You are on page 1of 27

MINICEX ILMU BEDAH

KISTA TERINFEKSI LOBUS KANAN HATI + CHOLECYSTOLITHIASIS

PEMBIMBING :
Dr. Selonan Susang Obeng, SpB-KBD, FINACS

Disusun oleh:

Joshua Rinaldo Lugito (1215079)

Ersalina Tresnawati Naryanto (1215098)

Alfredo (1215175)

Dilanny Puspita Sari (1215187)

Regitha Martha (1215212)

SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

RUMAH SAKIT IMMANUEL

BANDUNG

2018
PENDAHULUAN

Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat
duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi
struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa
epitel.
Kista dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwarna namun
dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol sebagaihasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista
yang sesungguhnya harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini merupakan
timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini
biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif.
Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama pemeriksaan gejala abdominal yang
tidak berhubungan dengan kista. Dalam banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter
maupun multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini juga dapat diasosiasikan
sebagai proses patologis yang cukup serius.
IDENTITAS PASIEN MINI-CEX
• Nama : Ny. Tan Po Ing
• Usia : 53 Tahun 07 Bulan (03 Juli 1964)
• Jenis Kelamin : Perempuan
• No. RM : 01.356.207
• Alamat : Kompleks Permata Indah H 16, Caringin, Bandung
• Tanggal Masuk : 4 Februari 2018 (IGD)
• Agama : Kristen
• DPJP : dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B-KBD, FINACS
• Ruangan/bed : Alkema / 505

Anamnesis

 KU : nyeri pada perut sebelah kanan


 Riwayat perjalanan penyakit : Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri pada perut
sebelah kanan sejak 2 minggu yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus, tidak terlalu sakit
namun lebih terasa terutama bila batuk atau berjalan. Saat ini nyeri lebih dirasakan ke
arah pinggang kanan. Keluhan nyeri disertai mual , muntah, dan demam naik turun,
namun beberapa hari terakhir sudah tidak demam. Pasien mengeluh nafsu makan
menurun, dan sering merasa sesak, dan sering merasa cepat lelah. Pasien BAB dan BAK
dalam batas normal.

• Usaha Berobat :-
• RiwayatAlergi : tidak ada alergi obat
• Riwayat Kebiasaan :-
• Riwayat Penyakit Dahulu :
• DM tipe 2, tidak rutin berobat, Hipertensi : -, kelainan darah -
• Pada bulan Januari dirawat karena DM Tipe 2 (gula darah 547 mg/dl) dan efusi
pleura bilateral, sudah diaspirasi
• Riwayat operasi : -
Pemeriksaan Fisik
KeadaanUmum : compos mentis
• TB/BB : 150 cm / 47,5 kg
• BMI : 21,11 kg/mm2 (normal)
• TTV : TD : 120 / 80 mmHg
N : 102 kali/menit, Reguler, Equal, Isi Cukup
R : 20 x / menit
S : 36°C
SaO2 : 93%
• Kepala: Mata: anemis, ikterik -
• Leher : tidak ada kelainan
• Thorax : tidak ada kelainan
• Abdomen :
- Pre op : cembung, soepel, Bising usus (+) normal, defance muskular (-)
- Post op :
• Extremitas : ikterik, akral hangat, CRT < 2s

Hasil Lab RSI 04/02/2017 pukul 18.11


Hematologi
 Hb : 9,8 g/dL
 Ht : 33 %
 L : 14,940 /mm3
 Tc : 729.000 /mm3
 E : 3,9 juta /mm3
 Nilai- nilai MC :
o MCV : 85 fl
o MCHC : 25 pg/mL
o MCH : 30 g/ dL
 Waktu perdarahan : 1 menit
 Waktu pembekuan: 7 menit
Kimia Klinik
GDS : 58 mg/dL
Na : 136 mEq/L
K : 3,3 mEq/L
Kreatinin : 0,96 mg/dL
e GFR : 67.52 ml/min/ 1,73 m2
Ureum : 15.2 mg/dL
SGOT/SGPT : 19 / 13 U/L
Protein total : 6.9 g/dL
Albumin : 2.4 g/dL
Globulin : 4.5 g/dL
Bilirubin
Total : 0.34 mg/dL
Direk : 0.19 mg/dL
Indirek : 0.15 mg/dL

Faal Hemostasis
Protombin time: 20.3 detik
INR : 1.75
APTT : 38.6 detik

Photo Thoraks PA tgl 24 Januari 2018 :


Tampakefusi pleura kanan

Kesan CT-scan menunjukkan :

 Hepatomegaly ringan dengan permukaan agak berbenjol ke atas di hepar lobus kanan
bagian superolateral kanan segmen 8 sehingga tampak bulging ke atas dan perifer,
densitas inhomogen, post pemberian kontras gambaran nodul besar dengan dinding
agak menebal, gambaran ring enhancement uk 13,52 x 8,04 x 12,40 cm.
 Ureteropelvocalyektasi kanan proximal ec ureterolithiasis
 Cholelithiasis disertai cholecystitis
 Efusi pleura kanan
 Meteorismus curiga colitis

Gambaran USG tampak adanya batu di kandung empedu, tampak kista di hepar lobus dextra.

Diagnosis Masuk (IGD) : Kista Hepar + Cholelithiasis + DM Tipe 2


Diagnosis pre-op : Infected Simple Liver Cyst + Cholecystolithiasis
Tindakan operasi 05/02/2018 (pukul 13.23) :

1. Laparotomi adhesiolysis
2. Cholecystectomy
3. Debridement
4. Deroofing abses kista liver lobus kanan
Diagnosis post-op: Ruptur Abses Kista simpleks Liver Segmen 6-7 + cholecystolithiasis multiple
+ efusi pleura kanan + DM Tipe 2

Obat yang diberikan


• Infus futrolit 1500 cc untuk 24 jam
• Terapi oral :
• Cystone 2 x 2 tab
• Terapi Injeksi:

• Cernevit 1 amp x 1
• Ceftriaxone 1 gr x 1
• Tricodazole 500 mg x 3
• Pantoprazole 40 mg x2
• Metoclopramide HCl 3x1
• Lantus 1 x 14 UI
• Novorapid 3 x 6 UI
Anatomi Hepar

Hubungan dengan diafragma :

- Superior : dari kanan ke kiri, pleura dan paru kanan, perikardium dan jantung, pleura dan
paru kiri
- Posterior : berhubungan dengan diafragma dan rusuk bawah. Meliputi sebagian besar
bare area dan sulkus dari vena cava inferior
- Anterior : berhubungan dengan diafragma dan batas rusuk, prosesus xyphoideus, dinding
abdomen dan rusuk 6-10 di sebelah kanan
- Bagian kanan yang merupakan lanjutan ke lateral dari bagian posterior, berhubungan
dengan diafragma dan rusuk 7-10

Pada bagian anterior, batas inferior dari hepar ditandai dengan 2 lekukan di sebelah kanan bidang
median. Lekukan ini adalah lekukan dalam yang menampung ligamentum teres dan lekukan
dangkal yang memberikan ruang bagi kantong empedu.

Hubungan dengan peritoneum


Aliran empedu intrahepatik

Contoh variasi

Vaskularisasi

Hepar menerima darah dari dua sumber yaitu arteri hepatica dan vena porta. Arteri hepatika
menyediakan 25% suplai darah dan 50% suplai oksigen, sedangkan vena porta menyediakan
75% suplai darah dan 50% oksigen.
Perdarahan arteri hepatica

Perdarahan vena porta


Perdarahan vena hepatica

Traktus Biliaris Ekstra Hepatik

Variasi dari duktus hepatikus

Selain itu dapat terjadi variasi pertemuan cystohepatik dan juga dapat ditemukan duktus
hepatikus asesoris.

Duktus cystikus berdiameter sekitar 3 mm dan sepanjang 2-4 cm. Hal ini perlu diperhatikan agar
tidak terlewat hingga duktus choledocus. Pada keadaan langka, kantong empedu langsung
bermuara ke duktus choledocus karena tidak adanya duktus cysticus
Duktus choledocus dimulai dari pertemuan duktus cystikus dan duktus hepatikus komunis dan
berakhir pada papilla Vater di bagian kedua duodenum. Saluran ini memiliki panjang antara 5-16
cm.

Terdapat segitiga hepatocystic yang terdiri dari bagian proksimal dari kantong empedu, duktus
cystikus di sebelah kanan, duktus hepatikus komunis di kiri, dan batas dari lobus kanan hepar
pada superior.

Vaskularisasi

Kantong empedu diperdarahi oleh arteri cystica


Saluran empedu diperdarahi oleh cabang dari arteri pankreaticoduodenal posterior superior,
retroduodenal, dan arteri hepatica kanan dan kiri.

Aliran vena melalui vena cystica

Diagnosis Banding

Kista simpleks

Benign developmental hepatic cyst

von Meyenburg complex

Caroli Disease

Adult policystic liver disease

Kista kompleks

Neoplasma

Billiary cystadenoma / cystadenocarcinoma

Cystic metastases

Hepatocellular carcinoma

Cavernous hemangioma

Embryonal sarcoma

Inflamasi / infeksi

Abscess

Pyogenic

Amebic

Echinococcal cyst

Post traumatik dan lainnya

Pseudocyst

Hematoma

Biloma
Kista infeksi / hemoragik

I. DEFINISI
Istilah kista berasal dari perkataan Yunani yang berarti kantong, dimana merupakan suatu
abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah
rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian
kista timbul dari sisa-sisa epithelial ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa
epitel.

II. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologi kista hepar terbagi menjasi :
a. Kista hepar non parasitic (Kista Neoplastik) : dimana kista hepar non parasitic
paling sering merupakan kelainan yang bersifat kongenital ataupun traumatic.

b. Kista hepar parasitic (Kista Hedatid) : disebabkan oleh infestasi parasite


Echinoccus granulosus

III. EPIDEMIOLOGI
Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun negara maju seperti
negara Mediterania, Amerika Selatan, Australia dan New Zealand. Insidens penyakit kista
hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220 kasus per 100. 000 orang penduduk. Tidak
terdapat predileksi dari jenis kelamin namun biasanya kista hidatid terjadi pada umur antara 30-
40 tahun.(3,7)
Insidens kista hepar non-parasitik yang pasti tidak diketahui karena biasanya penderita
asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi komplikasi. Namun diperkirakan
kista hepar diderita oleh 5% dari populasi umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah penderita
ini mengalami simptom secara klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak sengaja pada
pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laparotomi untuk kelainan lain yang
dialami penderita, yang tidak berkaitan dengan gangguan fungsi hepar.(3,10)
Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding laki-laki, dengan
perbandingan 4-10:1, pada rentang usia 50-60 tahun. Gejala klinis terjadi akibat pembesaran
secara progresif kista, atau karena komplikasi yang timbul akibat kista tersebut. Komplikasi yang
bisa terjadi di antaranya perdarahan intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke
arah proses malignansi, kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan ikterus
obstruktif, kista ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan kista.(3,7,11)

IV. KLASIFIKASI KISTA HEPAR

Kista intrahepatik kongenital


Parenkimal
Soliter
Penyakit polikistik hepar
Anak
Dewasa
Fibrosis hepatis kongenital
Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Caroli’s disease)
Kista intrahepatik didapat (acquired)
Inflamatorik
Piogenik
Amebik
Echinococcal (hydatid)
Neoplastik
Benigna
Maligna
Traumatik
Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar(12)

Kista Intrahepatik Kongenital


Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau multilokular.
Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15% kasus, 1 % pada pemeriksaan
CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik hepar lebih banyak ditemukan pada wanita
usia 40 hingga 60 tahun.(7)
Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi kista berupa
material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal yang rendah – tidak seperti
kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya cairan kista ini berwarna kuning
kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim yang nekrosis. Penyakit polikistik hepar
menunjukkan gambaran honeycomb appearance dengan kavitas yang multipel, dengan lesi yang
tersebar merata di seluruh hepar.(7)
Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak bergejala.
Sebuah massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan yang paling sering, dan
ketika gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan penekanan pada organ yang berdekatan.
Nyeri abdominal yang akut dapat mengikuti komplikasi torsi, hemoragik intrakistik, atau
rupturintraperitoneal. Pemeriksaan klinis dapat mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat
teraba. Ikterus jarang ditemukan. Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas. CT
scan, USG, dan arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi intrahepatik dari massa,
dan peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis.(12)
Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya tidak
membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik dapat ditangani
secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik, atau torsi. Pasien dengan kista
hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui percutaneus cathether drainage yang dikontrol
secara radiologik, pada waktu yang bersamaan dengan injeksi cairan yang menyebabkan
sklerosis seperti alkohol. Prosedur ini sering dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi
permanen diperoleh melalui operasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista secara luas
dan dihubungkan kembali seperti halnya parenkim hepar yang normal. Prosedur ini dapat
dilakukan secara laparoskopik. Pada kasus hemoragik intrakistik yang signifikan, cystectomy
mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke intestinum mungkin dibutuhkan hanya bila terdapat
erosi di dalam duktus hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali.(7)

Simple Liver Cyst


Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang bervariasi,
permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering ditemukan pada lobus kanan.
Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam menyerupai epitel duktus biliaris, lapisan
tengah yang berupa jaringan ikat padat, dan lapisan luar yang mengandung jaringan ikat longgar
dan duktus biliaris serta pembuluh darah yang terkompresi.(3)
Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai akibat dari
hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat mengenai semua usia. 90%
dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran yang bervariasi. Sebuah kista yang
mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan pada pasien berusia 2 tahun.(1)
Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara congenital.
Kista ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi progresif mikrohemartroma
bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis yang paling diterima adalah kegagalan
mikrohemartroma untuk membentuk hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas,
cairan yang terkandung di dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai
plasma. Empedu, amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan
secara terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan dari
simple cyst tidak bersifat kuratif.(10)
Apabila ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungan dengan
penekanan organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagian besar kista soliter
tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan, ekstirpasi seluruh kista
dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari bagian dindingnya saja yang dilakukan.
Lobektomi hepatik jarang dilakukan.(1,2)

Policystic Liver Disease


Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar individu
dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya disubklasifikasikan
sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki perbedaan pada pola pewarisan, status
penampilan dan konsekuensi klinis. Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif
autosomal dengan 4 subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua
varian dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan absolut dari
duktus biliaris intrahepatik.(12)
Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic disease of the kidneys
and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik yang berukuran mikroskopik dapat
terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi portal, atau hipertensi arteri renalis dan
gangguan renal yang progresif.(1)
Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan autosomal.
Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat tampak pola yang berbeda dari
penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat ditemukan
pada lien, pancreas, ovarium, paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring usia dan lebih
sering pada wanita dibandingkan pria.(1)
PCLD pada dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan autosomal
dominant polycystic kidney disease (AD-PKD). Pada pasien ditemukan mutasi dari gen PKD1
dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD ditemukan tanpa adanya PKD. Pada dengan
PKD, kista ginjal biasanya lebih dominan dibandingkan kista pada hepar. PKD sering
menyebabkan gagal ginjal, sedangkan kista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan
kegagalan fungsi hati.(10)
Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar sering diasosiasikan
dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar diasosiasikan dengan polikistik ginjal.
Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai penyebab yang jarang dari hipertensi portal, dan
juga diasosiasikan dengan atresia duktus biliaris, kolangitis, dan hemangioma.Pada pasien
dengan gejala yang signifikan terkait efek massa dari polikistik hepar, terapi paliatif dapat
dicapai dengan reseksi non-anatomik dan fenestrasi yang lebar pada kista yang lebih besar.(7)
Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada penyakit ginjal yang
menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan manifestasi hipertensi portal jarang ditemukan.
Tingkat mortalitas dari kista non-parasitik yang ditangani secara operatif mendekati angka nol.(7)

Kista Intrahepatik Acquired (didapat)

Echinococcal/Kista Hydatid
Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah peternakan biri-biri.
Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia, dan New Zealand, serta negara di
Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang
dapat asimptomatis selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan
pembedahan, atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang
multipel dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista echinococcal
ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus kanan.(7)
Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh perlahan dan
tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki dua lapisan yang terdiri atas
ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular yang berfungsi proteksi, dan sebuah
endokista, yang merupakan bagian yang aktif dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan
bening yang mengisi kista dan memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand)
dan kista anakan. Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter
cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya.(12)
Pasien dengan kista multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi biasanya tidak
bergejala. Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di sekitarnya. Nyeri tumpul
abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan (80%). Ikterus, demam, pruritus, nausea,
dan vomitus ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. Fungsi hepar ditemukan abnormal dan
pembesaran hepar yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan
eosinofilia hanya ditemukan pada 5-15% individu yang terinfeksi.(12)
Komplikasi dari kista hidatid di antaranya(7,12) :
 Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
 Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan pembentukan kista
baru pada rongga peritoneal.
 Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
 Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.

Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani secara
laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen kista ini meliputi(12) :
 Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan kista.
 Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai sebab cairan
dalam kista biasanya bertekanan rendah.
 Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik maupun
alkohol.
 Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di antara lapisan
germinal dan adventitia.
 Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila cukup ekstensif,
dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan omentum.

Kista Neoplastik
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer atau
kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik dari organ lain,
seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik tumor hepar solid primer atau
metastatik.(11)
Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih sering terjadi pada
wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul dan rasa penuh di perut
bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan
sebuah massa kistik dengan dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa
solid yang berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen
maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan menunjukkan SOL yang
avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang disebabkan oleh proyeksi dinding tumor.
Tumor ini tidak berhubungan dengan duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak
memiliki nilai diagnostik.(11)
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran radiografi berupa
kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala. Operasi yang kurang defenitif
akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atauinfeksi, hingga dapat bertransformasi
menjadi malignansi. Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya
dan memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya atau
penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan eksisi yang lebih
lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus dipertimbangkan. Tumor ini,
seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi malignansi yang cukup rendah dan
jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.(11)

Kista Traumatik
Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atauintraparenkimal
yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu sendiri dapat diingat maupun
tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul
maupun tajam. Kista traumatic mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik.
Lapisan epithelial yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah
pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat dibedakan dari kista
kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama. Pembedahan dianjurkan bagi pasien
yang mengeluhkan gejala. Pada saat laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari
kista congenital dengan adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista
yang simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian dinding
kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus dilakukan untuk
meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik setelahnya. Walaupun kista traumatic
dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik. (3,11)

V. PATOGENESIS

Penyebab munculnya kista hepar masih belum diketahui, tapi diduga bersifat kongenital.
Dinding kista merupakan epitel bilier, dan berasal dari dilatasi progresif dari microhamartoma
bilier. Dinding kista terus menghasilkan cairan yang menyerupai plasma, dan mengandung
empeedu, amilase dan sel darah putih.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
Fungsi hepar bisa abnormal, namun bilirubin, prothrombin time (PT), dan activated
partiaal thromboplastin time (aPTT) biasanya normal
2. Imaging
USG merupakan pemeriksaan yang paling mudah didapat, tidak invasif, dan memiliki
sensitivitas tinggi. CT Scan juga sangat sensitif dan mudah untuk di interpretasi, terutama
untuk rencana terapi. MRI, nuclear medicine scanning, dan hepatic angiography tervatas
untuk evaluasi kista hepar.
Kista hepar simple memiliki gambaran berupa dinding kista tipis dengan interior
berdensitas rendah dan homogen.
3. Histologi
Pemeriksaan histologi sebaiknya dilakukan untuk melihat apakah terdapat neoplasma
seperti cystadenoma. Pada kista hepar simple, dinding kista berupa selapis epitel kuboid
sederhana.
VII. PENATALAKSANAAN

Pengobatan penyakit liver polikistik atau kista soliter nonparasitic diindikasikan hanya pada
pasien dengan gejala. Pada pasien asimtomatik tidak memerlukan terapi, karena risiko
berkembangnya komplikasi dan berhubungan dengan lesi lebih rendah daripada risiko
pengobatan.

Pasien dengan kista hidatik harus diobati untuk mencegah komplikasi yg berhubungan dengan
pertumbuhan dan rupturnya kista. Bila kista dalam pemeriksaan imaging meneunjukkan
abnormalitas yang mensugestikan tumor kistik, reseksi diindikasikan. Abcess harus diobatu pada
waktu identifikasi, tapi drainasi percutan dan antibiotik biasanya merupakan terapi adekuat.

Kontraindikasi dari pengobatan kista liver biasanya karena penyakit penyerta ygn meningkatkan
risiko operasi. Khususnya pada penyakit jantung kongesti dan gagal hati dengan hipertensi portal
dan ascites dapat meningkatkan risiko operasi. Gejala yang mensugestikan angina atau transient
ischemic attack harus dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik preoperative untuk
mengidentifikasi stenosis koroner atau arteri karotid.

ABSES HEPAR

Pada pasien abses hepar biasanya segera dimulai antibiotik atau amebisid. Bila abcess kecil
pasien dapat bereaksi hanya dengna medikasi. Pasien akan memerlukan drainase perkutan untuk
eradikasi.

Biasanya abses dapat ditatalaksana secara adekuat dengan antibiotik dan drainase percutan. Bila
abcess bertahan walaupun dengan usaha drainase percutan, drainase surgikal diindikasikan.
Indikasi surgikal termasuk kista besar dengan risiko ruptur dan abcess yang secara anatomi tidak
dapat dilakukan pengobatan perkutan.

1. Antibiotik
Kombinasi dua atau lebih antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan negatif,
diberikan secara intravena. Dapat diberikan dalam 2-3 minggu berdasarkan respons
individual. Metronidazol dapat ditambahkan karena selalu ada posibilitas bakteroides
atau organisme anaerobic.
2. Aspirasi tertutup
Biasanya aspirasi dituntun USG (USG guided) merupakan modalitas untuk abcess kecil.
Beberapa memerlukan aspiras multiple. Keuntungan tidak saja posibilitas evakuasi
lengkap untuk aksi antibiotik yang lebih baik namun juga membantu dalam penggunaan
antibiotik berdasar kultur. Aspirasi dihindari pada ascitis, koagulopati, dan dekatnya
abscess dengan struktur vital.
3. Drainase Percutaneus Kateter
Merupakan opsi yang lebih baik untuk abcess besar walau ratio sukses untuk kedua
teknik antara 60-90% pada penelitian yang berbeda. Mehzir pada penelitian dengan 58
pasien memerlukan operasi terbuka hanya pd 5 pasien, namun melaksanan drainase
perkutan pada 38 kasus.
Merupakan cara ygn menguntungkan sejak adanya posibilitas dengan akumulasi ulang
pus setelah aspirasi tertutup dan mungkin dibutuuhkan lebih dari 1 usaha bila hanya
aspirasi yang dilakukan
Pada prospektif 2003, uji coba acak apda pasien yang didahului dengan antibiotik,
dilanjutkan dengan aspirasi jarum atau drainase kateter perkutan dan tidak ada hasil yang
signifikan antara kedua penelitian, namun kedua metode mempunyai efektivitas yang
sama dalam tidak di[erlkannya intervensi operatif.
Pang et al dalam studi retrospektif juga menkonklusikan bahwa antibiotik IV dan
drainase merupakan modalitas terbaik.
4. Drainase surgikal
Drainase telah dipindahkan dari ekstraperitoneal ke intraperitoneal dengan adanya
antibiotik yang baik. Indikasi adalah pada terapi medis gagal, aspirasi atau drainase
kateter perkutan yang gagal, dan abses pada lobus kiri.
Pendekatan dapat terbuka atau laparoskopik. Hasil teraputik sama dan patologi biliar
dapat sekaligus diperiksa.

PROSEDUR BEDAH

Secara umumnya tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan epithelial
kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Secara ideal,
kista didiseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista
akan kollaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenalpasti dan mengeluarkan lapisan epitel.

1. Teknik PAIR (puncture, aspiration, injection, reat piration).


Teknik PAIR untok penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh USG atau CT
scan yang melibatkan aspirasi isi kisia via sate kanula yang khusus, diikuti dengan injeksi
agen yang bersifat skolisidal selama 15 menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses
ini diulang hingga hasil aprisasi jemih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium
klorida yang isotonic. Tindakan ini harus dibarengi dengan pengobatan perioperatif
dengan obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan.
2. Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau "unroofing" kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian dari dinding
kista yang melewati hingga permukaan hepar. Eksisi seperti ini menghasilkan permukaan
kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal hingga cairan yang disekresi
oleh epitel yang masih tertinggal merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia
diabsorbsi. Sisa epitel dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon
atau elektrokauter. Sebelum ini penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan
laparotomi (open unroofing) namun seiring dengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa
dilakukan secara laparoskopik. Terdapat juga berapa modifikasi dari taknik
marsuapialisasi yang dilaporkan seperti teknik open partial cystectomy yang dilaporkan
oleh Filipppou dkk untuk penanganan kista hidatid hepar.
Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista secara
laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, tempoh reokupasi yang lebih
singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat berbanding open unroofing
secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi terjadi rekurensi dengan
teknik ini adalah luga deroofing yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di
segmen posterior dari hepar, penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista,
tindakan omentoplasty untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparoti
yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di
hepar.
3. Reseksi hepar dan tranplantasi hati
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati telah digunakan
dalam penanganan kista hepar non parasitik. Walaupur prosedur ini bisa mendapatkan
hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang sangat rendah, namun ia mempunyai kadar
morbiditas yang tinggi, yang mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang
benigna. Contohnya, penelitian Martin dan rekan-rekan menemukan kadar morbiditas
50% pada 16 pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar
non parasitik. Antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar termasuklah
infeksi paru-paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan
empedu yang lama dan hematoma subphrenik.
Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikstik dengan simptom yang menetap
setelah pendekatan terauputik medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau pada
keadaan gagal ginjal.
Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista multipel yang rekuren
atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar. Anatomi segimental hepar yang
pertama dijelaskan oleh Couinaud pada tahun 1957 membagi hepar kepada lapan segmen
dimana setiap segmen mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus
biliaris yang tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara
individual apabila diperlukan, dan mengurangkan pemotongan tidak perlu dari jaringan
hepar yang normal. Telah dikembangkan teknik ciperasi untuk membagi parenkim hepar,
samada dengan memakai klem atau diseksi wirasonik, justeru membolehkan pembuluh
vaskular dan biliari untuk diligasi secara individual. kehilangan darah bisa dikurangkan
dengan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle)

Point teknikal

1. Ekspos seluruh area target (mobilisasi liver bila dibutuhkan), dan tandai garis eksisi yang
diitensikan. Mulai unroofing pada batas yang dependen.
2. Scalpel ultrasonik menghasilkan asap yg lebih sedikit dan mencapai hemostasis yang
lebih baik daripada kauter monopolar biasa.
PERAWATAN POST OPERATIF

Pada pasien yang akan menjalani unroofing laparoskopi dari kista hepatik simpleks, kateter
orogastrik dan kadung kemih dapat dilepaskan sebelum pasien bangun dari anastesi. Diet ringan
dapat diberikan malam setelah operasi dan kebanyakan pasien dapat dipulangkan keesokan
harinya.

Secara umum, rekoveri cepat, dan kebanyakan pasien dapat kembali ke aktivitas biasa dalam 1
minggu. Pasien dapat mandi dengan dressing tahan air yang dipakai sehari setelah operasi.
Dressing dapat dicopot setelah 2-3 hari.

MONITORING

Setelah unroofing laparoskopi sukses dari kista simpleks, pasien dapat datang setelah 2 minggu,
lalu 6 minggu setelah operasi untuk mendapatkan obat simptomatik dan identifikasi komplikasi,
seperti infeksi bekas luka atau ascites. Pemeriksaan radiografik rutin tidak perlu kecuali terjadi
komplikasi

VIII. KOMPLIKASI

Infeksi bekas luka jarang terjadi. Kebocoran cairan empedu dari bekas pemotongan kista dapat
menyebabkan kumpulan cairan subphrenic atau subhepatic, atau jarangnya ascites biliaris.

Pasien dengan kista hidatif, tumpahnya isi kista ke kavitas peritoneal dapat menyebabkan
anafilaksis, harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. Liver and bile
ducts.Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007. h.1131-2.
2. Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed. Benign tumor & cysts
of the liver. India : McGraw-Hill. 1994. h.576-7.
3. Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical evidence. Liver. New
York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.
4. McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an introduction to
clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.
5. Netter. The Human Body Atlas of Netter [e-book]
6. Moore, KL., Agur, AM. Anatomi klinis dasar. Abdomen. Editors : Vivi S. & Virgi S. Jakarta :
Hipokrates. 2002. h. 117-25.
7. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-Hill. 1999. h. 1395-
405.
8. Smithuis, R. Liver : segmental anatomy [online]. 2006 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.radiologyassistant.nl/en/4375bb8dc241d
9. Heriot AG., Karanjia ND. A review of techniques for liver resection [online]. 2002 [dikutip April
2010]. Tersedia pada URL http://www.rsmpress.co.uk/arcsam.pdf
10. Jackson, HH., Mulvihill, SJ. Hepatic cyst [online]. September 2009 [dikutip April 2010].
Tersedia pada URL http://emedicine.medscape.com/article/190818-overview
11. Cady, B. The surgical clinics of north America vol. 69 : Liver surgery. Management of cystic
disease of the liver. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 1989. h. 285-95.
12. Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management. Liver cyst. San
Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.
13. Chan. CY., Tan CHJ., Chew, SP, Teh CH. Laparoscopic fenestration of a simple hepatic cyst
[online]. 2001 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.pkdiet.com/pdf/liver%20lapRx.pdf

You might also like