You are on page 1of 6

Misteri Waktu

Hal yang membahagiakan di dunia ini adalah dimana seorang manusia memiliki
cinta, cinta akan seseorang yang kita sayangi, cinta terhadap keluarga dan cinta
pada diri kita sendiri. Aku sendiri pernah merasakan indahnya cinta di saat pertama
kali bertemu dengan seorang gadis cantik yang sekarang sudah menjadi pendamping
hidup.

Sudah kurang lebih 3 tahun lamanya kami hidup dalam rumpun yang di sebut
rumah tangga, kami memiliki seorang anak perempuan cantik berumur 8 bulan yang
lucu. Dia kami beri nama putri srikandi. Dia teramat cantik dan menggemaskan
sampai-sampai Aku sendiri tak betah berada di luar rumah lama-lama. Tapi meski
begitu terkadang Aku memang acuh tak acuh terhadap mereka. Bagaimana tidak,
waktu kebersamaan bersama keluarga Ku habiskan di luar rumah, semuanya Ku
lakukan hanya demi kepentingan sendiri.
Hingga pada suatu hari, dimana kala itu aku tengah duduk sambil membaca buku
tentang filsafat sembari menghadap ke jendela kamar. Hari itu adalah hari kosong
tanpa skedjul, Ku pikir tidak ada salahnya Aku mengisi kekosongan dengan membaca
buku.

Kian detik semakin aku terlarut dalam kata-kata khias yang terangkai dalam
buku yang Ku baca. Makin lama makin melekat dan kuat. Dalam buku itu tertulis
‘Hidup adalah keluarga waktu, Kau tak dapat dipisahkan dari itu, bahkan Kau bisa
masuk ke dalam ruang waktu tanpa batas dan tanpa Kau sadari, Kau telah ada di
sana!’ memang sulit di mengerti, tapi semakin aku mendalamai isi buku itu, tingkat
pemahamanku semakin mendalam dan terus dalam menyusuri lubang-lubang cahaya di
otakku. Teringat bayang-bayang masa lalu yang penuh dengan hal-hal
menggembirakan, menyebalkan, ada juga yang terasa amat konyol jika ku pikir saat
sekarang. Inilah masa depan yang dulu aku sempat pikirkan, kini aku berada di sini,
di masa depan ini, bersama dengan keluarga yang aku cintai seumur hidup dengan
diselimuti kebahagiaan yang mendalam. Di sela-sela renungan itu tiba-tiba terdengar
suara memanggil, nampak itu bukan suara asing bagi telingaku.
“Jek…? Jeky…?” ayahku memanggilku.
“Ya Ayah, ada apa?” sambut jawabku dengan pertanyaan balik.
“Sedang apa kamu ini nak?” dia mmenghampiri sembari memegang pundak kananku
yang tengah serius membaca buku.
Ku tutup buku pada halaman berikutnya secara perlahan dan Aku menjawab.
“Tidak Yah, Saya cuma lagi baca buku”.
“Memangnya buku Apa yang sedang Kamu baca? Tidak pantas seorang pemuda
mengurung diri di kamar”.
Sepontan ku sambut perkataan Ayahku dengan senyuman.
“Apa sih Yah, Aku inikan sudah berkeluarga, Aku sudah beristri dan sudah punya
anak. Itu… menantu dan cucu Ayah”.
Serontak Ayah tampak terkejut dengan kerutan di dahinya, seolah menunjukkan
sebuah pertanyaan besar baginya. Tak lama Ia berkata.
“Nak… Ayah tahu dan mengerti perkataanmu dan juga perasaanmu. Maafkan Ayah
yang waktu iu melarang kamu berhubungan dengan gadis itu. Yang namanya orang tua
selalu takut terjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan. Tapi sekarang dan
seterusnya Ayah tidak akan lagi melarang Kamu untuk berhubungan dengan gadis itu,
karena itu hak Kamu dan Ayah percaya Kamu pasti bisa menjaga diri beserta nama
baik keluarga, Kamu pasti mengerti hal itu”.
Sebenarnya Aku ini memang pendengar yang baik, buktinya nilai mata pelajaran
Bahasa Indonesiaku waktu SMA selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata, tapi
meski begitu kali ini Aku benar-benar tidak mengerti perkataan Ayah. Kenapa Ayah
bisa bilang seperti itu?
“Nak… kenapa kamu malah bengong?” Lanjut tanyanya.
“Ayah sendiri kenapa bilang seperti itu?” Tanya keherananku pada Ayah.
“Kamu tidak mengerti perkataan Ayahmu tadi? Memangnya yang mana yang tidak
Kamu mengerti?” Balik tanyanya kepadaku.
Semakin aku tidak begitu paham apa yang sedang Kami bicarakan. Tapi ku coba cari
titik terang dari obrolan singkat itu.
“Ayah bilang tadi, Ayah tidak akan melarangku lagi untuk berpacaran dengan gadis
itu, sebenarnya yang Ayah maksud ‘Gadis Itu’ siapa?”
Ayah mengusap wajahnya yang sudah sedikit kusut.
“Siapa lagi kalau bukan pacarmu Rani itu”
Giliranku untuk terkejut kali ini. Bukan karena perkataan Ayah yang membuat aku
bingung, melainkan daya ingat Ayah yang ku rasa telah hampir hilang, entah Amnesia
ataukah mungkin…
“Kamu bengong lagi”. Ayah menyela keherananku yang membelenggu pikiran. Ku pikir
ini harus diperjelas dengan sedikit penjelasan singkat mengenai statusku di keluarga.
“Ayah, Aku ini kan sudah menikah dengan Rani, bahkan Aku sudah punya Anak
perempuan yang Ayah beri nama Putri Srikandi, Ayah sendiri kan yang menjadi saksi
di pernikahanku 3 tahun yang lalu. Ayah ini kenapa? Ayah sudah pikun?”
“He he he… Kamu yang kenapa Nak, Kamu sudah tidak tahan untuk menikah dengan
gadis itu?” Tanyanya lagi-lagi membuatku terpojok pada kebingungan.
“Sudah, Ayah harus pergi ke kantor. Ayah di tunggu oleh rekan-rekan kerja
sekantor Ayah, ada yang harus dibicarakan mengenai kerjaan Ayah disana”.
Ayahku kian bergegas meninggalkan posisiku dalam obrolan yang tidak menemui titik
terang itu. Hatiku bergetar penuh tanda tanya, Apa maksud perkataan Ayah tadi?.

Tak terasa sudah kurang lebih 2 jam ku mengurung di kamar dengan teman
yang baru Aku kenal yaitu buku. Mengingat perkataan Ayah, aku jadi teringat Istri
dan Anakku yang sebelumnya sedang berada di dalam rumah. Akupun bergegas ke
luar kamar untuk memastikan sesuatu.
“Rani… Ran… Rani…!” tiada sahut sedikitpun.
“Puteri… Hei… Anak Ayah kemana ya…?!, Ran… Rani…, hei, Kalian di mana?
Tiba-tiba ada yang menjawab dari arah dapur rumah.
“Ada apa Jeky, Kamu manggil-manggil siapa?” jelas suara Ibuku
“Tidak Bu… Saya manggil Rani dan Putri, mereka kemana ya?”
Tak lama Ibu menghampiriku dengan raut wajah penuh tanya.
“Siapa Jek? Rani, Putri, siapa mereka?”
“Ya tuhan, Ibu kenapa? Ibu dan Ayah hari ini Aneh. Rani dan Putri itukan keluarga
kita, mereka Istri dan Anakku Bu, masa Ibu lupa!”
“Jangan ngaco kamu Jek, Kamu itu belum menikah, mana mungkin Kamu punya Istri,
apalagi Anak. Dasar Anak jaman sekarang, Kamu pikir Kamu ini sudah bisa
menghidupi Anak Istri. Menghidupi diri Kamu saja belum tentu bisa”.
Perkataan Ibuku kali ini lebih mengejutkan dari perkataan Ayah tadi. Aku merasa
seperti orang bodoh atau bahkan lebih dari sekedar gila. Tapi Aku rasa masih waras,
Aku masih ingat Ayah dan Ibu, Anak dan Istri, semuanya. Aku masih bisa mengingat
semuanya. Ku menatapi sekeliling rumah, pikirku ada yang bisa memberikan jawaban
dari rasa heranku.
Seketika pandangan mataku terpaut pada beberapa benda di tengah-tengah
rumahku yang tampak berbeda dari biasanya. Dengan nada keras aku berkata pada
Ibu yang sedang asik memasak ikan asin di dapur, seraya baunya tercium wangi
menggoda perutku yang kosong.
“Ibu, kapan Ibu memindahkan lemari pajangan itu? Bukankah kemarin masih ada di
sebelah kanan ruang tamu, kok sekarang ada di sebelah kiri, dan kenapa TV-nya
berubah jadi 14 inc, kenapa semua posisi interior rumah kita berubah jadi seperti
dulu begini”.
“Memangnya kenapa Jek? Memangnya kita pernah punya TV 21 Inc? Kita kan belum
pernah punya yang seperti itu”.
‘Rasa heran tak kunjung terjawab dari benak ini, tak apalah. Aku capek memikirkan
itu, tapi yang penting dimana Anak Istriku?’ Pikirku. Di sisi lain Ku teringat sesuatu,
bahwa dua hari yang akan datang adalah hari penting bagi Rani Istriku, jelas karena
hari itu merupakan hari ulang tahun Istriku yang ke 25, dan aku sudah janji akan
memberikan hadiah ulang tahun padanya. Untuk memastikan tanggal dan hari itu, ku
coba melihat kalender yang terpampang di tembok dinding kamarku.
Terkaget tiba-tiba setelah ku melihat tanggal dan tahun yang terpampang di dinding
kamar dalam bentuk kalender itu, tampak jelas tertera menunjukkan bahwa hari ini
adalah hari selasa tanggal 24 Januari tahun 2010. Padahal seharusnya hari ini adalah
hari sabtu tanggal 12 Desember 2013. Otakku mengelak, Aku coba berpikir jernih.
Mungkin saja kalender ini memang sudah tidak digunakan karena waktunya sudah
terlewat jauh. Tapi kenapa selama ini Aku tidak menyadari bahwa kalender ini sudah
mati? Begitu pikirku.

Ditengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba terdengar suara dering


handphone. Tanpa pikir panjang Ku coba cari tahu dari mana asalnya suara deringan
itu. Setibanya di sana, tampak sebuah phonsel yang berdering menunjukkan
Panggilan Masuk yang tepat berada di ruang tamu rumahku. Di ponsel itu tertera
Panggilan Masuk atas nama Hendrik, teman lamaku. Perlahan Ku angkat phonsel
dengan sambutan “Halo…!”
Layaknya sebuah komunikasi, seseorang yang meneleponku itu lalu menjawab dengan
santai.
“Ya… Halo juga…! selamat siang pagi…?” Ia menyapaku.
“Pagi… Ini dengan siapa ya, boleh tahu?” Tanyaku.
“Ah… Kamu ini Jek, sama teman sudah so’ lupa, Aku Hendrik”.
“Oh… Kamu Hendrik teman sekolahku dulu ya?” Tanyaku spontan.
“Iya, lama tidak bertemu ya?”
“Iya nih… bagaimana kabarmu?”
“Baik Sob”
Kemudian Ia menyela pembuka obrolanku dengan menyerukan kata-kata.
“Jek, selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur dan sehat selalu, cepet punya
istri lagi, he he he…”
“Oh, ya terima kasih atas ucapannya Rik, tapi hari ini bukan hari ulang tahunku,
sekarangkan tanggal 12 desember, bukan 24 Januari”. Jelasku.
“Aaaah… Kamu tuh yang ngaco, sekarang itu tanggal 24 Januari 2010”
Terkaget, serentak Aku merasa menjadi orang tolol yang tidak mengerti apa yang
sedang terjadi. Untuk memperjelas, Ku coba melanjutkan pertanyaan.
“Apa Kamu bilang Rik, sekarang tanggal 24 Januari 2010?”
“ya Iyalah, memangnya kenapa? Kok Kamu malah kaget, harusnya seneng dong dapat
ucapan ulang tahun”.
Tanpa pamit permisi, Ku langsung mematikan ponsel yang masih terhubung, Aku pikir
ini sebuah misteri waktu yang harus dipecahkan. Tapi, bagaimana caranya?
Bergegas menuju kamar yang dipenuhi tumpukan koran-koran bekas, buku-
buku sains dan arkeologi, buku sastra, dan masih banyak lagi yang sempat ku obrak-
abrik dari rak buku di kamarku itu. Dari beberapa buku yang Ku baca dan digaris
bawahi, terdapat beberapa kalimat yang setidaknya dapat memberikan jawaban
tentang apa yang Ku alami hari ini. Di koran yang ku baca “Seorang Ibu dan seorang
Anak menghilang tanpa jejak” dalam buku sains “Teleportasi, adanya Ruang Waktu
yang di sebut Lubang Cacing yang sampai saat ini belum terpecahkan oleh para
ilmuan” buku sastra menjelaskan “Waktu berputar tanpa jeda”. Dari buku-buku
itulah akhirnya aku menemukan jawaban yang bersifat sementara yang coba ku
rangkai dalam bentuk kotretan. Dalam kotretan itu Ku tulis
“Anak Istri yang hilang tanpa jejak memungkinkan sebuah sebab terjadinya
teleportasi manusia ke dalam Ruang Waktu yang disebut dengan Lubang Cacing,
bukan mereka yang berpindah ke masa depan atau masa lalu, melainkan Aku yang
tidak menyadari adanya reaksi alam terhadap rotasi waktu dari masa depan ke masa
lalu, sehingga waktu bisa dikatakan mampu menteleportasi suatu benda atau
kehidupan seseorang seperti halnya yang Ku alami saat ini”.

Duduk lesu tanpa sepatah kata terucap dari mulut ini, sebuah pertanyaan
besar telah terjawab. Akhirnya aku bisa paham kenapa Ayah dan Ibuku juga teman
lamaku Hendrik berkata aneh, komposisi benda dalam rumah yang berubah drastis,
kalender di tembok kamar yang berubah masa, dan hilangnya Anak Istri yang tak
pernah muncul dari dalam rumah. Aku kehilangan Anak serta Istri yang ku cintai,
canda tawa kami seakan hancur di lahap waktu, kebersamaan keluarga kecil yang
telah musnah. Kini Aku telah kembali ke masa lalu. Semuanya terjadi begitu cepat
dan Ku rasa seperti sebuah mimpi.

Larut dalam sebuah penyesalan yang berujung duka, tanpa terasa air matapun
jatuh melintasi pipi. Timbul sebuah penyesalan dari setiap kesalahan yang pernah
Aku lakukan. Aku yang tak pernah menghargai waktu kebersamaan dengan anak dan
istri tercinta. Begitu berat rasanya menghadapi kenyataan pahit ini. 3 tahun seakan
tanpa arti lagi. Lambat laun Aku terlelap sedikit demi sedikit diiringi kegelisahan
atas kejadian yang begitu tidak masuk akal itu. Mataku mulai koyop, gelap tanpa
pandangan, Aku tertidur sembari duduk di kursi lamunan itu. Munajat dalam tidurku,
semoga kelak suatu saat Aku bisa bertemu mereka kembali dalam suatu kenangan
yang pasti terulang yaitu pertemuanku dengan sang pujaan hati yang akan menjadi
pendamping hidup, pernikahan, samapai kelahiran anakku Putri atas nama keluarga
yang abadi. Sampai tiada lagi akhir dan waktu yang memisahkan Kami. Ku tahu
mungkin ini kehendak tuhan agar hidupku bisa lebih baik dari yang pernah terjadi di
masa depan itu. Terima kasih tuhan, Kau telah memberikan kesempatan ini padaku.
Telapak tangan yang mungil terasa mengusap-usapkan jari-jemarinya yang
manis di wajahku. Tak jarang jari-jemari itu masuk ke lubang hidungku lalu kemudian
di tarik kembali. Ku ingat itu sebuah kebiasaan yang tak begitu asing bagiku. Dalam
posisiku yang masih tertidur di kursi meja kerja kamarku namun sudah sedikit
mencapai tingkat kesadaran untuk membuka mata, aku tersenyum merasakan
sentuhan-sentuhan halus tangan si mungil. Tak lama kemudian terdengar suara.
“Ayah bangun, coba Putri bangunin Ayah! Bisa enggak?”
Seketika Aku tersadar dari tidur dan melonjak bangkit dari kursi kayu di kamarku.
Mendengar suara itu, sepontan Ku bukakan kedua mata dan apa yang Ku lihat? Istri
dan Anakku, Rani dan Putri yang aku cintai dan sangat Aku sayangi. Ku tepuk-tepuk
kedua pipi kanan dan kiri, Ku kucek kedua bola mata dan bangun dengan penuh sadar.
Ini bukan mimpi, ini nyata. Tapi di balik itu semua, tumbuh pertanyaan. Apa yang
terjadi padaku tadi? Ku lontarkan pertanyaanku pada Rani yang tengah
menggendong Anakku Putri.
“Ran, ini Kamu? Emmm… bukannya Kamu…”.
“Jek, Kamu kenapa? Ya jelas ini Aku, Rani istri kamu, ini Putri anak Kita”.
Ku bergerak menuju ruang tamu, semuanya tertata seperti biasa lagi. Ini benar-
benar nyata tapi kejadian itu seakan sebuah mimpi. Apa memang Aku benar-benar
telah terjebak dan masuk ke dalam Ruang Waktu? Semua pertanyaan itu akan terus
tersimpan dalam benak ini, entah sampai kapan Ku temukan jawaban pasti.

Cerpen Karangan : Riky Fernandes


Blog : rikyfernandes.mywapblog.com
Nama : Riky Fernandes
Alamat : Cijaku
TTL : Lebak 24 Januari 1990
Pekerjaan : Mahasiswa/Guru Honorer
Hobi : Sepak Bola dan Bermusik
Motto : Kebenaran akan suatu pembuktian diri adalah evaluasi dari
kegagalan yang pernah terjadi

You might also like