You are on page 1of 22

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA LANJUT USIA (LANSIA)


DENGAN MASALAH
PSIKOSOSIAL
ASKEP LANSIA

I. LATAR BELAKANG
A. LATAR BELAKANG PENULISAN
Proses menua (aging) adalah proses alami yang
disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis
maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia
termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas
pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang
merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang
mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan
lain-lain. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian
pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-
sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi
kehidupan pada usia lanjut.
Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang
dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak
hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan
sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang
terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan
`senesens` dan perubahan 'senilitas'. Perubahan
`senesens' adalah perubahan-perubahan normal dan
fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian 'senilitas' adalah
perubahan-perubahan patologik permanent dan disertai
dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia
lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia
pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa
dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia
adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema
fisik dan mental.
Proses menua pada manusia merupakan fenomena
yang tidak dapat dihindarkan. Seinakin baik pelayanan
kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan
hidup masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi
pula jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Demikian
pula di Indonesia.
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada
kelompok lansia sangat perlu ditekankan pendekatan
yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan
sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek
saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada
lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang
komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada
permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi juga
permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia
senja. Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan
manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak
sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang
menyebabkan seorang mengalami gangguan mental
seperti depresi.
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut
hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia
dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang
sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah
sebagai berikut:
1. Penurunan kondisi fisik
2. Penurunan fungsi dan potensi seksual
3. Perubahan aspek psikososial
4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan
5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
B. TUJUAN PENULISAN
1. TUJUAN PENULISAN UMUM
Tujuan penulisan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui
konsep dan asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah
psikososial.
2. TUJUAN PENULISAN KHUSUS
Tujuan penulisan khusus dari makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada lansia.
b. Untuk mengetahui masalah yang sering muncul pada lansia.
c. Untuk mengetahui penanganan masalah yang sering muncul pada
lansia secara umum.
d. Untuk mengetahui fokus pengkajian masalah yang sering muncul
pada lansia.
e. Untuk mengetahui diagnosa keperawatwi yang muncul pada
lansia.
f. Untuk mengetahui intervensi keperawatan dalam
menangani masalah yang sering muncul pada lansia.
II. KONSEP
A. PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT USIA TERKAIT
SISTEM PSIKOSOSIAL
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat.
Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian
lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima
tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1. Tipe kepribadian konstruktif (construction personality), biasanya tipe
ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai
sangat tua.
2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada
masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang, dapat inernberikan
otonomi pada dirinya.
3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality), pada tipe ini
biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan
keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak,
tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit
dari kedukaannya.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puns dengan
kchiclupannya, banyak keingimin ywig kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya meniadi morat-marit.
5. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsarv, karena perilakunya sendiri sulit dibantu
ormig lain atau cenderung membuat susah dirinya.
Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila:
1. Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan orang
lain).
2. Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan
karena berbagai sebab, diantaranya setelah menjalani masa pensiun,
setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup
dan lain-lain.
B. MASALAH YANG SERING MUNCUL
1. Depresi
a. Pengertian
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan
komponen psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak
berguna, gagal, putus asa dan penyesalan atau berbentuk
penarikan diri, kegelisahan atau agitasi (Afda Wahywlingsih dan
Sukamto).
b. Penyebab depresi pada lansia:
1) Penyakit fisik
2) Penuaan
3) Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
4) Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
5) Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena
cukup banyak lansia yang mengalami peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
6) Serotonin dan norepinephrine
7) Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak
seimbang. Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang
membantu komunikasi antar sel-sel otak.
c. Factor pencetus depresi pada lansia:
1) Faktor biologic, misalnya faktor genetik, perubahan
struktural otak, faktor risiko vaskular, kelemahan fisik.
2) Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal,
peristiwa kehidupan seperti berduka, kehilangan orang
dicintai, kesulitan ekonomi dan perubahan situasi, stres
kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.
d. Gejala depresi pada lansia:
1) Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini.
Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak
rnemberikan kesenangan.
2) Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti:
a) Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami
depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara
berlebihan, namun berbeda jika. kondisinya telah parah
seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
b) Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)
c) Merasa putus asa dan tidak berarti. Keyakinan bahwa
seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak
efektif. orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri.
Pemikiran seperti, "saya menyia-nyiakan hidup saya"
atau “saya tidak bisa rncncapai banyak kemajuan",
seringkali terjadi.
d) Berat badan berubah drastis
e) Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai
macam faktor penentu, sebagian orang mengalami
depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang
mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
f) Sulit berkonsentrasi. Kapasitas menurun untuk bisa
berpikir dengan jernih dan untuk mernecahkan masalah
secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa
kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada
sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan
umum yang sering terjadi adalah, "saya tidak bisa
berkonsentrasi".
g) Keluarnya keringat yang berlebihan
h) Sesak napas
i) Kejang usus atau kolik
j) Muntah
k) Diare
l) Berdebar-debar
m) Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang
yang mengalami depresi mungkinakan mencoba
melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap
usaha untuk mengkomunikasikan idenya. Dilain pihak,
seseorang lainnya yang mengalami depresi mungkin
akan gampang letih dan lemah.
n) Kurang energi. Orang yang mengalami depresi
cenderung untuk mengatakan atau merasa, "saya selalu
merasah lelah" atau "saya capai".
3) Secara biologik dipacu dengan perubahan neurotransmitter,
penyakit sistemik dan penyakit degeneratif.
4) Secara psikologik geplanya:
a) Kelilhuigan harga diri/ martabat
b) Kehilangan secara fisik prang dan benda yang disayangi
c) Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya:
penyalahgunaan alkohol/ narkoba, nikotin, dan obat-
obat lainnya, makan berlebihan, terutama kalau
seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti
misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypoglycemia, atau
diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis
perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
d) Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri
5) Gejala social ditandai oleh kesulitan ekonomi
seperti tak punya tempat tinggal.
2. Demensia
Demensia adalah gangguan progresif kronik yang
dicirikan dengan kerusakan berat pada proses kognitif
dan disfungsi kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004).
a. Pengertian
Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama
intelegensi, disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang tidak
dapat kembali lagi (irreversible) (Maramis, 1995).
b. Jenis demensia:
1) Demensia jenis alzheimer
Patofisiologi:
a) Otopsi menunjukkan adanya plak amiloid (plak senil
atau neuritik) di jaringan otak atau adanya kekusutan
neurofibriler (akumulasi simpul filamen saran pada
neuron.
b) Adanya plak dan kekusutan tersebut berkaitan dengan sel
saraf, hilangnya sambungan antar neuron dan akhimya
atrofi serebral.
Genetika:
Adanya gen abnormal saja tidak cukup untuk
memprediksi demensia jenis alzheimer.
a) Penyakit alzheimer familial memiliki awitan sangat dini
(usia 30-40 th) dan bertanggung jawab atas 20% dari
semua kasus demensia jenis ini. Penyakit ini berkaitan
denga gengen abnormal dikromosom 1, 14 dan 21
b) Adanya apolipoprotein E 4 (apo, E 4) dikromosom 19
terjadi 2 kali lebih banyak pada penderita demensia
jenis alzheimer dibanding populasi umum.
Modal toksin:
Sebagian peneliti meyakini bahwa akumulasi alumunium
pada otak akibat pajanan alat-alat dan produk alumunium
dapat menyebabkan demensia jenis alzheimer. Bukti untuk
teori ini masih sedikit.
Abnormalitas neurotransmiter atau reseptor :
Kehilangan asetil kolin (neurotransmiter kolinergik mayor)
berkaitan dengan gejala-gejala gangguan kognitif
(demensia). (peningkatan kadar asetin kolin merupakan
dasar untuk terapi obat yang disetujui FDA untuk
demensia).
Perubahan
Tahap Perilaku Afek Kognitif
Ringan Sulit menyelesaikanCemas Kehilangan
tugas
Penurunan aktivitas
yang mengarah pada
tujuan
Kurang
memperhatikan tentang
penampilan pribadi peristiwa ya
dan saja terjadi (lu
aktivitas sehari-hari janji
Menarik diri dari temu dan per
aktivitas social yang Disorientasi w
biasa Berkurangnya
Sering mencari kemampuan
benda-benda konsentrasi
karena lupaDepresi Sulit me
meletakannya; Frustasi keputusan
dapat menuduh orangCuriga Kemampuan
lain telah mencurinya Ketakutan buruk
Perilakunya tidak
pantas secara sosial
Kurang perawatan diri
(misal mandi,
toileting, berpakaian,
berdandan) Kehilangan
Berkeluyuran atau tentang hal-h
mondar-mandir baru atau
Senang menimbun (amnesia)
barang-barang Konfabulasi
Hiperoralitas Mood labil Datar Disprientasi
Mengalami Apatis tempat dan o
gangguan siklus tidur-Agitasi Sedikit
Sedang bangun Katas tropi Paranoia apraksia dan
Berat Penurunan Datar, apatis ReaksiSemua pe
kemampuan ambulasiKatastropik occasionalkognitif
dan aktivitas motorikdapat berlanjut sejalan
lainnya meningkatnya
Penurunan amnesia,
kemampuan menelan
Sama sekali tidak bisa
mengurus diri
(misalnya
membutuhkan
perawatan yang
konstan)
Tidak mengenali
lagi keberadaan
pemberi asuhan aprasia dan a
2) Demensia vaskular (multi-infark) ditandai dengan gejala-
gejala demensia pada tahun pertama terjadinya gejala
neurologik fokal. Klien diketahui mengalami faktor resiko
penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi atrium,
diabetes).
3) Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis
umum, seperti penyakit parkinson, penyakit pick,
koreahuntingtown dan penyakit Creutzfeldt-jakob.
Demensia yang disebabkan kondisi-kondisi tersebut dicatat
sesuai penyakitnya yang spesifik.
c. Gejala demensia:
1) Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan
berbicara memburuk dan klien sulit "menemukan" kata-
kata.
2) Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik
sekalipun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
3) Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek
atau benda urnurn walaupun fungsi sensoriknya tidak
mengalami kerusakan.
4) Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi
yang diyakini oleh individu yang terkena.
5) Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
6) Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi
kuat inenyakiti diri sendiri atau orang lain.
7) Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi
mengulangi kata-kata orang lain.
8) Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah
benda-benda yang cukup kecil untuk dimasukkan ke mulut.
9) Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori
tentang hal-hal yang baru terjadi, dan akhirnya gangguan
ingatan masa lalu.
10) Disorientasi waktu, tempat dan orang.
11) Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari
materi baru.
12) Sulit mengambil keputusan
13) Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai
kewaspadaan lingkungan tentang keamanan dan
keselamatan.
d. Epidemiologi demensia:
Dimensia jenis a1zheimer menyebabkan 50%-75% kasus
demensia yang didiagnosis. Demensia jenis ini merupakan
penyebab, kematian tertinggi keempat pada individu berusia
lebih dari 65 tahun. Insidensinya sebagai berikut:
1) 65-75 tahun 5%-8%
2) 75-85 tahun 15%-20%
3) 85 tahun atau lebih 25%-55%
e. Etiologi demensia:
Faktor-faktor yang berkaitan dengan demensia
adalah:
1) Kondisi akut yang tidak diobati atau tidak dapat
disembuhkan. Bila kondisi akut yang menyebabkan
delirium tidak atau tidak dapat diobati, terdapat
kemungkinan bahwa kondisi ini akan menjadi kronik dan
karenanya dapat dianggap sebagai demensia.
2) Penyakit vaskuler, seperti hipertensi, arteriosklerosis, dan
aterosklerosis dapat menyebabkan stroke.
3) Penyakit parkinson: demensia menyerang 40% dari pasien-
pasien ini.
4) Gangguan genetika: koreahuntington atau penyakit pick.
5) Penyakit prior (protein yang terdapat dalam proses infeksi
penyakit Creutzfeldt-jakob).
6) lnfeksi Human Imunodefisiensi Virus (HIV) dapat menyerang
Sistem saraf pusat (SSP), menyebabkan ensefalopati HIV
atau kompleks demensia AIDS.
7) Gangguan struktur jaringan otak, seperti tekanan normal,
hidrocephalus dan cidera akibat trauma kepala.
C. PENANGANAN SECARA UMUM
1. Diagnosis:
Diagnosis medis gangguan kognitif ditetapkan dengan
melakukan skrining yang cermat untuk
mengesampingkan penyebab lain gejala-gejala
tersebut. Skrining-skrining tersebut meliputi:
a. Pemeriksaan status kesehatan jiwa dan pemeriksaan
neuropsikologik.
b. pemeriksaan darah komprehensif, meliputi HDL,
(Hitung Darah Lengkap), kimia darah, vitamin B12,
dan kadar folat, tiroid dan tes fungsi hati serta
ginjal.
c. Studi pencitraan otak, meliputi Computed
Tomography (CT), Positron Emission Tomography
(PET) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
d. Gangguan depresi pada klien lansia dapat
dimanifestasikan dengan gejala-gejala yang serupa
dengan gejala gangguan kognitif'. Oleh karena itu,
gangguan depresi harus dikesampingkan.
2. Depresi
Depresi yang merupakan masalah mental paling banyak ditemui
pada lansia membutuhkan penatalaksanaan holistik dan seimbang
pada aspek fisik, mental dan sosial. Di samping itu, depresi pada
lansia harus diwaspadai dan dideteksi sedini mungkin karena dapat
mempengaruhi perjalanan penyakit fisik dan kualitas hidup pasien.
Deteksi dini perlu dilakukan untuk mewaspadai depresi, terutama
pada lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani
perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatik
kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia dengan
isolasi sosial.
Penanganan depresi lebih dini akan lebih baik serta menghasilkan
gejala perbaikan yang lebih cepat. Depresi yang lambat ditangani
akan menjadi lebih parch, menetap serta meminbulkan resiko
kekambuhan. Depresi yang dapat ditangani dengan baik juga dapat
menghilangkan kcitigiiian pasien untuk melukai dirinya sendiri
termasuk upaya bunuh diri.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada
lansia
a. Perubahan faal oleh proses menua
b. Status medik atau komorbiditas penyakit fisik
c. Status tLiiigsioiial
d. Interaksi antar obat
e. Efektivitas dan efek camping obat
f. Dukungan social
Penatalaksanaan depresi pada lansia:
a. Terapi biologik:
1) Pemberian obat antidepresan
Terdapat beberapa pilihan obat anti depresi
yaitu jenis Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRIs): Prozac (fluoxetine); Zoloft
(setraine), Cipram (citalopram) dan Paxil
(paroxetine). Jenis NASSA: Remeron
(mirtazapine). Jenis Tricylic antidepresan:
Tofranil (imipramine) dan Norpramin
(desipramine). Reversible Inhibitor Mono Amine
Oxidase (RIMA) Inhibitors: Aurorix. Stablon.
(Tianeptine).
2) Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy
Penggunaan Electroconvulsive Therapy (ECT)
dengan cara shock therapy untuk pasien yang
tidak memberi respon positif terhadap, obat
antidepresan dan psikoterapi. ECT bekerja
untuk menyeimbangkan unsur kimia pada otak,
dirasa. cukup aman dan efektif serta dapat
diulang 3 kali seminggu sampai pasien
menunjukan perbaikan. Efek samping ECT
adalah kehilangan kesadaran sementara.pada
pasien namun cukup efektif untuk mengurangi
resiko bunuh diri pada pasien tertentu.
3) Terapi sulih hormon
4) Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)
b. Terapi psikososial (psikoterapi) bertujuan mengatasi
masalah psikoedukatif, yaitu mengatasi
kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir,
mekanisme koping yang tidak efektif, hambatan
relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk
mengatasi masalah sosiokultural, seperti
keterbatasan dukungan dari keluarga, kendala
terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.
Psikoterapi yang dapat ditempuh dengan sesi
pembicaraan dengan psikiater dan psikolog dapat
membantu pasien melihat bahwa perasaan yang
dialaminya juga dapat terjadi pada orang lain
namun karena menderita depresi ia mengalami
kondisi yang berlebihan atas perasaannya sendiri.
Seluruh instrunien yang terdapat pada diri perawat
merupakan alat praktek yang memiliki efek terapi
apabila digunakan secara tepat.
1) Mata dengan pandangan yang penuh perhatian,
mimik muka dan ekspresi wajah simpati, sikap
yang tepat merupakan alat perawat untuk
membantu klien untuk mengembalikan rasa
percaya diri serta perasaan diperhatikan dan
dihargai sebagai manusia yang bermartabat.
Penerimaan yang tulus dari perawat tanpa ada
sentimen apapun berdasarkan latar belakang
merupakan kepuasan tersendiri yang akan
diterima oleh klien jika mendapatkan pelayanan
dari perawat.
2) Dengan telinga perawat bisa mendengarkan
segala keluh kesah pada klien yang mengalami
depresi. Sebagaimana diuraikan sebelumnya
bahwa depresi timbul akibat adanya dorongan
negatif dari super-ego yang diresepsi dan
lambat laun akan tertimbun dialam bawah
sadar. Sehingga depresi adalah sebentuk
penderitaan emosional. Kekecewaan ataupun
ketidakpuasan secara emosional yang direpresi
tidak secara otomatis akan hilang, melainkan
sewaktu-waktu akan muncul (return of the
repressed).
Oleh karena itu sebagai toksin (racun)
penyebab depresi yang ada pada diri lansia
perlu digali dan dikeluarkan, salah satu
medianya dengan percakapan. Psikoterapi
malah sering didefenisikan dengan
penyembuhan melalui percakapan. Menurut
para ahli psikoterapi percakapan efektif untuk
menyembuhkan kepribadian yang terluka, jika
dirancang dan didesain secara tepat, kontinyu,
dilaksanakan dengan perhatian yang tulus,
dimulai dengan hubungan baik, serta mampu
menumbuhkan harapan klien. Dalam
percakapan tentu perlu ada yang
mendengarkan. percakapan antara perawat
dengan klien bukanlah sekedar pemberian
nasehat (advice giving) dimana perawat
memiliki otoritas yang dominan untuk
menceramahi klien, dan klien harus menurut.
Dalam tehnik percakapan ini perawat lebih
banyak menjadi pendengar yang efektif. Saat
klien telah mampu mengungkapkan
perasaannya maka berilah kesempatan yang
seluas-seluasnya, dengan aman, dan nyaman
untuk bercerita. Dengan bercerita dan perawat
mendengar dengan penuh minat, maka klien
telah mulai bekerja mengeluarkan segala
kecemasan, serta perasaan-perasaan yang
menekan jiwanya. jika dilakukan secara
terencana dan. kontinyu, maka kernungkinan
besar toksin (racun) depresi pada klien akan
terangkat seluruhnya sampai bersih.
Tugas perawat adalah mernbantu klien
memahami realitas apa yang sesungguhnya
dialami, sehingga klien bisa keluar dari kondisi
yang membuatnya depresi. perawat dalam
proses pertolongan agar sangat berhati-hati
jangan sampai timbul proses pemberian
nasehat yang justru menimbulkan kesan
menghakimi, sebab penghakiman adalah cairan
cuka yang disiranikan pada luka emosional
klien. Sikap yang terkesan menasehati ataupun
dengan sengaja menasehati merupakan
bakteri/ racun baru yang akan memperbesar
tumor depresi klien. Nasehat yang terlalu dini/
dominan serta tidak pada tempatnya tidak akan
berdampak pada penyembuhan, sebab
sebelum klien butuh nasehat sebagai salah
satu ramuan obat, maka klien perlu
mengeluarkan segala bentuk tekanan
emosionalnya. Bercerita, berkeluh kesah,
mendesah, mengadu, curhat, ataupun
menangis bahkan berontak adalah merupakan
cara alamiah untuk mengernbalikan
keseimbangan dan kestabilan emosional klien
serta akan melepaskan energi-energi negatif
yang menggantung dan menyesakkan jiwanya.
Karenanya perawat yang memainkan peran
sebagai konselor/ terapis jangan buru-buru
mengeluarkan kata-kata seperti: "oma mesti
sabar menghadapi kenyataan ini" atau "oma,
jangan menangis tidak baik" atau "tidak baik
berkeluh kesah" dan sebagainya. Kata-kata
seperti itu hanya akan menyumbat upaya klien
mengobati dirinya. Jika klien berkeluh kesah,
menangis, mengadu, curhat, maka berilah
kesempatan, karena klien pada saat sedang
melepaskan toksin/ racun dalam jiwanya, yang
diharapkan adalah dukungan dan perhatian dari
konselor. Jika klien meminta saran dan
tanggapan, maka berikanlah saran dan
tanggapan dengan selogis dan serealistis
mungkin, jawaban tidak harus kepastian, tapi
usahakan klien diajak berpikir untuk,
menemukan solusi yang paling tepat. Klien
perlu dirangsang untuk berpikir secara positif
dan realisitis dalam menghadapi situasi sulit.
Menasehati ataupun mendikte bukanlah cara
yang bijak sekalipun nasehat itu cocok untuk
dilakukan oleh klien, sebab akan membuat klien
malas berpikir dan tidak pernah belajar untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Klien perlu
juga diberdayakan, sebab klien memiliki
potensi yang cukup untuk menolong dirinya,
perawat perlu mengingatkan dan memunculkan
kembali potensi-potensi tersebut, kuatkan klien
dan kembalikan kepercayaan dirinya untuk
melawan depresi.
c. Perubahan gaya hidup
Aktivitas fisik terutama olah-raga. Pasien
dibiasakan berjalan kaki setup pagi atau sore
sehingga energi dapat ditingkatkan serta
mengurangi stress karena kadar norepinefrin
meningkat. Selain itu, pasien juga dapat
diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga
untuk menenangkan pikirannya: Setidaknya ada
dua alasan penting mengapa olah raga perlu untuk
penderita depresi.
1) Pertama, olah raga meningkatkan kesadaran sistem syaraf
sentral. Denyut nadi meningkat dan membangkitkan semua
sistem. Hal ini berlawanan dengan penurunan kesadaran
syaraf sentral akibat adanya depresi.
2) Kedua, olah raga bisa memacu sistem syaraf sentral.
Endorphin adalah molekul organik yang seperti halnya
norepinephrine dan serotonin, berfungsi sebagai kurir
kimiawi. Kadang endorphin dianggap, sebagai candu
(opium) alami yang berfungsi untuk meningkatkan proses
biologic untuk mengatasi depresi. Karenanya perawat
diharapkan bisa mengidentifikasi olah-raga yang disenangi
oleh klien yang terindikasi depresi dan mendesainnya
menjadi sebuah program yang kontinyu dan rutin. Perawat
dapat bekerjasama dan berkonsultasi dengan tenaga medis
mengenai berbagai bentuk gerak yang efektif yang bisa
menstimulus detak jantung.
d. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang
menambah kadar stress juga perlu dilakukan.
Memperhatikan jenis makanan yang akan disajikan
kepada lanjut usia yang mengalami depresi.
Depresi berhubungan dengan tingkat kesadaran
yang rendah. Kesadaran mengacu pada proses
psikologis yang meliputi hal-hal seperti misalnya
kemampuan untuk memusatkan perhatian
seseorang dan kemampuan untuk bekerja secara
efektif. Makanan berat secara otomatis akan
memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik yakni
cabang dari sistem syaraf otonom yang
menurunkan kesadaran. Darah dialirkan ke proses
pencernaan untuk membantu seseorang mencerna
makanan yang dimakan. Sewaktu darah
meninggalkan otak dan tangan serta kaki, tubuh
akan merasa lemas dan mengantuk, karena itu
makanan berat cenderung memicu depresi. Karena
itu dianjurkan untuk makan makanan ringan, ketika
lapar diantara jam-jam makan, akan tetapi
sebaiknya menghindari makanan yang
mengandung kadar gala yang tinggi. Sementara
kudapan yang rendah kalori dan berprotein tinggi
akan membuat seseorang tetap segar, memuaskan
rasa lapar, dan tidak mengganggu kesadaran
optimal seseorang.
3. Demensia
Pengobatan diarahkan pada tujuan jangka panjang yaitu
mempertahankan kualitas hidup penderita gangguan degeneratif dan
progresif ini.
a. Pendekatan tim multidisipliner meliputi upaya kolaboratif dari
profesional keperawatan, kedokteran, nutrisi, psikiatri,
psikologi, pekerjaam sosial, farmasi, dan rehabilitasi (misalnya
ahli terapi okupasi, fisik, dan aktivitas).
b. Fokus keluarga. Statistik menunjukan bahwa 7 dari 10 orang
dengan dernensia jenis alzheimer tinggal di rumah dan 75%
diantara mereka diurus oleh keluarga dan teman-teman. Jadi,
fokus keluarga pada pengobatan dan penatalaksanaan
merupakan hal yang sangat penting.
c. Penatalaksanaan berfokus komunitas
1) Kunjungan rumah dilakukan oleh perawat komunitas.
2) Adult day care service memberikan layanan aktivitas
terapetik, layanan rehabilitas, rekreasi, dan respite service
bagi pemberi asuhan keluarga.
3) Fasilitas perawatan residensial (perawatan pribadi)
memberikan bantuan bagi klien.
4) Skilled nursing facilities. 50% dari klien rumah perawatan
adalah penderita demensia jenis alzheimer.
5) Alzheimer asosiation menyediakan kelompok pendukung,
penyuluhan masyarakat dan keluarga, pengumpulan dana
dan aktivitas melobi untuk penelitian dan tindakan
legislatif.
d. Intervensi farmakologik
1) Tujuan intervensi farmakologik adalah memperlambat laju
penurunan kondisi klien dengan obat yang meningkatkan
kadar asetilkolin dan membantu mempertahankan fungsi
neuronal serta menatalaksanakan perilaku dan gejala yang
menimbulkan stress.
2) Terapi eksperimen.
3) Gangguan amnestik.
Pengobatannya sama dengan delirium bila
gangguan amnestik tersebut merupakan
masalah yang akut dan sama dengan demensia
bila gangguannya bersifat kronis.
III. ASUHAN KEPERAWATAN
A. FOKUS PENGKAJIAN
1. Riwayat
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fislk untuk adanya tanda
dan gejala karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu
yang didiagnosis.
2. Kaji adanya demensia. Dengan alat-alat yang sudah distandardisasi,
meliputi
a. Mini Mental Status Exam (MMSE)
b. Short portable mental status quetionnaire
3. Singkirkan kemungkinan adanya depresi dengan scrining yang tepat,
seperti geriatric depresion scale.
4. Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan
5. Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi
langsung terhadap :
a. Perilaku. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan
melakukan aktivitas hidup sehari-hari? Apakah klien
menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial?
Apakah klien sering mengluyur dan mondar¬mandir? Apakah ia
menunjukkan sundown sindrom atau perseveration phenomena?
b. Afek. Apakah kilen menunjukkan ansietas? Labilitas emosi?
Depresi atau apatis? lritabilitas? Curiga? Tidak berdaya?
Frustasi?
c. Respon kognitif. Bagaimana tingakat orientasi klien? Apakah
klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal¬hal yang baru
saja atau yang sudah lama terjadi? Sulit mengatasi masalah,
mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang mampu
membuat penilaian? Terbukti mengalami afasia, agnosia, atau,
apraksia?
6. Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga
a. Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia
sudah menjadi pemberi asuhan dikeluarga tersebut. (demensia
jenis alzheimer tahap akhir dapat sangat menyulitkan karena
sumber daya keluarga mungkin sudah habis).
b. ldentifikasi sistem pendukung yang ada bagi pemberi asuhan dan
anggota keluarga yang lain.
c. Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawatan klien dan
sumber daya komunitas (catat hal-hal yang perlu diajarkan).
d. Identifikasi sistem pendukung spiritual bagi keluarga.
e. Identilikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran
pemberi asuhan tentang dirinya sendiri.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN TERKAIT
1. DEPRESI
a. Mobilitas fisik, hambatan b.d gangguan konsep diri, depresi,
ansietas berat.
b. Gangguan pola tidur b.d ansietas
c. Membahayakan diri, resiko b.d perasaan tidak berharga dan putus
asa.
2. DEMENSIA
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,
degenerasi neuron ireversible .
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis
daan kognitif.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit
neurologist)
d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau
psikologis.
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses
penyakit
C. INTERVENSI KEPERAWATAN TERKAIT
1. DEPRESI
a. Mobilitas fisik, hambatan b.d gangguan konsep diri, depresi,
ansietas berat.
Intervensi
1) Bicara secara langsung dengan klien; hargai individu dan
ruang pribadinya jika tepat
2) Beri kesempatan terstruktur bagi klien untuk membuat
pilihan perawatan
3) Susun sasaran aktivitas progresif dengan klien
4) Bersama keluarga memilih kemampuan yang bisa dilakukan
pasien saat ini
b. Gangguan pola tidur b.d ansietas
Intervensi
1) Identifikasi gangguan dan variasi tidur yang dialami dari pola
yang biasanya
2) Anjurkan latihan relaksasi, seperti musik lembut sebelum
tidur
3) Kurangi asupan kafein pada sore dan malam hari
4) Anjurkan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang
tenang untuk memfasilitasi agar pasien dapat tidur.
c. Membahayakan diri, resiko b.d perasaan tidak berharga dan putus
asa.
Intervensi
1) Identifikasi derajat resiko / potensi untuk bunuh diri
2) Lakukan tindakan pencegahan bunuh diri
3) Mendiskusikan dengan keluarga koping positif yang pernah
dimiliki klien dalam menyelesaikan masalah
2. DIMENSIA
a. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,
degenerasi neuron ireversible
1) Kaji derajat gangguan derajat kognitif, orientasi orang,
tempat dan waktu
2) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
b. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis
dan kognitif
1) Pertahankan tindakan kewaspadaan
2) Hadir dekat pasien selama prosedur atau pengobatan
dilakukan
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit
neurologis )
1) Kaji derajat sensori/ gangguan persepsi
2) Mempertahankan hubungan orientasi realita dan lingkungan
d. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau
psikologis
1) Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri
2) Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan
bantuan sesuai kebutuhan
e. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses
penyakit
1) Berikan dukungan emosional
2) Rujuk keluarga ke kelompok pendukung
D. EVALUASI
1. DEPRESI
Klien mampu:
a. Berpartisipasi dalam menentukan perawatan diri
b. Melakukan kegiatan positif dalam menyelesaikan masalah
c. Klien mampu mengungkapkan penyebab gangguan tidur
d. Klien mampu menetapkan cara yang tepat untuk memenuhi
kebutuhan tidur
e. Mampu mengungkapkan ide bunuh diri
f. Mengenali cara - cara untuk mencegah bunuh diri
g. Mendemonstrasikan cara menyelesaikan masalah yang konstruktif
2. DEMENSIA
Berikan informasi yang berkaitan dengan demensia jenis Alzheimer
(demensia secara umum)
a. Apa itu demensia jenis Alzheimer?
b. Masalah-masalah ingatan yang berkaitan dengan penyakit?
c. Koping
DAFTAR PUSTAKA
- www.scibd.com/askep-klien-dengan-depresi.html
- www.scibd.com/askep-klien-dengan-demensia.html
- http://deasbatamisland.blogspot.com/2007/11/askep-lansia-
dengan-gangguan.html
- Carpenito, L. “ Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis”,
Edisi ke-6, EGC, Jakarta, 2000
- Nugroho, Wahjudi. “Keperawatan Gerontik”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta
2000
Watson, Roger. “Perawatan Lansia”, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003

You might also like