You are on page 1of 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberculosis
Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya seperti M. tuberculosis, M.
africanum, M. bovis, M. canettii, dan M. microti. Bakteri patogen ini menyerang
paru-paru dan organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis umumnya
disebarkan melalui udara dalam bentuk droplet nuklei yang menimbulkan respon
granuloma dan inflamasi jaringan. Tanpa penanganan yang baik, kasus akan
menjadi fatal dalam 5 tahun.
Tuberculosis sebenarnya dapat menyerupai penyakit paru lainnya seperti
penumonia, penyakit paru interstitial bahkan keganasan akan tetapi dengan
anamnesis yang baik, tuberculosis dapat dengan mudah di tegakkan. Pada
dasarnya pasien dengan sistem imun yang baik biasanya terserang tuberculosis
hanya pada satu area saja misalnya pada paru atau salah satu organ ekstra paru
sedangkan pada pasien dengan immunokompeten, tuberculosis dapat terjadi lebih
daripada satu organ. Terlepas dari pasien dengan HIV positif, sekitar 80% pasien
dewasa menderita tuberculosis paru, 15% ekstra paru dan 5% menderita
tuberculosis paru dan ekstra paru.Tuberculosis diklasifikasikan sebagai
tuberkulosis paru dan ekstra paru berdasarkan lokasi infeksinya. Pada tuberculosis
paru dapat diklasifikasikan sebagai TB paru primer atau post primer.
TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi
pertama kali. Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis
penyakit ini lebih sering muncul pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat
dalam TB paru primer adalah lobus medial dan lobus bawah paru. Lesi yang
terbentuk biasanya terletak di perifer dan disertai dengan limfadenopati hilar atau
paratracheal yang biasanya sulit dideteksi secara radiologis. Pembesaran
limfonodus dapat menekan bronchus, menimbulkan obstruksi saluran nafas dan
menyebabkan kolaps paru segmental atau bahkan lobar. Pada sebagian besar

11
kasus, lesi biasanya sembuh sendiri dan bermanifestasi sebagai nodul kalsifikasi
(fokus gohn).
Pada anak-anak dan orang dengan immunokompeten, TB paru primer dapat
berkembang pesat menimbulkan gangguan klinis yang serius. Lesi awal dapat
bertambah besar dan dapat menginduksi gangguan pada jaringan sekitar misalnya
lesi pada pleura yang berasal dari fokus subpleura. Penyebaran secara hematogen
biasanya terjadi pada kasus yang berat. Mycobacterium tuberculosis menyebar ke
organ lainnya dan membentuk fokus granuloma.
Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis
sekunder. Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan
biasanya terjadi pada segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi
dibandingkan bagian paru lainnya yang sangat menunjang pertumbuhan bakteri.
Pada tahap ini, perkembangan lesi biasanya sangat bervariasi mulai dari bercak
inflitrat hingga terbentuknya kavitas bahkan diikuti dengan infeksi sekunder yang
menyebabkan pneumonia, selain itu pada tahap ini, pasien sangat mudah untuk
menularkan bakteri ke lingkungannya.
WHO mendefinisikan penderita TB sebagai penderita yang terbukti secara
positif terinfeksi tuberculosis dengan menggunakan metode diagnosa apapun. TB
paru didefinisikan sebagai TB yang menyerang parenkim paru dan berdasarkan
hasil apusan tahan asam TB dibagi menjadi Sputum positif atau sputum negatif.
Pasien dengan sputum postif merupakan pasien yang sedikitnya
menunjukkan satu hasil positif dari 3 sampel sputum yang diambil. Sedangkan
sputum negatif merujuk kepada pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tanpa
ditemukannya basil tahan asam, namun pada pasien dengan sputum negatif tetapi
hasil kultur menunjukkan positif maka tetap dianggap sebagai pasien TB dengan
sputum negatif.
TB ekstra paru merupakan kasus infeksi TB yang menyerang organ lain
selain paru antara lain pleura, limfonodus, abdomen, saluran kemih, kulit,
persendian, tulang dan meninges. Diagnosa harus ditegakkan berdasarkan kultur
atau pemeriksaan histologis. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru digolongkan
sebagai kasus TB paru.

12
Kasus baru TB adalah pasien yang belum pernah menerima pengobatan TB.
Pada kasus berobat ulang atau retreatment digolongkan dalam 3 jenis yakni
retreatment karena gagal pengobatan, retreatment pada keadaan default , dan
Retreatment pada pasien sputum positif dengan pengobatan tuntas.
Saat ini dikenal pula istilah Multidrug-resistant TB (MDR-TB) dan
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB). Multidrug-resistant TB (MDR-TB)
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid dan
rifampicin. MDR-TB biasanya terjadi akibat infeksi primer dari bakteri yang
sudah resisten atau dari pengobatan yang tidak maksimal yang menimbulkan
resistensi.
Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) merupakan bentuk infeksi
tuberculosis yang lebih berat daripada MDR-TB dimana terjadi resistensi
pengobatan lini kedua seperti amikacin, kanamycin atau capreomycin. Bentuk TB
ini tidak berespon terhadap pengobatan selama 6 bulan dengan pengobatan lini
pertama dan perlu pengobatan selama 2 tahun atau bahkan lebih.

3.2 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil non
spora berukuran 0.5-3 μm. Gram netral dan bersifat tahan asam. Sifat tahan
asamnya disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam lemak rantai
panjang dan beberapa unsur lemak lainnya. Asam mikolik tersebut terikat dalam
struktur arabinogalactan dan peptidoglikan yang menyebabkan permeabilitas
dinding sel bakteri sangat dapat sehingga menurunkan kerja antibiotik.

3.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian
(rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan
HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati

13
adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan
penurunan insidensi kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002.
Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua
yang mengidap TB.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru
setara dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan
kontribusi 40% total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien
baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan
sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai
46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus,
MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini.
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada
tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara
0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia pada
tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir dengan
kematian.
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai
1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas
mencapai 91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB
mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000
kasus TB HIV positif.
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB
(MDR-TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-
TB tertinggi adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia
(38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada Oktober 2011, 77
negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat satu kasus dari
extensively drug-resistant TB (XDR-TB).

14
3.4 Patofisiologi
PROSES PENULARAN
M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi ±3000
droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat batuk,
bersin bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan Tuberculosis
saluran pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat, bertahan di udara
selama beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas. Selain melalui udara,
penularan melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi walaupun sangat tidak
umum. Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M.
Tuberculosis yang masih bertahan hidup di udara. Penularan secara outdoor
biasanya lebih rendah daripada diruangan tertutup dimana pertukaran udara diluar
ruangan berlangsung baik dan ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh lebih tinggi.
Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat intervensi seperti bronchoscopy atau
intubasi endotracheal. Selain melalui udara, penularan juga dapat terjadi melalui
abses yang mengandung M. Tuberculosis. Faktor yang mempengaruhi kerentanan
tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah lamanya kontak dengan penderita,
dan derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear negatif cenderung lebih
aman terutama pasien dengan TB ekstra paru.
PROSES INFEKSI
Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan mampu
bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup, droplet nukleus
dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Pada
sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis mampu berkembang biak
dalam jangka waktu mingguan hingga bulanan dan dapat memberikan pembesaran
limfonodus perihilar dan peritracheal serta dapat memberikan gambaran
pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura.
M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui proses
introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b. Liporabinomannan yang
terdapat dalam dinding M. Tuberculosis mampu menghambat peningkatan ion
Ca2+ yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada jalur calmodulin yang
akan menimbulkan gangguan fusi phagosom dan lisosom sehingga tidak ada

15
percampuran antara bakteri dengan lisosom yang menyebabkan bakteri dapat
bertahan dan berkembang biak didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat
mendukung pertumbuhan M. Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen
protektif antara lain katG yang memproduksi enzim katalase/ peroksidase yang
dapat melindungi M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan
gen “induk” dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini
merupakan gen yang penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu
gen lain seperti erp membantu proses pembentukan protein untuk multiplikasi.
Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-1
serta sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama CD4+
yang akan membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya. Proses
ini dikenal sebagai Macrophage Activating response sedangkan sel CD4+ Th2
akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang sistem imun
humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan antigen dan
merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan ini dikenal
sebagai proses Cell Mediated Immunity. Pada tahapan ini pasien dapat
menunjukkan gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein
tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan
bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes
tuberkulin.
Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti
banyak dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan
makrofag yang teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis dapat
terhambat karena lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman yang
rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis. Proses
ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu tahunan,
granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak dalam
gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru atas, apex
paru (fokus Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat
ditemukan pada jaringan lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M.
Tuberculosis.

16
Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding
bronchial dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada
materi caseosa yang mencair terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah besar
yang dapat menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran nafas
melalui batuk dan berbicara.
Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara sistem
imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat menimbulkan
terjadinya aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem imun. Sekitar 10%
pasien dengan imunokompeten biasanya akan menderita tuberculosis.
Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka
waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan karena
M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih sering
terjadi reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus granuloma
terutama pada apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat membentuk kavitas
pada parenkim paru.
Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka
semakin infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada sediaan
tahan asam. M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang mengandung
sedikitnya 104 M. Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru berkavitas biasanya
lebih infeksius.

3.5 Diagnosis
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai dengan
demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan yang
menurun, anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan demam dan
tidak adanya demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan. Dalam sebagian
besar kasus, batuk non produktif biasanya muncul minimal selama 2 minggu dan
selanjutnya diikuti oleh batuk produktif dengan sputum yang purulen bahkan
diikuti bercak darah. Hemoptisis yang masif biasanya muncul sebagai destruksi
pembuluh darah pada kavitas terutama pembuluh darah yang berdilatasi pada

17
dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri dada biasa juga dirasakan
terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih lanjut biasanya pasien akan
sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS).
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang
abnormalitas tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa
ditemukan terutama karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing juga
terkadang ditemukan akibat obstruksi parsial bronkus dan bunyi amphoric klasik
pada kavitas. Terkadang bunyi pernafasan terdengar redup yang berarti
menunjukkan ada proses abnormalitas yang cukup parah sebagai komplikasi dari
infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien juga dapat menunjukkan wajah
yang pucat serta clubbing finger.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan
untuk evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul adalah bercak
infiltrat terutama kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada 19% hingga 50%.
Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus dan interstitial serta
limfadenopati. Pada segmen apeks paru biasa ditemukan gambaran densitas
radiopak yang menandakan terbentuknya fibronodular. Pada tahap lanjut lesi ini
dapat menjadi kavitas dengan gambaran radiologi kavitas yang berdinding tipis.
Pada TB paru rekativasi, daerah yang paling sering tampak kelainan yakni, apeks
dan segmen posterior lobus kanan, apeks dan segmen posterior lobus kiri, dan
segemen superior lobus bawah Lesi pada daerah ini lebih sering terlihat pada
pasien dengan diabetes. Efusi pleura pada tuberculosis paru tahap dini juga dapat
terlihat terutama pada perkembangan penyakit yang progresif. CT scan biasanya
dapat dilakukan untuk menentukan luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak
memberikan gambaran khas pada infeksi tahap dini.

18
Gambar 1. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.

Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada
lapangan paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan
penyebaran bahan infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial.

Gambar 2. TB paru primer

Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar


pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan
yang menunjukkan limfadenopati hilar kanan.

19
Gambar 3. TB paru post primer pada pasien dengan immunodefisiensi.

Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan atas
paru dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan paru.
Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis,
limfositik leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia
normositik normokrom dan hiponatremia terutama pada pasien dengan
penyebaran lesi yang luas.
Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek
tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu, pada pagi hari dan
sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat diperoleh dengan
proses ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan bronkus atau
bahkan dengan bronchoscopy.
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan
untuk mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukannya pengambilan sputum.
Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode tahan
asam Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna
kemerahan dengan latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya
seperti auramine juga dapat dilakukan, dengan pewarnaan ini maka

20
Mycobacterium tuberculosis yang terwarna akan dapat berpendar pada sinaran
Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis akan tampak berwarna kuning muda.
Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada jumlah bakteri yang ditemukan
pada sampel sehingga dianggap kurang sensitif.

Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis

Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi


hal ini membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur
Löwenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37°C.
Karena pertumbuhannya lambat maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu. Selain
dari penampakan koloninya yang berwarna persik, tes biokimia juga penting
untuk menentukan jenis mycobacterium.
Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi
tuberculosis ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan peritoneal.
Biasanya akan ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan kadar glukosa yang
normal hingga rendah. Sampel tersebut dapat digunakan untuk apusan, dan kultur
untuk penegakan diagnosa. Nilai spesifiknya mencapai 65% pada cairan
peritoneal, 75% pada cairan perikardium dan 85% pada cairan pleura. Biopsi biasa
dilakukan terutama untuk mendapatkan bukti adanya pembentukan granuloma.
Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan
radiologi dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur. Akan

21
tetapi melihat insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan kultur dan
tes sensitivitas perlu dilakukan. Secara umum, Mycobacterium tuberculosis perlu
diperiksa senstivitas terhadap isoniazid, rifampin, dan ethambutol. Pemeriksaan
terhadap sensitivitas obat lainnya juga perlu dilakukan guna mencegah resistensi
dan kegagalan pengobatan.

Kriteria Pasien TB Paru: Berdasarkan Hasil BTA


 Pasien dengan sputum BTA positif
1. Dua dari tiga pemeriksaan sputum positif.
2. Satu positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran
TB aktif.
3. Satu sediaan sputum positif disertai biakan yang positif.
4. Satu atau lebih spesimen dahak positif setelah 3 pemeriksaan dahak
SPS pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
 Pasien dengan sputum BTA negatif
1. Pasien yang pemeriksaan sputum-nya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi gambaran
radiologis sesuai dengan TB aktif.
2. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
Kriteria Pasien TB Paru: Berdasarkan Riwayat Penyakit
1. Kasus baru: belum pernah meminum OAT sebelumnya atau pernah
mengonsumsi OAT kurang dari 1 bulan
2. Kasus kambuh (relaps)
- Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah selesai
pengobatan dan dikatakan sembuh. Namun, didapatkan BTA (+) atau
kultur (+) kembali dan kembali konsumsi OAT.
- Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukkan lesi aktif/perburukan dan
gejala klinis (+) kemungkinannya, yaitu lesi non-TB (pneumonia,
bronkiektasis) atau TB paru relaps.

22
3. Kasus default (setelah putus berobat), yaitu pasien yang telah berobat dan
putus berobat selama lebih dari 2 bulan dengan BTA (+).
4. Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+) atau
kembali lagi menjadi (+) pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan
OAT.
5. Kasus kronik: hasil sputum BTA tetap (+) setelah selesai pengobatan
ulang (kategori 2) dengan pengawasan ketat.
6. Kasus bekas TB
- BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambaran sama, dan
riwayat minum OAT adekuat.
- Radiologi gambarannya meragukan, mendapatkan OAT 2 bulan, foto
thorax ulang gambaran sama.

3.6 Diagnosa Banding


Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis
dapat menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya .
Beberapa diagnosa banding Tuberculosis Paru yang mungkin dapat
dipertimbangkan antara lain Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis,
Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan, Nocardiosis, dan pneumonia.

3.7 Penatalaksanaan
TB Kategori I
Pasien TB Paru dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP lain
dalam keadaan TB berat seperti meningitis tuberkulosis, miliaris, perikarditis,
peritonitis, pleuritis masif atau billateral, spondilitis dengan gangguan neurologik,
sputum BTA negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus dan saluran
kemih.
Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap hari
selama dua bulan obat H, R, Z dan S atau E. Sputum BTA awal yang positif
setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE.

23
Apabila sputum BTA masih tetap positif setelah dua bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau
tidak.
TB Kategori II
Pasien kasus kambuh atau gagal dengan Sputum BTA positif. Pengobatan
fese insial terdiri 2HRZES/1 HRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari selama 3 bulan,
ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat
dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat
dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. obat
dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu 5H3R3E, atau SHRE.
TB Kategori III
Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan
kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori 1). Pengobatan fase inisial terdiri dari
2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau H3R3.
TB Kategori IV
Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja
(WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda
(multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB).

Dosis OAT

24
Kriteria kesembuhan pasien
1. Sembuh : pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap : pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada
AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
3. Meninggal : pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Putus berobat (default) : pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
5. Gagal : pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.
6. Pindah (transfer out) : pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan
pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

3.8 Prognosis
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan
pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-
14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di
negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada
pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung
pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi
apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat
pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.

25

You might also like