You are on page 1of 3

KEPASTIAN Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018 akan ditetapkan dengan

Peraturan Gubernur (Pergub) atau tidak, tergantung pada hasil evaluasi dan keputusan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri). Pemerintah Aceh (Gubernur) telah menyerahkan Rancangan
Peraturan Gubernur (Ranpergub) APBA kepada Mendagri, konsekuensi tidak tercapai
persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRA untuk disetujui menjadi Rancangan Qanun
tentang APBA (Raqan APBA).

Gubernur dan DPRA juga telah dipanggil oleh Mendagri melalui Syarifuddin, Dirjen Bina
Keuangan Daerah Kemendagri untuk mendengar keterangan alasan Ranpergub tersebut. Namun,
DPRA menolak, beralasan belum disepakatinya Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Bahkan, kalau Mendagri setuju penetapan
dengan Pergub APBA, DPRA akan menggugat (judicial review) ke Mahkamah Agung (Serambi,
8/3/2018).

Terlepas, kebijakan legislatif dan eksekutif Aceh terhadap APBA 2018, akan ditetapkan dengan
qanun atau pergub, yang harus diingat perekonomian Aceh sangat tergantung APBA. Sehingga
jika terlambat ditetapkan, maka pembangunan dan ekonomi rakyat Aceh juga tidak akan
bergerak. Di samping itu, kebijakan apapun yang dilakukan baik dengan qanun atau pergub tidak
bisa dilaksanakan kalau hanya karena kehendak Gubernur atau DPRA semata. Jika pun tidak ada
persetujuan bersama ada landasan hukum yang mengaturnya.

Prosedur pergub
Jika merujuk landasan hukum terhadap prosedur pembahasan APBD/APBA diatur antara lain:
UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; PP No.58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah; PP No.12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; Permendagri No.13 Tahun 2006 jo Permendagri No.59
Tahun 2007 jo Permendagri No.21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
dan, Permendagri No.33 Tahun 2017 jo Permendagri No.134 Tahun 2017 tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun 2018.

Dalam konteks Aceh, karena tidak diatur khusus dan merujuk juga peraturan perundang-
undangan lainnya, sebagaimana Pasal 197 UUPA, maka pengaturan APBA relatif sama dengan
daerah-daerah lainnya. Berdasarkan Pasal 310-Pasal 312 UU No.23 Tahun 2014, Pasal 32-Pasal
53 PP No.58 Tahun 2005, Permendagri No.13 Tahun 2006 dan perubahannya, serta Lampiran IV
angka 1, Permendagri No.33 Tahun 2017, disebutkan tahapan penyusunan APBD, terdiri atas: 1)
Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) [akhir Mei]; 2) Penyusunan dan
kesepakatan KUA dan PPAS [akhir Juli]; 3) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
(RKA-SKPD/SKPA)[minggu ke-1 Agustus]; 4) Penyampaian dan Penyusunan Ranperda/Raqan
APBD [Oktober-November]; 5) Persetujuan bersama DPRD dan Gubernur (paling lambat
Desember); dan, 6) Menyampaikan Ranperda/Raqan APBD/APBA dan Ranpergub Penjabaran
APBD, kepada Mendagri [Desember]; dan, penetapan Ranperda/raqan APBD dan Ranpergub
Penjabaran APBD (paling lambat 31 Desember).

Menyikapi landasan hukum tahapan Ranperda APBD tersebut dihadapkan dengan pembahasan
Raqan APBAsangat jelas sudah terlambat. Sejatinya Raqan APBA sudah ditetapkan pada 31
Desember 2017, tetapi malah melewati tiga bulan. Apalagi, konsekuensi keterlambatan
penetapan APBA Pemerintahan Aceh dikenai sanksi administratif, tidak dibayarkan hak-hak
keuangan enam bulan. Sebagaimana, Pasal 312 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2014 dan Pasal 44
PP No.12 Tahun 2017.

Tidak ada pilihan lain, sebagaimana, Pasal 313 UU No.23 Tahun 2014; Pasal 46 PP No.58
Tahun 2005; Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 107A Permendagri No.13 Tahun 2006 dan
perubahannya; serta, Lampiran IV angka 12 Permendagri No.33 Tahun 2017, jika gubernur dan
DPRA tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 hari kerja sejak disampaikan
Raqan APBA kepada DPRA, maka gubernur menyusun Ranpergub APBA, paling tinggi sebesar
angka APBA sebelumnya untuk disahkan Mendagri. Lalu, mengapa DPRA akan mengajukan
judicial review? Alasannya, di samping tidak ada persetujuan bersama terhadap Raqan APBA,
juga belum disepakati KUA-PPAS (Serambi, 8/3/2018).

Peraturan tersebut juga tidak mengatur, berkaitan jika tidak adanya persetujuan bersama antara
gubernur dengan DPRD/DPRA terhadap KUA-PPAS serta implikasi hukumnya, kecuali
terhadap Ranperda APBD. Artinya, secara hukum apabila tidak diatur, bukan berarti dilarang
atau diperintah. Sehingga, di sini perlu kebijakan selama tidak kontradiksi dengan hukum, bisa
saja kebijakan KUA-PPAS ditetapkan oleh Gubernur setelah adanya pengesahan Mendagri.

Kalaupun Pergub APBA digugat ke MA, tentu MA akan menilai apakah pergub tersebut diatur
dan/atau kontradiksi dengan UU? Di samping itu, juga akan dilihat tujuan hukum, baik aspek
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatannya. Gugatan ini tidak akan mempengaruhi
pelaksanaan Pergub APBA, sampai adanya putusan hakim yang memutuskan sebaliknya.
Kalaupun, UU No.23 Tahun 2014 dan peraturan pelaksananya dianggap telah mengurangi
kewenangan legislatif (DPRD/DPRA), sebelum dibatalkan susbstansi tersebut niscaya dipatuhi.

Pelaksanaan dan pertanggungjawaban


Secara perundang-undangan, untuk mengatur dan mengeluarkan anggaran dengan Pergub
APBA, maka diprioritaskan kepada belanja wajib dan mengikat. Sebagaimana Pasal 46 PP
No.58 Tahun 2005, Pasal 106 dan Pasal 109 Permendagri No.13 Tahun 2006 dan perubahannya,
serta, Lampiran IV angka 12 huruf b Permendagri No.33 Tahun 2017. Belanja bersifat mengikat,
yaitu yang dibutuhkan secara terus-menerus dan harus dialokasikan dengan jumlah yang cukup
untuk keperluan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja
barang dan jasa. Sementara, belanja yang bersifat wajib, yaitu untuk terjamin kelangsungan
pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.

Sementara, pertanggungjawaban pelaksanaan Pergub APBA, dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan
Permendagri No.13 Tahun 2006 dan perubahannya, tidak menyebutkan hanya berlaku untuk
Perda/Qanun APBD/APBA, atau yang ditetapkan Pergub. Dengan demikian,
pertanggungjawaban pelaksanaan dapat diberlakukan juga pada Pergub APBA. Prosesnya, enam
bulan tahun anggaran berakhir, gubernur menyampaikan raqan pertanggungjawaban kepada
DPRA, dilampiri laporan keuangan yang diperiksa BPK. Dibahas oleh gubernur dan DPRA
untuk mendapat persetujuan bersama, paling lambat tujuh bulan tahun anggaran berakhir (Pasal
320 UU No.23 Tahun 2014).
Sama halnya dengan raqan APBA, dapat dimungkinkan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBA, tidak ada keputusan bersama antara Gubernur dan DPRA. Jika demikian gubenur berhak
menyusun dan menetapkan Pergub pertanggungjawaban pelaksanaan APBA, setelah
memperoleh pengesahan Mendagri. Namun jika dalam batas waktu 15 hari, Mendagri tidak
mengesahkan raqan tersebut, gubernur menetapkan menjadi Pergub (Pasal 323 UU No.23 Tahun
2014).

Artinya dalam konteks ini, kontroversi rencana akan dipergubkan pengaturan APBA 2018,
berdasarkan peraturan perundang-undangan sangat tergantung pada hasil evaluasi dan keputusan
Mendagri. Tentu saja, besar harapan baik kepada gubernur, DPRA, dan Mendagri agar lebih
bijak dalam melihat kondisi Aceh saat ini, dengan lebih mementingkan kepentingan rakyat. Bagi,
rakyat mungkin tidak mempersoalkan landasan hukum yang digunakan untuk penetapan APBA,
baik itu qanun atau pergub, esensinya adalah APBA dapat segera dilaksanakan. Semoga!

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Jika APBA Dipergubkan,
http://aceh.tribunnews.com/2018/03/13/jika-apba-dipergubkan.

Editor: bakri

You might also like