You are on page 1of 10

a.

Definisi
Abses Mamae
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi
bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan
sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel
darah putih akan mati. Sel darah putih inilah yang mengisi rongga tersebut (Benson &
Martin, 2008).

b. Etiologi
Infeksi pada payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang umum
ditemukan pada kulit normal (staphylococcus aureus). Infeksi terjadi khususnya pada
saat ibu menyusui. Bakteri masuk ke tubuh melalui kulit yang rusak, biasanya pada
puting susu yang rusak pada masa awal menyusui. Area yang terinfeksi akan terisi
dengan nanah tersebut (Benson & Martin, 2008).
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui bebebrapa cara yaitu
sebagai berikut :
1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka dari tusukan jarum tidak steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain.
3. Bakteri yang dalam keadaan normal, hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bias menyebabkan abses.
(Sjamsuhidajat et al., 2010).

Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :


1. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi.
2. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang.
3. Terdapat gangguan system kekebalan tubuh.
(Sjamsuhidajat et al., 2010).

c. Faktor risiko
Masalah-masalah yang sering terjadi pada saat menyusui sering terjadi
terutama pada ibu primipara. Oleh karena itu, ibu menyusui perlu diberikan
penjelasan tentang pentingnya bagaimana perawatan payudara yang baik dan benar,
cara menyusui yang benar dan hal-hal lain yang erat hubungannya dengan proses
menyusui. Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi dan merupakan faktor
resiko yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada payudara adalah puting lecet,
payudara bengkak, saluran susu tersumbat yang dapat menyebabkan terjadinya
mastitis dan abses (Saleha, 2009).
1. Puting nyeri/lecet
Kebanyakan puting yang nyeri atau lecet disebabakan oleh kesalahan dalam
teknik menyusui, yaitu bayi yang tidak mengisap susu sampai ke areola payudara
melainkan hanya terbatas pada puting saja. Bila hal tersebut terjadi maka bayi hanya
akan mendapat ASI dalam jumlah sedikit karena gusi bayi tidak menekan pada daerah
sinus laktiferus. Bila hal ini terus berlanjut maka akan menyebabkan terjadinya lecet
pada daerah puting susu ibu (Saleha, 2009).
.

2. Payudara bengkak
Pembengkakan atau enorgement payudara terjadi karena ASI tidak diisap oleh
bayi secara adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada sistem duktus yang akan
mengakibatkan terjadinya pembengkakan. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
stasis pada pembuluh darah dan limfe akan mengakibatkan meningkatnya tekanan
intraduktal, yang akan mempengaruhi beberapa segmen pada payudara, sehingga
menyebabkan tekanan seluruh payudara menjadi meningkat. Akibatnya payudara
sering terasa penuh , tegang, dan nyeri. Selanjutnya hal tersebut akan diikuti oleh
penurunan produksi ASI dan penurunan refleks Let down. Bra yang terlalu ketat juga
dapat menyebabkan pmbengkakan segmental, demikian pula puting yang tidak bersih
dapat menyebabkan sumbatan pada duktus (Saleha, 2009).
.

Gejala pembengkakan akan tampak sebagai bentuk areola payudara yang lebih
menonjol dan puting yang lebih mendatar, sehingga membuat puting lebih mendatar,
sehingga menyebabkan puting sukar diisap oleh bayi. Bila keadaan sudah demikian
kulit pada payudara akan tampak lebih mengkilap, ibu mengalami demam, dan
payudara terasa nyeri (Saleha, 2009).
.
3. Saluran susu tersumbat
Saluran susu tersumbat (obstruction duct) adalah merupakan suatu keadaan
ketika terjadi sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus. Penyebabnya meliputi
tekanan jari ibu pada waktu menyusui, pamakaian bra yang terlalu ketat, dan
komplikasi payudara bengkak, yaitu susu yang terkumpul tidak segera dikeluarkan
sehingga menjadi suatu sumbatan (Saleha, 2009).
.

Gejala pada gangguan ini mudah terlihat pada ibu yang kurus akan terlihat
benjolan yang jelas dan lunak pada perabaan. Payudara pada daerah yang mengalami
sumbtan terasa bengkak yang terlokalisasi (Saleha, 2009).

d. Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat
stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan
dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga
permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan
tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan
jaringan memudahkan terjadinya infeksi (Sabiston, 2004).

Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi,
melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui
penyebaran hematogen pembuluh darah). Organisme yang paling sering adalah
Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula
mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada
daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1% (Sabiston, 2004).

Apabila kekebalan dan daya tahan tubuh ibu baik maka dengan penanganan yang cepat dan
tepat maka peradangan akan segera berhenti. Tetapi apabila peradangan pada payudara tidak
diatasi dengan baik dan bila diikuti oleh terjadi infeksi maka peradangan akan meluas. dan
akan terbentuk abses yang menyebabkan peradangan akan berlanjut dan menimbulkan gejala
klinis yang lebih berat dari sebelumnya. (Sabiston, 2004).

Gambaran klinis
Gejala dari abses tergantung pada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ atau
syaraf. Gejala dan tanda yang sering ditimbulkan oleh abses payudara diantaranya :
- Tanda-tanda inflamasi pada payudara (merah mengkilap, panas jika disentuh,
membengkak dan adanya nyeri tekan).
- Teraba massa, suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak
sebagai suatu benjolan. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih
putih karena kulit diatasnya menipis.
- Gejala sistematik berupa demam tinggi, menggigil, malaise
- Nipple discharge (keluar cairan dari putting susu, bisa mengandung nanah)
- Gatal- gatal
- Pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara yang
terkena.
(Sabiston, 2004).
Menurut Sarwono (2009), pada abses payudara memiliki tanda dan gejala yaitu:
- Nyeri payudara yang berkembang selama periode laktasi
- Fisura putting susu
- Fluktuasi dapat dipalpasi atau edema keras
- Warna kemerahan pada seluruh payudara atau local
- Limfadenopati aksilaris yang nyeri
- Pembengkakan yang disertai teraba cairan dibawah kulit
- Suhu badan meningkat dan menggigil
- Payudara membesar, keras dan akhirnya pecah dengan borok serta keluarnya cairan
nanah bercampur air susu serta darah.

Penegakkan Diagnosis
Anamnesis
Penyebaran informasi sesungguhnya tentang riwayat alamiah dan insidens kanker payudara
sering bertanggung jawab untuk kewaspadaan pasien akan penyakit payudara. Anamnesis
terpadu harus didapatkan sebelum melakukan pemeriksaan fisik. Penyelidikan terinci tentang
faktor resiko penyerta seperti usia, paritas serta riwayat menstruasi dan menyusui, bersifat
penting. Usia menarke dan perubahan siklik dengan menstruasi berkorelasi bermakna dengan
penyakit jinak dan ganas. Pertanyaan tentang tindakan bedah sebelumnya, terutama
ooforektomi, adrenalektomi atau pembedahan pelvis, penting untuk memastikan
kemungkinan efek penghentian sekresi estrogen endogen. Penting riwayat terapi hormon
sebelumnya, yang mencakup kontrasepsi oral dan estrogen eksogen. Kehadiran dan sifat
sekret puting susu maupun hubungannya dengan ovulasi siklik bisa memberikan petunjuk
penting tentang etiologi (Sabiston, 2004).
Sekitar 75 sampai 85 persen massa payudara dikenal pasien sebekum mencari pertolongan
medis. Sifat pertumbuhan, reprodusibilitas pemeriksaan selama siklus menstruasi dan sekret
puting susu merupakan pokok informasi bersangkut paut. Nyeri (mastodinia) dengan
pembengkakan dan rasa penuh payudara dalam masa segera pramenstruasi atau
pascamenstruasi menggambarkan lesi payudara sensitif hormon yang jinak. Penyelidikan
riwayat penyakit keluarga kanker payudara dan gejala konstitusional yang mencakup
penurunan berat badan, demam, hemoptisis, nyeri dada, anoreksia dan nyeri tulang rangka
penting bila indeks kecurigaan keganasan tinggi (Sabiston, 2004).

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Sebelum palpasi, dokter seharusnya duduk menghadapi pasien yang harus membuka pakaian
sampai pinggang serta mengamati simetri dan perubahan kulit seperti fiksasi, elevasi, retraksi
dan warna. Pertama dilakukan pemeriksaan dengan lengan pasien di samping tubuhnya dan
kemudian di atas pinggulnya. Kontraksi musculus pectoralis akan meningkatkan bentuk
payudara. Penting pengenalan edema difus sebagai hasil selulitis bakterialis atau akibat
peresapan endolimfe dari pembuluh limfe dermis dengan emboli tumor. Terperangkapnya
ligamentum cooper segmental bisa menimbulkan retraksi kulit dan lesung serta bisa disertai
dengan “peau d’ orange”. Gambaran fisik ini biasanya menyertai massa padat yang dapat
teraba profunda, yang terlazim menggambarkan neoplasma maligna, tetapi kadang-kadang
bisa nekrosis lemak (Sabiston, 2004).

Palpasi
Palpasi sistematik atas tempat metastasis yang lazim harus dilakukan sebelum pemeriksaan
payudara. Pemeriksaan fossa axillaris dan supraclavicularis memerlukan palpasi superfisialis
dan profunda untuk mengenal metastasis kelenjar limfe. Pasien harus didudukkan dengan
lengan disokong oleh pemeriksa. Relaksasi otot gelang bahu penting dan tekanan ujung jari
tangan yang lembut terbaik mengenal kelenjar limfe kecil. Metastasis ekstramamma besar
bermassa besar bisa jelas ke pasien dan dokter serta penting dokumentasi lokasi dan ukuran
yang tepat selama pemeriksaan klinik awal. Lima kelompok kelenjar limfe yang sebelumnya
disebutkan harus diperiksa dan jari tangan yang mempalpasi harus ditempatkan dalam lipat
axilla, sehingga semua struktur infraclavicularis di lateral ligamentum Halsted telah
dievaluasi. Ujung jari tangan pemeriksa menekan isi axilla pada otot dinding dada dan
sangkar iga (Sabiston, 2004).
Ekstensi lengan penuh dengan tangan istirahat pada puncak kepala meratakan payudara pada
dinding dada dan nyaman bagi pasien. Penempatan pasien kembali dalam posisi terlentang
bisa memungkinkan pemeriksaan lebih menyeluruh, terutama dengan ekstensi dan rotasi
eksterna bahu. Pemeriksaan sistematik semua kuadran payudara diselesaikan. Evaluasi
bertujuan untuk mendeteksi lesi kecil yang berbeda dari lemak dan stroma payudara
sekelilingnya. Lesi yang berbatas tegas, nyeri dan sama sekali terpisah dari parenkima
berdekatan biasanya tidak ganas, sedangkan lesi tak nyeri dengan batas tak tegas secara
klasik mungkin ganas. Pembedaan antara sifat jinak dan ganas tidak mungkin dilakukan atas
pemeriksaan fisik saja. Penilaian klinik dan biopsi diperlukan. Selama tahun reproduktif
wanita, payudara mempunyai arsitektur lobulus normal, yang dapat membingungkan pasien
selama pemeriksaan payudara sendiri. Pasien harus diinstruksikan cara memeriksa
payudaranya. Penemuan lesi dengan sifat tiga dimensi seharusnya menyadarkan pasien untuk
kembali ke dokternya (Sabiston, 2004).

Puting susu dan areola harus diperiksa dengan cermat. Adanya inversi puting susu harus
dicatat dan jika unilateral, harus dicurigai karsinoma. Puting susu normal terinversi biasanya
dapat dieversikan ke posisi anatomi yang tepat. Ketidak-mampuan melakukan perasatini
membenarkan biopsi. Penyakit jinak dapat juga melibatkan kompleks puting susu-areola.
Eksema dan keadaan peradangan subareola lazim dalam masa pasca persalinan selama
laktasi. Adanya erupsi areola bersisik, berkrusta, ekzematoid patognomonik bagi penyakit
paget puting susu. Lesi ini lazim basah atau berdarah bila kontak. Biopsi penyakit paget
mengkonfirmasi karsinoma duktus primer yang telah menginvasi puting susu dan kulit areola
untuk memberi gambaran klinik yang digambarkan (Sabiston, 2004).

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang diagnosis tidak selalu
diperlukan. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji
sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:

 Pengobatan dengan antibiotik tidak -- memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari

 Terjadi mastitis berulang


 Mastitis terjadi di rumah sakit

 Penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung
ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan
bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari
kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Beberapa
penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat dengan tingginya
jumlah bakteri atau patogenitas bakteri (Grace & Borley, 2006).

Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Tata laksana mastitis dimulai dengan memperbaiki teknik menyusui ibu. Aliran ASI yang
baik merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis karena stasis ASI merupakan masalah
yang biasanya mengawali terjadinya mastitis. Ibu dianjurkan agar lebih sering menyusui
dimulai dari payudara yang bermasalah. Tetapi bila ibu merasa sangat nyeri, ibu dapat mulai
menyusui dari sisi payudara yang sehat, kemudian sesegera mungkin dipindahkan ke
payudara bermasalah, bila sebagian ASI telah menetes (let down) dan nyeri sudah berkurang.
Posisikan bayi pada payudara sedemikian rupa sehingga dagu atau ujung hidung berada pada
tempat yang mengalami sumbatan. Hal ini akan membantu mengalirkan ASI dari daerah
tersebut (Sabiston, 2004).

Ibu dan bayi biasanya mempunyai jenis pola kuman yang sama, demikian pula pada saat
terjadi mastitis sehingga proses menyusui dapat terus dilanjutkan dan ibu tidak perlu khawatir
terjadi transmisi bakteri ke bayinya. Tidak ada bukti terjadi gangguan kesehatan pada bayi
yang terus menyusu dari payudara yang mengalami mastitis. Ibu yang tidak mampu
melanjutkan menyusui harus memerah ASI dari payudara dengan tangan atau pompa.
Penghentian menyusui dengan segera memicu risiko yang lebih besar terhadap terjadinya
abses dibandingkan yang melanjutkan menyusui. Pijatan payudara yang dilakukan dengan
jari-jari yang dilumuri minyak atau krim selama proses menyusui dari daerah sumbatan ke
arah puting juga dapat membantu melancarkan aliran ASI (Sabiston, 2004).
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah ibu harus beristirahat, mengkonsumsi cairan
yang adekuat dan nutrisi berimbang. Anggota keluarga yang lain perlu membantu ibu di
rumah agar ibu dapat beristirahat. Kompres hangat terutama saat menyusu akan sangat
membantu mengalirkan ASI. Setelah menyusui atau memerah ASI, kompres dingin dapat
dipakai untuk mengurangi nyeri dan bengkak. Pada payudara yang sangat bengkak kompres
panas kadang membuat rasa nyeri bertambah. Pada kondisi ini kompres dingin justru
membuat ibu lebih nyaman. Keputusan untuk memilih kompres panas atau dingin lebih
tergantung pada kenyamanan ibu (Sabiston, 2004).

Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan bila ibu sakit berat atau tidak ada yang dapat
membantunya di rumah. Selama di rumah sakit dianjurkan rawat gabung ibu dan bayi agar
proses menyusui terus berlangsung (Grace & Borley, 2006).

Medikamentosa
Meskipun ibu menyusui sering enggan untuk mengkonsumsi obat, ibu dengan mastitis
dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa obat sesuai indikasi.

Analgesik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang berguna dalam
proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pada mastitis.
Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih
efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan
parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi
pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis
(Sabiston, 2004).

Antibiotik
Jika gejala mastitis masih ringan dan berlangsung kurang dari 24 jam, maka perawatan
konservatif (mengalirkan ASI dan perawatan suportif) sudah cukup membantu. Jika tidak
terlihat perbaikan gejala dalam 12 – 24 jam atau jika ibu tampak sakit berat, antibiotik harus
segera diberikan. Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah dikloksasilin atau
flukloksasilin 500 mg setiap 6 jam secara oral. Dikloksasilin mempunyai waktu paruh yang
lebih singkat dalam darah dan lebih banyak efek sampingnya ke hati dibandingkan
flukloksasilin. Pemberian per oral lebih dianjurkan karena pemberian secara intravena sering
menyebabkan peradangan pembuluh darah. Sefaleksin biasanya aman untuk ibu hamil yang
alergi terhadap penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih
dianjurkan klindamisin (Sabiston, 2004).

Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 – 14 hari. Biasanya ibu menghentikan antibiotik
sebelum waktunya karena merasa telah membaik. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya
mastitis berulang. Tetapi perlu pula diingat bahwa pemberian antibiotik yang cukup lama
dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi jamur pada payudara dan vagina (Sabiston,
2004).

Pada penelitian yang dilakukan Jahanfar diperlihatkan bahwa pemberian antibiotik disertai
dengan pengosongan payudara pada mastitis mempercepat penyembuhan bila dibandingkan
dengan pengosongan payudara saja. Sedangkan penelitian Jimenez dkk. memperlihatkan
bahwa pemberian Lactobacillus salivarius dan Lactobacillus gasseri mempercepat perbaikan
kondisi klinik pada kasus mastitis yang sementara mendapat antibiotik (Grace & Borley,
2006).

Bila sampai terjadi abses, penatalaksanaan sama seperti pada radang payudara. Pemeriksaan
USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini
dapat dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus
terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial. Pada abses yang sangat besar
terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat
antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar antibiotik yang diberikan
sesuai dengan jenis kumannya Selama luka bekas insisi belum sembuh bayi disusukan dari
payudara yang sehat (Grace & Borley, 2006).

Sebagian penderita yang hamil atau menyusui, terdapat kecenderungan mengalami abses
payudara, yang mana dianjurkan padanya dilakukan pengaliran isi abses (drainase) dengan
anestesi umum (biasanya sebagian besar terdiri dari jaringan superfisialis). Biasanya tak
diperlukan bukan abses dengan insisi tunggal yang panjang, tetapi dibuat dua insisi terpisah
yang kecil, dan dilalui oleh pipa karet lunak, untuk memastikan pengaliran yang adekuat,
dengan kemungkinan deformitas yang minimal, dan akhirnya harus dilakukan biopsi
(Sabiston, 2004).
Pencegahan
Beberapa ibu memiliki puting susu yang rata dan membuat menyusui adalah hal yang sulit
atau tidak mungkin. Untuk memperbaiki hal ini, Hoffman’s exercises dapat dimulai sejak 38
minggu kehamilan.

Oles sedikit pelicin (contoh Vaseline) pada areola. Dua ruas jari atau satu jari dan dengan
arah jempol diletakkan sepanjang sisi puting susu dan kulit dengan lembut ditarik horizontal.
Kemudian, gerakan ini di ulang dengan arah horizontal, lakukan pada keduanya beebrapa
kali. Jika latihan ini dilakukan beberapa kali per hari, akan membantu mengeluarkan puting
susu.

Metode alternatif adalah penarikan puting susu, digunakan pada lapisan khusus di dalam bra
pada saat kehamilan.
• Puting susu dan payudara harus dibersihkan sebelum dan setelah menyusui.
• Setelah menyusui, puting susu dapat diberikan salep lanolin atau vitamin A dan D
• Hindari pakaian yang menyebabkan iritasi pada payudara 5,6
(Saleha, 2009).

Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu
bedah Sjamsuhidajat-de jong. Ed.3. Jakarta: EGC; 2010.h. 473-5.
2. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi 3. Editor: Safitri A. Jakarta:
Erlangga; 2006. h. 18-9.
3. Benson RC, Martin L. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi 9. Editor: Primarianti
S, Resmisari T. Jakarta: EGC; 2008. h. 487-91.
4. Sabiston DC. Buku ajar bedah: sabiston’s essentials surgery. Jakarta: EGC; 2004. h.
373-83.
5. Saleha. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika; 2009. h. 109-
110.
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Volume 2. Jakarta : EGC; 2005. h. 130-2.

You might also like