Professional Documents
Culture Documents
A. DEFINISI
` Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TBC (Depkes RI, 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa Tuberkulosis paru adalah
suatu penyakit infeksi menahun yang menular yang disebabkan oleh mybacterium
tuberculosis (Depkes RI, 1998). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara (pernapasan) ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru ke
organ tubuh yang lain melaui peredaran darah, kelenjar limfe, saluran nafas, atau penyebaran
B. ETIOLOGI
Kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat
Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering
C. KLASIFIKASI
Tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis post
primer. Pada tuberkulosis primer penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Dalam suasana gelap
dan lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel ini
terhisap oleh orang yang sehat maka akan menempel pada jalan nafas atau paru. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari cabang trakheo-
bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Sedangkan Tuberculosis Post Primer
dari TBC primer akan muncul bertahun-tahun lamanya menjadi TBC post Primer. Post
Primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di sebagian apical posterior atau
D.PATOFISIOLOGI
Bakteri juga dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tetapi jarang sekali
terjadi. Bila bakteri menetap di jaringan paru, akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Bakteri terbawa masuk ke organ lainnya. Bakteri yang bersarang di
jaringan paru akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau efek efek primer. Sarang primer ini dapat terjadi di bagian-bagian jaringan paru.
Dari sarang primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening hilus (limfangitis lokal),
dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis hilus). Sarang primer,
limfangitis local, limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer (Soeparman, 1990;
Snieltzer, 2000).
Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi sembuh dengan meninggalkan cacat atau
sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus
atau kompleks (sarang) Ghon, ataupun bisa berkomplikasi dan menyebar secara
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Dapat juga kuman tertelan bersama sputum dan
ludah sehingga menyebar ke usus, secara limfogen, secara hematogen, ke organ lainnya
Gejala-gejala klinis yang muncul pada klien TBC paru adalah sebagai berikut :
demam yang terjadi biasanya menyerupai demam pada influenza, terkadang sampai 40-410 C.
Batuk terjadi karena iritasi bronchus, sifat batuk dimulai dari batuk non produktif kemudian
setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif. Keadaan lanjut dapat terjadi hemoptoe
karena pecahnya pembuluh darah. Ini terjadi karena kavitas, tapi dapat juga terjadi ulkus
dinding bronchus. Sesak nafas terjadi pada kondisi lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah
bagian paru. Nyeri dada timbul bila sudah terjadi infiltrasi ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis. Malaise dengan gejala yang dapat ditemukan adalah anorexia, berat badan menurun,
sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari (Soeparman, 1990; Heitkemper, 2000).
F. CARA PENULARAN
dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa.
Bacteri bia masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang biak
menjadi banyak (terutama daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itu infeksi
TBC menginfeksi hamper seluruh organ tubuh sesperti: paru-paru, otak, ginjal,
Factor lain adalah kondisi rumah lembab karena cahaya matahari dan udara
fisik, foto thoraks, uji tuberkulin, laboratorium, dan pemerikasaan patologi anatomi (PA). Di
Indonesia sebagai standar untuk penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan
menegakkan diagnosis tuberkulosis paru (Depkes RI, 2002). Oleh karena itu untuk deteksi
pengobatan.
H. PENGOBATAN
gangguan seminimal mungkin; 2) Mencegah kematian klien yang sakit sangat berat; 3)
Mencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait; 4) Mencegah kambuhnya
penyakit; 5) Mencegah kuman TBC menjadi resisten; 6) Melindungi keluarga dan masyarakat
Sistem pengobatan klien tuberkulosis paru dahulu, seorang klien harus disuntik dalam
waktu 1-2 tahun. Akibatnya klien menjadi tidak sabar dan bosan untuk berobat. Sistem
pengobatan sekarang, seorang klien diwajibkan minum obat selama 6 bulan. Jenis obat yang
harus diminum harus disesuaikan dengan kategori pengobatan yang diberikan (Depkes RI,
1997).
Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka pendek selama enam bulan
dengan jenis obat INH atau Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E),
dan Streptomisin (Soeparman, 1990). Paduan obat anti tuberkulosis tabel 1 adalah paduan
yang digunakan dalam program nasional penanggulangan tuberkulosis dan dikemas dalam
bentuk paket kombipak (Depkes RI, 2002). Paduan pengobatan terbaru dengan menggunakan
FDCs (Fix Dose Combinations) yaitu kombinasi dari obat anti tuberkulosis dalam satu
Paduan Obat
Kategori Tahap Intensif Tahap Lanjutan Untuk Klien Tuberkulosis
I 2HRZE 4H3R3 TBC Paru baru BTA (+)
Keterangan :
Angka yang berada di depan menunjukkan lamanya minum obat dalam bulan,
sedangkan angka di belakang huruf menunjukkan berapa kali dalam seminggu obat tersebut
diminum. Sebagai contoh 2HRZ artinya INH, Rifampicin dan Pirasinamid diminum dalam
jangka waktu 2 bulan dan minumnya setiap hari. 4H3R3 artinya INH, Rifampicin diminum
selama 4 bulan dan diminum 3 kali dalam seminggu (Depkes RI, 2002).
Efek samping yang ditimbulkan dari obat-obat tersebut adalah : INH : Hepatotoksik.
Rifampicin dapat terjadi sindrom flu dan hepatotoksik. Pada Streptomisin dapat
mengakibatkan nefrotoksik, gangguan nervus VIII cranial. Pirazinamid dapat mengakibatkan
nefrotoksik, skin rash atau dermatitis. Efek samping dari obat anti tuberkulosis yang tersering
terjadi pada klien adalah pusing, mual, muntah-muntah, gatal-gatal, mata kabur dan nyeri otot
atau tulang (Depkes RI, 2002). Agar pengobatan berhasil, efek samping dapat terdeteksi
secara dini dan dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan terdekat, maka diperlukan
pengawas minum obat karena ketidakteraturan minum obat dapat menyebabkan resistensi
terhadap obat.
dengan memakai paduan obat, sedikitnya 2 macam obat yang bakterisid. Dengan memakai
obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi
terhadap 2 macam obat atau lebih, dan pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
(Soeparman, 1990; Depkes RI, 2001). Peran perawat komunitas untuk menghindari
terjadinya resistensi obat adalah dengan selalu memantau pengobatan dengan kunjungan
Selain menggunakan OATS ada metode lain yang dapat digunakan yaitu:
Adalah nama suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk
mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB paru. Strategi ini terdiri dari lima komponen
yaitu:
a. Dukungan politik para pemimpin disetiap jenjang sehongga program ini menjadi salah satu
maupun petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum obat seluruh obatnya
sehngga dapat dipastikan bahwa pasien betul minum seluruh obat dan diharapkan
d. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari sistem surveilans
e. Panduan obat anti TB paru jangka pendek yang benar, termasuk dosis, dan jangka waktu
I. KOMPLIKASI
TB laring
Pleuritis eksudatif
Pneumotorak
Abses paru
J. PENCEGAHAN
Vaksinasi BCG
Pembrian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberculosis
yang virulen. Imunitas timbul enam sampai delapan minggu setelah pemberian BCG.
Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi
tinggi.
Menjaga stándar hidup yang baik, kasus baru dan pasien yang berpotensi
K. PROGNOSIS
A. Pengkajian
1. Pengkajian Inti
a. Usia : semua rentang usia memiliki resiko untuk terkena penyakit TB paru
b. Jenis kelamin : baik laki – laki maupun perempuan dapat terkena penyakit TB paru
d. Keluhan yang dirasakan masyarakat : adanya salah satu warga atau beberapa orang
warga yang memiliki tanda-tanda TB Paru seperti batuk yang lama, demam tinggi,
BB menurun,dll.
status nutrisi.
f. Angka kematian penderita TB Paru di Indonesia mencapai angka 250 juta kasus baru
2. Pengkajian Instrumen
a. Lingkungan fisik
Sanitasi :
- pembuangan sampah
sumber polusi
Pelayanan kesehatan :
- Sumber daya yang dimiliki : adanya kader atau tenaga kesehatan yang
terlatih
lebih tinggi
c. Ekonomi
buruh
d. Pendidikan
Jenis bahasa yang digunakan : bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat
B. Analisa Data
No. Data Subjektif Data Objektif Etiologi Problem
-Masyarakat
paru masyarakat
terlihat batuk
terus menerus,
lemas, letih.
2. -Masyarakat -40% dari -kurangnya -terjadi kegagalan
meminum obat
waktu yang
lama.
-Masyarakat
mengatakan
kurangnya
pengawasan
dalam minum
OAT
3. -Masyarakat -Masyarakat Status ekonomi Gangguan nutrisi
mengatakan lesu.
nafsu makan
menurun.
C. DIAGNOSA PERAWATAN
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :
Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
Kerusakan membran alveolar kapiler
Sekret yang kental
Edema bronchial
b. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
Malnutrisi
Terkontaminasi oleh lingkungan
Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
c. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,
berhubungan dengan :
Tidak ada yang menerangkan
Interpretasi yang salah, tidak akurat
Informasi yang didapat tidak lengkap
Terbatasnya pengetahuan / kognitif
d. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
Kelelahan
Batuk yang sering, adanya produksi sputum
Dyspnoe
Anoreksia
Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
a. INTERVENSI
1. Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya respirasi,
keterbatasan ekspansi dada dan fatique.
TB paru dapat menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru yang berasal dari
bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural efusion dan
meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan kulit,
selaput mukosa dan warna kuku.
Akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan
Intervensi
1. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui
bronkhus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau sistem limfe dan
potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi.
Membantu klien agar klien mau mengerti dan menerima terhadap terapi yang
diberikan untuk mencegah komplikasi.
2. Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti
anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi
pencegahan.
3. Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
4. Gunakan masker setap melakukan tindakan
Untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
5. Monitor temperatur
Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
6. Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani
Periode menular dapat terjadi hanya 2 – 3 hari setelah permulaan kemoterapi tetapi
dalam keadaan sudah terjadi kavitas atau penyakit sudah berlanjut sampai tiga bulan.
KOLABORASI
7. Pemberian terapi untuk anak
a. INH, Etambutol, Rifampisin
INH adalah obat pilihan bagi penyakit TB primer dikombinasikan dengan obat-obat
lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan
etambutol untuk 2 bulan pertama.
b. Pyrazinamid ( PZA ) / aldinamide, Paraamino Salicyl ( PAS ), Sycloserine,
Streptomysin
Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
c. Monitor sputum BTA
Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi diteruskan sampai batas waktu
yang ditentukan.
3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan
dengan :
Tidak ada yang menerangkan
Interpretasi yang salah, tidak akurat
Informasi yang didapat tidak lengkap
Terbatasnya pengetahuan / kognitif
Intervensi
1 Kaji kemampuan belajar klien misalnya : tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat
partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk belajar, seberapa banyak yang telah
diketahui, media yang tepat dan siapa yang dipercaya.
Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan
tergantung pada sebatasmana kemampuan klien.
3 Menekankan pentingnya asupan diet TKTP dan intake cairan yang adekuat.
Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan yang memadai
membantu mengencerkan dahak.
4 Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan keluarga misalnya :
jadwal minum obat.
Informasi tertulis dapat mengingatkan klien tentang informasi yang telah diberikan.
Pengulangan informasi dapat membantu mengingatkan klien.
5 Menjelaskan dosis obat, frekwensi, tindakan yang diharapkan dan perlunya therapi dalam
jangka waktu lama. Mengulangi penyuluhan mengenai potensial interaksi antara obat yang
diminum dengan obat / subtansi lain.
Meningkatkan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan therapi dan mencegah
terjadinya putus obat.
6 Jelaskan tentang efek samping dari pengobatan yang mungkin timbul, misalnya : mulut
kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
Dapat mencegah keraguan terhadap pengobatan dan meningkatkan kemampuan klien untuk
menjalani terapi.
9 Review tentang cara penularan TB ( misalnya : umumnya melalui inhalasi udara yang
mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine jika infeksinya mengenai
sistem urinaria ) dan resiko kambuh kembali.
Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan / kambuh kembali. Komplikasi
yang berhubungan dengan tidak adekuatnya penyembuhan TB meliputi : formasi abses,
empisema, pneumothorak, fibrosis, efusi pleura, empyema, bronkhiektasis, hemoptisis,
ulcerasi GI, fistula bronkopleural, TB laring, dan penularan kuman.
Intervensi
Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang dianjurkan :
1. Catat turgor kulit
3. Integritas mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya bising usus,
riwayat nausea, vomiting atau diare.
Digunakan untuk mendefinisikan tingkat masalah dan intervensi
6. Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan
medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB.
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan
intake nutrisi.
7. Anjurkan bedrest
Membantu menghemat energi khususnya terjadinya metabolik saat demam.
8. Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi
Mengurangi rasa yang tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan untuk
pengobatan yang dapat merangsang vomiting.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. EGC. Jakarta.
IDAI dan PP IDAI UKK Pulmonologi. 2000. Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik
Pada Anak; Dalam Temu Ahli Respirologi Anak-Anak. Jakarta.
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak; Volume 2 Edisi 15. EGC. Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Keperawatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak.
FKUI. Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN
KOMUNITAS
PASIEN DENGAN TBC
Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah komunitas
Disusun oleh :
1. Veny Kristine
2. Suparno
3. Abri Teguh
4. Marvita
5. Dwi H
6. Evi Safitri
7. Girinta
8. Edi Mulyono