Professional Documents
Culture Documents
PEMBIMBING :
Dr. Selonan Susang Obeng, SpB-KBD, FINACS
Disusun oleh:
Alfredo (1215175)
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2018
PENDAHULUAN
Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat
duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi
struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa
epitel.
Kista dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening dan tidak berwarna namun
dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol sebagaihasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista
yang sesungguhnya harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini merupakan
timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini
biasanya berasal dari suatu proses inflamasi atau degeneratif.
Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama pemeriksaan gejala abdominal yang
tidak berhubungan dengan kista. Dalam banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter
maupun multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini juga dapat diasosiasikan
sebagai proses patologis yang cukup serius.
IDENTITAS PASIEN MINI-CEX
• Nama : Ny. Tan Po Ing
• Usia : 53 Tahun 07 Bulan (03 Juli 1964)
• Jenis Kelamin : Perempuan
• No. RM : 01.356.207
• Alamat : Kompleks Permata Indah H 16, Caringin, Bandung
• Tanggal Masuk : 4 Februari 2018 (IGD)
• Agama : Kristen
• DPJP : dr. Selonan Susang Obeng, Sp.B-KBD, FINACS
• Ruangan/bed : Alkema / 505
Anamnesis
• Usaha Berobat :-
• RiwayatAlergi : tidak ada alergi obat
• Riwayat Kebiasaan :-
• Riwayat Penyakit Dahulu :
• DM tipe 2, tidak rutin berobat, Hipertensi : -, kelainan darah -
• Pada bulan Januari dirawat karena DM Tipe 2 (gula darah 547 mg/dl) dan efusi
pleura bilateral, sudah diaspirasi
• Riwayat operasi : -
Pemeriksaan Fisik
KeadaanUmum : compos mentis
• TB/BB : 150 cm / 47,5 kg
• BMI : 21,11 kg/mm2 (normal)
• TTV : TD : 120 / 80 mmHg
N : 102 kali/menit, Reguler, Equal, Isi Cukup
R : 20 x / menit
S : 36°C
SaO2 : 93%
• Kepala: Mata: anemis, ikterik -
• Leher : tidak ada kelainan
• Thorax : tidak ada kelainan
• Abdomen :
- Pre op : cembung, soepel, Bising usus (+) normal, defance muskular (-)
- Post op :
• Extremitas : ikterik, akral hangat, CRT < 2s
Faal Hemostasis
Protombin time: 20.3 detik
INR : 1.75
APTT : 38.6 detik
Hepatomegaly ringan dengan permukaan agak berbenjol ke atas di hepar lobus kanan
bagian superolateral kanan segmen 8 sehingga tampak bulging ke atas dan perifer,
densitas inhomogen, post pemberian kontras gambaran nodul besar dengan dinding
agak menebal, gambaran ring enhancement uk 13,52 x 8,04 x 12,40 cm.
Ureteropelvocalyektasi kanan proximal ec ureterolithiasis
Cholelithiasis disertai cholecystitis
Efusi pleura kanan
Meteorismus curiga colitis
Gambaran USG tampak adanya batu di kandung empedu, tampak kista di hepar lobus dextra.
1. Laparotomi adhesiolysis
2. Cholecystectomy
3. Debridement
4. Deroofing abses kista liver lobus kanan
Diagnosis post-op: Ruptur Abses Kista simpleks Liver Segmen 6-7 + cholecystolithiasis multiple
+ efusi pleura kanan + DM Tipe 2
• Cernevit 1 amp x 1
• Ceftriaxone 1 gr x 1
• Tricodazole 500 mg x 3
• Pantoprazole 40 mg x2
• Metoclopramide HCl 3x1
• Lantus 1 x 14 UI
• Novorapid 3 x 6 UI
Anatomi Hepar
- Superior : dari kanan ke kiri, pleura dan paru kanan, perikardium dan jantung, pleura dan
paru kiri
- Posterior : berhubungan dengan diafragma dan rusuk bawah. Meliputi sebagian besar
bare area dan sulkus dari vena cava inferior
- Anterior : berhubungan dengan diafragma dan batas rusuk, prosesus xyphoideus, dinding
abdomen dan rusuk 6-10 di sebelah kanan
- Bagian kanan yang merupakan lanjutan ke lateral dari bagian posterior, berhubungan
dengan diafragma dan rusuk 7-10
Pada bagian anterior, batas inferior dari hepar ditandai dengan 2 lekukan di sebelah kanan bidang
median. Lekukan ini adalah lekukan dalam yang menampung ligamentum teres dan lekukan
dangkal yang memberikan ruang bagi kantong empedu.
Contoh variasi
Vaskularisasi
Hepar menerima darah dari dua sumber yaitu arteri hepatica dan vena porta. Arteri hepatika
menyediakan 25% suplai darah dan 50% suplai oksigen, sedangkan vena porta menyediakan
75% suplai darah dan 50% oksigen.
Perdarahan arteri hepatica
Selain itu dapat terjadi variasi pertemuan cystohepatik dan juga dapat ditemukan duktus
hepatikus asesoris.
Duktus cystikus berdiameter sekitar 3 mm dan sepanjang 2-4 cm. Hal ini perlu diperhatikan agar
tidak terlewat hingga duktus choledocus. Pada keadaan langka, kantong empedu langsung
bermuara ke duktus choledocus karena tidak adanya duktus cysticus
Duktus choledocus dimulai dari pertemuan duktus cystikus dan duktus hepatikus komunis dan
berakhir pada papilla Vater di bagian kedua duodenum. Saluran ini memiliki panjang antara 5-16
cm.
Terdapat segitiga hepatocystic yang terdiri dari bagian proksimal dari kantong empedu, duktus
cystikus di sebelah kanan, duktus hepatikus komunis di kiri, dan batas dari lobus kanan hepar
pada superior.
Vaskularisasi
Diagnosis Banding
Kista simpleks
Caroli Disease
Kista kompleks
Neoplasma
Cystic metastases
Hepatocellular carcinoma
Cavernous hemangioma
Embryonal sarcoma
Inflamasi / infeksi
Abscess
Pyogenic
Amebic
Echinococcal cyst
Pseudocyst
Hematoma
Biloma
Kista infeksi / hemoragik
I. DEFINISI
Istilah kista berasal dari perkataan Yunani yang berarti kantong, dimana merupakan suatu
abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah
rongga yang dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural. Sebagian
kista timbul dari sisa-sisa epithelial ektopik atau sebagai hasil nekrosis di tengah-tengah massa
epitel.
II. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologi kista hepar terbagi menjasi :
a. Kista hepar non parasitic (Kista Neoplastik) : dimana kista hepar non parasitic
paling sering merupakan kelainan yang bersifat kongenital ataupun traumatic.
III. EPIDEMIOLOGI
Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun negara maju seperti
negara Mediterania, Amerika Selatan, Australia dan New Zealand. Insidens penyakit kista
hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220 kasus per 100. 000 orang penduduk. Tidak
terdapat predileksi dari jenis kelamin namun biasanya kista hidatid terjadi pada umur antara 30-
40 tahun.(3,7)
Insidens kista hepar non-parasitik yang pasti tidak diketahui karena biasanya penderita
asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi komplikasi. Namun diperkirakan
kista hepar diderita oleh 5% dari populasi umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah penderita
ini mengalami simptom secara klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak sengaja pada
pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laparotomi untuk kelainan lain yang
dialami penderita, yang tidak berkaitan dengan gangguan fungsi hepar.(3,10)
Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding laki-laki, dengan
perbandingan 4-10:1, pada rentang usia 50-60 tahun. Gejala klinis terjadi akibat pembesaran
secara progresif kista, atau karena komplikasi yang timbul akibat kista tersebut. Komplikasi yang
bisa terjadi di antaranya perdarahan intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke
arah proses malignansi, kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan ikterus
obstruktif, kista ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan kista.(3,7,11)
Echinococcal/Kista Hydatid
Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah peternakan biri-biri.
Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani), Australia, dan New Zealand, serta negara di
Timur Tengah seperti Iran. Infeksi Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang
dapat asimptomatis selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan
pembedahan, atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang
multipel dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista echinococcal
ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus kanan.(7)
Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh perlahan dan
tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki dua lapisan yang terdiri atas
ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular yang berfungsi proteksi, dan sebuah
endokista, yang merupakan bagian yang aktif dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan
bening yang mengisi kista dan memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand)
dan kista anakan. Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter
cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya.(12)
Pasien dengan kista multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi biasanya tidak
bergejala. Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di sekitarnya. Nyeri tumpul
abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan (80%). Ikterus, demam, pruritus, nausea,
dan vomitus ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien. Fungsi hepar ditemukan abnormal dan
pembesaran hepar yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan
eosinofilia hanya ditemukan pada 5-15% individu yang terinfeksi.(12)
Komplikasi dari kista hidatid di antaranya(7,12) :
Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan pembentukan kista
baru pada rongga peritoneal.
Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.
Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani secara
laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen kista ini meliputi(12) :
Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan kista.
Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai sebab cairan
dalam kista biasanya bertekanan rendah.
Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik maupun
alkohol.
Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di antara lapisan
germinal dan adventitia.
Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila cukup ekstensif,
dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan omentum.
Kista Neoplastik
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer atau
kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor kistik dari organ lain,
seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi kistik tumor hepar solid primer atau
metastatik.(11)
Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih sering terjadi pada
wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri tumpul dan rasa penuh di perut
bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan
sebuah massa kistik dengan dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa
solid yang berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen
maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan menunjukkan SOL yang
avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang disebabkan oleh proyeksi dinding tumor.
Tumor ini tidak berhubungan dengan duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak
memiliki nilai diagnostik.(11)
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran radiografi berupa
kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak bergejala. Operasi yang kurang defenitif
akan menyebabkan rekurensi tumor, pembesaran, atauinfeksi, hingga dapat bertransformasi
menjadi malignansi. Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya
dan memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya atau
penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan eksisi yang lebih
lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus dipertimbangkan. Tumor ini,
seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki potensi malignansi yang cukup rendah dan
jarang rekuren bila dieksisi secara adekuat.(11)
Kista Traumatik
Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atauintraparenkimal
yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu sendiri dapat diingat maupun
tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul
maupun tajam. Kista traumatic mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik.
Lapisan epithelial yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah
pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat dibedakan dari kista
kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama. Pembedahan dianjurkan bagi pasien
yang mengeluhkan gejala. Pada saat laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari
kista congenital dengan adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista
yang simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian dinding
kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus dilakukan untuk
meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik setelahnya. Walaupun kista traumatic
dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik. (3,11)
V. PATOGENESIS
Penyebab munculnya kista hepar masih belum diketahui, tapi diduga bersifat kongenital.
Dinding kista merupakan epitel bilier, dan berasal dari dilatasi progresif dari microhamartoma
bilier. Dinding kista terus menghasilkan cairan yang menyerupai plasma, dan mengandung
empeedu, amilase dan sel darah putih.
1. Laboratorium
Fungsi hepar bisa abnormal, namun bilirubin, prothrombin time (PT), dan activated
partiaal thromboplastin time (aPTT) biasanya normal
2. Imaging
USG merupakan pemeriksaan yang paling mudah didapat, tidak invasif, dan memiliki
sensitivitas tinggi. CT Scan juga sangat sensitif dan mudah untuk di interpretasi, terutama
untuk rencana terapi. MRI, nuclear medicine scanning, dan hepatic angiography tervatas
untuk evaluasi kista hepar.
Kista hepar simple memiliki gambaran berupa dinding kista tipis dengan interior
berdensitas rendah dan homogen.
3. Histologi
Pemeriksaan histologi sebaiknya dilakukan untuk melihat apakah terdapat neoplasma
seperti cystadenoma. Pada kista hepar simple, dinding kista berupa selapis epitel kuboid
sederhana.
VII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit liver polikistik atau kista soliter nonparasitic diindikasikan hanya pada
pasien dengan gejala. Pada pasien asimtomatik tidak memerlukan terapi, karena risiko
berkembangnya komplikasi dan berhubungan dengan lesi lebih rendah daripada risiko
pengobatan.
Pasien dengan kista hidatik harus diobati untuk mencegah komplikasi yg berhubungan dengan
pertumbuhan dan rupturnya kista. Bila kista dalam pemeriksaan imaging meneunjukkan
abnormalitas yang mensugestikan tumor kistik, reseksi diindikasikan. Abcess harus diobatu pada
waktu identifikasi, tapi drainasi percutan dan antibiotik biasanya merupakan terapi adekuat.
Kontraindikasi dari pengobatan kista liver biasanya karena penyakit penyerta ygn meningkatkan
risiko operasi. Khususnya pada penyakit jantung kongesti dan gagal hati dengan hipertensi portal
dan ascites dapat meningkatkan risiko operasi. Gejala yang mensugestikan angina atau transient
ischemic attack harus dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik preoperative untuk
mengidentifikasi stenosis koroner atau arteri karotid.
ABSES HEPAR
Pada pasien abses hepar biasanya segera dimulai antibiotik atau amebisid. Bila abcess kecil
pasien dapat bereaksi hanya dengna medikasi. Pasien akan memerlukan drainase perkutan untuk
eradikasi.
Biasanya abses dapat ditatalaksana secara adekuat dengan antibiotik dan drainase percutan. Bila
abcess bertahan walaupun dengan usaha drainase percutan, drainase surgikal diindikasikan.
Indikasi surgikal termasuk kista besar dengan risiko ruptur dan abcess yang secara anatomi tidak
dapat dilakukan pengobatan perkutan.
1. Antibiotik
Kombinasi dua atau lebih antibiotik spektrum luas untuk gram positif dan negatif,
diberikan secara intravena. Dapat diberikan dalam 2-3 minggu berdasarkan respons
individual. Metronidazol dapat ditambahkan karena selalu ada posibilitas bakteroides
atau organisme anaerobic.
2. Aspirasi tertutup
Biasanya aspirasi dituntun USG (USG guided) merupakan modalitas untuk abcess kecil.
Beberapa memerlukan aspiras multiple. Keuntungan tidak saja posibilitas evakuasi
lengkap untuk aksi antibiotik yang lebih baik namun juga membantu dalam penggunaan
antibiotik berdasar kultur. Aspirasi dihindari pada ascitis, koagulopati, dan dekatnya
abscess dengan struktur vital.
3. Drainase Percutaneus Kateter
Merupakan opsi yang lebih baik untuk abcess besar walau ratio sukses untuk kedua
teknik antara 60-90% pada penelitian yang berbeda. Mehzir pada penelitian dengan 58
pasien memerlukan operasi terbuka hanya pd 5 pasien, namun melaksanan drainase
perkutan pada 38 kasus.
Merupakan cara ygn menguntungkan sejak adanya posibilitas dengan akumulasi ulang
pus setelah aspirasi tertutup dan mungkin dibutuuhkan lebih dari 1 usaha bila hanya
aspirasi yang dilakukan
Pada prospektif 2003, uji coba acak apda pasien yang didahului dengan antibiotik,
dilanjutkan dengan aspirasi jarum atau drainase kateter perkutan dan tidak ada hasil yang
signifikan antara kedua penelitian, namun kedua metode mempunyai efektivitas yang
sama dalam tidak di[erlkannya intervensi operatif.
Pang et al dalam studi retrospektif juga menkonklusikan bahwa antibiotik IV dan
drainase merupakan modalitas terbaik.
4. Drainase surgikal
Drainase telah dipindahkan dari ekstraperitoneal ke intraperitoneal dengan adanya
antibiotik yang baik. Indikasi adalah pada terapi medis gagal, aspirasi atau drainase
kateter perkutan yang gagal, dan abses pada lobus kiri.
Pendekatan dapat terbuka atau laparoskopik. Hasil teraputik sama dan patologi biliar
dapat sekaligus diperiksa.
PROSEDUR BEDAH
Secara umumnya tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan epithelial
kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi. Secara ideal,
kista didiseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista
akan kollaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenalpasti dan mengeluarkan lapisan epitel.
Point teknikal
1. Ekspos seluruh area target (mobilisasi liver bila dibutuhkan), dan tandai garis eksisi yang
diitensikan. Mulai unroofing pada batas yang dependen.
2. Scalpel ultrasonik menghasilkan asap yg lebih sedikit dan mencapai hemostasis yang
lebih baik daripada kauter monopolar biasa.
PERAWATAN POST OPERATIF
Pada pasien yang akan menjalani unroofing laparoskopi dari kista hepatik simpleks, kateter
orogastrik dan kadung kemih dapat dilepaskan sebelum pasien bangun dari anastesi. Diet ringan
dapat diberikan malam setelah operasi dan kebanyakan pasien dapat dipulangkan keesokan
harinya.
Secara umum, rekoveri cepat, dan kebanyakan pasien dapat kembali ke aktivitas biasa dalam 1
minggu. Pasien dapat mandi dengan dressing tahan air yang dipakai sehari setelah operasi.
Dressing dapat dicopot setelah 2-3 hari.
MONITORING
Setelah unroofing laparoskopi sukses dari kista simpleks, pasien dapat datang setelah 2 minggu,
lalu 6 minggu setelah operasi untuk mendapatkan obat simptomatik dan identifikasi komplikasi,
seperti infeksi bekas luka atau ascites. Pemeriksaan radiografik rutin tidak perlu kecuali terjadi
komplikasi
VIII. KOMPLIKASI
Infeksi bekas luka jarang terjadi. Kebocoran cairan empedu dari bekas pemotongan kista dapat
menyebabkan kumpulan cairan subphrenic atau subhepatic, atau jarangnya ascites biliaris.
Pasien dengan kista hidatif, tumpahnya isi kista ke kavitas peritoneal dapat menyebabkan
anafilaksis, harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. Liver and bile
ducts.Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007. h.1131-2.
2. Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed. Benign tumor & cysts
of the liver. India : McGraw-Hill. 1994. h.576-7.
3. Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical evidence. Liver. New
York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.
4. McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease : an introduction to
clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.
5. Netter. The Human Body Atlas of Netter [e-book]
6. Moore, KL., Agur, AM. Anatomi klinis dasar. Abdomen. Editors : Vivi S. & Virgi S. Jakarta :
Hipokrates. 2002. h. 117-25.
7. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York : McGraw-Hill. 1999. h. 1395-
405.
8. Smithuis, R. Liver : segmental anatomy [online]. 2006 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.radiologyassistant.nl/en/4375bb8dc241d
9. Heriot AG., Karanjia ND. A review of techniques for liver resection [online]. 2002 [dikutip April
2010]. Tersedia pada URL http://www.rsmpress.co.uk/arcsam.pdf
10. Jackson, HH., Mulvihill, SJ. Hepatic cyst [online]. September 2009 [dikutip April 2010].
Tersedia pada URL http://emedicine.medscape.com/article/190818-overview
11. Cady, B. The surgical clinics of north America vol. 69 : Liver surgery. Management of cystic
disease of the liver. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 1989. h. 285-95.
12. Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management. Liver cyst. San
Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.
13. Chan. CY., Tan CHJ., Chew, SP, Teh CH. Laparoscopic fenestration of a simple hepatic cyst
[online]. 2001 [dikutip April 2010]. Tersedia pada URL
http://www.pkdiet.com/pdf/liver%20lapRx.pdf