584

pasien dengan pencitraan = 0.5%). Namun, walau hanya sebagian kecil pasien

dengan cedera tembus ginjal (230/2254 = 10.2%), lebih banyak pasien mengalami

cedera ginjal bermakna (154/230 = 67%).


Modalitas pencitraan

Sebelumnya, urografi intravena (intravenous urography (IVU)) dan

arteriografi ginjal digunakan sebagai lini pertama pemeriksaan radiologis pada

pasien dengan hemodinamik yang stabil. Kini, CT scan heliks abdomen dan pelvis

dengan kontras intravena dan pencitraan terlambat (10 menit kemudian) merupakan

standar emas. Pencitraan langsung setelah kontras masuk dapat menggambarkan

ekstravasasi arteri, sedangkan pencitraan terlambat dapat menggambarkan cedera

pada sistem pengumpul ginjal. Selain itu, CT scan menilai patologi ginjal yang telah

ada dan menggambarkan cedera pada ginjal kontralateral serta organ sekitarnya.

Ketika CT scan awal tidak dimungkinkan akibat hemodinamik yang tidak

stabil, metode pencitraan alternatif harus dipertimbangkan. Ultrasound sering

digunakan di departemen emergensi karena kemampuan pencitraannya yang

mudah, cepat, kurangnya radiasi, dan noninvasif. Namun, ultrasound sangat

bergantung pada operatornya dan tidak sedetail CT scan. Hal ini dapat

menyebabkan luputnya diagnosis. Ultrasound dapat dijadikan pilihan pada pasien

dengan riwayat alergi kontras intravena.

IVU dianggap sebagai lini kedua pencitraan pada pasien stabil dengan

mekanisme luka tusuk atau tumpul tetapi bukan luka tembak. Pencitraan harus

meliputi nefrotomogram dan visualisasi ekskresi kontras ke pelvis ginjal dan ureter.

Bila terjadi perubahan pada kontur ginjal, terlihat ekstravasasi, pelvis dan/atau

ureter tidak tervisualisasi, maka perlu dipertimbangkan CT scan atau angiografi.

Pada studi IVU sebagai lini pertama untuk pasien dengan luka tusuk dekat ginjal

memiliki akurasi 96% untuk menegakkan ada tidaknya cedera.


Di ruang operasi, IVU satu-tembakan dapat dipertimbangkan ketika pasien

sedang menjalani laparotomi eksplorasi. IVU tersebut dapat digunakan untuk

melihat luasnya cedera ginjal dan mengkonfirmasi fungsi ginjal kontralateral.

Untuk melakukan IVU, harus diberikan kontras dengan bolus cepat dilanjutkan x-

ray abdomen 10 menit setelah injeksi. Visualisasi cedera dapat terganggu pada

hipotensi ekstrim, resusitasi cairan masif, dan/atau edema organ.

Arteriografi ginjal dapat menjadi tambahan untuk CT scan. Indikasi

arteriografi ginjal yaitu suspek trombosis arteri renal dan laserasi arteri segmental

atau pseudoaneurima dimana perlu dipertimbangkan metode intervensi radiologis.

MRI menjadi metode lain untuk pencitraan trauma ginjal, namun tidak ada

kelebihan khusus yang ditemukan dibandingkan CT scan. Namun, seperti

ultrasound, MRI dapat dipertimbangkan pada pasien alergi kontras intravena.

Tatalaksana

Tatalaksana konservatif (nonoperatif atau embolisasi)

Literatur telah mendukung tatalaksana nonoperatif atau ekspektatif dari

trauma ginjal untuk cedera tumpul ginjal, dan pada beberapa kasus untuk cedera

tembus ginjal. Panduan urotrauma AUA terbaru menganjurkan strategi noninvasif

pada pasien dengan hemodinamik stabil (tanda vital tidak menunjukkan syok dan

hematokrit serial stabil). Pada trauma tumpul parenkim ginjal, tatalaksana

konservatif diberikan pada cedera grade 1 dan grade 2. Pada grade 3 dan 4,

umumnya masih bisa diterapi konservatif kecuali bila hemodinamik tidak stabil.

Tatalaksana cedera parenkim grade 4 dan 5 masih kontroversial. Seriring waktu,


semakin banyak literatur menyatakan kesukesan tatalaksana nonoperatif pada kasus

tersebut.

Cedera ginjal grade 4 dan 5

Altman dkk. menerapi 6 dari 13 pasien dengan cedera parenkim grade 5

dengan hemodinamik stabil menggunakan metode konservatif. Pada kelompok

nonoperatif, didapatkan lama perawatan di layanan internsif yang lebih sedikit (4.3

versus 9.0), kebutuhan transfusi yang lebih rendah (2.7 versus 25.2) dan komplikasi

yang lebih sedikit selama perawatan di rumah sakit dibandingkan dengan kelompok

operatif (4/6, 66% versus 7/7, 100%). Walau tidak dilaporkan adanya kematian

pada kelompok nonoperatif, terdapat 3 kematian dan seorang pasien membutuhkan

laparotomi eksplorasi ulangan atas indikasi gangrene usus pada kelompok operatif.

Buckley dkk. mengkaji semua cedera ginjal grade 4 pada satu institusi dan

membandingkan hasilnya dengan cedera bukan ginjal yang serupa. Dari 153 pasien,

43 (28%) mengalami cedera ginjal terisolir. Tingkat nefrektomi sebesar 15%

(15/103) dengan rata-rata tingkat keselamatan ginjal 84% (128/153). Kebutuhan

transfusi darah secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan intervensi bedah

dibandingkan dengan intervensi konservatif (8.5 versus 2.6). nNamun, rata-rata

lama rawat sama pada kedua kelompok (11.8 versus 11.9).

Studi terkini oleh Van der Wilden dkk. pada 2013 mengevaluasi strategi

tatalaksana 206 pasien dengan cedera tumpul ginjal grade 4 atau 5 di pusat trauma

tingkat 1 dan tingkat 2 di New England. Dari 206 pasien, 154 (74.8%) ditatalaksana

nonoperatif (25 mendapat embolisasi angiografi). Ginjal terselamatkan pada 18/52


(34.6%) pasien dengan operasi darurat, 135/142 (95.1%) pada kelompok

nonoperatif, dan 4 dari 12 (33%) pada kelompok gagal nonoperatif. 10 dari 12

pasien gagal nonoperatif diakibatkan cedera ginjal. Namun, tidak satupun dari 10

pasien tersebut mengalami komplikasi akibat tatalaksana konservatif. Komplikasi

yang paling umum pada semua pasien adalah hematuria persisten atau rekuren

(26/206 (12.6%)) diikuti dengan urinoma (21/206 (10.2%)).

Trauma luka tembak (gunshot wound (GSW))

Hanya sedikit bukti mengenai pasien luka tembus ginjal yang ditatalaksana

secara konservatif. GSW umumnya menyebabkan derajat cedera lebih parah

dibandingkan cedera tumpul sehingga lebih banyak membutuhkan eksplorasi

bedah. Velmahos dkk. merilis studi retrospektif dari 52 pasien dengan luka tembak

ginjal. Eksplorasi bedah hanya dilakukan pada cedera yang mengenai renal hilum

atau adanya perdarahan berlanjut (32 dari 52 pasien). Pada pasien yang

dieksplorasi, 17 memerlukan nefrektomi atas indikasi trauma grade 4 dan 5. Hanya

2 pasien memiliki komplikasi dari cedera ginjalnya dan penulis menyimpulkan

bahwa luka tembak ginjal dengan hematoma stabil tidak memerlukan eksplorasi.

Voelzke dkk. mengevaluasi 201 pasien (206 ginjal) dengan luka tembak

ginjal pada satu institusi. 87 dari 210 (43.3%) mengalami syok dan 194 dari 201

(96.5%) mengalami cedera. Tatalaksana meliputi tirah baring (51/201), eksplorasi

saja (20/201), nefrektomi (30/201), atau rekonstruksi ginjal (105/201). Hanya 2

pasien yang ditatalaksana konservatif mengalami trauma grade 4. Rerata tingkat

keselamatan ginjal sebesar 85.4% (176/206 ginjal). Penulis menyimpulkan hal


tersebut akibat observasi, nefrektomi parsial, atau renorraphy. Dalam pembedahan,

dibutuhkan kendali dini dari pembuluh darah utama ginjal, debridement parenkim

sekitar sebelum rekonstruksi, dan tindakan rekonstruksi yang agresif demi

tercapainya tingkat keselamatan ginjal yang tinggi.

Trauma luka tusuk ginjal

Heyns dkk. merilis sebuah studi prospektif dari 54 pasien dengan luka tusuk

ginjal dan hematuria. Setelah ditegakkan tidak ada perdarahan berat, cedera

intraabdomen lain, atau kelainan ekskretori pada urogram, pasien dirandomisasi

untuk ditatalaksana operatif atau nonoperatif. Ditemukan 78% pasien pada

kelompok operatif memiliki cedera ringan tanpa laserasi intraabdomen lain dan

sebenarnya tidak membutuhkan operasi. Komplikasi pulmonal lebih tinggi pada

kelompok operatif (33% versus 4%) dan lama rawat lebih lama pada kelompok

operatif (9 hari versus 5 hari).

Studi lain mengevaluasi 95 pasien dengan luka tusuk ginjal. 35 pasien

(37%) dipilih untuk intervensi bedah karena memiliki tanda perdarahan berat,

cedera intraabdomen lain, atau kelainan pada IVU. 60 pasien (63%) menjalani

tatalaksana nonoperatif (tirah baring, antibiotik intravena selama 24 jam, dan

observasi). 20 dari 60 pasien kelompok nonoperatif (20%) memiliki komplikasi

ginjal berupa perdarahan sekunder dari fistula arteriovena (arteriovenous fistula

(AVF)) atau pseudoaneurisma. Tatalaksana komplikasi ini meliputi embolisasi

arteri segmental (n = 6), nefrektomi (n = 2), heminefrektomi (n = 1), ligasi AVF


dengan bedah terbuka (n = 1), dan resolusi spontan (n = 2). Rerata durasi rawat

lebih pendek (6.1 versus 9.9 hari).

Bjurlin dkk. merilis studi pada tahun 2011 yang mengevaluasi luka tembak

dan luka tusuk ginjal dengan hasil tatalaksana nonoperatif dibandingkan

renorrhaphy dan nefrektomi pada sebuah institusi (n = 97 pasien dengan 98 cedera

ginjal). Pada cedera tembus, 79 (83%) menderita luka tembak dan 16 (17%)

menderita luka tusuk. Tatalaksana nonoperatif dilakukan pada 40% pasien,

renorrhaphy pada 28% dan nefrektomi pada 22%. Tidak ada pasien luka tusuk

ginjal yang memerlukan nefrektomi. Cedera ginjal yang ditatalaksana konservatif

secara signifikan lebih sedikit membutuhkan transfusi (34% versus 95%), lama

rawat ICU yang lebih pendek (3 hari versus 9 hari), dan rerata lama rawat inap lebih

pendek (7.9 hari versus 18.1 hari). Tingkat mortalitas lebih rendah (0% versus 20%)

dibandingkan nefrektomi. Tidak terdapa perbedaan bermakna pada parameter

kelompok konservatif dan kelompok renorrhaphy.

Tatalaksana operatif

Selain penilaian status hemodinamik pasien, penting untuk mendiskusikan

tujuan tatalaksana dengan tim trauma. Panduan menyatakan bahwa intervensi

darurat dengan bedah eksplorasi atau angioembolisasi harus dilakukan pada “pasien

dengan hemodinamik tidak stabil dengan atau tanpa respons buruk resusitasi”.

Tujuannya yaitu mengendalikan perdarahan, memperbaiki ginjal sebisa mungkin,

dan melakukan drainase perirenal. Bila pasien sedang menjalani laparotomi

eksplorasi untuk cedera intraabdomen lain, pendekatan konservatif dapat diambil


untuk cedera ginjal karena perdarahan retroperitoneal dari ginjal biasanya terdapat

dalam fascia Gerota atau fascia perirenal.

Indikasi mutlak untuk eksplorasi ginjal yaitu perdarahan persisten yang

mengancam nyawa yang diyakini berasal dari ginjal dan avulsi pedikulus ginjal

(yang terlihat sebagai hematoma besar, luas, dan pulsatif). Indikasi relatif yaitu

laserasi besar dari pelvis ginjal atau avulsi dari ureteropelvic junction, adanya

cedera usus atau pankreas, kebocoran urin persisten, urinoma paskacedera atau

abses perinefrik dengan tatalaksana perkutan atau endoskopik yang gagal, kelainan

pada IVU satu-tembakan intraoperatif, rusaknya segmen parenkim dengan

kebocoran urin, trombosis sempurna arteri renal pada satu atau kedua ginjal, cedera

pembuluh darah ginjal setelah gagal tatalaksana angiografik, dan hipertensi

renovaskular. Secara umum, persiapan praoperasi yang inadekuat dengan trauma

tembus ginjal dan hematoma retroperitoneal harus dieksplorasi dan diperbaiki

dengan IVU satu-tembakan intraoperatif.

Perbaikan operatif diperlukan pada kasus ekstravasasi urin, laserasi

parenkim luas dengan >20% jaringan rusak, atau adanya cedera usus atau pankreas.

Cedera ginjal harus didrainase dengan baik pada kasus cedera usus atau pankreas.

Omentum dan jaringan lain akan memisahkan cedera urologi dari cedera

gastrointerstinal sehingga kebocoran urin akan terisolir dan meminimalisir

inflamasi. Pendekatan lain yaitu dengan meletakkan drainase eksternal dan

merencanakan tatalaksana lengkap di lain waktu. Kebocoran urin biasanya steril

dan risikonya tidak setinggi kontaminasi feses.


Luka tembus ginjal bilateral jarang terjadi. Schecter dkk. hanya mencatat 6

kasus dari 3529 (0.17%) pada suatu institusi. Menyelamatkan parenkim ginjal

merupakan prioritas utama karena setidaknya 25% massa parenkim atau 20% total

fungsi ginjal diperlukan untuk mencegah dialisis. Penulis menyatakan bahwa

eksplorasi ginjal diperlukan pada satu atau kedua ginjal bila terdapat perdarahan

bebas pada rongga peritoneum, hematoma perirenal yang luas, atau eksanguinasi

ke sistem pengumpul ginjal sehingga menyebabkan hematuria jelas pada kantung

kemih.

Komplikasi setelah trauma ginjal

Beberapa komplikasi dapat terjadi setelah tatalaksana awal pasien dengan

cedera ginjal. Studi oleh Starnes dkk. menyatakan rata-rata insidens komplikasi

terkait ginjal (kecuali gagal ginjal) sebesar 5.2%. Mereka menemukan bahwa

pasien yang menjalani renorrhaphy secara signifikan cenderung mengalami

komplikasi lokal terkait ginjal dibandingkan yang menjalani nefrektomi dan

tatalaksana konservatif. Karena itu, penulis menghimbau bila renorrhaphy

dilakukan, “tindakan harus dilakukan dengan teliti dengan penjahitan cedera kaliks

yang tepat dan hemostasis yang baik”.

Ekstravasasi urin persisten dengan pembentukan urinoma merupakan

komplikasi paling umum yang terjadi setelah trauma ginjal, terjadi pada 7% kasus.

Gejala klinis pada urinoma meliputi perburukan fungsi ginjal, nyeri panggul,

penurunan output urin, serta demam dan dapat dibuktikan dengan CT scan.
Kebanyakan (75%-85%) ekstravasasi urin akan hilang spontan, namun,

pada kasus persisten mungkin dibutuhkan insersi stent ureter atau drainase

perkutan. Panduan trauma terbaru menyarankan drainase urin pada komplikasi

seperti urinoma yang membesar, demam, peningkatan nyeri, ileus, infeksi, atau

fistula. Bila tidak didrainase, kumpulan cairan perinefrik (urin atau darah) dapat

terinfeksi sekunder dan menyebabkan abses. Sebagai langkah pertama, drainase

perkutan sering berhasil, namun, bila abses terjadi pada banyak tempat,

pengangkatan dengan bedah terbuka mungkin dibutuhkan.

Panduan merekomendasikan follow-up CT scan setelah 48 jam pada pasien

dengan cedera ginjal AAST grade 4-5 atau tanda klinis seperti demam, nyeri panggul

progresif, anemia, dan/atau distensi abdomen. Perdarahan terlambat biasanya

terjadi dalam beberapa hari pertama setelah cedera awal, tapi dapat terjadi beberapa

minggu setelah trauma ginjal. Hal ini biasanya berhubungan dengan kedalaman

luka tembus dari kokteks dan medulla ginjal. Seringkali, perdarahan terlambat

terjadi sekunder akibat AVF atau pseudoaneurisma. Perdarahan terlambat dapat

terjadi pada 25% cedera ginjal grade 3, 4, atau 5 yang ditatalaksana konservatif dan

pada kebanyakan kasus dapat diterapi sempurna dengan angioembolisasi.

Konsekuensi jangka panjang lainnya dari cedera ginjal adalah hipertensi.

Walau insidensnya terkait dengan keparahan cedera, sebuah laporan serial besar

melaporkan rerata tingkat hipertensi setelah trauma ginjal berkisar 5%. Tatalaksana

medis diperlukan setelah hipertensi renovaskular. Pada hipertensi refrakter dengan

terapi medis, bukti terkini mengenai revaskularisasi arteri renal dan dekortikasi
pada Page kidney telah diperdebatkan. Pada akhirnya, nefrektomi mungkin

diperlukan untuk mengendalikan hipertensi renovaskular refrakter berat.

Kesimpulan

Cedera ginjal relatif umum terjadi setelah urotrauma dan derajat

keparahannya tergantung mekanisme cederanya. Predileksi riwayat untuk

intervensi operatif pada kasus ini telah digantikan dengan pendekatan konservatif.

Sequele tatalaksana konservatif telah terbukti dapat diatasi dengan efek samping

jangka panjang yang minim. Karena itu, walau cedera ginjal berpotensi mengancam

nyawa, deteksi dini dan usaha dari tim yang terkoordinasi dapat mencegah

nefrektomi pada banyak kasus.

You might also like