You are on page 1of 15

PERKEMBANGAN EMOSI

1. Pengertian Emosi

Perbuatan atau perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan tertentu, seperti
perasaan senang atau tidak senang. Perasaan-perasaan seperti ini disebut emosi. Di samping
perasaan senang dan tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira,
cinta, marah, takut, dan benci.

Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan anatar keduanya tidak
dapat dinyatakan dengan tegas. Tetapi Perbedaan antara keduanya tidak dapat dinyatakan tegas.
Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan,
akan tetapi tidak jelas batasnya. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi itu adalah
pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental
dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi adalah warna efektif yang kuat
dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.

2. Karekterisktik Perkembangan Emosi

a. Cinta/ Kasih Sayang

Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain.

Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih
terdapat sifak kanak-kanaknya. Remaja membutuhkan kasih ssayang dirumah yang sama
banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya.

b. Gembira

Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat
perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah laku problema
lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya
berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia terima sebagai
seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu diterima oleh yang ia cintai.
c. Kemarahan dan Permusuhan

Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan
peranan yang menonjol dalam perkembangan kepribadian. ada 4 faktor yang sangat penting
sehubungan dengan rasa marah :

1) Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk
memilikinya dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Meskipun marah seringkali tampak
tolol dan tidak terkendali, namun rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada
kehidupan, dan sangat berfungsi sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi
sesuai dengan haknya. Selama masa remaja, fungsi marah terutama unntuk melindungi
haknya untuk menjadi bebas/independen, dan menjamin hubungan antara dirinya dan
pihak lain yang berkuasa.
2) Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak
hanya merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut,
tetapi juga mempunyai sikap-sikap di mana ada sisa kemarahan dalam bentuk
permusuhan yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permusuhan mungkin
berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau kecenderungan untuk merasa tersiksa.
Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu kecenderungan untuk menjadi
curiga dan keengganan atau menganggap bahwa orang lain tidak bersahabat dan
mempunyai motif yang jelek. Sikap-Sikap permusuhan mungkin tampak dalam cara-cara
yg bersifat pura-pura. Remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi
remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar.
3) Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkai tampak dalam bentuk
samar-samar.
4) Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini
merupakan aspek yang sangat penting dan juga sulit dipahami.

d. Ketakutan dan Kecemasan

Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan
panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Banyak
ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang
bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.

Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi
ketakutan -ketakutan yang timbul dari persoalan-persoalan kehidupan. Tidak ada seorang pun
yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara
untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila
seseoran begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan
yang tidak menentu.

Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu 12-15
tahun dan usia 15-18 tahun.

Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:

1) Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.


2) Bertingkah laku kasar unutuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi akibat dari
kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja
terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4) Cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang
disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
5) Mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin
menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu.

Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun:

1) "Pemberontakan" remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan


yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2) Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan
orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua dan
guru.
3) Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak
diantara mereka terlau tinggi menafsir kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluan
besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi

Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain :

1) Belajar dengan coba-coba

Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan
sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.

2) Belajar dengan cara meniru

Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang yang diamati.

3) Belajar dengan cara mempersamakan diri

Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya
menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.

4) Belajar melalui pengkondisian

Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat
pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, krang pengalaman
untuk menilai situasi secara kristis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.

5) Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.

Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya
membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional
terhadap rangsangan yang membangkitan emosi yang tidak menyenangkan.

4. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi terhadap
Tingkah Laku.
Keadaan emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan, oleh karena itu
kegembiraan yang berlebihan, ketakutan dan kecemasan hendaknya dihindari. Seseorang
yang tidak mudah terganggu emosinya cenderung mempunyai pencernaan yang baik.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Sikap takut, malu-malu,
dan agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi ata frustasi dan dapat muncul
dengan hadirnya individu tertentu atau situasi-situasi tertentu.

5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi


Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam
segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat
pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin
betambahnya frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-
anak.
Ekspresi emosional mereka berbeda beda. Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh
keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi
disebabkan oleh kondisi lingkungan.

6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan


Pendidikan

Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banya melamun dan sulit
diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam
pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab.
Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai
keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih
tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu yang mendasar adalah dengan mendorong mereka
untuk bersaing dengan diri sendiri.

Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi


tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijksana dan lemah lembut, mengubah pokok
pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat
minta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Cara yang paling baik untuk menghadapi
pemberontakkan para remaja adalah mencoba untuk mengerti mereka dan melakukan segala
sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil dalam bidang yang diajarkan.
Seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik saat siswa
menceritakan penderitaanya saat berada pada masa sulit. Jadi, terdapat berbagai cara
mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi ysng diinginkan dan
menghilangkan reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi
kebiasaan yang tertanam kuat.

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL

Pengembangan Sosial

1. Pengertian Perkembangan Hubungan Sosial


Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling
membutuhkan. Hubungan sosial dimulai dari tingkat yang paling sederhana dan terbatas, yang
didasari sebagai kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, tingkat
hubungan sosial menjadi kompleks dan dengan demikian, tingkat hubungan sosial juga
berkembang menjadi amat kompleks. Pada jenjang perkembangan remaja, seorang remaja bukan
saja memerlukan orang lain demi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya tetapi mengandung
maksud untuk disimpulkan bahwa pengertian perkembangan sosial adalah berkembangnya
tingkat hubungan antar manusia sehubungan meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
Perhatian remaja mulai tertuju pada pergaulan di dalam masyarakat dan mereka
membutuhkan pemahaman tentang norma kehidupan yang kompleks. Pergaulan remaja banyak
diwujudkan dalam bentuk kehidupan kelompok terutama kelompok sebaya sama jenis.
Perkembangan sosial anak remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni : kondisi keluarga,
kematangan anak, status sosial ekonomi keluarga, pendidikan, dan kapasitas mental terutama
intelek dan emosi. Hubungan sosial remaja terutama yang berkaitan dengan proses penyesuaian
diri berpengaruh terhadap tingkah laku sehingga dikenal beberapa pola tingkah laku seperti
remaja keras, remaja yang mengisolasi diri, remaja yang bersifat egois dan sebagainya.

2. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja


Remaja adalah tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa.
Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan
pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah
mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang
berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja
bergaul dengan kelompok umur. Dengan demikin, remaja mulai memahami norma pergaulan
dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok orang dewasa, dan kelompok orang
tua.
Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan
emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup
sehubungan dengan masalah yang dialami remaja. Keadaan atau peristiwa ini oleh Erik Erickson
(dalam Lefton, 1982: 281) dinyatakan bahwa anak telah dapat mengalami krisis identitas. Proses
pembentukan identitas diri dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang kompleks. Konsep diri
anak tidak hanya terbentuk dari bagaimana anak percaya tentang keberadaan dirinya, Erickson
mengemukakan bahwa perkembangan anak sampai jenjang dewasa melalui delapan tahap dan
perkembangan remaja ini berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa anak ingin
menemukan jati dirinya dan memilih kawan akrabnya. Seringkali anak menemukan jati dirinya
sesuai dengan atau berdasarkan pada situasi kehidupan yang mereka alami. Banyak remaja yang
amat percaya pada kelompok mereka dalam menemukan jati dirinya. Dalam hal ini Erickson
berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural. Tidak
seperti halnya pandangan Freud, kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja
terutama dengan lawan jenis) didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksual. Semua
perilaku sosial didorong oleh kepentingan seksual.
Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik kelompok kecil maupun
kelompok besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, disasari oleh berbagai
pertimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan kemampuan.
Masalah yang umum dihadapi oleh remaja dan paling rumit adalah faktor penyeuaian diri. Di
dalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing
untuk tampil menonjol. Oleh karena itu, sering terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang
disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi setiap orang. Tetapi sebaliknya di dalam
kelompok ini terbentuk suatu persatuan yang kokoh, yang diikat oleh norma kelompok yang telah
disepakati.
Nilai positif dalam kehidupan berkelompok adalah tiap anggota berkelompok belajar
berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi aturan kelompok. Sekalipun dalam hal-hal
tertentu tindakan suatu kelompok kurang memperhatikan norma umum yang berlaku di dalam
masyarakat, karena yang lebih diperhatikan adalah keutuhan kelompoknya. Di dalam
mempertahankan dan melawan “serangan” kelompok lain, lebih dijiwai keutuhan kelompoknya
tanpa memperdulikan objektivitas kebenaran.
Penyesuaian diri di dalam kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja
berbeda jenis sekalipun, tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses
penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat. Saling
pengertian akan kekurangan masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolkan diri atau
tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan tindakan intelektual yang tepat dan
kemampuan menyeimbangkan pengendalian emosional.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial


Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai
aspek perkembangan anak, termasuk perkemabangan sosialnya. Proses pendidikan yang
bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan keluarga. Pola pergaulan
dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan
dan diarahkan oleh keluarga.

b. Kematangan
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain,
memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut
pula menentukan.
Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik dipeerlukan kematangan fisik
sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

c. Status sosial ekonomi dan ekonomi


Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga
dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak
independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu,
“ia anak siapa”. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya
akan memperhatikan norma yang berlaku di dalam keluarganya.
Dari pihak anak itu sendiri, dalam kehidupan sosial anak akan senantiasa “menjaga” status
sosial keluarga dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud “menjaga status sosial
keluarga” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal
ini dapat menyebabkan anak menjadi “terisolasi” dari kelompoknya dan akibat lain mereka akan
membentuk kelompok elit dengan normanya sendiri.

d. Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh
kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Hakikat pendidikan sebagai proses
pengoperasian ilmu yang normatif. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja
diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah). Etik pergaulan
dan pendidikan moral diajarkan secara terprogram dengan tujuan untuk membentuk perilaku
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

e. Kapasitas Mental: Emosi dan Intelegensi.


Kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional
secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling
pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan
sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.

4. Pengaruh Perkembangan Sosial Terhadap Tingkah Laku


Dalam perkembangan sosial para remaja dapat memikirkan perihal dirinya dan orang lain.
Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah ke penilaian diri dan kritik dari
hasil pergaulannya dengan orang lain. Dengan refleksi diri, hubungan dengan situasi lingkungan
sering tidak sepenuhnya diterima, karena lingkungan tidak senantiasa sejalan dengan konsep
dirinya yang tercermin sebagai suatu kemungkinan bentuk tingkah laku sehari-hari.
Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap
kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk orang tuanya. Setiap pendapat orang lain
dibandingkan dengan teori yang diikuti atau diharapkan. Sikap kritis ini juga ditunjukkan dalam
hal-hal yang sudah umum baginya pada masa sebelumnya, sehingga tata cara, adat istiadat yang
berlaku di lingkungan keluarga sering terjadi/ada pertentangan dengan sikap kritis yang tampak
pada perilakunya.
Kemampuan abstraksi menimbulkan kemampuan mempermasalahkan kenyataan dan
peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana semestinya menurut alam pikirannya. Situassi ini
akhirnya dapat menimbulkan perasaan tidak puas dan putus asa.
Disamping itu pengaruh egosentris masih sering terlihat pada pikiran remaja.
1) Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitikberatkan pikiran sendiri, tanpa
memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungin
menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2) Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam
penilaiannya. Masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain daripada tujuan
perhatian diri sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan
pandangan orang lain mengenai dirinya.

Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain dimana
remaja itu justru melebih-lebihkan diri dalam penilaian diri, sehingga berani menantang
malapetaka dan menceburkan diri dalam aktivitass yang acapkali dipikirkan atau direncanakan.
Aktivitas yang dilakukan pada umumnya tergolong aktivitas yang membahayakan.

Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat
orang lain, maka sifat ego semakin berkurang. Pada akhir masa remaja berpengaruh egosentrisitas
sudah sedemikian kecilnya, sehingga remaja sudah dapat berhubungan dengan orang lain tanpa
meremehkan pendapat dan pandangan orang lain.

5. Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Sosial


Bergaul dengan sesama manusia (sosialisasi) dilakukan oleh setiap orang, baik secara
individual maupun berkelompok. Dilihat dari berbagai aspek, terdapat perbedaan individual
manusia, yang hal itu tampak juga dalam perkembangan sosialnya.
Sesuai dengan teori komprehensif tentang perkembangan sosial yang dikembangkan oleh
Erickson, maka di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya setiap manusia menempuh
langkah yang berlainan satu dengan yang lain. Dalam teori Erickson dinyatakan bahwa manusia
(anak) hidup dalam kesatuan budaya yang utuh, alam dan kehidupan masyarakat menyediakan
segala hal yang dibutuhkan manusia. Namun masyarakat menyediakan segala hal yang
dibutuhkan manusia. Namun sesuai minat, kemampuan, dan latar belakang kehidupan budayanya
maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam. Remaja yang telah mulai
mengembangkan kehidupan bermasyarakat, maka telah mempelajari pola-pola sosial yang sesuai
dengan kepribadannya.

6. Upaya Pengembangan Hubungan Sosial Remaja dan Implikasinya Dalam


Penyelenggaraan Pendidikan

Remaja dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap yang terlalu
tinggi menilai dirinya atau sebaliknya. Ia (mereka) belum memahami benar tentang norma-
norma sosial yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat menimbulkan
hubungan sosial yang kurang serasi, karena ia (mereka) sukar untuk menerima norma sesuai
dengan kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap canggung dalam
pergaulan akan merugikan kedua belah pihak.

Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsangan


kepada mereka ke arah perilaku yang bermanfaat dan dapat diterima khalayak. Kelompok olah
raga, koperasi, kesenian, dan semacamnya di bawah asuhan para pendidik di sekolah atau para
tokoh masyarakat di dalam kehidupan masyarakat perlu banyak dibentuk. Khusus di dalam
sekolah perlu sering diadakan kegiatan bakti sosial, bakti karya, dan kelompok-kelompok
belajar di bawah asuhan para guru pembimbing kegiatan ini hendaknya dikembangluaskan.

Perkembangan Moral

1. Pengertian dan Saling Keterkaitan Antara Nilai, Moral, dan Sikap serta Pengaruhnya
tehadap Tingkah Laku

Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan
sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan
suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dan kemampuan
untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral
merupakan kendali dalam bertingkah laku.

Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka moral merupakan kontrol
dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya
dalam pengamalan nilai hidup: tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu
memperhatikan perasaan orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang
benar dan yang salah.

Dengan demikian, keterkaitan antara nilai nilai moral, sikap dan tingah laku akan tampak
dalam pengamalan niai-nilai . Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian
dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut
dan pada akhirnya terwujud tingkh laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.

2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja

Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para
remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila, misalnya nilai-nilai kegamaan, nilai-nilai
perikamanusiaan dan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual,
dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja

Menurut Furter(1965)(dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan


problematik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan
moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada
masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.

Menurut Furter(1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s,1984:252).


Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat
menjalakannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat
menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi.
Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan teremin dalam sikap dan tingkah
lakunya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi


melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia
12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal kita yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa
yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan
sendiri.

Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi
norma-norma masyarakat dan di pandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk
melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar
(khususnya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiiri.

Teori-teori lain yang non-psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua


bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat
sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral.

4. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Dalam kenyataan sehari-haru selalu saja ada gradasi dalam intensitas penghayatan dan
pengetahuan individu mengenai nilai-nilai tertentu, apapun niai tersebut. Misalnya pemahaman
konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibandingkan dengan sikap serta tingkah laku nya dalam
kaitannya dengan tenggang rasa, memunginkan kita menempatkan individu dalam satu
kontinum.

a. Di ujung paling kiri, kita kelompokkan individ yang hampir-hampir atau sama sekali
tidak tahu tentang konsep dan niai tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak
secara benar ditinjau dari konsep tenggang rasa.
b. Di ujung kanan terdapat individu yang baik pengetahuan maupun tingkah lakunya,
mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat meyakinkan.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan

Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, dan sikap remaja antara lain:

a. Menciptakan Komunikasi

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral.
Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku
sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif.
Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dalam
pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.

b. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi


Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki
sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang
hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa menduung bentuk
tingkah laku yang merupakan penceminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa
usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya hanya mengutamakan pendekatan-
pendekatan intelektual senmata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang
kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari
nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat
bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial tedeat yang
terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orangg tua dan
guru.
Akhirnya perlu juga diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak bersifat
mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif daripada lingkungan yang
ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang serba membatasi.
Sumber :

Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN., M. (2014). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers.

Sunarto, P. D. (2013). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.

You might also like