You are on page 1of 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Spesies Nematoda usus banyak ditemukan di daerah tropis termasuk Indonesia dan
tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian
besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Diantara
nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang tercemar
oleh cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan
balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka dapat
mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang dewasa
dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi masalah
kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan
melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp
(cacing tambang).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah
kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke
mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan
dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di
Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi
dan sanitasi lingkungan.(Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada
daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan yang
ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat menyebabkan kekurangan gizi
yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris
lumbricoides adalah salah satu spesies nematoda usus yang banyak menyerang manusia,
hampir 25% populasi penduduk dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang telah terinfeksi
cacing ini. Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005), disertai dengan hasil studi
epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara penyakit Ascariasis pada anak dengan
tempat tinggal mereka yang dekat dengan air limbah. (Wani, 2010)
1. Tujuan
2. Mengetahui klasifikasi dari nematoda parasit usus.
3. Mengetahui morfologi nematoda parasit usus.
4. Mengetahui siklus hidup nematoda parasit usus.
5. Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6. Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis penyakit yang disebabkan oleh
nematoda parasit usus.
7. Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian yang disebabkan oleh nematoda
parasit usus.
BAB II
PEMBAHASAN
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada
tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda
usus. Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan didaerah
tropis dan tersebar diseluruh dunia. Spesies tersebut diantaranya Ascaris lumbricoides,
Toxocara canis, Toxocara cati, Enterobius vermicularis, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis, Trichuris trichiura, Trichinella
spiralis, Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum , dan Ancylostoma ceylanicum.
1. Ascaris lumbricoides
A.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
A.2. Morfologi
Gambar morfologi Ascaris lumbricoides (terlampir)
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada cacing jantan ujung
posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi pepil kecil dan dua buah
spekulum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat
dan lurus, dan 1/3 pada anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna
putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris
lurus.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron, dan yang tidak dibuahi 90 x
40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila terbentuknya
oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol, dan umumnya
berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50
μm. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat
mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol-benjol dapat terlihat jelas dan kadang-kadang
tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai
kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30◦ C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk
yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu.
A.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ascaris lumbricoides (terlampir)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia,
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah
atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru.
Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.
Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam
esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa. Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2
(dua) bulan.
A.4. Patologi
Gejala yang timbul pada manusia disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan
karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru. Pada orang yang rentan
terjadi pendarahan ringan di dinding alveolus disertai batuk, demam, dan eusinofilia.
Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan
tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
menyebabkan penderita terkadang mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memeperberat
keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak. Efek yang serius terjadi bila
cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan
tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendik, atau ke bronkus dan
menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan kooperatif.
A.5. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya 60-90%.
Kurangya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di
sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan
sampah bahkan di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25o-30o C merupakan kondisi yang sangat baik
untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.
A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik.
Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi kemasyarakatan oleh guru-
guru dan pekerja-pekerja kesehatan.
Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan
zat kimia tertentu.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus siklus hidup
Ascaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup
Ascaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga oleh
masyarakat dapat menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah,
di bawah pohon dan di tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga
dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti yang diberikan secara
perorangan maupun massal. Obat lama yang pernah digunakan adalah piperasin,
tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam.
1. Toxocara canis dan Toxocara cati
B.1. Klasifikasi
Klasifikasi Toxocara canis
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis
Klasifikasi Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
B.2. Morfologi
Gambar Toxocara canis dan Toxocara cati (terlampir)
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang betina 5,7-
10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm, sedangkan yang betina
berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara
canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangakan pada Toxocara
cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk
ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan
jari yang sedang menunjuk (digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing.
B.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati (terlampir)
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik dengan menelan telur
infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti cacing tanah
dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara
transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari induk kucing
yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes paratenik) kemudian larva menembus usus
dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata).
Di dalam orang larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.
B.4. Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam.
Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan, nekrosis, dan
peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Larva dapat terbungkus dalam granuloma
kemudian dihancurkan atau tetap hidup selama bertahun-tahun. Kematian larva
menstimulasi respon imun immediate-type hipersisentivity yang menimbulkan penyakit
visceral larva migrans (VLM). Dengan gejala demam, perbesaran hati, dan limfa, gejala
saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme. Kelainan pada otak menyebabkan kejang,
gejala neuro psikitrik/ensefalopati berat ringannya gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah
larva dan umur penderita. Umumnya penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun
karena mereka banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah yang
terkontaminasi tinja anjing atau kucing.
B.5. Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan ditemukan juga di
Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%. Prevalensi
toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di Jakarta masing-masing
mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
B.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucing
peliharaan secara sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun
sayuran. Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang
mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan
membersihkan secara seksama sayur lalapan.
1. Enterobius vermicularis
C.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
C.2. Morfologi
Gambar Enterobius vermicularis (telampir).
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran
kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali ekornya panjang
dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran
2-5 mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga
sekum, usus besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.
C.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Enterobius vermicularis (terlampir)
Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi
dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus besar dan usus halus yang berdekatan
dengan coecum. Cacing betina yang hamil, yang mengandung kira-kira 11.000 butir telur
pada malam hari bermigrasi ke daerah perianal dan perineal, tempat telurnya dikeluarkan
dalam kelompok-kelompok dengan kontraksi uterus dan vagina karena rangsangan suhu
yang lebih rendah dan lingkungan udara. Telur menjadi matang dan infektif beberapa jam
setelah dikeluarkan. Telur jarang dikeluarkan di dalam rongga usus maka pemeriksaan
tinja tidak penting. Bila telur ditelan, larva stadium pertama menetas di dalam duodenum.
C.4. Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis
yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal.
Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan proritusani maka penderita
menggaruk daerah di sekitar anus. Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga
penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda
bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung
sehingga menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid
mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan
turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi,
tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.
C.5. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada
keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah
piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah
dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan
bebarapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan
(92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus, bak mandi alas kasur, pakaian
dan tilam. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa enterobiasis sering
menyerang pada anak usia 5-9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang
diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh :
1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi)
atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri
sendiri karena memegang benda-baenda maupun pakaian yang terkontaminasi.
2. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga
telur melalui debu dapat tertelan.
3. Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus kembali
masuk ke usus.
Anjing dan kucing tidak mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi
oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Frekuensi di Indonesia tinggi terutama
pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada
orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
C.6. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan enterobiasis dapat melalui tangan, debu ataupun retrofeksi melalui anus oleh
karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya:
Menjaga kebersihan diri sendiri.
Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci tangan sebelum makan.
Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit.
Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari.
Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang
jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat
menggaruk daerah perianal.
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti
pyrantel pamoat, mebendazol ataupun albendazol.
1. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
D.1. Klasifikasi
Klasifikasi Necator americanus
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
D.2. Morfologi
Gambar Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (terlampir)
Cacing tambang dewasa berbentuk silindris, cacing betina berukuran 9-13 mm
sedangakan cacing jantan berukuran 5-10 mm bentuk Necator americanus berbentuk
seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk seperti huruf C.
Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus
mulut dilengkapi dengan gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi
dua pasang gigi berbentuk lancip. Cacing jantan pada kedua cacing ini, ujung ekornya
mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip.
Secara morfologis kedua spesies cacing dewasa ini mempunyai perbedaan yang nyata
(terutama bentuk tubuh, rongga mulut dan bursa kopulatriksnya).
D.3. Siklus hidup
Telur kedua cacing ini, keluar bersama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan
waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform kemudian dalam
waktu sekitar 3 hari, larva rabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk
infektif). Larva filariform dapat tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Infeksi pada
manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan.
Siklus hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit
manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
D.4. patologi
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu:
1. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang
disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform
Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual,
muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak
1. Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing
tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi
kerja turun.
D.5. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung berhubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam
penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator americans 280-320 C, sedangkan untuk
Ancylostoma duodenale lebih rendah (230-250C). Pada umumnya Ancylostoma duodenale
lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu.
D.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan:
Menghindari kontak langsung dengan tanah dan tempat kotor lainnya.
Hendaknya pembuangan feses pada tempat/WC yang baik.
Melindungi orang yang mungkin mendapat infeksi.
Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi lingkungan
Hendaknnya penggunaan tinja sebagai pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut sudah
dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya.
Penerangan melalui sekolah-sekolah.
Menjaga kebersihan diri.
Selalu menggunakan sandal atau alas kaki ketika bepergian.
Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu
melalui obat pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale
). Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat,
bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat.
1. Strongyloides stercoralis
E.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabiditoidea
Genus : Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
E.2. Morfologi
Gambar Strongyloides stercoralis (terlampir)
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di
dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat
berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik
atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan betina. Bentuk bebas ditandai
dengan adanya cacing jantan dan betina dengan esofagus rabditiform, ujung posterior
cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik
ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi
parasitik mampu menembus kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing
betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cacing
dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan uterusnya berisi telur
dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah secara parthenogenesis. Telur
bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform
yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang
hidup bebas panjangnya kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor
melingkar dengan spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut:
terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform
bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup,
esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk.
E.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Strongyloides stercoralis (terlampir)
Cara berkembang biak Strongyloides stercoralis diduga secara parthenogenesis. Telur
bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi
larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini
mempunyai tiga macam daur hidup.
1. Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform berbentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya ±
700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke dalam
peredaran darah vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit
yang mulai dari dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan kemudian sampai di usus halus
bagian atas dan menjadi dewasa cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kurang
lebih 28 hari sesudah infeksi.
1. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing
betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm,
mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum, sesudah pembuahan,cacing
betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva raditiform
dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke
dalam hospes baru, atau larva rabeditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus
tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai
dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri
tropik dengan iklim lembab yang lebih dingin dengan keadaan yang lebih
menguntungkan untuk parasit tersebut.
1. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah di
sekitar anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka terjadi
daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik.
E.4. Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang
dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa
menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides stercoralis
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat
menyebabklan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak
menjalar. Mungkin ada mual dan muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada
strongioloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing
dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus di gestivus dan
larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada
pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia meskipun pada
banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.
E.5. Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat menguntungkan
cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah gembur, berpasir dan humus.
E.6. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan strongiloidasisdapat dicegah dengan cara menghindari kontak dengan tanah,
tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan
pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi cacing tambang
pada umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan untuk pembuangan kotoran
manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya pencegahan
juga dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, orang itu
harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat mebendazol,
pirantel pamoat dan levamisol walaupun hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang
banyak dipakai adalah tiabendazol.
1. Trichuris trichiura
F.1. Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
F.2. Morfologi
Gambar Trichuris trichiura (terlampir)
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian
enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh.
Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul,
sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa
hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran
50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan
yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
bagian dalamnya jernih.
E.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichuris trichiura (terlampir)
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab
dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk
yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum).
Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang
tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.
F.4. Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini
tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan
iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan.
Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat
menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila
jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
F.5. Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di
beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90%.
F.6. Pencegahan dan Pengendalian
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita
trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang
dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
G. Trichinella spiralis
G.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
G.2. Morfologi
Gambar Trichinella spiralis (terlampir)
Bentuk cacing dewasa ini sangat halus menyerupai rambut. Ujung anteriornya langsing,
mulut kecil, bulat tanpa papel. Cacing jantan panjangnya 1,4-1,6 mm, ujung posteriornya
melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus, tidak mempunyai
spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat
membantu kopulasi. Cacing betina panjangnya 3-4 mm, posteriornya membulat dan
tumpul, vulva terletak seperlima bagian dari anterior tubuh. Cacing betina tidak
mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak.
G.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichinella spiralis (terlampir)
Awal infeksi pada manusia terjadi dengan memakan daging karnivora dan omnivora
mentah atau tidak dimasak dengan sempurna. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam
lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar). Larva masuk kedalam mukosa usus
kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh,
terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain.
Kurang lebih awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot
bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi
perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang
mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan.
Di usus halus bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam
larva dilepaskan dan segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu
1,5-2 hari.
G.4. Patologi
Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium
dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut,
diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi.
Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul
nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan,
edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat
menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas. Gejala lain yang timbul adalah
polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus
infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan
kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80%
penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita
tidak segera diobati, kematian bisa mencapai 50%. Pada pemeriksaan hematologis,
eusinofilia, darah tepi minimal mencapai 20%. Banyak kasus ditemukan lebih dari 50%
bahkan mencapai 90%, terutama selama terjaadi kasus serangan otot. Gejala akan
berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi. Di sini larva membentuk dinding kista
dan mengalami klasifikasi.
G.5. Epidemiologi
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Frekuensi
trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi
pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi.
Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi
pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya,
atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-
sisa daging babi yang mengandung larva infektif.
Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di
rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di
daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan.
Infeksi T.spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi,
misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah.
Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Home made
sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C
atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau
diasap.
G.6. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa potongan-potongan daging
mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging
sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari
pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk
menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot.
H. Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum.
H.1. Klasifikasi
Klasifikasi Ancylostoma caninum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma caninum
Klasifikasi Ancylostoma braziliense
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma braziliense
Klasifikasi Ancylostoma ceylanicum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma ceylanicum
H.2. Morfologi
Gambar Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma ceylanicum
(terlampir)
Cacing dewasa tidak ditemukan pada manusia. Ancylostoma braziliense dewasa yang
jantan panjangnya 4,7-6,3 mm, sedangkan yang betina panjangnya 6,1-8,4 mm. Mulutnya
mempunyai sepasang gigi besar dan sepasang gigi kecil. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatrik kecil dengan ras pendek. Ancylostoma caninum jantan panjangnya 10 mm dan
betinanya 14 mm. Mulutnya mempunyai 3 pasang gigi besar. Cacing jantan mempunyai
bursa kopulatrik besar dengan ras panjang dan langsing. Ancylostoma ceylanicum dapat
menjadi dewasa pada manusia. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi yang tidak sama
besarnya.
H.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
ceylanicum (terlampir)
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva
filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8
minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus
kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-
paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
H.4. Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease atau cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa,
yang antara lain disebabkan Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Pada
tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan gatal. Dalam
beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah,
sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva didalam
kulit. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi
infeksi sekunder karena kulit di garuk.
Perjalanan penyakit cacingan dengan perubahan patologi yang teramati sangat ditentukan
oleh proses infeksi cacing (larva) ke dalam tubuh dan perkembangannya terkait dengan
daur hidupnya.
1. Penetrasi larva per kutan
Gambaran radang kulit sebagai akibat penetrasi larva cacing Ancylostoma duodenale
melalui kulit pada manusia, yang dikenal sebagai creeping eruption oleh larva migrans,
gambaran patologinya pada anjing dan kucing tidak sejelas pada manusia. Dilaporkan
bahwa radang kulit pada anjing terdapat di rongga antar jari-jari, kaki dan kadang-kadang
pada kulit perut. Meskipun gejala klinisnya kurang jelas dari yang terlihat pada manusia,
gejala pada anjing dapat berupa rasa gatal, kemerahan, dan terjadinya papulae di daerah
yang menderita. Dalam keadan tertentu lesi kulit mirip radang kulit oleh tungau demodex
(terbatas) atau mirip dermatitis atopik. Rasa gatal terlihat dari usaha menjilati sebagai
ganti menggaruk daerah yang gatal. Membesarnya kaki ataupun terjadinya deformitas
pangkal kuku dan kukunya juga mungkin diamati. Infeksi yang meluas juga dapat
mencapai sendi-sendi pada jari-jari kaki.
1. Larva migrans
Apabila jumlah larva yang bermigrasi melalui paru-paru cukup banyak dapat terjadi
iritasi jaringan paru-paru termasuk saluran nafas hingga terjadi batuk yang sifatnya ringan
sampai dengan sedang. Dalam pemeriksaan pascamati, maupun pemeriksaan
histopatologi sering ditemukan larva cacing dalam jumlah besar.
1. Infeksi cacing dalam usus halus
Oleh adanya cacing dalam mukosa usus halus beberapa perubahan patologi dan faali
dapat terjadi. Perubahan-perubahan patologik dan faali tersebut meliputi anemia, radang
usus ringan sampai berat, hipoproteinemia, terjadinya gangguan penyerapan makanan dan
terjadinya penekanan terhadap respon imunitas dari anjing.
Oleh karena gigitan cacing yang sekaligus melekat pada mukosa, segera terjadi
perdarahan yang tidak segera membeku karena toksin yang dihasilkan oleh cacing.
Cacing dewasa biasa berpindah-pindah tempat gigitannya hingga terjadilah luka-luka
yang mengucurkan darah segar. Tiap ekor cacing dewasa Ancylostoma caninum dapat
menyebabkan kehilangan darah 0,05-0,2 ml/hari dan Ancylostoma braziliense dapat
menyebabkan kehilangan darah 0,001 ml/hari. Darah yang mengucur ke dalam luen akan
keluar bersama tinja dan karena adanya darah tersebut tinja menjadi berwarna hitam.
Pengeluaran tinja bercampur darah tersebut biasa disebut melena (Animals Health Care
Center, 2008).
H.5. Epidemiologi
Ketiga cacing ini ditemukan di daerah topik dan subtropik dan juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan
72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18%
Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Diantara 100 anjing, 37%
mengandung Ancylostoma ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing
sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
H.6. Pencegahan dan Pengendalian
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
caninum. Penularan bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah yang
tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengobatan pada kucing perlu mempertimbangkan
jenis obat cacing yang digunakan dan umur atau berat minimum si kucing. Beberapa obat
seperti diklorofen atau toluen hanya boleh diberikan pada kucing setidaknya dengan berat
badan 1kg dan ivermektin setidaknya pada umur kucing 6 minggu diberikan selama 3
hari. Pyrantel pamoat dapat diberikan setelah umur 2 minggu sekali saja. adapula obat
yang tidak boleh diberikan pada kucing, seperti golongan Milbemycin. Pengobatan
Creeping eruption dapat dilakukan dengan memberikan semprotan kloretil ataupun
albendazole, dosis tunggal 400 mg selama 3 hari berturut-turut cukup efektif. Pada anak
dibawah umur 2 tahun albendazole diberikan dalam bentuk salep 2 % (Animal Health
Care Center,2008).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cacing Nematoda usus merupakan cacing parasit yang distribusi geografisnya kosmopolit
yang menjadi permasalahan tersendiri bagi kesehatan masyarakat dunia. Hospes dari
spesies cacing Nematoda parasit usus ini kebanyakan adalah manusia, tetapi beberapa
diantaranya ditemukan pada hewan seperti Toxocara canishospesnyaanjing; Toxocara
cati pada kucing; Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma
ceylanicumditemukan pada anjing dan kucing serta Trichinella spiralis yang ditemukan
pada tikus, babi, beruang, kucing, anjing dan babi hutan. Apabila cacing tersebut telah
berinvestasi pada tubuh hospesnya maka akan menimbulkan beberapa gangguan dan
penyakit pada sistem tubuh tetapi cenderung mempertahankan kehidupan hospesnya.
Di antara Nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan
disebut ‘soil transmitted helmints’. Tingginya infeksi cacing usus di Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan oleh iklim tropis yang lembab,
sanitasi perseorangan dan lingkungan yang kurang baik, pendidikan yang rendah, sarana
jamban keluarga yang kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia dan kepadatan
penduduk yang tinggi.
Penularan cacing Nematoda parasit usus yaitu :
Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Toxocara canis, Toxocara
cati dan Enterobius vermicularis.
Larva infektif masuk melalui kulit : Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang.
Telur matang masuk melalui mulut : Trichuris trichiura.
Pencegahan yang perlu dilakukan oleh masyarakat agar tidak terinfeksi oleh cacing
nematoda parasit usus ini yaitu sebagai berikut :
Menjaga sanitasi lingkungan, kebersihan perseorangan, dan kebersihan hewan
peliharaan.
Menambah pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, yang dapat
diperoleh dari membaca buku dan menyimak penyuluhan.
Daftar Pustaka
Dachi, Rahmat A. 2005. Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar Nomor 174593
Hatoguan Terhadap Infeksi Cacing Perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir
Tahun 2005. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15363/1/mki-des2005-
%20(5).pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar
Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di
Wilayah Dki Jakarta. www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/5-Mardiana.pdf.
Diakses pada tanggal 9 Maret 2012
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2000. Parasitologi Medik 1. Jakarta: EGC
Wani, Imtiaz dan Nazir Mir. 2010. Historical Review of Intestinal Ascariasis: Surgical
History. http://globaljournals.org/GJMR_Volume10/1-Historical-Review-of-Intestinal-
Ascariasis-Surgical.pdf. Diakses pada tanggal 9 Maret 2011
LAMPIRAN
A.Cacing
Betina
B.Cacing
Jantan
Gambar
Ascaris

lumbricoides
Gambar Toxocara canis
Gambar Toxocara cati
Gambar Enterobius vermicularis
Gambar Necator americanus
Gambar Ancylostoma duodenale
Gambar Strongyloides stercoralis
Gambar Trichuris trichiura
Gambar Trichinella spiralis
Gambar Ancylostoma caninum

Gambar Ancylostoma braziliense


Gambar Ancylostoma ceylanicum
Siklus hidup Ascaris lumbricoides
Siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati
Siklus hidup Enterobius vermicularis
a
Siklus Hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
Siklus hidup Strongyloides stercoralis
Siklus hidup Trichuris trichiura
Siklus hidup Trichinella spiralis
Siklus hidup Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense, dan
Ancylostoma ceylanicum
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Spesies Nematoda usus banyak ditemukan di daerah tropis termasuk Indonesia dan
tersebar di seluruh dunia. Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian
besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Diantara
nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang tercemar
oleh cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan
balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka dapat
mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang dewasa
dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi masalah
kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan
melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp
(cacing tambang).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah
kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke
mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan
dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di
Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi
dan sanitasi lingkungan.(Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada
daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan yang
ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat menyebabkan kekurangan gizi
yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris
lumbricoides adalah salah satu spesies nematoda usus yang banyak menyerang manusia,
hampir 25% populasi penduduk dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang telah terinfeksi
cacing ini. Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005), disertai dengan hasil studi
epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara penyakit Ascariasis pada anak dengan
tempat tinggal mereka yang dekat dengan air limbah. (Wani, 2010)
1. Tujuan
2. Mengetahui klasifikasi dari nematoda parasit usus.
3. Mengetahui morfologi nematoda parasit usus.
4. Mengetahui siklus hidup nematoda parasit usus.
5. Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6. Mengetahui epidemiologi dan distribusi geografis penyakit yang disebabkan oleh
nematoda parasit usus.
7. Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian yang disebabkan oleh nematoda
parasit usus.
BAB II
PEMBAHASAN
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada
tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda
usus. Nematoda usus terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan didaerah
tropis dan tersebar diseluruh dunia. Spesies tersebut diantaranya Ascaris lumbricoides,
Toxocara canis, Toxocara cati, Enterobius vermicularis, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis, Trichuris trichiura, Trichinella
spiralis, Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum , dan Ancylostoma ceylanicum.
1. Ascaris lumbricoides
A.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Species : Ascaris lumbricoides
A.2. Morfologi
Gambar morfologi Ascaris lumbricoides (terlampir)
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Pada cacing jantan ujung
posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi pepil kecil dan dua buah
spekulum berukuran 2 mm, sedangkan pada cacing betina bagian posteriornya membulat
dan lurus, dan 1/3 pada anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna
putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris
lurus.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron, dan yang tidak dibuahi 90 x
40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini, bila terbentuknya
oval melebar, mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol, dan umumnya
berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat mencapai 75 μm dan lebarnya 50
μm. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran panjangnya dapat
mencapai 90 μm, lapisan yang berbenjol-benjol dapat terlihat jelas dan kadang-kadang
tidak dapat dilihat.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai
kelembaban tinggi dan pada suhu 25-30◦ C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk
yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu.
A.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ascaris lumbricoides (terlampir)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia,
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah
atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru.
Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.
Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam
esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa. Sejak
telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2
(dua) bulan.
A.4. Patologi
Gejala yang timbul pada manusia disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan
karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru. Pada orang yang rentan
terjadi pendarahan ringan di dinding alveolus disertai batuk, demam, dan eusinofilia.
Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan
tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
menyebabkan penderita terkadang mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memeperberat
keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak. Efek yang serius terjadi bila
cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan
tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendik, atau ke bronkus dan
menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan kooperatif.
A.5. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya 60-90%.
Kurangya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di
sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan
sampah bahkan di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25o-30o C merupakan kondisi yang sangat baik
untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.
A.6. Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
Hendaknya pembuangan tinja (feses) pada W.C. yang baik.
Pemeliharaan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Penerangan atau penyuluhan melalui sekolah, organisasi kemasyarakatan oleh guru-
guru dan pekerja-pekerja kesehatan.
Hendaknya jangan menggunakan tinja sebagai pupuk kecuali sudah dicampur dengan
zat kimia tertentu.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan memutus siklus hidup
Ascaris lumbricoides. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup
Ascaris lumbricoides ini. Kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga oleh
masyarakat dapat menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah,
di bawah pohon dan di tempat-tempat pembuangan sampah. Upaya pengendalian juga
dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti yang diberikan secara
perorangan maupun massal. Obat lama yang pernah digunakan adalah piperasin,
tiabendasol, heksilresorkimol, dan hetrazam.
1. Toxocara canis dan Toxocara cati
B.1. Klasifikasi
Klasifikasi Toxocara canis
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara canis
Klasifikasi Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Species : Toxocara cati
B.2. Morfologi
Gambar Toxocara canis dan Toxocara cati (terlampir)
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang 3,6-8,5 cm sedangkan yang betina 5,7-
10 cm, Toxocara cati jantan mempunyai ukuran 2,5-7,8 cm, sedangkan yang betina
berukuran 2,5-14 cm. Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara
canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangakan pada Toxocara
cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk
ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan
jari yang sedang menunjuk (digitiform), yang betina ekornya bulat meruncing.
B.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati (terlampir)
Telur yang keluar bersama tinja anjing atau kucing akan berkembang menjadi telur
infektif di tanah yang cocok. Hospes definitif dapat tertular baik dengan menelan telur
infektif atau dengan memakan hospes paratenik yang tinggal di tanah seperti cacing tanah
dan semut. Penularan larva pada anak anjing atau kucing dapat terjadi secara
transplasental dari induk anjing yang terinfeksi atau melalui air susu dari induk kucing
yang terinfeksi telur tertelan manusia (hospes paratenik) kemudian larva menembus usus
dan ikut dalam peredaran darah menuju organ tubuh (hati, jantung, paru, otak, dan mata).
Di dalam orang larva tersebut tidak mengalami perkembangan lebih lanjut.
B.4. Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam.
Kelainan yang timbul karena migrasi larva dapat berupa perdarahan, nekrosis, dan
peradangan yang didominasi oleh eosinofil. Larva dapat terbungkus dalam granuloma
kemudian dihancurkan atau tetap hidup selama bertahun-tahun. Kematian larva
menstimulasi respon imun immediate-type hipersisentivity yang menimbulkan penyakit
visceral larva migrans (VLM). Dengan gejala demam, perbesaran hati, dan limfa, gejala
saluran nafas bawah seperti bronkhouspasme. Kelainan pada otak menyebabkan kejang,
gejala neuro psikitrik/ensefalopati berat ringannya gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah
larva dan umur penderita. Umumnya penderita VLM adalah anak usia di bawah 5 tahun
karena mereka banyak bermain di tanah atau kebiasaan memakan tanah yang
terkontaminasi tinja anjing atau kucing.
B.5. Epidemiologi
Toxocara canis dan Toxocara cati tersebar secara kosmopolit dan ditemukan juga di
Indonesia. Di jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26,0%. Prevalensi
toxocariasis pada anjing dan kucing pernah dilaporkan di Jakarta masing-masing
mencapai 38,3 % dan 26,0 %.
B.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan infeksi dilakukan dengan mencegah pembuangan tinja anjing atau kucing
peliharaan secara sembarangan terutama di tempat bermain anak-anak dan kebun
sayuran. Pada manusia, pencegahan dilakukan dengan pengawasan terhadap anak yang
mempunyai kebiasaan makan tanah, peningkatan kebersihan pribadi seperti, kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan, tidak makan daging yang kurang matang dan
membersihkan secara seksama sayur lalapan.
1. Enterobius vermicularis
C.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuroidea
Genus : Enterobius
Species : Enterobius vermicularis
C.2. Morfologi
Gambar Enterobius vermicularis (telampir).
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran
kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali ekornya panjang
dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran
2-5 mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga
sekum, usus besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.
C.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Enterobius vermicularis (terlampir)
Manusia adalah satu-satunya hospes Enterobius vermicularis. Tempat hidup cacing kremi
dewasa biasanya adalah coecum, dan bagian usus besar dan usus halus yang berdekatan
dengan coecum. Cacing betina yang hamil, yang mengandung kira-kira 11.000 butir telur
pada malam hari bermigrasi ke daerah perianal dan perineal, tempat telurnya dikeluarkan
dalam kelompok-kelompok dengan kontraksi uterus dan vagina karena rangsangan suhu
yang lebih rendah dan lingkungan udara. Telur menjadi matang dan infektif beberapa jam
setelah dikeluarkan. Telur jarang dikeluarkan di dalam rongga usus maka pemeriksaan
tinja tidak penting. Bila telur ditelan, larva stadium pertama menetas di dalam duodenum.
C.4. Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis
yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina
gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal.
Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan proritusani maka penderita
menggaruk daerah di sekitar anus. Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga
penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda
bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung
sehingga menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid
mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan
turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi,
tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi.
C.5. Epidemiologi
Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan dapat terjadi pada
keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama (asrama, rumah
piatu). Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah
dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan
bebarapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan
(92%) di lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus, bak mandi alas kasur, pakaian
dan tilam. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa enterobiasis sering
menyerang pada anak usia 5-9 tahun yaitu pada 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang
diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh :
1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi)
atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri
sendiri karena memegang benda-baenda maupun pakaian yang terkontaminasi.
2. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga
telur melalui debu dapat tertelan.
3. Retrofeksi melalui anus : larva dari telur yang menetas disekitar anus kembali
masuk ke usus.
Anjing dan kucing tidak mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi
oleh karena telur dapat menempel pada bulunya. Frekuensi di Indonesia tinggi terutama
pada anak dan lebih banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada
orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro.
C.6. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan enterobiasis dapat melalui tangan, debu ataupun retrofeksi melalui anus oleh
karena itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya:
Menjaga kebersihan diri sendiri.
Kuku sebaiknya pendek dan selalu cuci tangan sebelum makan.
Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit.
Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari.
Anak yang mengandung Enterobius vermicularis sebaiknya memakai celana panjang
jika hendak tidur supaya alas kasur tidak terkontaminasi dan tangan tidak dapat
menggaruk daerah perianal.
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan seperti
pyrantel pamoat, mebendazol ataupun albendazol.
1. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
D.1. Klasifikasi
Klasifikasi Necator americanus
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Necator
Species : Necator americanus
Klasifikasi Ancylostoma duodenale
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Rhabditoidea
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma duodenale
D.2. Morfologi
Gambar Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (terlampir)
Cacing tambang dewasa berbentuk silindris, cacing betina berukuran 9-13 mm
sedangakan cacing jantan berukuran 5-10 mm bentuk Necator americanus berbentuk
seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk seperti huruf C.
Rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus
mulut dilengkapi dengan gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi
dua pasang gigi berbentuk lancip. Cacing jantan pada kedua cacing ini, ujung ekornya
mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip.
Secara morfologis kedua spesies cacing dewasa ini mempunyai perbedaan yang nyata
(terutama bentuk tubuh, rongga mulut dan bursa kopulatriksnya).
D.3. Siklus hidup
Telur kedua cacing ini, keluar bersama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan
waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva rabditiform kemudian dalam
waktu sekitar 3 hari, larva rabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk
infektif). Larva filariform dapat tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Infeksi pada
manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau tertelan.
Siklus hidup kedua cacing tambang ini dimulai dari larva filariform menembus kulit
manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung kanan,
paru-paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
D.4. patologi
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis, yaitu:
1. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang
disebut ground itch. Perubahan pada paru biasannya ringan infeksi larva filariform
Ancylostoma duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual,
muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak
1. Stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fedan
Protein). Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale 0,08-0,34 cc. Pada infeksi berat
terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing
tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi
kerja turun.
D.5. Epidemiologi
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja perkebunan yang langsung berhubungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah dan
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu) penting dalam
penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir,
humus) dengan suhu optimum untuk Necator americans 280-320 C, sedangkan untuk
Ancylostoma duodenale lebih rendah (230-250C). Pada umumnya Ancylostoma duodenale
lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu.
D.6. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan:
Menghindari kontak langsung dengan tanah dan tempat kotor lainnya.
Hendaknya pembuangan feses pada tempat/WC yang baik.
Melindungi orang yang mungkin mendapat infeksi.
Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi lingkungan
Hendaknnya penggunaan tinja sebagai pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut sudah
dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya.
Penerangan melalui sekolah-sekolah.
Menjaga kebersihan diri.
Selalu menggunakan sandal atau alas kaki ketika bepergian.
Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu
melalui obat pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale
). Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat,
bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat.
1. Strongyloides stercoralis
E.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Rhabiditoidea
Genus : Strongyloides
Species : Strongyloides stercoralis
E.2. Morfologi
Gambar Strongyloides stercoralis (terlampir)
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di
dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat
berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik
atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan betina. Bentuk bebas ditandai
dengan adanya cacing jantan dan betina dengan esofagus rabditiform, ujung posterior
cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik
ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi
parasitik mampu menembus kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing
betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cacing
dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan uterusnya berisi telur
dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah secara parthenogenesis. Telur
bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform
yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang
hidup bebas panjangnya kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor
melingkar dengan spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut:
terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform
bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup,
esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk.
E.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Strongyloides stercoralis (terlampir)
Cara berkembang biak Strongyloides stercoralis diduga secara parthenogenesis. Telur
bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi
larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini
mempunyai tiga macam daur hidup.
1. Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16 mikron, berubah
menjadi larva filariform berbentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya ±
700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke dalam
peredaran darah vena, kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit
yang mulai dari dewasa menembus alveolus masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai
di laring terjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan kemudian sampai di usus halus
bagian atas dan menjadi dewasa cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kurang
lebih 28 hari sesudah infeksi.
1. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing
betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm,
mempunyai ekor melengkung dengan dua buah spikulum, sesudah pembuahan,cacing
betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva raditiform
dalam waktu beberapa hari dapat menjadi larva filariform yang infektif dan masuk ke
dalam hospes baru, atau larva rabeditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus
tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai
dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri
tropik dengan iklim lembab yang lebih dingin dengan keadaan yang lebih
menguntungkan untuk parasit tersebut.
1. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah di
sekitar anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka terjadi
daur perkembangan di dalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita yang hidup di daerah nonendemik.
E.4. Patologi
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang
dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa
menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides stercoralis
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat
menyebabklan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak
menjalar. Mungkin ada mual dan muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada
strongioloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing
dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus di gestivus dan
larvanya dapat ditemukan di berbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Pada
pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia meskipun pada
banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.
E.5. Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi kurang, sangat menguntungkan
cacing strongiloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan larva ini adalah tanah gembur, berpasir dan humus.
E.6. Pencegahan dan Pengendalian
Penularan strongiloidasisdapat dicegah dengan cara menghindari kontak dengan tanah,
tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan
pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi cacing tambang
pada umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan untuk pembuangan kotoran
manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya pencegahan
juga dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, orang itu
harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat mebendazol,
pirantel pamoat dan levamisol walaupun hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang
banyak dipakai adalah tiabendazol.
1. Trichuris trichiura
F.1. Klasifikasi
Klasifikasi Trichuris trichiura
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichuris
Species : Trichuris trichiura
F.2. Morfologi
Gambar Trichuris trichiura (terlampir)
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian
enterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh.
Bagian posterior bentuknya lebih gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul,
sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa
hidup di kolon asendens dan sekum (caecum) dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran
50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan
yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
bagian dalamnya jernih.
E.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichuris trichiura (terlampir)
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab
dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk
yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi dewasa
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum (caecum).
Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang
tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.
F.4. Patologi
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak, cacing ini
tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan
iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan.
Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat
menyebabkan anemia. Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila
jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri
perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun.
F.5. Epidemiologi
Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oC. Pemakaian tinja
sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di
beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya sebesar 30-90%.
F.6. Pencegahan dan Pengendalian
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita
trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan mencuci sayuran yang
dimakan mentah adalah penting apalagidinegeri yang memakai tinja sebagai pupuk.
G. Trichinella spiralis
G.1. Klasifikasi
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass : Adenophorea
Ordo : Enoplida
Famili : Trichinelloidea
Genus : Trichinella
Species : Trichinella spiralis
G.2. Morfologi
Gambar Trichinella spiralis (terlampir)
Bentuk cacing dewasa ini sangat halus menyerupai rambut. Ujung anteriornya langsing,
mulut kecil, bulat tanpa papel. Cacing jantan panjangnya 1,4-1,6 mm, ujung posteriornya
melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus, tidak mempunyai
spikulum tepi, dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat
membantu kopulasi. Cacing betina panjangnya 3-4 mm, posteriornya membulat dan
tumpul, vulva terletak seperlima bagian dari anterior tubuh. Cacing betina tidak
mengelurkan telur tetapi mengelurakan larva. Panjang larva yang baru dikeluarkan
kurang lebih 80-120 mikron, bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai tombak.
G.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Trichinella spiralis (terlampir)
Awal infeksi pada manusia terjadi dengan memakan daging karnivora dan omnivora
mentah atau tidak dimasak dengan sempurna. Daging tersebut mengandung kista yang
berisi larva infektif yang berjumlah mencapai 1500 buah. Daging dicerna di dalam
lambung sehingga terjadi ekskistasi (larva keluar). Larva masuk kedalam mukosa usus
kemudian masuk ke dalam limfa dan peredaran darah, lalu disebarkan ke seluruh tubuh,
terutama otot diafragma, iga, lidah, laring, mata, perut, rahang, leher, bisep dan lain lain.
Kurang lebih awal minggu ke 4 larva yang telah tumbuh hanya menjadi kista dalam otot
bergaris lintang. Panjang kista 0,8-1 mm. Larva dalam kista dapat bertahan hidup sampai
beberapa tahun. Kista dapat hidup di otot selama kurang lebih 18 bulan, kemudian terjadi
perkapuran dalam waktu 6 bulan sampai 2 tahun. Infeksi terjadi bila daging babi yang
mengandung larva infektif yang terdapat dalam kista dimakan.
Di usus halus bagian proksimal dinding kista dicernakan dan dalam waktu beberapa jam
larva dilepaskan dan segera masuk ke mukosa kemudian menjadi dewasa dalam waktu
1,5-2 hari.
G.4. Patologi
Gejala trikinosis tergantung pada beratnya infeksi yang disebabkan oleh cacing stadium
dewasa dan stadium larva. Gejala klinis yang disebabkan cacing ini meliputi sakit perut,
diare, mual dan muntah. Masa tunas gejala usus ini kira-kira 1-2 hari sesudah infeksi.
Larva tersebut tersebar di otot kurang lebih 7-8 hari setelah infeksi. Pada saat ini timbul
nyeri otot (mialgia) dan radang otot (miositis) yang disertai demam pembengkakan,
edema muka, badan lemah, eusinofilia dan hipereosinofilia. Akibat kerusakan otot dapat
menyebabkan gangguan mengunyah, menelan, bernapas. Gejala lain yang timbul adalah
polyneuritis, polionielitis, mengisitis, ensefalitis, dermatomiositis dan nodosa. Kasus
infeksi terberat adalah miokaritis. Biasanya terjadi pada minggu ke 3, sedangkan
kematian sering terjadi pada minggu ke 4 sampai ke 8. Diperkirakan 20% sampai 80%
penderita trikinosis umumnya mengalami kelainan susunan saraf pusat. Apabila penderita
tidak segera diobati, kematian bisa mencapai 50%. Pada pemeriksaan hematologis,
eusinofilia, darah tepi minimal mencapai 20%. Banyak kasus ditemukan lebih dari 50%
bahkan mencapai 90%, terutama selama terjaadi kasus serangan otot. Gejala akan
berkurang setelah larva mengalami enkapsulasi. Di sini larva membentuk dinding kista
dan mengalami klasifikasi.
G.5. Epidemiologi
Cacing ini tersebar diseluruh dunia kecuali di kepulauan Pasifik dan Australia. Frekuensi
trikonosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dan kista di mayat atau melalui tes
intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang penduduknya gemar
memakan daging babi. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi trikinosis sedikit. Infeksi
pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya penyakit ini dari babi.
Dilihat dari daur hidupnya, ternyata babi dan tikus memelihara infeksi di alam. Infeksi
pada babi terjadi karena babi makan tikus yang mengandung larva infektif dalam ototnya,
atau karena babi makan sampah dapur dan sampah penjagalan (garbage) yang berisi sisa-
sisa daging babi yang mengandung larva infektif.
Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa daging babi di penjagalan atau di
rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Frekuensi trikonosis pada manusia tinggi di
daerah tempat orang banyak makan babi yang diberi makanan dari sisa penjagalan.
Infeksi T.spiralis pada manusia tergantung dari lenyapnya penyakit ini pada babi,
misalnya dengan sisa penjagalan yang mengandung potongan-potongan mentah.
Pengolahan daging babi sebelum dimakan oleh manusia juga penting. Home made
sausage dapat lebih berbahaya. Hendaknya dilakukan pula pendidikan pada ibu rumah
tangga dalam cara memasak daging babi yang baik. Larva mati pada suhu kira-kira 60o C
atau pada suhu jauh dibawah titik beku. Larva tidak mati dalam daging yang diasin atau
diasap.
G.6. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidaknya penyakit ini dari babi.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memusnahkan sisa potongan-potongan daging
mentah yang banyak ditemukan di penjagalan,tidak memberi makan babi dengan daging
sisa penjagalan, memasak daging babi dengan matang sempurna serta menghindari
pengolahan daging babi yang diasap atau diasinkan. Diperlukan obat analgetik untuk
menghilangkan sakit kepala dan nyeri otot.
H. Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum.
H.1. Klasifikasi
Klasifikasi Ancylostoma caninum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma caninum
Klasifikasi Ancylostoma braziliense
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma braziliense
Klasifikasi Ancylostoma ceylanicum
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Strongylida
Family : Ancylostomatidae
Genus : Ancylostoma
Species : Ancylostoma ceylanicum
H.2. Morfologi
Gambar Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma ceylanicum
(terlampir)
Cacing dewasa tidak ditemukan pada manusia. Ancylostoma braziliense dewasa yang
jantan panjangnya 4,7-6,3 mm, sedangkan yang betina panjangnya 6,1-8,4 mm. Mulutnya
mempunyai sepasang gigi besar dan sepasang gigi kecil. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulatrik kecil dengan ras pendek. Ancylostoma caninum jantan panjangnya 10 mm dan
betinanya 14 mm. Mulutnya mempunyai 3 pasang gigi besar. Cacing jantan mempunyai
bursa kopulatrik besar dengan ras panjang dan langsing. Ancylostoma ceylanicum dapat
menjadi dewasa pada manusia. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi yang tidak sama
besarnya.
H.3. Siklus Hidup
Gambar siklus hidup Ancylostoma caninum, Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
ceylanicum (terlampir)
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva
filariform (bentuk infektif), yang dapat menembus kulit dan dapat hidup dalam 7-8
minggu di tanah. Daur hidup kedua cacing ini dimulai dari larva filariform menembus
kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-
paru, bronkus, trakea, laring dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa.
H.4. Patologi
Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping eruption, creeping disease atau cutaneous larva migrans. Creeping eruption
adalah suatu dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa,
yang antara lain disebabkan Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Pada
tempat larva filariform menembus kulit terjadi papel keras, merah dan gatal. Dalam
beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit yang tampak sebagai garis merah,
sedikit menimbul, gatal sekali dan bertambah panjang menurut gerakan larva didalam
kulit. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat vesikel-vesikel kecil dan dapat terjadi
infeksi sekunder karena kulit di garuk.
Perjalanan penyakit cacingan dengan perubahan patologi yang teramati sangat ditentukan
oleh proses infeksi cacing (larva) ke dalam tubuh dan perkembangannya terkait dengan
daur hidupnya.
1. Penetrasi larva per kutan
Gambaran radang kulit sebagai akibat penetrasi larva cacing Ancylostoma duodenale
melalui kulit pada manusia, yang dikenal sebagai creeping eruption oleh larva migrans,
gambaran patologinya pada anjing dan kucing tidak sejelas pada manusia. Dilaporkan
bahwa radang kulit pada anjing terdapat di rongga antar jari-jari, kaki dan kadang-kadang
pada kulit perut. Meskipun gejala klinisnya kurang jelas dari yang terlihat pada manusia,
gejala pada anjing dapat berupa rasa gatal, kemerahan, dan terjadinya papulae di daerah
yang menderita. Dalam keadan tertentu lesi kulit mirip radang kulit oleh tungau demodex
(terbatas) atau mirip dermatitis atopik. Rasa gatal terlihat dari usaha menjilati sebagai
ganti menggaruk daerah yang gatal. Membesarnya kaki ataupun terjadinya deformitas
pangkal kuku dan kukunya juga mungkin diamati. Infeksi yang meluas juga dapat
mencapai sendi-sendi pada jari-jari kaki.
1. Larva migrans
Apabila jumlah larva yang bermigrasi melalui paru-paru cukup banyak dapat terjadi
iritasi jaringan paru-paru termasuk saluran nafas hingga terjadi batuk yang sifatnya ringan
sampai dengan sedang. Dalam pemeriksaan pascamati, maupun pemeriksaan
histopatologi sering ditemukan larva cacing dalam jumlah besar.
1. Infeksi cacing dalam usus halus
Oleh adanya cacing dalam mukosa usus halus beberapa perubahan patologi dan faali
dapat terjadi. Perubahan-perubahan patologik dan faali tersebut meliputi anemia, radang
usus ringan sampai berat, hipoproteinemia, terjadinya gangguan penyerapan makanan dan
terjadinya penekanan terhadap respon imunitas dari anjing.
Oleh karena gigitan cacing yang sekaligus melekat pada mukosa, segera terjadi
perdarahan yang tidak segera membeku karena toksin yang dihasilkan oleh cacing.
Cacing dewasa biasa berpindah-pindah tempat gigitannya hingga terjadilah luka-luka
yang mengucurkan darah segar. Tiap ekor cacing dewasa Ancylostoma caninum dapat
menyebabkan kehilangan darah 0,05-0,2 ml/hari dan Ancylostoma braziliense dapat
menyebabkan kehilangan darah 0,001 ml/hari. Darah yang mengucur ke dalam luen akan
keluar bersama tinja dan karena adanya darah tersebut tinja menjadi berwarna hitam.
Pengeluaran tinja bercampur darah tersebut biasa disebut melena (Animals Health Care
Center, 2008).
H.5. Epidemiologi
Ketiga cacing ini ditemukan di daerah topik dan subtropik dan juga ditemukan di
Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan
72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18%
Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Diantara 100 anjing, 37%
mengandung Ancylostoma ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing
sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
H.6. Pencegahan dan Pengendalian
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma
caninum. Penularan bisa dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah yang
tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengobatan pada kucing perlu mempertimbangkan
jenis obat cacing yang digunakan dan umur atau berat minimum si kucing. Beberapa obat
seperti diklorofen atau toluen hanya boleh diberikan pada kucing setidaknya dengan berat
badan 1kg dan ivermektin setidaknya pada umur kucing 6 minggu diberikan selama 3
hari. Pyrantel pamoat dapat diberikan setelah umur 2 minggu sekali saja. adapula obat
yang tidak boleh diberikan pada kucing, seperti golongan Milbemycin. Pengobatan
Creeping eruption dapat dilakukan dengan memberikan semprotan kloretil ataupun
albendazole, dosis tunggal 400 mg selama 3 hari berturut-turut cukup efektif. Pada anak
dibawah umur 2 tahun albendazole diberikan dalam bentuk salep 2 % (Animal Health
Care Center,2008).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cacing Nematoda usus merupakan cacing parasit yang distribusi geografisnya kosmopolit
yang menjadi permasalahan tersendiri bagi kesehatan masyarakat dunia. Hospes dari
spesies cacing Nematoda parasit usus ini kebanyakan adalah manusia, tetapi beberapa
diantaranya ditemukan pada hewan seperti Toxocara canishospesnyaanjing; Toxocara
cati pada kucing; Ancylostoma branziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma
ceylanicumditemukan pada anjing dan kucing serta Trichinella spiralis yang ditemukan
pada tikus, babi, beruang, kucing, anjing dan babi hutan. Apabila cacing tersebut telah
berinvestasi pada tubuh hospesnya maka akan menimbulkan beberapa gangguan dan
penyakit pada sistem tubuh tetapi cenderung mempertahankan kehidupan hospesnya.
Di antara Nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan
disebut ‘soil transmitted helmints’. Tingginya infeksi cacing usus di Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya disebabkan oleh iklim tropis yang lembab,
sanitasi perseorangan dan lingkungan yang kurang baik, pendidikan yang rendah, sarana
jamban keluarga yang kurang, pencemaran lingkungan oleh tinja manusia dan kepadatan
penduduk yang tinggi.
Penularan cacing Nematoda parasit usus yaitu :
Telur infektif masuk melalui mulut : Ascaris lumbricoides, Toxocara canis, Toxocara
cati dan Enterobius vermicularis.
Larva infektif masuk melalui kulit : Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang.
Telur matang masuk melalui mulut : Trichuris trichiura.
Pencegahan yang perlu dilakukan oleh masyarakat agar tidak terinfeksi oleh cacing
nematoda parasit usus ini yaitu sebagai berikut :
Menjaga sanitasi lingkungan, kebersihan perseorangan, dan kebersihan hewan
peliharaan.
Menambah pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, yang dapat
diperoleh dari membaca buku dan menyimak penyuluhan.

https://ulfahkania.wordpress.com/201
2/12/26/nematoda-usus/

You might also like