You are on page 1of 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan kelainan multisistem yang tidak


diketahui etiologinya dan mempunyai ciri-ciri adanya produksi autoantibodi pada
sirkulasi dalam jumlah besar.1 Manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosisnya
sangat beragam. SLE dapat menyerang semua usia mulai dari neonatal hingga lansia,
Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang
cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan
dalam patofisiologi SLE.2
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi
SLE di India 3 kasus per 100.000 populasi yang dilaporkan. Kejadian SLE di United
Kingdom dilaporkan sekitar 4,96 kasus per 100.000 populasi.3 Insiden tahunan SLE di
Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-
laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan
1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total
pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.2
Lupus eritematosus sistemik pada anak (SLE pediatrik = pSLE) merupakan
penyakit kronik pada anak yang perkembangannya sulit diduga, dan hampir selalu berada
dalam pengawasan medis jangka panjang berkesinambungan. Pengawasan medis ini
kerap berlanjut secara spesialistik sampai masa dewasa. Manifestasi klinis pSLE sangat
beragam dari gejala klinis ringan sampai dengan gejala klinis yang mengancam jiwa,
dengan episode kambuhan (flare) dan remisi intermiten.1
Perjalanan penyakit pSLE lebih berat dibandingkan orang dewasa. Gejala klinis
pada saat diagnosis umumnya memperlihatkan eritema (rash), demam, dan artritis, serta
sepanjang perjalanan penyakitnya sering terjadi kekambuhan yang ditandai oleh demam,
rambut rontok, lesu, penurunan berat badan, keluhan perut (abdominal discomfort), serta
inflamasi umum difus (diffuse generalized inflammation) yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup anak. 1

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
Erythematosus dalam Bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah Lupus
Erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Systemic sendiri dapat berarti sesuatu yang berdampak ke seluruh tubuh. Sehinga, SLE
disefinisikan sebagai salah satu penyakit autoimun kronis, yang mana system imun
menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan.5
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit reumatologik sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi system imun, menyebabkan kerusakan pada berbagai organ tubuh.4

2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian lupus eritematosus sistemik (SLE) bervariasi menurut
lokasi dan etnisitas. Tingkat kejadian pada anak-anak usia dibawah 15 tahun telah
dilaporkan menjadi 0,5-0,6 kasus per 100.000 orang. Prevalensi yang lebih besar terdapat
pada penduduk asli Amerika, Amerika-Asia, Amerika Latin, dan orang Amerika
keturunan Afrika. Tingkat prevalensi lebih tinggi pada wanita daripada pada pria. Rasio
wanita terhadap laki-laki sekitar 4: 1 terjadi sebelum pubertas dan setelah menopause,
dengan rasio 8: 1. Meskipun SLE terutama mengenai wanita usia reproduksi, sekitar 5 %
kasus terjadi pada masa anak, khususnya pada saat pubertas. Sebagian besar penelitian
melaporkan usia rata-rata onset SLE antara 11-12 tahun. SLE jarang ditemukan pada anak
yang berusia kurang dari 9 tahun.7 Pada anak perempuan, awitan SLE banyak ditemukan
pada umur 9-15 tahun.4 Prevalensi SLE pada populasi anak secara keseluruhan adalah 10
sampai 25 kasus per 100.000 anak.6

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan kelainan multisistem yang tidak
diketahui pasti etiologinya, Diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang

2
3

didapat dan faktor lingkungan. Mempunyai ciri-ciri adanya produksi autoantibodi pada
sirkulasi dalam jumlah besar. Produksi antibodi ini dapat disebabkan karena hilangnya
kontrol limfosit T terhadap aktifasi limfosit B, khususnya bagian CD4+ yang tidak
mengaktivasi CD8+ untuk menekan hiperaktif sel B, sehingga menyebabkan
hiperaktifitas limfosit B, dan selanjutnya produksi antibodi dan autoantibodi spesifik dan
nonspesifik. Antibodi ini akan membentuk kompleks imun yang akan terperangkap dalam
pembuluh darah mikro, dan menyebabkan terjadinya inflamasi dan iskemia.6

2.4 Manifestasi Klinis


Pasien dengan SLE dapat bermanifestasi tiba-tiba sebagai penyakit yang berat
atau muncul secara diam-diam. Gejala sistemik nonspesifik cukup sering ditemui dan
dapat bermanifestasi cukup nyata berupa rasa capai dan lemas, demam tidak tinggi, dan
penurunan berat badan.4,6
Penyakit kulit dapat merupakan temuan yang utama, yang tejadi sampai pada 95%
anak. Ruam eritema yang meninggi pada pipi, yang disebut butterfly rash, sering ditemui.
Ruam ini juga dapat terjadi menyebrangi jembatan hidung, pada dahi dan dagu.6
Fotosensitifitas dapat menjadi masalah, terutama pada musim panas. Kedua ruam
ini mengalami perbaikan dengan pemberian terapi yang tepat. Ruam lupus discoid, secara
kontras, merupakan proses inflamasi yang menyebabkan kerusakan perbatasan dermis-
epidermis, sehingga menyebabkan parut permanen dan hilangnya pigmentasi pada daerah
yang terkena. Jika lupus discoid terjadi pada kulit kepala, alopesia permanen dapat terjadi
Karena hilangnya foliket rambut. Fenomena Raynaud, meskipun tidak spesifik untuk
SLE, dan livedo retikularis juga dapat terjadi.6
Ulserasi mulut dan hidung yang terjadi Karena ulserasi mukosa juga merupakan
keluhan yang sering ditemukan pada pasien SLE dan dapat menyebabkan terjadinya
ulserasi dan perforasi septum nasi. Karena stimulasi system retikuloendotelial,
limfadenopati dan splenomegaly merupakan temuan yang sering dijumpai pada pasien
SLE. Secara khusus, limfadenopati aksila dapat menjadi indikator sensitive dari aktifitas
penyakit. Serositis dapat dijumpai dengan nyeri dada dan friction rub pleura atau
perikardia atau frank effusion.6
Keterlibatan ginjal merupakan salah satu manifestasi SLE yang paling serius dan
sering ditemukan pada SLE anak, terjadi 50-70% anak. Penyakit ginjal dapat bervariasi
4

dari proteinuria dan hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal.
Hipertensi dengan adanya edema menunjukkan penyakit ginjal lupus.6
Atralgia dan artritis sering ditemukan. Artritis jarang mnyebabkan deformitas dan
biasanya mengenai sendi-sendi kecil tangan, namun semua sendi dapat terkena. Myalgia
atau frank miyositis, dengan kelemahan otot dapat terjadi. SLE dapat mengenai susunan
saraf pusat, sehingga dapat menyebabkan sejumlah gejala dari performa yang buruk di
sekolah dan kesulitan berkonsentrasi, hingga kejang, koma, hemiplegi, neuropati fokal,
korea, psikosis dan stroke.6

2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari
11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.2

Table 1. Kriteria Diagnosis Lupur Eritematosus Sistemik menurut ACR (American


College of Rheumatology) 2
Kriteria Batasan

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
 Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura. atau
 Perikarditiss b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
5

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal atau
b. Anti -Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti -nuklear berdasarkan pemeriksaan
positif (ANA) imunofl uoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
6

maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil
tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.2
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
Monitoring yaitu :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax

Catatan :
§
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil

Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time


Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan
untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

2.6 Diagnosis Banding2


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis
akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis
7

2.7 Derajat Penyakit SLE


Derajat berat ringannya penyakit SLE Seringkali terjadi kebingungan dalam proses
pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama
pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu
upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE. Penyakit SLE dapat
dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.2

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:


1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:


1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
8

2.8 Tatalaksana

Tatalaksana umum berupa edukasi pada orangtua mngenai perencanaan program


terapi yang akan dilakukan. Diet seimbang juga perlu diperhatikan dengan masukan
kalori yang seimbang. Penggunaan tabir surya dengan kadar spf lebih dari 15 perlu
diberikan pada anak jika berada diluar rumah. Pencegahan infeksi dengan cara melakukan
imunisasi.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS
yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.2
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
 Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
 Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
 Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
 Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
 Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari.
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk
krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.2
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi
segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat
penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan
aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk
tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10
mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis
antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis
9

prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol
aktivitas penyakit.2
Obat yang paling memenuhi kriteria adalah prednisone, dengan alternative lain
metil prednisolone tergantung dari efek apa yang diingankan unutk penderita. Berikut
terapi inisial 4-6 minggu pertama pada anak dengan SLE
 Prednisone oral : 15-60 mg/hari (0,5-2 mg/kg/hari, minimal dalam 2 dosis
(tergantung keparahan dan organ yang terlibat)
 Indikasi untuk penyakit berat (nefritis lupus aktif, krisis hematologi, penyakit
SSP) maka diberikan Metilprednisolon IV yaitu 30 mg/kg/kali (maksimal 1
gram/hari) selama 60 menit, 3 hari berturut-turut, dilanjutkan pemberian
prednisone oral setiap hari.
Sparing Agen Kortikosteroid digunakan untuk obat yang diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya.
Obat imunosupresif yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin 1-
2 mg/kg/hari per oral dan siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari per oral, atau 500-
1000/mg/m2/bulan IV pada penyakit berat. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk
mengurangi efek samping KS.2

A. Pengobatan SLE Ringan2


Pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan
serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
 Obat-obatan Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
 Obat antiinflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan inflamasi.
 Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
 Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
 Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
10

 Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang
kurangnya 15 (SPF 15)

B. Pengobatan SLE Sedang2


Penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.
Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

C. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa2


Pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini:
 Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB)
prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara
bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1
g/hari selama 3 hari bertutut-turut.
 Obat Imunosupresan atau Sitotoksik Terdapat beberapa obat kelompok
imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau
sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/
sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

2.9 Prognosis

SLE telah menunjukan perbaikan yang nyata selama bebrapa decade terakhir dan
prognosisnya bergantung terutama pada system organ yang terkena. Prognosis yang lebih
buruk terlihat pada pasien dengan nefritis lupus berat atau serebritis, dengan risiko
terjadinya disabilitas kronik dan gagal ginjal.
11

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Miftahul Jannah
Usia : 17 tahun 5 bulan 15 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Gani Bungcekuk, Ingin Jaya, Aceh Besar
No CM : 1-07-91-09
Tanggal Masuk : 16 Maret 2017
Tanggal Periksa : 17 April 2017
Tanggal keluar : 25 April 2017

3.2 Anamnesis
Alloanamnesa
 Keluhan Utama : Penurunan Kesaadaran
 Keluhan Tambahan : Kejang, demam, perut kembung, nyeri otot dan sendi,
sariawan, bengkak di leher atas, bengkak pada kaki, depresi
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa oleh keluarga dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam
SMRS. Pasien mulai tidak sadarkan diri setelah pasien kejang pada pukul 05.00 pagi.
Pasien sudah kejang 3 kali. Kejang pertama pada pukul 20.00, kejang kedua pada pukul
04.00 dan dan kejang ketiga pada pukul 05.00 . Lama kejang sekitar 15 menit tiap kejang.
Saat kejang seluruh tubuh kelonjotan, mata berdelik ke atas, tangan dan kaki pasien kaku.
Setelah kejang pertama pasien sadar dan masih bisa berjalan sendiri. Setelah kejang kedua
pasien sadar namun tertidur kembali. Setelah kejang ketiga pasien tidak sadarkan diri dan
dibawa ke rumah sakit. Saat kejang pertama pasien sudah demam dan demam masih
berlangsung hingga tiba di rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung, nyeri perut tidak dikeluhkan. Pasien
sudah 2 hari sejak SMRS tidak BAB.
Setelah 2 hari dirawat di RS pasien sadar kemudian pada hari ke-3 rawatan pasien
mengeluhkan kakinya tidak bisa digerakkan namun fungsi sensorisnya masih baik.

11
12

Keluhan lainnya terdapat luka di bokong, dan muncul ruam kemerahan di wajah
berbentuk kupu-kupu, ruam juga munsul di telapak tangan yang terasa panas dan tidak
gatal. Tiga hari setelah ruam muncul (hari ke-7 rawatan), ruam menghitam dan mulai
hilang.
Selama dirawat dirumah sakit pasien sempat mengalami kejang berulang selama
beberapa kali dan pasien tidak sadar setelah kejang. Pada hari ke-10 rawatan pasien
mengeluhkan batuk, nyeri otot, sendi dan nyeri kepala. Pada hari ke-12 pasien
mengeluhkan bengkak di leher atas yang terasa nyeri dan mulai menghilang 3 hari
setelahnya. Setelah dirawat ± 2 minngu, ibu pasien mengatakan bahwa kaki pasien juga
megalami pembengkakan.
Ibu pasien mengeluhkan anaknya tampak depresi dan tidak memiliki semangat lagi
karena terlalu sering keluar-masuk rumah sakit akibat penyakit yang dideritanya.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat kejang demam saat usia 1 tahun
- Sejak Desember 2016 pasien sudah terdiagnosa dengan SLE
- Riwayat operasi kista pankreas pada 27 desember 2016
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan seperti yang dialami pasien
 Riwayat Pemakaian Obat :
Methyl prednison 0 – 1 (4 mg) - 2 (8 mg)
 Riwayat Alergi :
Tidak ada
 Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien ANC teratur di bidan. Tidak ada kelainan selama kehamilan
 Riwayat Persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, lahir pervaginam dengan berat
badan lahir 3200 gram.
 Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap. Hepatitis B saat pasien usia 0, 1, 6 bulan. BCG saat pasein
usia 1 bulan. Polio saat pasien usia 0, 2, 4, 6 bulan. DPT saat pasien usia 2, 4, 6 bulan.
Campak saat umur 9 bulan.
13

 Riwayat Pemberian Makanan :


0-6 bulan : ASI
6-12 bulan : ASI dan susu formula
12 bulan-sekarang: makanan keluarga

3.3 Pemeriksaan Fisik


Vital Sign
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
HR : 98 x/menit
RR : 22x/menit
T : 36,9oC (aksila)
Status Generalis
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kulit : Pucat (-) Ikterus (-) bercak ruam kehitaman (+)
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : NCH (-) sekret (-)
Mulut : Stomatitis (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi : Simetris, Retraksi (-), bentuk dada normal
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi ictus kordis teraba di ics 5 midclavikula sinistra
Pekusi : Batas jantung normal, tidak ada pembesaran
Auskultasi: : BJ I> BJ II reguler, bising (-)
14

Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ setempat (-)
Anus : Tidak ada kelainan

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Edema - - - -
Gerakan Aktif Aktif Paresis Paresis

Data Antropometri
Berat badan : 36 kg
Tinggi badan : 160 cm
HA : 14 tahun
TB/U : 98%
BB/U : 65%
BB/TB : 73,5%
Status Gizi : Gizi kurang

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Lab Darah Rutin (25/4/2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,6 12-14,5 g/dl
Hematokrit 35 45-55 %
Eritrosit 4,2 4,7 – 6,1 106/mm3
Leukosit 4,0 4,5-10,5, 103/mm3
Trombosit 257 150-450 103/mm3
MCV 85 80-100 fL
MCH 30 27-31 pg
MCHC 36 32-36 %
15

RDW 14,7 11,5-14,5 %


MPV 10,9 7,1-11,1 fL
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-2 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %
Neutrofil Segmen 50 50-70 %
Limfosit 34 20-40 %
Monosit 16 2-8 %
Natrium 142 132-146 mmol/L
Kalium 4,4 3,7-5,4 mmol/L
Klorida 106 98-106 mmol/L

Hasil Lab (11/4/2017)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
IMUNOSEROLOGI
SEPSIS
Procalcitonin 0,05 < 0,50 ng/mL
KIMIA KLINIK
HATI & EMPEDU
AST/ SGOT 58 <31 U/L
ALT/SGPT 54 <34 U/L
Protein total 5,90 6,4-8,3 g/dL
Albumin 3,43 3,5-5,2 g/dL
Globulin 2,47
ELEKTROLIT
Kalcium 8,6 8,6-10,3 mg/dL
GINJAL-HIPERTENSI
Ureum 10 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,17 0,51-0,95 mg/dL
16

3.5 Diagnosa Banding


- dd/ 1. Enchepalopaty
2. Enchepalitis
3. Meningoenchepalitis
- SLE

3.6 Diagnosa Kerja


Enchepalopaty + SLE

3.7 Terapi
Terapi divisi Neurologi:
- IVFD 2:1 20 gtt/i (makro)
- drip fenitoin 80 mg/12 jam IV

- Inj ampicilin sulbactam 500 mg/ 6jam IV

- Inj Ranitidine 1 amp/ 12 jam IV

- Urdafalk 3x250 mg p.o

- Metil cobalt 2x1 p.o

- calcitriol 0,25 gr (senin, kamis) p.o

- carbamazepin 2x100 mg p.o

- nystatin drop 3x1 p.o

- lisinopril 1x3,5 mg p.o

- ambroxol 10 mg p.o

- dulcolax supp

- gentamisin zalf

- nebule NaCl 9% 3cc/ jam

- Diet M II
- Susu formula
17

Terapi divisi alergi dan imunologi:


- Inj Dexamethason IV diberikan selama 3 hari kemudia off
- Methyl Prednisolon 40 mg (4 tab -3 tab- 3 tab)

Terapi divisi Nefrologi


- lisinopril 1x3,5 mg p.o
- CPA plus
500 + BSA = 500 + 600 mg

Terapi pskiatri
- Kalxetin 5 mg
- Asam folat 1 mg pulv 1x pagi

Terapi divisi GEH


- curcuma 2x1 tab p.o
- zink kid 2x1 cth p.o
- multivit syr 3x1 cth p.o

Terapi divisi Infeksi


- Ibuprofen 360 mg/kali beri 3-4x/hari
- Meropenem 400 mg/ 8 jam IV dalam 30 menit

3.8 Planning
- Darah rutin, feses rutin, urin rutin
- USG abdomen
- EEG
- MRI
- Konsul divisi Nutrisi, divisi HOM
- Evaluasi neurologis
- CRP
- Biopsi ginjal, biopsi kulit
- Monitor tekanan darah
18

3.9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

3.10 Follow Up Harian

Tanggal Catatan Instruksi


S/ Batuk (+), lemas (+), mual Th/
(+), BAB dan BAK lancar, -IVFD 2:1 20 gtt/i (makro)
kaki belum bisa digerakkan - drip fenitoin 80 mg/12
O/ HR : 80 x/mnt jam
T : 37oC - Inj ampicilin sulbactam
RR : 20x/mnt 500 mg/ 6jam
- Inj Ranitidine 1 amp/ 12
A/ jam
dd/1. Enchepalopaty - Urdafalk 3x250 mg
2. Enchepalitis - Metil cobalt 2x1
3. Meningoenchepalitis - calcitriol 0,25 gr (senin,
17/4/2017 4. Epilepsi kamis)
5. Hiponatremi - methyl prednisolon 4:3:3
6. Paraparese eks inf (40 mg)
7. Gizi buruk - curcuma 2x1
8. ISK - carbamazepin 2x100 mg
9. SLE - zink kid 2x1 cth
10. Episode depresi - nystatin drop 3x1
- multivit syr 3x1 cth
- lisinopril 1x3,5 mg
- ambroxol 10 mg
- dulcolax supp
- gentamisin zalf
- nebule NaCl 9% 3cc/ jam
19

- Diet M II
- Susu formula
S/ Batuk (+), demam (-), Th/
lemas (+), mual (+), kaki Menunggu CPA
belum bisa digerakkan
18/4/2017 O/
HR : 100 x/mnt
T : 36oC
RR : 22 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+), Th/
demam (-), lemas (+), mual Menunggu CPA
(+), kaki belum bisa
digerakkan
19/4/2017 O/
HR : 98 x/mnt
T : 36,8oC
RR : 23 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty

S/ Batuk berdahak (+), mual Th/


(+), BAB dan BAK (+) - Methyl prednisolon 4:3:3
lancar , kaki belum bisa (40 mg)
digerakkan
20/04/2017
O/
HR : 120 x/mnt
T : 36,8oC
RR : 22 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+), BAB Th/
21/04/2017
dan BAK (+) , kaki sudah - Methyl prednisolon 4:3:3
bisa digerakkan tapi terbatas (40 mg)
20

O/
HR : 110 x/mnt
T : 36,2C
RR : 22 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty

S/ Batuk berdahak (+), BAB Th/


dan BAK (+) , kaki sudah - Methyl prednisolon 4:3:3
bisa digerakkan tapi terbatas, (40 mg)
Pusing (+), mual (-)
22/4/2017
O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6 C
RR : 20x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+), kaki Th/
sudah bisa digerakkan tapi - Methyl prednisolon 4:3:3
terbatas, Pusing (+) (40 mg)
23/4/2017

O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6C
RR : 22x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+) Th/
kaki sudah bisa digerakkan - Methyl prednisolon 4:3:3
tapi terbatas, (40 mg)
Pusing (+)
24/4/2017
O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6 C
RR : 20x/mnt
21

Ass/ SLE + Ensefalopaty

S/ Batuk berdahak (+) Th/


Pusing (+), bercak merah di - Methyl prednisolon 4:3:3
wajah (+), nyeri lutut (+), (40 mg)
sariawan (+)
O/
25/4/2017
HR : 100 x/mnt
T : 36,6 C
RR : 20x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty

S/ Batuk berdahak (+) Pusing Th/


(+), bercak merah di wajah - Methyl prednisolon 4:3:3
(+), nyeri lutut (+), sariawan (40 mg)
(+)
25/4/2017 O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6 C
RR : 20x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
22

BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang pasien berumur 17 tahun dengan jenis kelamin perempuan
pada tanggal 17 april 2017. Pasien dibawa oleh keluarga dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mulai tidak sadarkan diri
setelah pasien kejang pada pukul 05.00 pagi. Pasien sudah kejang 3 kali. Kejang pertama
pada pukul 20.00, kejang kedua pada pukul 04.00 dan dan kejang ketiga pada pukul 05.00.
Lama kejang sekitar 15 menit tiap kejang. Saat kejang seluruh tubuh kelonjotan, mata
berdelik ke atas, tangan dan kaki pasien kaku. Setelah kejang pertama pasien sadar dan
masih bisa berjalan sendiri. Setelah kejang kedua pasien sadar namun tertidur kembali.
Setelah kejang ketiga pasien tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Saat kejang
pertama pasien sudah demam dan demam masih berlangsung hingga tiba di rumah sakit.
SLE dapat melibatkan sistem saraf pusat dan perifer, dengan 19 Sindrom
neuropsikiatri lupus (NPSLE) berbeda yang dijelaskan (Tabel 4.1) . Dua puluh tiga
Sampai 65% dari pSLE Pasien mengalami NPSLE setiap saat selama masa penyakit, dan
sampai 85% dari jumlah tersebut Pasien akan mengembangkan NPSLE dalam 2 tahun
pertama sejak diagnosis. Dari sekian banyak sindrom tersebut, pada pasien ini terjadi
kejang yang merupakan gejala dari NPSLE. Pasien terkadang juga mengeluhkan sakit
kepala.

Tabel 4.1

22
23

Kejang sering terjadi bersamaan dengan sindrom NPSLE lainnya. Jika terjadi,
kejang lebih banyak bersifat kejang umum daripada fokal. Kejang juga bisa terjadi pada
pasien dengan infeksi SSP, Hipertensi berat, dan pada pasien yang memiliki komplikasi
yang dikenal sebagai Sindroma ensefalopati reversibel posterior (PRES). Berbeda dengan
penyakit sistem saraf pusat, keterlibatan sistem saraf perifer jarang diamati di pSLE
Setiap pasien pSLE yang hadir dengan gejala neurologis dipertimbankan agar mendapat
kan diagnostik kerja penuh. Ini mungkin termasuk lumbal punksi, Magnetic resonance
imaging (MRI) dengan angiografi dan venografi MR, Electroencephalogram (EEG), dan
psikiatri, psikologi dan evaluasi neurologi. Pengobatan NPSLE tergantung pada
presentasi klinis. Terapi diarahkan pada manifestasi yang diamati. Pada kasus ini maka
pasien diarahkan ke terapi kejangnya.
Setelah 2 hari dirawat di RS pasien sadar kemudian pada hari ke-3 rawatan pasien
mengeluhkan kakinya tidak bisa digerakkan namun fungsi sensorisnya masih baik.
Keadaan ini berkaitan dengan sindrom NPSLE yang dijelaskan sebelumya. Masalah yang
terjadi pada fungsi motorik daerah tungkai yang melemah. Keluhan paresis pada tungkai
ini juga bisa dikaitkan dengan gangguan neuropskiatri yang berupa neuropati perifer atau
myelopathy.

Tabel 4.2
24

Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung, nyeri perut tidak dikeluhkan. Pasien
sudah 2 hari sejak SMRS tidak BAB. Dari beberapa gejala umum yang dapat terjadi pada
SLE, gejala gastrointestinal merupakan salah satu kemungkinan yang bisa timbul sebagai
keluhan pasien, hal itu berkisar antara 24-40 % dari keseluruhan gejala yang mungkin
bisa terjadi seperti pada tabel 4.2.
Keluhan lainnya muncul ruam kemerahan di wajah berbentuk kupu-kupu, ruam juga
muncul di telapak tangan yang terasa panas dan tidak gatal. Tiga hari setelah ruam muncul
(hari ke-7 rawatan), ruam menghitam dan mulai hilang. Ciri SLE adalah malar, atau ruam
kupu-kupu. Ruamnya terlihat pada 60 - 85% anak-anak Dengan SLE, umumnya
digambarkan sebagai erythematous, raised, non-pruritic, dan non-scarring. Ruam yang
sering meluas di atas jembatan hidung, mempengaruhi dagu dan telinga, namun tidak
melewati lipatan nasolabial. fotosensitif dapat terjadi dari sepertiga pasien, dan
eksaserbasi dari ruam fotosensitif sering menandai awal perkembangan ke sistemik.
Karena itu, tabir surya dengan faktor perlindungan matahari tinggi, serta topi dan
pelindung Pakaian direkomendasikan sepanjang tahun untuk semua individu dengan
SLE. Ruam diskoid, tidak seperti SLE pada orang dewasa, adalah manifestasi jarang dari
pSLE, terjadi lebih sedikit hanya 10% pasien. Ruam bekas luka ini paling sering terjadi
pada dahi dan kulit kepala, Dan penampilan bersisiknya mungkin salah diartikan sebagai
lesi tinea. Tabel 4.3 merangkum spektrum keterlibatan dermatologis, menggambarkan
beragam manifestasi kulit. Sebuah Biopsi kulit dibutuhkan untuk bantuan histologi dalam
membuat diagnosis yang benar, meski biopsi wajah Kulit harus dihindari. Kerontokan
rambut bekas luka jarang terjadi, tapi tidak spesifik untuk SLE.
Pasien juga mengeluhkan ada sariawan. Keterlibatan mukosa mulut dan hidung
berkisar dari hiperemia oral dan/atau nasal sampai ulkus oral yang tidak nyeri pada
palatum keras dan ulkus septum dangkal, dan jarang ada yang sampai perforasi septum
hidung. Karena lokasi dan sifat lesi yang tidak menyakitkan ini, Praktisi mungkin
mengabaikan temuan ini jika tingkat kecurigaan SLE rendah.
Pada hari ke-10 rawatan pasien mengeluhkan nyeri otot dan nyeri sendi. Hal ini
menunjukkan adanya gejala musculoskeletal. Pada SLE gejala musculoskeletal muncul
berkisar antara 60-90%. Keterlibatan muskuloskeletal sebagai konsekuensi dari SLE
aktif, dan yang sekunder akibat pengobatan dan/atau penyakit kronis. Manifestasi
Termasuk arthralgias dan arthritis. Disamping itu dapat terjadi nekrosis avaskular, fraktur
25

dan kerapuhan tulang . Amplifikasi nyeri Arthritis terjadi pada 80% pasien dengan pSLE,
Artritis ditandai dengan penurunan rentang gerak sendi kecil dan besar dan yang
signifikan, kekakuan pagi hari. Artritis hampir selalu tidak erosif dan tidak mengalami
deformasi. Arthralgias juga sering terjadi, dan bisa menjadi sekunder akibat sindrom
amplifikasi nyeri yaang terjadi selama atau setelah penyakit muncul. Nekrosis avaskular
dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid, yang terjadi lebih sering
pada penderita SLE dibandingkan dengan penyakit lain yang juga diobati dengan
kortikosteroid.
Pada hari ke-12 pasien mengeluhkan bengkak di leher atas yang terasa nyeri dan
mulai menghilang 3 hari setelahnya. Pasien SLE pada umumnya immunocompromised
karena disfungsi kekebalan intrinsik terhadap penyakit itu sendiri dan karena sering
menggunakan kortikosteroid dosis tinggi dan lainnya. Pengobatan imunosupresif dan
infeksi sekunder adalah penyebab yang penting dan sering terjadi morbiditas dan infeksi
harus disertakan dalam diferensial setiap pasien dengan dugaan SLE. Infeksi tersering
bakteri (60-80%), dan satu petunjuk untuk kehadiran mereka Adalah nilai CRP tinggi.
Sebagian besar infeksi bakteri memerlukan perawatan antibiotik intravena. Karena pasien
SLE diketahui memiliki pertahanan yang terganggu terhadap bakteri yang dienkapsulasi
Termasuk pneumococcus, meningococcus, hemophilus influenza tipe B dan salmonella.
Pada pasien ini diduga menderita parotitis/ mumps yang terinfeksi oleh virus.
Infeksi virus dapat menunjukan nilai CRP yang normal, ringan atau tinggi. Infeksi
sistomegalovirus sistemik (CMV) diketahui mungkin terjadi dan berakibat parah atau
bahkan fatal pada pasien pSLE yang immunocompromised. Pada pasien ini terdapat hasil
positif untuk CMV. Mungkin terjadi baik sebagai Infeksi primer, atau lebih sering sebagai
reaktivasi infeksi sebelumnya. Vaksinasi direkomendasikan dan sangat disarankan.
Namun vaksin hidup yang dilemahkan (termasuk campak, gondong dan rubella)
dikontraindikasikan dalam pSLE pasien yang menerima obat imunosupresif sistemik.
Setelah dirawat ± 2 minngu, ibu pasien mengatakan bahwa kaki pasien juga
megalami pembengkakan. Kemudian pasien didiagnosa oleh bagian nefrologi anak
dengan nefritis.
Keterlibatan ginjal terjadi pada 50 sampai 75% dari semua pasien pSLE, dan lebih
dari 90% di antaranya akan berkembang menjadi penyakit ginjal dalam 2 tahun pertama
setelah diagnosis. Manifestasi penyakit ginjal berkisar dari proteinuria minimal dan
26

hematuria mikroskopik, hipertensi berat, edema perifer, dan Insufisiensi ginjal atau gagal
ginjal akut. SLE paling sering mempengaruhi glomerulus (mis. "Lupus nephritis"), dan
interstitium ginjal jarang terjadi. Karena keparahan nefritis sering tidak berkorelasi
dengan tingkat keparahan tanda dan gejala klinis, diperlukan biopsi ginjal dilakukan
untuk kecurigaan glomerulonefritis, termasuk proteinuria ringan yang persisten.
Diagnosis histologis menggunakan klasifikasi standar Tabel 4.3 memandu pengobatan
dan alat bantu dalam menentukan keseluruhan prognosis.

Tabel 4.3

Klasifikasi glomerulonefritis pada SLE berkisar dari Kelas I (minimal mesangial)


sampai Kelas VI (advanced sclerosing lupus nephritis). Kelas I (minimal mesangial) dan
nefritis Kelas II (mesangial proliferative) adalah lesi ringan, dan seringkali memerlukan
sedikit atau tidaknya Pengobatan imunosupresif. Kelas III (focal Proliferatif) dan lesi
Kelas IV (diffuse proliferative) paling sering dan paling parah, dengan lebih dari 80%
biopsi pSLE dilakukan di Rumah Sakit untuk anak sakit menunjukkan salah satu lesi ini.
Dalam kasus ini pasien telah diberikan siklisfosfamid (CPA) untuk menangani keadaan
27

glomerulonephritis. Karena Pasien dengan lesi proliferatif ini memiliki risiko tertinggi
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), dan karenanya diperlakukan dengan agresif
Imunosupresi dalam upaya untuk mencegah hasil ini.
Sebaliknya, Kelas V (membranous Lupus nephritis), bila terjadi sebagai lesi
eksklusif, jarang mengarah ke ESRD, oleh karena itu Umumnya tidak diobati dengan
derajat imunosupresi yang sama seperti Kelas III atau IV. Namun, lesi Kelas V sering
diamati bersamaan dengan lesi lainnya (biasanya Kelas III atau IV), dan dalam kasus ini
adanya lesi proliferatif mengarahkan terapi. Pasien harus melakukan pengukuran tekanan
darah secara teratur, kreatinin serum, dan Urinalisis untuk proteinuria dan hematuria.
Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin ditemukan hemoglobin dan leukosit
yang lebih rendah dari rentang normal. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria SLE
dimana terjadi suatu gangguan hematologic dengan ditemukannya gambaran anemia,
leukopenia atau trombositopenia. Dari hasil tes fungsi hati juga ditemukan peninggkatan
kadar SGOT SGPT. Tes enzim hati yang meningkat terjadi pada 25% pasien, dan
mungkin akan terjadi untuk efek samping obat, SLE aktif, infiltrasi lemak, trombosis atau
infeksi.
Pasien juga sempat stress berat dan tidak tampak tidak semangat. Sudah
dikonsulkan ke dokter pskiatri dan didiagnosa sebagai episode depresi. Hal ini juga
merupakan salah satu kriteria neuropskiatri pada SLE yang telah dipaparkan sebelumnya.
Secara kriteria diagnosis, pasien ini sudah memenuhi 6 dari 11 kriteria diagnosis SLE
yaitu :
- Adanya ruam malar
- Ulkus mulut
- Artritis
- Gangguan renal
- Gangguan neurologi
- Gangguan hematologic
Untuk terapi SLE dari divisi alergi pada pasien ini terapi utamanya adalah methyl
prednisolone 40 mg dibagi 3 dosis (4:3:3). Sedangkan untuk terapi nefritis lupus dari
divisi nefrologi diberikan siklofosfamid atau CPA plus = 500 + BSA = 500 + 600 mg.
Siklofosfamid diberikan dengan bolus intravena setiap bulan selama 6 bulan kemudian
28

dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan. Sedangkan terapi lain yaitu bersifat
terapi simptomatik.
29

BAB V
KESIMPULAN

SLE adalah penyakit autoimun seumur hidup yang mungkin sulit untuk didiagnosis
dan melibatkan multisistem, dan heterogenitas manifestasi klinis. Penyakit ini bersifat
agresif pada anak daripada SLE dewasa, dengan aktivitas penyakit yang lebih besar
seiring waktu, dan akibatnya menyebabkan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi.
Apalagi anak-anak dengan SLE harus menghadapi hal ini yang tak terduga, penyakit
kambuh kembali saat pubertas, masa hidup yang sudah menantang kapan. Penampilan
fisik itu penting, harga diri dan identitas masih harus dikembangkan. Studi hasil jangka
panjang dari pSLE terbatas. Penegakkan diagnosis lebih awal akan menentukan hasil
jangka panjang lebih baik pSLE dan dapat menjadi dasar pendekatan pengelolaan dan
pengobatan yang lebih disesuaikan Anak-anak dan remaja dengan pSLE

29
30

DAFTAR PUSTAKA
1. Endaryanto A, Akib AAP, Setiabudiawan 29 B, Muktiarti D, Safri M, Kurniati N, et al.
Updates In Pediatric Allergy ang Immunology. 1st Annual Meeting of Indonesian
Pediatric Allergy and Clinical Immunology. 2013.
2. Kasjmir YI, Handono K, Kurniaty L, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, et al. Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia. 2011.
3. Anggraini NS. Lupus Eritematosus Sistemik. J Medula Unila. 2016;4(4);124-131.
4. Sastroasmoro S. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
RSUP Nasional Dr. Cipro Mangunkusumo. 2016.
5. Bartels CM, Muller D, Diamond HS, Farina GA, Goldberg E, Hildebrand J, et al.
Systemic Lupus Erithematosus. Medscape; Rheumatology. 2016.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial edisi 6: Saunders Elsevier; 2011.
7. Levy DM, Kamphuis S. Systemic Lupus Erythematosus in Children and
Adolescents. Pediatr Clin North Am. NIH Public Access. 2012. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3348509/pdf/nihms-362971.pdf

You might also like