Professional Documents
Culture Documents
LONG CASE
LEPTOSPIROSIS
Oleh:
Arrosy Syarifah
G4A015001
Pembimbing:
dr. Yudhi Wibowo, M.PH
dr. Dhini
APRIL 2017
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Arrosy Syarifah
G4A015001
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU/ KES
Tampak lemas, kesadaran compos mentis.
2. Tanda Vital
a. Nadi : 92x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
b. Pernafasan : 22x/menit, costoabdominal, reguler
c. Suhu : 39.8 oC
d. TD : 120/80 mmHg
3. Status gizi
a. BB : 55 kg
b. TB : 160 cm
c. IMT : 21. 4
d. Kesan status gizi : baik
4. Kulit
Turgor kulit kembali dalam satu detik.
5. Kepala
Kepala dalam batas normal.
6. Mata
Injeksi konjungtiva (+) , sklera , kornea, pupil, iris, lensa dalam batas normal.
Air mata normal, mata cekung (-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
massa (-)
8. Mulut
Mukosa bukkal basah (+).
9. Telinga
Telinga luar, tengah, dalam dalam batas normal
10. Tenggorokan
Tonsil , dan pharing dalam batas normal. Hiperemis (-).
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe
(-), distensi vena jugularis (-).
12. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-)
a. Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kiri bawah : SIC V LMCS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-)
b. Pulmo :
1) Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
2) Dinamis (depan dan belakang)
I : pergerakan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
13. Abdomen
I : dinding perut sejajar dengan dinding dada
A : bising usus (+) meningkat
Per : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Pal : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
14. Sistem Collumna Vertebralis
I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Pal :nyeri tekan (-)
15. Ektremitas: palmar eritema(-/-) capilarry refill 1 detik.
akral dingin - - oedem - -
- - - -
Articulatio genue dextra et sinistra :
I : oedem (-), eritema (-),hambatan dalam berjalan (-).
P : nyeri (-), hangat (-), krepitasi (-).
16. Sistem genitalia: dalam batas normal
17. Pemeriksaan Neurologik
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi Motorik :
K 5 5 T N N RF ++ RP - -
5 5 N N ++ - -
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Darah lengkap dan AIM
Leptospira IgM rapid test dengan hasil positif (+).
G. RESUME
Pasien datang ke IGD Puskesmas Pekuncen hari Rabu tanggal 26 April
2017 dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk IGD. Demam
muncul mendadak dan dirasakan sepanjang hari hingga disertai rasa
menggigil, pasien telah minum obat penurun demam (paracetamol) namun
demam hanya turun sebentar kemudian muncul kembali. Pasien juga
mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan berdenyut di sekitaran mata,
mata merah dan terasa panas serta berair. Selain itu pasien merasa badan di
daerah punggung dan kaki terasa kaku-kaku. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nadi 92x/menit, laju pernafasan 22x/menit, suhu 39.80C,Tensi
120/80 mmHg, terdapat injeksi konjungtiva, sedangkan pemeriksaan lain
dalam batas normal.
H. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Idea : Pasien mengeluh demam, nyeri kepala, badan kaku
terutama pada bagian paha dan punggung, mata merah
Concern : Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, hingga
ibu mertua dan kakak ipar pasien khawatir dengan kondisi
pasien
Expectacy : Pasien dan keluarga pasien mempunyai harapan agar
penyakit pasien dapat segera sembuh dan dapat segera
beraktivitas lagi.
Anxiety : Pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit pasien tidak
sembuh-sembuh karena demam tidak kunjung turun. serta
pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit ini menular
dan akan menulari angggota keluarga yang lain.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Leptospirosis
Gejala klinis yang muncul : Demam hingga mengigil, nyeri kepala,
badan terasa kaku terutama pada bagian paha dan punggung, serta mata
merah
Diagnosa banding : Demam Tifoid, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
a. Kebiasaan pasien lupa untuk mencuci tangan
sebelum dan setelah makan. Maupun setelah beraktivitas di luar
rumah.
b. Terbiasa memasak dan meletakan bahan
masakan dibawah (lantai) yang kebersihannya kurang, serta kebiasaan
lupa mencuci kembali bahan masakan tersebut.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat dan buruknya
lingkungan, antara lain pencahayaan, ventilasi, dan plafon, kebersihan
dan keadaan lingkungan rumah secara umum yang kurang sehat.
b. Rumah yang bersebelahan dengan kandang ayam juga memudahkan
tercemarnya lingkungan rumah oleh kotoran ayam.
c. Curah hujan yang tinggi pada saat ini menimbulkan genangan air di
sekitar rumah dan kandang ayam.
d. Banyaknya tikus yang terdapat disekitaran rumah pasien menjadi
factor risiko penularan penyakit ini. Pasien mengaku dirumahnya
terdapat banyak tikus yang berkeliaran di atap rumah. Sebelum
terkena sakit pasien sempat mengambil bahan makanan yang diambil
oleh tikus. Pasien mengaku lupa mencuci tangan setelah itu.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
biasanya, antara lain berdagang serta berkumpul dengan keluarganya.
I. PENATALAKSANAAN
1. Personal Care
a. Aspek kuratif
1) Medikamentosa
a) PO Doksisiklin 100 mg
b) PO Paracetamol 500mg 3x1 tab
2) Non Medika mentosa
a) Karena pasien demam, tidak nafsu makan dan minum. sehingga
pasien diberikan terapi cairan melalui intra vena dengan Ringer
Laktat (RL) 30 tpm untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada
pasien.
b) Diet lunak tinggi kalori tinggi protein
3) KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu diedukasi mengenai:
a) Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan
leptospira serta pencegahan dan tatalaksana dari penyakit
leptospirosis
b) Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah makan maupun
setelah melakukan kegiatan diluar rumah
c) Mencegah munculnya genangan-genangan air disekitar rumah
dan kandang ayam serta menjaga kebersihan disekitar
lingkungan rumah
d) Menjelaskan mengenai syarat-syarat rumah sehat secara
lengkap, beberapa contohnya antara lain mengenai adanya
kandang ayam di dekat rumah dan toilet yang tidak higienis.
e) Selalu menutup makanan dan minuman maupun bahan
makanan yang akan dimasak
f) Menjelaskan cara membuang sampah yang baik dengan
menutup tempat pembuangan sampah
g) Menjelaskan pentingnya menjaga nutrisi melalui makanan
yang sehat dan bergizi, memenuhi kebutuhan karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral.
b. Aspek Preventif
1) Menjelaskan mengenai kriteria rumah sehat serta memberi saran-
saran yang dapat diterapkan dan tepat guna
2) Memberikan anjuran pola hidup bersih dan sehat
3) Menjelaskan pentingnya penggunanan alat pelindung diri untuk
mencegah masuknya leptospira ke tubuh
4) Memasang perangkap tikus untuk mencegah penyebaran penyakit
leptospirosis
c. Aspek Promotif
1) Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan
leptospira hingga menyebabkan penyakit leptospirosis, serta
pencegahan dan tatalaksana leptospirosis
2) Memberi informasi mengenai komplikasi penyakit leptospirosis
serta pentingnya penanganan tepat dan dini dalam kasus
leptospirosis
d. Aspek Rehabilitatif
Monitoring terhadap keluhan pasien, keadaan umum, tanda vital, serta
tanda komplikasi leptospirosis
2. Family Care
a. Memotivasi keluarga untuk menjaga lingkungan yang sehat dan bersih.
b. Memberikan edukasi pengetahuan kepada keluarga mengenai
perjalanan penyakit leptospirosis, pencegahan penularan dan
pemantauan penyakit leptospirosis berkelanjutan, sehingga mendukung
kontrol dan pengobatan pasien.
c. Dukungan moral dari keluarga dalam pengendalian dan penyembuhan
penyakit pasien, pemantauan penyakit leptospirosis secara
berkelanjutan.
d. Memberikan anjuran kepada anggorta keluarga lainnya yang berisiko
tinggi untuk pola hidup sehat dan menjaga kebersihan.
3. Community Care
a. Memotivasi lingkungan untuk menjaga lingkungan yang sehat dan
bersih, karena lingkungan yang tidak sehat akan memicu faktor risiko
penyebaran penyakit leptospirosis
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai penyakit
leptospirosis, baik tanda gejala penyakit tersebut dan perjalanan
alamiahnya melalui penyuluhan.
c. Memotivasi komunitas untuk memberikan dukungan psikologis
terhadap pasien mengenai penyakitnya.
J. Flow Sheet
Tabel 2. Flow Sheet Ny. S (26 tahun)
No Tanggal Problem Tanda Vital Planning
1 Rabu Demam N:92 x/menit IVFD RL 30
26/04/2017 disertai rasa RR:22 tpm Diet lunak
07.30 menggigil, x/menit tinggi kalori
badan terasa S:39.80 C tinggi protein
kaku terutama TD:120/80 PO Doksisiklin
punggung dan 100 mg 2x1
kaki, nyeri tablet
kepala dan PO
mata merah Paracetamol
500 mg 3x1
tablet
2 Kamis Demam, N:89x/menit IVFD RL 20
27/04/2017 badan terasa RR:20 (terapi
07.00 linu-linu dan x/menit rumatan) tpm
kaku, nyeri S:38.70 C Diet lunak
kepala, mata TD: 110/70 tinggi kalori
merah hingga tinggi protein
terasa perih PO Doksisiklin
untuk 100 mg 2x1
membuka tablet
mata PO
Paracetamol
500 mg 3x1
tablet
3 Jumat Demam terasa N:89 x/menit IVFD RL 20
28/04/2017 naik turun, RR:20 (terapi
07.00 turun setelah x/menit rumatan) tpm
minum obat S:39,10 C Diet lunak
saja, badan TD: 120/70 tinggi kalori
terasa linu- tinggi protein
linu dan kaku, PO Doksisiklin
nyeri kepala, 100 mg 2x1
mata merah tablet
hingga terasa PO
perih untuk Paracetamol
membuka 500 mg 3x1
mata tablet
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
Ny. S adalah Extended family dengan Tn. P (30 tahun) sebagai
kepala keluarga yang bekerja sebagai Buruh pabrik. Ny. S (26 tahun)
adalah istri dari Tn. P, Ibu dan bapak mertua beserta anak Tn P tinggal
bersama didalam rumah tersebut. Dapat disimpulkan pada keluarga ini
terdapat Bapak mertua, ibu mertua, suami dan pasien serta1 anak yang
hidup bersama.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya harmonis. Kadang-
kadang ia bertengkar wajar dengan suami atau ibu mertua.
3. Fungsi Sosial
Saat sakit ini, pasien sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
biasanya pergi ke rumah tetangga untuk berjualan ataupun ke Purwokerto
unuk membeli pakaian yang akan dijual kembali. Hubungan pasien dengan
tetangga sekitarnya cukup baik.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Suami pasien bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta dengan penghasilan
(Rp 2.000.000,00/bulan). Pasien yang bekerja sebagai pedagang pakaian,
penghasilan tiap bulan tidak tetap sekitar (Rp 300.000,00/bulan). Pasien
dan keluarga pasien hidup sedehana dalam mencukupi keperluan hidup
sehari-hari. Biaya pengobatan di sarana pelayanan kesehatan menggunakan
biaya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk keluarga Ny.S adalah Extended
family. Keluarga Ny.S adalah keluarga yang cukup harmonis, dan merupakan
keluarga dengan perekonomian kelas menengah kebawah.
B. Fungsi Fisiologis (A.P.G.A.R Score)
ADAPTATION
Dalam menghadapi masalah selama ini penderita mendapatkan
dukungan berupa nasehat dari keluarganya. Jika penderita menghadapi suatu
masalah pasien menceritakan kepada orangtuanya.
PARTNERSHIP
Komunikasi terjalin satu sama lain. Setiap ada permasalahan didiskusikan
bersama dengan anggota keluarga lainnya, komunikasi dengan anggota keluarga
berjalan dengan baik.
GROWTH
Antar anggota keluarga selalu mendukung pasien. Anggota keluarga
selalu mendukung pola makan, dan pengobatan yang dianjurkan demi
kesehatan Ny S.
AFFECTION
Pasien merasa hubungan kasih sayang dan interaksi dengan suami, mertua,
orang tua, kakak, adik dan anak berjalan dengan lancar. Pasien juga sangat
menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Dalam hal mengekspresikan
perasaan atau emosi, antar anggota keluarga berusaha untuk selalu jujur.
Apabila ada hal yang tidak berkenan di hati, maka anggota keluarga akan
mencoba untuk segera menyampaikan tanpa dipendam, sehingga
permasalahan dapat segera selesai.
RESOLVE
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien cukup, baik dari keluarga
maupun dari saudara-saudara. Pasien merasa senang apabila suami, mertua, kakak
dan anak berkumpul di rumah walaupun hanya untuk menonton televisi atau makan
bersama.
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R Score
dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R Score dilakukan pada masing-masing anggota keluarga dan
kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga secara
keseluruhan. Nilai rata-rata 1-4 = jelek, 4-6 = sedang, 7-10 = baik. Penilaian
A.P.G.A.R.
Tabel 3. Nilai APGAR dari Keluarga Ny S
A.P.G.A.R Ny. S Tn. P Ny. N Tn. M
A Saya puas bahwa saya dapat 2 2 2 2
kembali ke keluarga saya bila
saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga 2 1 2 1
saya membahas dan membagi
masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga 1 2 1 1
saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah hidup
yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga 2 2 2 2
saya mengekspresikan kasih
sayangnya dan merespon emosi
saya seperti kemarahan,
perhatian dll.
R Saya puas dengan cara keluarga 2 2 1 1
saya dan saya membagi waktu
bersama-sama
TOTAL 9 9 8 7
Rerata nilai skor APGAR keluarga Ny. S adalah (9+9+8+7)/4 = 8,25. Secara
keseluruhan total poin dari skor APGAR keluarga pasien adalah 33, sehingga
rata-rata skor APGAR dari keluarga pasien adalah 8,25. Hal ini menunjukkan
bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien berada dalam keadaan
baik.
Kesimpulan :
Dalam keluarga Ny. S fungsi patologis yang positif adalah fungsi budaya,
fungsi ekonomi, fungsi edukasi, dan fungsi medical.
D. Family Genogram
60 57
64 57
30 14
26 23 19 18 13
Gambar 1. Genogram
keluarga Ny. S
2
Keterangan:
: Pasien : Laki-laki
Ny. S
Tn. M Ny.N
An. G
Tn. P
Kesimpulan :
Hubungan antara anggota keluarga di keluarga Ny. S dinilai harmonis
dan saling mendukung.
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN
Pengetahuan :
Kurangnya pengetahuan Lingkungan:
pada pasien penyakit Kondisi rumah dan
lingkungan yang tidak
sehat.
Fungsi Fisiologis :
Sikap: Skor APGAR keluarga
Menganggap penyakit pasien baik
demam biasa dan akan
semuh dengan obat yang
dibeli sendiri Keluarga Ny. S
Pelayanan
Kesehatan:
Jika sakit berobat ke
puskesmas
Tindakan:
Tidak membuka jendela
rumah, jarang
membersihkan kandang
ayam dan halaman. Penularan:
Pasien membiarkan Keluarga pasien
genangan yang ada mengetahui tidak
disekitar rumah mengetahui penyakit
tersebut berasal dan
ditularkan melalui apa.
2. Denah Rumah
Dapur
Ruang makan
Kamar tidur
2
Ruang tamu
Kamar tidur
1
A. Masalah medis :
1. Leptospirosis
B. Masalah nonmedis :
1. Pendapatan perkapita yang relatif cukup (Rp575.000,00).
2. Pasien sering lupa mencuci tangan sebelum dan setelah makan, maupun
setelah berkativitas diluar rumah
3. Pasien belum mengetahui faktor resiko, pola penularan, dan pengobatan
mengenai penyakit leptospirosis, begitupun dengan keluarga pasien.
4. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, berdebu
dan kamar mandi yang kotor serta adanya kandang ayam dekat rumah.
5. Terdapat dapur kayu bakar yang berdekatan dengan penampungan air,
disertai kondisi lantai yang kotor dan adanya beberapa genangan air.
C. Diagram Permasalahan Pasien
Kurangnya
pengetahuan baik
pasien maupun
keluarga menge
leptospirosis
D. Matrikulasi Masalah
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks:
Tabel 8. Matrikulasi Masalah
I T R Jumla
No P S SB M Mo Ma h
Daftar Masalah
. n IxTx
R
Pengetahuan tentang
1 5 5 5 4 5 4 5 93,33
penyakit rendah
Perilaku tidak mencuci
2 5 5 4 3 4 5 5 65,38
tangan
Kondisi rumah dan
3 lingkungan sekitar yang 5 5 4 3 2 1 1 18,67
tidak sehat
Kondisi ekonomi keluarga
4. adalah kelas menengah 4 5 5 1 1 1 1 4,67
kebawah
Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)
Kriteria penilaian:
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting
E. Prioritas Masalah
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah
keluarga Ny. S adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit rendah
2. Perilaku pasien tidakmencuci tangan
3. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak sehat
4. Kondisi ekonomi keluarga adalah kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah tingkat pengetahuan pasien dan
keluarga tentang penyakit yang diderita masih rendah.
VI. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA
G. Hasil Evaluasi
1. Evaluasi Formatif
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 5 orang yang terdiri dari,
pasien Ny. S, suami pasien Tn. P, anak pasien, mertua pasien Tn. M dan
Ny. N. Metode yang digunakan berupa konseling edukasi tentang penyakit
leptospirosis mulai dari definisi, etiologi, faktor resiko, cara penularan,
edukasi PHBS serta pencegahan bagi orang-orang yang tinggal di sekitar
Ny. S terutama yang tinggal serumah dengan pasien.
2. Evaluasi Promotif
Sasaran konseling sebanyak 5 orang yaitu, pasien, suami pasien,
anak pasien, bapak mertua dan ibu mertua. Ditambah beberapa warga yang
tinggal di sekitar rumah pasien. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Senin, 1
Mei 2017 dan Selasa, 2 Mei 2017 di rumah pasien. Konseling berjalan
dengan lancar dan pasien merasa puas karena merasa lebih diperhatikan
dengan adanya kunjungan ke rumahnya untuk memberikan edukasi
tentang penyakit yang sedang di derita Ny. S. Beserta beberapa warga
yang antusias untuk mengetahui penyakit yang sedang banyak di derita
warga sekitar.
3. Evaluasi Sumatif
Sebelum dilakukan konseling pasien dan keluarga mengaku belum
memahami penyakit yang diderita Ny. S sehingga dengan adanya
konseling pasien merasa puas dan senang karena menjadi lebih paham
tentang penyakitnya. Setelah konseling dilakukan tanya jawab,
narasumber memberikan 10 pertanyaan dan pasien beserta keluarga dapat
menjawab 8 pertanyaan dengan tepat sehingga tingkat pengetahuan pasien
meningkat menjadi 80% dari sebelumnya yang hanya 30%.
B. Epidemiologi
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
negara dengan insidensi leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga didunia
untuk mortalitas. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pada kejadian banjir besar di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20
kematian (Zein, 2009).
Leptospirosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia
terutama di daerah rawan banjir. Musim penghujan dan banjir dikhawatirkan
berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis. Kejadian
luar biasa (KLB) Leptospirosis terjadi di Kabupaten Kota Baru Kalimantan
Selatan pada tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah
dan DKI Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup lama. Menurut Profil
Data Kesehatan Indonesia Indonesia tahun 2011, leptospirosis di Indonesia
mengalami peningkatan baik jumlah kasus maupun kematian pada 3 tahun
terakhir (2009-2011). Dilaporkan pada tahun 2011, jumlah kasus sebanyak
857 orang, kasus meninggal 82 orang, dan crude fatality rate (CFR) 9,57%.
Provinsi Jawa Tengah adalah penyumbang kedua untuk jumlah kasus (184
orang) dan kematian (33 orang) setelah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Kemenkes, 2015).
Leptospirosis di Kabupaten Banyumas pertama kali terjadi di
Kecamatan Kebasen pada bulan Mei 2010. Tahun 2010 hanya terdapat satu
kasus, namun tahun 2011 meningkat menjadi 6 kasus, meliputi 1 kasus pada
bulan Maret di Kecamatan Purwojati, 1 kasus pada bulan Mei di Kecamatan
Gumelar, 1 kasus di Bulan Juni di Kecamatan Kembaran, 1 kasus pada Bulan
November di Kecamatan Ajibarang, dan 2 kasus di Bulan Desember yang
terjadi di Kecamatan Banyumas dan Rawalo. Tahun 2012 menurun menjadi 3
kasus, meliputi 1 kasus terjadi pada bulan Juli di Kecamatan Sumpiuh, 1 kasus
pada bulan Agustus di Kecamatan Pekuncen, dan 1 kasus terjadi di bulan Juni
di Kecamatan Cilongok. Tahun 2013 dilaporkan terdapat 4 kasus di bulan Mei
yang terjadi di Kecamatan Sumpiuh. Pada tahun 2014, terjadi 4 kasus
leptospirosis yaitu di 1 kasus di Kecamatan Kedung Banteng dan 4 kasus di
Kecamatan Kemranjen. Terdapat peningkatan kejadian Leptospirosis pada
tahun 2015 yaitu sebanyak 14 kasus. Sebanyak 2 kasus terjadi di Kecamatan
Kalibagor, 2 kasus terjadi di Kecamatan Sokaraja, 5 kasus di Kecamatan
Pekuncen, 1 kasus di Kecamatan Rawalo, 2 kasus di Kecamatan Patikraja, 1
kasus di Kecamatan Purwokerto Barat, dan 1 kasus di Kecamatan Kebasen.
Sampai bulan Juni 2016 sudah terjadi 7 kasus Leptospirosis di Kabupaten
Banyumas yaitu 1 kasus di Kecamatan Purwokerto Selatan, 4 kasus di
Kecamatan Somagede, 1 kasus di Kecamatan Banyumas, dan 1 kasus di
Kecamatan Cilongok (Rejeki et al, 2013; Dinkes Banyumas, 2016).
C. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh kontak dengan air, tanah, dan lumpur
yang tercemar oleh bakteri Leptospira, atau konsumsi makanan yang
terkontaminasi. Leptospira masuk melalui kulit yang terluka atau membran
mukosa. Menurut aspek cara transmisinya Leptospirosis merupakan salah
satu direct zoonosis (host to host transmision) karena penularannya hanya
memerlukan satu vertebrata. Penularan pada manusia merupakan infeksi
terminal. Dari aspek ini penyakit ini termasuk golongan anthropozoonoses
karena manusia merupakan “dead end” infeksi (Widarso et al., 2008).
Leptospira merupakan bakteri yang patogenik dan saprofitik. Bakteri
patogenik merupakan bakteri yang memiliki potensial untuk menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Bakteri saprofitik merupakan bakteri yang
hiduo bebasa dan biasanya tidak menyebabkan penyakit. Leptopira yang
patogenik dapat hidup di tubulus renalis paha hewan tertentu. Leptopira
saprofitik dapat ditemukan di daerah yang lembab dan basah yaitu berkisar
antara permukaan air, lumpur, hingga air keran. Saprofitik halofilik (salt-
loving) dapat ditemukan di air laut (Widarso et al., 2008).
Leptospirosis berbentuk spiral, hal yang membedakan dengan
spirochaeta lainnya adalah adanya kait pada ujungnya. Leptospira masuk
dalam ordo Spirochaetales, family Leptospiraceae, dan genus Leptospira.
Bakteri ini memiliki panjang 6-20 µm dan diameter 0,1 µm. Bakteri ini
terlalu kecil untuk dilihat dibawah mikroskop biasa sehingga hanya dapat
dilihat dibawah mikroskop lapangan gelap. Semua leptospirosis terlihat sama
saja denga sedikit perbedaan minor sehingga melihat morfologinya saja tidak
akan bisa membedakan antara leptospira patogenik, saprofitik, atau antara
sesama jenis leptospira patogenik (Widarso et al., 2008).
Penularan dapat terjadi melalui kontak melalui mukosa atau kulit yang
terluka dengan air, tanah yang lembab, atau vegetasi yang terkontaminasi urin
hewan yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui ingesti atau inhalasi
dari makanan yang terkena urin reservoir. Maksa inkubasi biasanya terjadi
sekitar 10 hari (2-30 hari) (Widarso et al., 2008).
Bakteri leptospira dapat hidup dan berkembang biak dalam tubuh
hewan tertentu yang selanjutnya disebut sebagai reservoir. Beberapa hewan
vertebrae merupakan host alami bakteri leptospira yang hidup di ginjal
mereka. Walaupun leptospirosis tidak membahayakan bagi host alaminya
namun tetap dapat menimbulkan infeksi bagi manusia. Setelah menginfeksi
hewan, leptospira akan beredar mengikuti aliran darah dan menginvasi
jaringan dan organ. Sistem imun hewan reservoir diharapkan dapat
mengeliminasi bakteri leptospira, namun bakteri ini dapat bertahan dalam
tubulus ginjal dan terbuang melalui urin hewan tersebut (Widarso et al.,
2008).
E. Penegakan Diagnosis
Infeksi dapat asimptomatik, tetapi pada 5-15% kasus dapat berat atau
fatal. Masa inkubasi leptospirosis 7-12 hari. Perjalanan peyakit secara klasik
bifasik, yaitu fase bakteremik akut diikuti fase imun, pada kasus berat kedua
fase ini bergabung, pada kasus ringan fase imun mungkin tidak terjadi.
Manifestasi klinis leptospirosis secara umum terbagi dua, yaitu penyakit
anikterik yang self limited dan penyakit ikterik (Penyakit Weil) dengan
tampilan lebih berat.
Leptospirosis Anikterik
Fase akut dicirikan oleh demam awitan mendadak, menggigil, nyeri
kepala retroorbita, anoreksia, nyeri perut, mual dan muntah. Demam sering
melebih 40 C dan didahului kekakuan. Terdapat juga myalgia dengan
karakteristik nyeri tekan betis, paha, abdomen, dan regio paraspinal
(lumbosakral), jika mengenai regio leher dan kuduk akan menyerupai
meningitis. Nyeri tekan abdomen dapat menyerupai akut abdomen. Pada
kasus ringan demam akan menghilang setelah 3-9 hari. Injeksi konjungtiva
biasanya muncul 2-3 hari setelah awitan demam dan melibatkan konjungtiva
bulbi. Tidak ada pus ataupun sekret serosa dan tidak ada perlengketan bulu
mata dan kelopak mata. Dapat pula ditemukan injeksi faring, splenomegali,
hepatomegali, limfadenopati, dan lesi kulit, namun jarang dan tidak jelas.
Sebagian besar pasien menjadi asimptomatik dalam 1 minggu. Setelah
beberapa hari (2-3 hari), pada beberapa pasien gejala kembali muncul, disebut
fase kedua atau fase imun. Leptospira hilang dari darah, cairan serebrospinal,
dan jaringan, namun muncul di urin (leptospiruria). Muncul antibody IgM,
karena itu disebut fase imun. Gejala utama fase ini adalah meningitis pada
50% kasus, meskipun pleiositosis pada cairan serebrospinal dapat ditemukan
pada 80-90% pasien pada minggu kedua. Dapat terjadi pula neuritis optik dan
neuropati perifer. Uveitis biasanya merupakan manifestasi yang muncul
belakangan, 4-8 bulan setelah awitan penyakit.
Leptospirosis Ikterik (Penyakit Weil)
Penyakit Weil merujuk pada leptospirosis berat dan mengancam
nyawa, dicirikan oleh ikterus, disfungsi ginjal, dan perdarahan. Meskipun
ikterus merupakan tanda utama, kematian bukan disebabkan oleh gagal hati.
Prognosis tidak ditentukan oleh derajat ikterus, namun oleh adanya ikteru
karena semua kematian pada leptospirosis terjadi pada kasus ikterik. Ikterus
tampak pertama kali antara hari kelima hingga kesembilan, intensitas
maksimum 4 atau 5 hari kemudian dan terus berlanjut selama rata-rata 1
bulan. Mayoritas pasien memiliki hepatomegali dan nyeri ketok pada perkusi
hati menunjukkan penyakit masih aktif.
Perdarahan kadang terjadi pada kasus anikterik tetapi paling sering
pada penyakit yang berat. Manifestasi perdarahan yang paling sering adalah
purpura, petekie, epistaksis, perdarahan gusi, dan hemoptisis minor. Kematian
dapat terjadi akibat perdarahan subaraknoid dan perdarahan masif saluran
cerna. Adanya perdarahan konjungtiva sangat berguna untuk diagnostik, dan
jika disertai sklera ikterik dan injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang
sangat sugestif untuk leptospirosis.
Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal.
Gambaran mulai dari yang ringan berupa proteinuria ringan dan abnormalitas
sedimen urin hingga berat berupa cedera ginjal akut. Yang sering ditemukan
adalah gagal ginjal non-oliguria dengan hipokalemia ringan (41-45% kasus).
Anuria total dengan hiperkalemia merupakan tanda prognostik buruk
(Leptospirosis Clinical Practice Guidelines, 2010). Gangguan kesadaran pada
leptospirosis berat biasanya disebabkan oleh ensefalopati uremikum, pada
kasus anikterik biasanya disebabkan ensefalitis aseptik. Pada pasien penyakit
Weil yang berhasil bertahan, fungsi ginjal akan kembali normal (Watt, 2013;
Daher et al., 2010).
Pemeriksaan Laboratorium
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal
pada hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua
dan ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat
mengidentifikasi serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan waktu
inkubasi beberapa minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan gelap,
sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual. Sejumlah metode deteksi
DNA leptospira dengan reaksi rantai polymerase lebih sensitif daripada
kultur, dan dapat memberikan konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase akut,
namun belum menjadi standar rutin.
Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah
awitan gejala, dapat dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis
ELISA, aglutinasi latex dan teknologi uji cepat imunokromatografik. Uji
serologi ini mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap genus
Leptospira. Tetapi uji ini sensitivitasnya rendah (63-72%) pada sampel fase
akut (penyakit kurang dari 7 hari). Jika sampel serum diambil setelah hari
ketujuh, sensitivitas meningkat menjadi >90%. Oleh karena itu, sampel kedua
hendaknya diambil pada kasus tersangka leptospirosis dengan hasil awal
negatif atau meragukan. Antibiotik yang diberikan sejak awal penyakit
mungkin menyebabkan respons imun dan antibodi tertunda. IgM positif
menunjukkan leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun antibodi IgM
dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun.
Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari
serum akut ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi
metode ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup
dengan cara serum pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira
patogenik
hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan
diekspresikan sebagai persentase organisme yang dibersihkan dari lapang
pandang melalui aglutinasi. Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan,
dapat memberikan informasi mengenai serovar yang diduga menginfeksi,
sehingga memiliki nilai epidemiologis. Di daerah endemis, titer yang
meningkat hanya sekali harus diinterpretasikan secara hati-hati karena
antibodi bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi akut. Reaksi silang
juga dapat terjadi pada sifilis, hepatitis virus, HIV, relapsing fever, penyakit
Lyme, legionellosis, dan penyakit autoimun. Pemeriksaan mikroskopik
langsung dari sampel klinis bernilai diagnostic kecil, pewarnaan
imunohistokimia dari spesimen otopsi sangat berguna (Day & Edwards,
2010).
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah
sistem skor yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan
laboratorium. Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis
presumtif leptospirosis dapat ditegakkan jika:
(i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih; atau
(ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih.
Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis leptospirosis
tetapi belum terkonfirmasi.
Tabel 10. Kriteria Faine yang dimodifikasi (Kumar, 2013)
Bagian A : Data Klinis Skor
Sakit kepala 2
Demam 2
Jika demam, suhu 39 C atau lebih 2
Injeksi konjungtiva (bilateral) 4
Meningismus 4
Myalgia (khususnya otot betis) 4
Injeksi konjungtiva + myalgia + meningismus 10
Ikterus 1
Albuminuria atau retensi nitrogen 2
Hemoptysis atau dyspnea 2
Bagian B : Faktor epidemiologis Skor
Curah hujan 5
Kontak dengan lingkungan terkontaminasi 4
Kontak dengan binatang 1
Bagian C : Temuan bakteriologis dan laboratorium Skor
Isolasi leptospira pada kultur Diagnosis pasti
PCR 25
Serologi positif
ELISA IgM positif, SAT* positif; rapid test 15
lain***, satu kali titer tinggi pada MAT** (masing-
masing dari ketiga pemeriksaan ini harus diberikan
nilai)
Peningkatan titer MAT** atau serokonversi (serum 25
yang berpasangan)
* SAT: Slide agglutination tes; **MAT: Microscopic agglutination test; ***
Latex agglutination test/ Leptodipstick/ Lepto Tek lateral flow/ Lepto Tek
Dri-Dot test.
H. Komplikasi
Komplikasi paru yang paling sering pada leptospirosis adalah sindrom
perdarahan paru berat terkait leptospirosis (severe pulmonary hemorrhagic
syndrome/ SPHS) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Komplikasi ini dapat terjadi dengan atau tanpa ikterus ataupun gagal ginjal.
Hemoptisis merupakan tanda utama, namun biasanya tidak jelas hingga pasien
diintubasi. Faktor risiko komplikasi paru adalah keterlambatan pemberian
antibiotik dan trombositopenia pada awitan penyakit (Watt, 2013; 3).
Perdarahan paru
terjadi akibat vaskulitis, juga dapat dikaitkan dengan trombositopenia dan
koagulopati konsumtif (7). Kematian akibat leptospirosis terjadi pada 10-15%
kasus, biasanya akibat perdarahan paru, gagal ginjal, atau gagal jantung dan
aritmia akibat miokarditis (5).
I. Tatalaksana
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada
fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan obat terpilih adalah doksisiklin.
Obat alternative adalah amoksisilin dan azitromisin dohidrat. Pasien sakit
berat hendaknya dirawat inap. Antibiotic terpilih pada leptospirosis sedang-
berat adalah penicillin G. Obat alternatif di antaranya sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson, sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral. Antibiotik
harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama 3 hari.
Tabel 2. Dosis antibiotik rekomendasi untuk leptospirosis
Leptospirosis Ringan Leptospirosis Sedang-Berat
Antibiotik Dosis Antibiotik Dosis
Agen Lini Pertama
Doksisiklin 100 mg 2 kali Penisilin G 1,5 jt unit setiap
sehari per oral 6-8 jam
Agen Alternatif
Amoksisilin 500 mg 4 kali Ampisilin iv 0,5 – 1 g setiap 6
sehari atau 1 g jam
setiap 8 jam per
oral
Ampisilin 500-750 mg 4 Azitromisisn 500 mg sekali
kali sehari dihidrat sehari selama 5
hari
Azitromisisn Inisial 1 g, Seftriakson 1 g setiap 24 jam
dihidrat dilanjutkan 500
mg per hari untuk
2 hari berikutnya Sefotaksim 1 g setiap 6 jam
K. Pencegahan
Pencehagan infesi menggunakan doksisiklin 200 mg 1 kali seminggu dapat
bermanfaat pada orang berisiko tinggi untuk periode singkat, misalnya
anggota militer dan pekerja agrikultur tertentu. Antibiotic dimulai 1 sampai 2
hari sebelum paparan dan dilanjutkan selama periode paparan (3). Infeski
leptospira hanya memberikan imunitas spesifik serovar, sehingga dapat terjadi
infeksi berikutnya oleh serovar berbeda. Leptospirosis di daerah tropik suli
dicegah karena banyaknya hewan reservoir yang tidak mungkin dieliminasi.
Banyaknya serovar menyebabkan vaksin spesifik serovar kurang bermanfaat.
Pada kondisi ini, cara paling efektif adalah menyediakan sanitasi yang layak di
komunitas daerah kumuh perkotaan (1). Pada orang yang sudah terpapar
dengan leptospira, masih dapat diberikan terapi profilaksis pasca-paparan;
digunakan doksisiklin disesuaikan berdasarkan risiko individu (3).
VII. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Ny. S adalah seorang pasien yang
didiagnosis leptospirosis
1. Aspek Personal
Idea : Pasien mengeluh demam hingga mengigil disertai nyeri
kepala, mata merah, badan terasa kaku terutama pada
bagian punggung dan kaki
Concern : Pasien merasa badannya demam, tidak nyaman dan lemas,
keluarga pasien khawatir kondisi pasien semakin
memburuk.
Expectacy : Pasien dan keluarga pasien mempunyai harapan agar
penyakit pasien dapat segera sembuh dan dapat segera
beraktivitas kembali
Anxiety :Pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit pasien tidak
sembuh-sembuh dan jatuh ke kondisi yang lebih berat
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Leptospirosis
Gejala klinis yang muncul : demam hingga mengigil, nyeri kepala,
mata merah, badan lemas dan terasa kaku
terutama pada punggung dan kaki
Diagnosa banding : Demam tifoid, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
a. Kebiasaan pasien lupa untuk mencuci tangan
sebelum dan setelah makan. Maupun setelah beraktivitas di luar
rumah.
b. Terbiasa memasak dan meletakan bahan
masakan dibawah (lantai) yang kebersihannya kurang, serta kebiasaan
lupa mencuci kembali bahan masakan tersebut.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan
kondisi hunian tidak memenuhi kriteria rumah sehat dan buruknya
lingkungan, antara lain pencahayaan, ventilasi, dan plafon, kebersihan
dan keadaan lingkungan rumah secara umum yang kurang sehat.
b. Rumah yang bersebelahan dengan kandang ayam juga memudahkan
tercemarnya lingkungan rumah oleh kotoran ayam.
c. Curah hujan yang tinggi pada saat ini menimbulkan genangan air di
sekitar rumah dan kandang ayam.
d. Banyaknya tikus yang terdapat disekitaran rumah pasien menjadi
factor risiko penularan penyakit ini. Pasien mengaku dirumahnya
terdapat banyak tikus yang berkeliaran di atap rumah. Sebelum
terkena sakit pasien sempat mengambil bahan makanan yang diambil
oleh tikus. Pasien mengaku lupa mencuci tangan setelah itu.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai
terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti
biasanya, antara lain berdagang pakaian ke tetangga hingga ke desa lain.
B. Saran
1. Pemberian penyuluhan dengan materi utama pada penyuluhan dan
edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga beserta warga yang
berada di lingkungan sekitar adalah mengenai pengertian, penyebab, cara
penularan, tanda dan gejala, serta penanganan dan pencegahan
leptospirosis.
2. Penyuluhan materi selanjutnya adalah mengenali pengendalian
penularan leptospira yang biasa berada pada genangan-genangan air, dan
tikus-tikus yang ada di rumah
3. Menyarankan untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah,
menghilangkan genangan-genangan air yang ada disekitar rumah dan
menggunakan alat pelindung diri saat beraktivitas disekitar rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas
kedokteran UI.: Jakarta.
Sya’roni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI:Jakarta.
DOKUMENTASI KEGIATAN