You are on page 1of 6

Patofisiologi

Trakoma sendiri adalah kronik keratokonjungtivitis yang diakibatkan oleh


berulangnya reinfeksi C trachomatis serotipe mata. Pada paparan pertama, Setelah
masa inkubasi 5-10 hari, infeksi serotipe ini akan mengakibatkan konjungtivitis
mukopurulent, yang umumnya self-limiting dan sembung tanpa adanya permanen
sekuele. Bila paparan ini berulang, akan muncul tanda inflamasi kronik (Mabey, et
al., 2003).
Berikut adalah patogenesis yang berperan dalam terbentuknya trakoma
(Mabey, et al., 2003):
1. Histologi
Kondisi aktif trakoma ditandai secara klinis dan patologis berupa
folikel limfoid konjungtiva. Folikel dominan berisi sel limfosit B pada daerah
centrum germinativumny dan sel limfosit T (CD8+) pada daerah
parafolikuler. Diantara folikel, terdapat infiltrat inflamasi berisi sel plasma,
sel dendritik, makrofage, dan leukosit PMN (Mabey, et al., 2003).
Infeksi konjungtiva yang rekuren menyebabkan inflamasi yang lama
yang menyebabkan konjungtival scarring. Scarring diasosiasikan dengan
atropi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan
normal, longgar dan stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen
tipe IV dan V (Solomon et al, 2004).
2. Respon Imun host
C trachomatis memiliki berbagai mekanisme immune escape.
Pertama, C trachomatis berada di dalam intrasel sehingga dapat menghindar
dari antbodi dan sistem komplemen. Kedua, pada sel yang telah terinfeksi, C
trachomatis akan melakukan down regulated pada ekspresi MHC-I sehingga
menurunkan kemungkinan terdeteksi sel T sitotoksik. ketiga dengan
menghambat fusi lisosom di dalam sel (Mabey, et al., 2003).
3. Genetik
Penelitian longitudinal pada komunitas endemik trakoma menyatakan
bahwa beberapa individu lebih rawan untuk berkembang menjadi kondisi
klinis yang lebih berat setelah terpapar C trachomatis. Individu ini akan
memiliki infeksi dan kondisi klinis yang persisten dan memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk terbentuknya scarring. Hal ini berhubungan dengan salah
satu alel MHC-II yang mampu memicu gen tumor nekrosis faktor α (Mabey,
et al., 2003).

Perjalanan Penyakit dan Tanda Klinis


Secara klinis, trakoma dapat dibagi menjadi fase akut dan fase kronis,
tetapi tanda akut dan kronis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan dalam
satu individu. Derajat keparahan dari infeksi mata oleh Chlamydia trachomatis
dapat ringan sampai dengan berat. Banyak infeksinya bersifat asimtomatis. Sesuai
dengan masa inkubasinya yaitu 5-14 hari (rata-rata 7 hari), infeksi konjungtiva
menyebabkan iritasi, mata merah, dan discharge mukopurulen. Keterlibatan
kornea pada proses inflamasi akut dapat menimbulkan nyeri dan fotofobia. Secara
umum, gejala lebih ringan dari tampilan mata (Rostami et al., 2016).
Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari pembuluh
darah konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu setelah infeksi,
yaitu dengan munculnya folikel-folikel pada konjungtiva forniks, konjungtiva
tarsal dan limbus. Folikel adalah adalah limfoid germinal dan ditemukan dibawah
lapisan epitel. Folikel terlihat sebagai massa abu-abu atau creamy dengan
diameter 0,2-3,0 mm. Tidaklah normal bila ditemukan satu atau dua folikel pada
mata yang sehat, tertama di kantus lateral atau medial. Karena lapisan superfisial
dari stroma konjungtiva memiliki sedikit jaringan limfoid sampai kurang lebih 3
bulan setelah lahir, neonatus tidak mampu menahan respon folikular terhadap
infeksi mata oleh Chlamydia. Papil juga dapat terlihat pada fase ini: pada kasus
ringan terlihat titik-titik merah kecil dengan mata telanjang. Dengan bantuan slit
lamp, papil terlihat sebagai pembengkakan kecil konjungtiva, dengan
vaskularisasi di tengahnya. Ketika inflamasi bertambah berat, reaksi papilar pada
konjungtiva tarsal diasosiasikan dengan penebalan konjungtiva, pertambahan
vaskularisasi pembuluh tarsal, dan kadang kadang edema palpebra. Bila kornea
terlibat pada proses inflamasi, keratitis punctata superficialis dapat dideteksi
dengan tes flouresensi. Infiltrat superfisial atau pannus (infiltrasi subepitel dari
jaringan fibrovaskular ke perifer kornea) mengindikasikan inflamasi kornea.
Folikel, papil dan tanda kornea lain adalah tanda dari fase aktif, namun pannus
dapat bertahan setelah fase aktif (Rostami et al., 2016).
Resolusi dari folikel ditandai dengan terjadinya scarring pada subepitel
konjungtiva. Deposisi dari skar biasanya di konjungtiva tarsal atas, walaupun
konjungtiva forniks, konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea dapat terkena. Di
daerah endemis trakoma, sikatrik pada daerah tarsal karena episode infeksi
berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis dengan mengeversi palpebra
atas, nampak seperti plester putih dengan latar konjungtiva yang eritematous. Di
limbus, pergantian folikel menjadi scar mengahasilkan formasi depresi translusen
pada corneoscleral junction yang disebut Herbert’s pits (Rostami et al., 2016).
Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup banyak berkumpul, menyebabkan
kelopak mata atas menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu mata mengenai bola
mata, hal ini disebut trikiasis. Ketika semua bagian kelopak mengarah ke dalam
disebut entropion. Trikiasis sangat mengiritasi. Penderita kadang mencabut sendiri
bulu mata atau memplester kelopak mata agar mengahadap ke luar (Rostami et
al., 2016).
Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek abrasi kornea
dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena sikatrik bersifat
opak maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah sentral kornea
(Solomon et al, 2004)
Pada bayi atau anak, biasanya timbul diam-diam, dan penyakit itu dapat
sembuh dengan sedikit atau tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, timbulnya
sering akut atau subakut, dan komplikasi cepat berkembang. Pada saat timbulnya,
trakoma sering menyerupai konjungtivitis bacterial, tanda dan gejala biasanya
terdiri atas berair mata, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis
konjungtiva bulbaris, hiperemia, hipertrofi papilar, folikel tarsal dan limbal,
keratitis superior, pembentukan pannus, dan sebuah nodus preaurikular kecil yang
nyeri tekan.

Grading Trachoma
Pembagian menurut McCallan, penyakit ini berjalan melalui empat stadium (Ilyas
et al., 2010):
Stadium Nama Gejala
Stadium I Trakoma Insipien Folikel imatur, hipertrofi papilar minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran tarsal atas
Stadim IIA Dengan hipertrofi Keratitis, folikel limbus
papilar yang
menonjol
Stadium IIB Dengan hipertrofi Aktivitas kuat dengan folikel matur
folikular yang tertimbun di bawah hipertrofi papilar yang
menonjol hebat
Stadium III Trakoma sikatrik Parut pada konjungtiva tarsal atas,
permulaan trikiasis dan entropion
Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada hipertrofi papillar atau
folikular, parut dalam bermacam derajat
deviasi

Pembagaian menurut WHO Simplified Trachoma Grading Scheme


1. Trakoma Folikular (TF)
 Trakoma dengan adanya 5 atau lebih folikel dengan diameter 0,5 mm di
daerah sentral konjungtiva tarsal superior
 Bentuk ini umumnya ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi
puncak pada 3-5 tahun

2. Trakoma Inflamasi berat (TI)


 Ditandai konjungtiva tarsal superior yang menebal dan pertumbuhan
vaskular tarsal.
 Papil terlihat dengan pemeriksaan slit lamp.

3. Sikatrik Trakoma (TS)


 Ditandai dengan adanya sikatrik yang mudah terlihat pada konjungtiva
tarsal.
 Memiliki resiko trikiasis ke depannya, semakin banyak sikatrik semakin
besar resiko terjadinya trikiasis.

4. Trikiasis (TT)
 Ditandai dengan adanya bulu mata yang mengarah ke bola mata.
 Potensial untuk menyebabkan opasitas kornea

5. Opasitas Kornea (CO)


 Ditandai dengan kekeruhan kornea yang terlihat di atas pupil.
 Kekeruhan kornea menandakan prevalensi gangguan visus atau kebutaan
akibat trakoma (Salomon et al, 2010)

Salomon et al. 2004. Diagnosis and Assesment of Trachoma. Clinical


Microbiology Review. 17: 982-1011
Ilyas, S., Tanzil , M., Salamun & Azhar, Z. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Salomon, Anthony dan Hugh R Taylor. 2010. Trachoma: Treatment and


Medication.eMedicine Ophtalmology. 214: 29-38

Mabey, D., Solomon, A.W., Foster A. 2003. Trachoma. London School of Hygine
and Tropical Medicine:Clinical Research Unit. Lancet 2003: 362: 223-29.

You might also like