You are on page 1of 16

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit

1.1 Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya
akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya
dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan
Persalinan Normal, 2007).

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia
akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut
yang mungkin timbul. (Prawirohardjo: 2008).

Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur segera stelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan
adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini
dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti
pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia neonatorum ini dapat
terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera setelah lahir.
Banyak faktor yang menyebabkannya, diantaranya adanya penyakit pada ibu
sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu,
resiko tinggi kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan
solusio plasenta, atau juga faktor janin itu sendiri. ( Hidayat, 2005).
1.2 Klasifikasi
Tabel penilaian APGAR score

Kriteria Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Appearance seluruhnya biru warna kulit tubuh warna kulit tubuh , tangan ,
atau pucat normal merah muda , dan kaki
(warna kulit) tetapi kepala dan normal merah muda , tidak
ekstermitas kebiruan ada sianosis
(akrosianosis)

Pulse tidak teraba <100 kali/menit >100 kali/menit


(denyut
jantung)

Grimace tidak ada respons meringis/menangis meringis/bersin/batuk saat


terhadap stimulasi lemah ketika di stimulasi saluran napas
(respons stimulasi
refleks)

Activity lemah/tidak ada sedikit gerakan bergerak aktif


(tonus otot)

Respiration tidak ada Lemah, tidak teratur menangis kuat, pernapasan


baik dan teratur
(pernapasan)

Klasifikasi klinis APGAR SCORE :

1.2.1. Asfiksia berat (Nilai APGAR 0-3)


Pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung tidak ada atau < 100 x/
menit, tonus otot buruk/lemas, sianosis berat, tidak ada reaksi, respirasi
tidak ada.

1.2.2. Asfiksia ringan – sedang (Nilai APGAR 4 – 6)

Pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung < 100 / menit, tonus otot
kurang baik atau baik , sianosis (badan merah, anggota badan biru),
menangis. Respirasi lambat, tidak teratur.

1.2.3. Bayi normal atau sedikit asfiksia 7 – 9


Pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung > 100 / menit, tonus otot
baik/ pergerakan aktif , seluruh badan merah, menangis kuat. Respirasi
baik.

1.2.4 Bayi normal dengan nilai APGAR 10


Bayi dianggap sehat, tidak perlu tindakan istimewa.
1.3 Etiologi
1.3.1 Faktor ibu
 Preeklampsia dan eklampsia
 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
1.3.2 Faktor Tali Pusat
 Lilitan tali pusat
 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat
1.3.3 Faktor Bayi
 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
 Kelainan bawaan (kongenital)
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi


untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut
maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang
kemungkinan perlunya tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor
risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai
tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu siap
melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.

1.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala asfiksia dapat muncul mulai dari saat kehamilan hingga
kelahiran bayi yang berupa :

- DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
- Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
- Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ
lain
- Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
- Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada
otot-otot jantung atau sel-sel otak
- Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
- Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap
- Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
- Penurunan terhadap spinkters
- Pucat
(Depkes RI, 2007)

1.5 Patofisiologi
Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi
pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong.
Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika
asfiksia bertambah berat. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini
dimaksudkan untuk mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang
saat kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal,
aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea
primer.

Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena
dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas otomatis dimulai.
Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak
mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi
pernafasan. Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal.
Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan
terminal ini tidak akan terjadi.
Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di
bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat
bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan hentinya
nafas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan
asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal, jantungpun
berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama.

Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan


ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walaupun demikian, tekanan
darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan
tajam selama apnea terminal. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak
awitan asfiksia. Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat
dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk
apnea

1.6 Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :

- Edema otak & Perdarahan otak


Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak
pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik
otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat
menimbulkan perdarahan otak.

- Anuria atau oliguria


Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung
akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia padapembuluh darah
mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.

- Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran
gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan
kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak
tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

- Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan pada otak.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


- Analisis gas darah ( ph kurang dari 7,20 )
- Penilaian apgar scor meliputi ( warna kulit, usaha bernafas, tonus
otot )
- Pemeriksaan EEG dan CT scan jika sudah terjadi komplikasi
- Pengkajian spesifik

1.8 Penatalaksanaan
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru
lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru
lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi :

1. Memastikan saluran nafas terbuka :


a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
c. Bila perlu masukan ET (endotracheal tube) untuk memastikan
pernapasan terbuka
2. Memulai pernapasan :
a. Lakukan rangsangan taktil
Beri rangsangan taktil dengan menyentil atau menepuk telapak
kakiLakukan penggosokan punggung bayi secara cepat,mengusap atau
mengelus tubuh,tungkai dan kepala bayi.

b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif


3. Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada
atau bila perlu menggunakan obat-obatan
Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :

1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
b. Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan dan
intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2
tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai
asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan
pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini
disuntuikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis,
reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah
berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan
positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan
perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung
eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini
diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali
satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika
tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum
dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau
stenosis jalan nafas.

b. Asfiksia sedang
Berikan stimulasi agar timbul reflek pernapasan, bila dalam waktu 30-
60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera
dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasaldengan
aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala.
Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan
mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20
kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen.
Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan
mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak
dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan
positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari
ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut ke mulut,
sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan
dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas
spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika
setelah dilakukan berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung
atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera
dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera diberikan,
apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur,
meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat.

1.9 Pathway

II. Rencana Asuhan Klien dengan Diare


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
1) Biodata
Pasien (nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku/bangsa,
tanggal mrs, tanggal pengkajian, ruangan, diagnosa medis no.
rekam medik)
Identitas penanggung jawab (nama orang tua, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, umur)
2) Riwayat penyakit sekarang
Kesulitan bernafas akibat bersihan jalan nafas atau hipoksia janin
akibat otot pernapasan yang kurang optimal
3) Riwayat penyakit dahulu
Kaji riwayat kehamilan/persalinan (prenatal, natal, neonatal,
posnatal)
4) Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah dalam keluarga pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit lainnya.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


1) Pemeriksaan Umum
a) Kesadaran compos mentis
b) Nadi : 180X/menit pada menit, kemudian menurun sampai 120-
140X/menit
c) RR : 80X/menit pada menit, kemudian menurun sampai
40X/menit
d) Suhu : kurang dari 36,5 C

2) Pemeriksaan Fisik
Menurut Pantiawati (2010), pemeriksaan fisik meliputi:
a) Sistem sirkulasi/kardiovaskular
Frekuensi dan irama jantung rata-rata 120-160x/menit, bunyi
jantung (murmur/gallop), warna kulit bayi sianosis atau pucat,
pengisisan capilary refill (kurang dari 2-3 detik).
b) Sistem pernapasan
Bentuk dada barel atau cembung, penggunaan otot aksesoris,
cuping hidung, interkostal; frekuensi dan keteraturan pernapasan
rata-rata antara 40-60x/menit, bunyi pernapasan adalah stridor,
wheezing atau ronkhi.
c) Sistem gastrointestinal
Distensi abdomen (lingkar perut bertambah, kulit mengkilat),
peristaltik usus, muntah (jumlah, warna, konsistensi dan bau),
BAB (jumlah, warna, karakteristik, konsistensi dan bau), refleks
menelan dan mengisap yang lemah.
d) Sistem genitourinaria
Abnormalitas genitalia, hipospadia, urin (jumlah, warna, berat
jenis, dan PH).
e) Sistem neurologis dan musculoskeletal
Gerakan bayi, refleks moro, menghisap, mengenggam, plantar,
posisi atau sikap bayi fleksi, ekstensi, ukuran lingkar kepala
kurang dari 33 cm, respon pupil, tulang kartilago telinga belum
tumbuh dengan sempurna, lembut dan lunak.
f) Sistem thermogulasi (suhu)
Suhu kulit dan aksila, suhu lingkungan.
g) Sistem kulit
Keadaan kulit (warna, tanda iritasi, tanda lahir, lesi, pemasangan
infus), tekstur dan turgor kulit kering, halus, terkelupas.
h) Pemeriksaan fisik
Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram, panjang
badan sama dengan atau kurang dari 46 cm, lingkar kepala sama
dengan atau kurang dari 33 cm, lingkar dada sama dengan atau
kurang dari 30cm, lingkar lengan atas, lingkar perut, keadaan
rambut tipis, halus, lanugo pada punggung dan wajah, pada
wanita klitoris menonjol, sedangkan pada laki-laki skrotum
belum berkembang, tidak menggantung dan testis belum turun.,
nilai APGAR pada menit 1 dan ke 5, kulitkeriput.
3) ADL
a) Pola Nutrisi : reflek sucking lemah, volume lambung kurang,
daya absorbsi kurang atau lemah sehingga kebutuhan nutrisi
terganggu
b) Pola Istirahat tidur: terganggu oleh karena hipotermia
c) Pola Personal hygiene: tahap awal tidak dimandikan
d) Pola Aktivitas : gerakan kaki dan tangan lemas
e) Pola Eliminasi: BAB yang pertama kali keluar adalah
mekonium, produksi urin rendah
4) Pemeriksaan penunjang
Menurut Pantiawati (2010) Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan antara lain :
a) Pemeriksaan skor ballard merupakan penilaian yang
menggambarkan reflek dan maturitas fisik untuk menilai reflek
pada bayi tersebut untuk mengetahui apakah bayi itu prematuritas
atau maturitas
b) Tes kocok (shake test), dianjurkan untuk bayi kurang bulan
merupakan tes pada ibu yang melahirkan bayi dengan berat
kurang yang lupa mens terakhirnya.
c) Darah rutin, glokoa darah, kalau perlu dan tersedia faslitas
diperiksa kadar elektrolit dan analisa gas darah.
d) Foto dada ataupun babygram merupakan foto rontgen untuk
melihat bayi lahir tersebut diperlukan pada bayi lahir dengan umur
kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau dapat atau
diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Ketidakefektifan pola napas
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif
Dispnea
Napas pendek
Objektif
Perubahan ekskursi dada
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Napas dalam (VT bayi 6-8 ml/kg)
Peningkatan diameter anterior-posterior
Napas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekspirasi memanjang
Pernapasan bibir mencucu
Kecepatan respirasi bayi: <25 atau >60
Takipnea
Rasio waktu
Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernapas
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Posisi tubuh
Penurunan energi
Hiperventilasi
Kerusakan muskuloskeletal
Imaturitas neurologis
Disfungsi neuromuskular
Cedera medula spinalis

Diagnosa 2: Hipotermia
2.2.4 Definisi
Suhu tubuh dibawah rentang normal
2.2.5 Batasan karakteristik
Objektif
Kulit dingin
Bantalan kuku sianosis
Pucat
Hipertensi
Merinding
Penurunan suhu tubuh dibawah rentang normal
Menggigil
Pengisian ulang kapiler lambat
Takikardia
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Kerusakan hipotalamus
Penurunan laju metabolik
Penggunaan pakaian tidak mencukupi
Malnutrisi
Terpajan lingkungan yang dingin atau kedinginan
Berat badan lahir rendah
Ketidakmatangan sistem pengaturan suhu neonatus

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Ketidakefektifan pola napas
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
Pola napas menjadi efektif
Kriteria hasil:
- RR 30-60 x/mnt
- Sianosis (-)
- Sesak (-)
- Ronchi (-)
- Whezing (-)
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi Keperawatan Rasional
Observasi pola nafas, frekuensi dan Membantu dalam membedakan periode
bunyi nafas perputaran pernapasan normal dari
serangan apnetik sejati,
Observasi adanya sianosis Sianosis dapat menandakan terjadinya
kekurangan oksigen dalam sel darah
merah
Tempatkan kepala pada posisi Posisi ini memudahkan pernapasan dan
hiperekstensi menurunkan episode apnea, khususnya
bila ditemukan adanya hipoksia,
asidosis metabolik atau hiperkapnea
Ajarkan keluarga tentang pengaturan Posisi ini memudahkan pernapasan dan
posisi untuk bayi yang mengalami menurunkan episode apnea, khususnya
ketidakefektifan pola napas bila ditemukan adanya hipoksia,
asidosis metabolik atau hiperkapnea
Insruksikan keluarga bahwa harus Mencegah terjadinya komplikasi akibat
memberitahukan perawat pada saat ketidakefektifan pola napas
terjadi ketidakefektifan pola napas
Monitor dengan teliti hasil pemeriksaan Hipoksia, asidosis netabolik,
gas darah hiperkapnea, hipoglikemia,
hipokalsemia dan sepsis memperberat
serangan apnetik
Kolaborasi pemberian O2 Perbaikan kadar oksigen dan
karbondioksida dapat meningkatkan
funsi pernapasan

Diagnosa 2: Hipotermia
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Suhu tubuh dalam rentang normal
Kriteria hasil:
- Suhu 36-37C.
- Kulit hangat.
- Sianosis (-)
- Ekstremitas hangat
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
Intervensi Keperawatan Rasional
Observasi tanda-tanda vital Hipotermia membuat bayi cenderung
merasa stres karena dingin, penggunaan
simpanan lemak tidak dapat diperbaruai
bila ada dan penurunan sensivitas untuk
meningkatkan kadar CO2 atau
penurunan kadar O2.
Tempatkan bayi pada incubator Mempertahankan lingkungan
termonetral, membantu mencegah stres
karena dingin
Awasi dan atur kontrol temperatur Bayi dengan berat badan berbeda
dalam incubator sesuai kebutuhan membutuhkan suhu dalam inkubator
yang berbeda
Monitor tanda-tanda hipertermi Tanda-tanda hipertermi ini dapat
berlanjut pada kerusakan otak bila tidak
teratasi.
Hindari bayi dari pengaruh yang dapat Lingkungan yang dingin dapat
menurunkan suhu tubuh menyebabkan bayi kedinginan
Ganti pakaian setiap basah Pakaian basah dapat menyebabkan bayi
kedinginan
Ajarkan keluarga teknik kangaroo Bayi mendapat kehangatan pada saat
mother care dilakukan KMC serta menjalin bonding
antara ibu dan bayi

III. Daftar Pustaka


Pantiawati, I. (2010). Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Pudjiadi, A. H.et al. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia.Jakarta: IDAI.
Prawirohardjo, S. (2006). Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :
YBP –SP.
Prawirohardjo,S. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBP –SP
Proverawati, A. dan Ismawati, C. (2010). Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Wiknjosastro, H. (2006). Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga. Jakarta : YBP-SP.
Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC.

Banjarmasin, Desember 2016


Preseptor akademik Preseptor klinik

(Muhsinin, Ns.,M.Kep.,Sp.Anak) (, S.Kep., Ns)

You might also like