Professional Documents
Culture Documents
LITERATURE REVIEW
This chapter explains theoretically about the perspectives and statements based on previous
research and other sources that underlie the topic of this study as references for the researcher in
conducting this present research. This chapter also contains the theoretical framework and the
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Disonansi Kognitif dan Theory of
Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak
bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
sikapnya. Namun demikian, dalam kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan
perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya (Noviyanti,2008). Festinger (1957) dalam Agung
(2007) menyatakan hipotesis dasar dari teori disonansi kognitif yaitu bahwa adanya disonansi akan
menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, hal ini akan memotivasi seseorang untuk mengurangi
disonansi tersebut dan mencapai konsonansi. Arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan
perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari
ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Disonansi terjadi
apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari satu elemen kognitif
terhadap elemen lain, antara elemen-elemen kognitif dalam diri individu. Disonansi kognitif
mengacu pada inkonsistensi dari dua atau lebih sikap-sikap individu, atau inkonsistensi antara
perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa saja
yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya. Menurut Noviyanti
(2008) teori ini mampu membantu untuk meprediksi kecenderungan individu dalam merubah sikap
dan perilaku dalam rangka untuk mengurangi disonansi yang terjadi.
Teori disonasi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh skeptisisme
professional dalam hubungan penilaian risiko audit suatu perusahaan terhadap kualitas audit yang
dihasilkan. Persyaratan profesional auditor memiliki sikap skeptisisme profesional, sehingga dapat
mengumpulkan bukti audit yang memadai dan tidak dengan mudah menerima penjelasan dari klien
sebagai dasar untuk memberi opini audit yang tepat dalam laporan keuangan, dimana ketepatan
pemberian opini tersebut merupakan bentuk dari kualitas audit yang dihasilkan.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa dalam rangka meningkatkan
kualitas audit, setiap auditor KAP harus senantiasa meningkatkan kesadaran
etika, kompetensi, pengalaman audit, memperhitungkan risiko audit serta
meningkatkan skeptisisme profesional auditor agar dapat memberikan opini yang
tepat, yang pada gilirannya akan meningkatkan integritas dan kredibilitas profesi
akuntan publik.
2.1.2 Theory of Planned Behaviour
Idealisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan
menimbulkan konsekuensi atau hasil yang diinginkan (Forsyth, 1992 Dalam HN Dewi,2010).
Menurut Bayu Nugroho (2008) Idealisme adalah suatu hal yang dipercaya individu tentang
konsekuensi yang dimiliki dan diinginkan untuk tidak melanggar nilai-nilai etika. Seorang
individu yang idealis mempunyai prinsip bahwa merugikan individu lain adalah hal yang selalu
dapat dihindari dan mereka tidak akan melakukan tindakan yang mengarah pada tindakan yang
berkonsekuensi negatif. Jika terdapat dua pilihan yang keduanya akan berakibat negatif terhadap
individu lain, maka seorang yang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit
mengakibatkan akibat buruk pada individu lain. Selain itu, seorang idealis akan sangat memegang
teguh perilaku etis di dalam profesi yang mereka jalankan, sehingga individu dengan tingkat
idealisme yang tinggi cenderung menjadi whistle blower dalam menghadapi situasi yang di dalamnya
terdapat perilaku tidak etis. Namun seorang individu dengan idealisme yang lebih rendah, menganggap
bahwa dengan mengikuti semua prinsip moral yang ada dapat berakibat negatif. Mereka berpendapat
bahwa terkadang dibutuhkan sedikit tindakan negatif untuk mendapatkan hasil yang terbaik
(Marwanto:2007).
Relativisme Relativisme adalah sikap penolakan individu terhadap nilai-nilai etika dalam mengarahkan
perilaku etis, selain mempunyai sifat idealisme juga terdapat sisi relativisme pada diri seseorang (Bayu
Nugroho:2008). Seorang individu yang memiliki sifat relativisme mendukung filosofi moral yang
didasarkan pada sikap skeptis, yang mengasumsikan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan atau
mengikuti prinsip-prinsip universal ketika membuat keputusan. Relativisme adalah model cara berfikir
pragmatis, alasannya adalah bahwa aturan etika sifatnya tidak universal karena etika dilatar belakangi
oleh budaya dimana masing-masing budaya memiliki aturan yang berbeda-beda. Individu yang memiliki
tingkat relativisme yang tinggi menganggap bahwa tindakan moral tergantung pada situasi dan sifat
individu yang terlibat, sehingga ketika menghamili individu lain mereka akan mempertimbangkan situasi
dan kondisi individu tersebut dibandingkan prinsip etika yang telah dilanggar. Oleh karena itu, individu
dengan tingkat relativisme yang tinggi cenderung menolak gagasan mengenai kode moral, dan individu
dengan relativisme yang rendah hanya akan mendukung tindakan-tindakan moral yang berdasar kepada
prinsif, norma, atau pun hukum universal (HN Dewi:2010). Relativisme etis sendiri merupakan teori
bahwa, suatu tindakan dapat dikatakan etis atau tidak, benar atau salah, tergantung kepada pandangan
masyarakat itu (Forsyth,1992 Dalam Bayu Nugroho:2008). Hal ini disebabkan karena teori ini meyakini
bahwa tiap individu maupun kelompok memiliki keyakinan etis yang berbeda. Dengan kata lain,
relativisme etis maupun relativisme moral adalah pandangan bahwa tidak ada standar etis yang secara
absolute benar. Dalam penalaran moral seorang individu, ia harus selalu mengikuti standar moral yang