Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
Erythematosus dalam Bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah Lupus
Erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Systemic sendiri dapat berarti sesuatu yang berdampak ke seluruh tubuh. Sehinga, SLE
disefinisikan sebagai salah satu penyakit autoimun kronis, yang mana system imun
menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan.5
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit reumatologik sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks
imun, dan disregulasi system imun, menyebabkan kerusakan pada berbagai organ tubuh.4
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian lupus eritematosus sistemik (SLE) bervariasi menurut
lokasi dan etnisitas. Tingkat kejadian pada anak-anak usia dibawah 15 tahun telah
dilaporkan menjadi 0,5-0,6 kasus per 100.000 orang. Prevalensi yang lebih besar terdapat
pada penduduk asli Amerika, Amerika-Asia, Amerika Latin, dan orang Amerika
keturunan Afrika. Tingkat prevalensi lebih tinggi pada wanita daripada pada pria. Rasio
wanita terhadap laki-laki sekitar 4: 1 terjadi sebelum pubertas dan setelah menopause,
dengan rasio 8: 1. Meskipun SLE terutama mengenai wanita usia reproduksi, sekitar 5 %
kasus terjadi pada masa anak, khususnya pada saat pubertas. Sebagian besar penelitian
melaporkan usia rata-rata onset SLE antara 11-12 tahun. SLE jarang ditemukan pada anak
yang berusia kurang dari 9 tahun.7 Pada anak perempuan, awitan SLE banyak ditemukan
pada umur 9-15 tahun.4 Prevalensi SLE pada populasi anak secara keseluruhan adalah 10
sampai 25 kasus per 100.000 anak.6
2
3
didapat dan faktor lingkungan. Mempunyai ciri-ciri adanya produksi autoantibodi pada
sirkulasi dalam jumlah besar. Produksi antibodi ini dapat disebabkan karena hilangnya
kontrol limfosit T terhadap aktifasi limfosit B, khususnya bagian CD4+ yang tidak
mengaktivasi CD8+ untuk menekan hiperaktif sel B, sehingga menyebabkan
hiperaktifitas limfosit B, dan selanjutnya produksi antibodi dan autoantibodi spesifik dan
nonspesifik. Antibodi ini akan membentuk kompleks imun yang akan terperangkap dalam
pembuluh darah mikro, dan menyebabkan terjadinya inflamasi dan iskemia.6
dari proteinuria dan hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dan gagal ginjal.
Hipertensi dengan adanya edema menunjukkan penyakit ginjal lupus.6
Atralgia dan artritis sering ditemukan. Artritis jarang mnyebabkan deformitas dan
biasanya mengenai sendi-sendi kecil tangan, namun semua sendi dapat terkena. Myalgia
atau frank miyositis, dengan kelemahan otot dapat terjadi. SLE dapat mengenai susunan
saraf pusat, sehingga dapat menyebabkan sejumlah gejala dari performa yang buruk di
sekolah dan kesulitan berkonsentrasi, hingga kejang, koma, hemiplegi, neuropati fokal,
korea, psikosis dan stroke.6
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari
11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.2
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar
oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura. atau
Perikarditiss b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium
5
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal atau
b. Anti -Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi
antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti -nuklear berdasarkan pemeriksaan
positif (ANA) imunofl uoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
6
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil
tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.2
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
Monitoring yaitu :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
Catatan :
§
pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
†
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
8
2.8 Tatalaksana
prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol
aktivitas penyakit.2
Obat yang paling memenuhi kriteria adalah prednisone, dengan alternative lain
metil prednisolone tergantung dari efek apa yang diingankan unutk penderita. Berikut
terapi inisial 4-6 minggu pertama pada anak dengan SLE
Prednisone oral : 15-60 mg/hari (0,5-2 mg/kg/hari, minimal dalam 2 dosis
(tergantung keparahan dan organ yang terlibat)
Indikasi untuk penyakit berat (nefritis lupus aktif, krisis hematologi, penyakit
SSP) maka diberikan Metilprednisolon IV yaitu 30 mg/kg/kali (maksimal 1
gram/hari) selama 60 menit, 3 hari berturut-turut, dilanjutkan pemberian
prednisone oral setiap hari.
Sparing Agen Kortikosteroid digunakan untuk obat yang diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya.
Obat imunosupresif yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin 1-
2 mg/kg/hari per oral dan siklofosfamid 1-2 mg/kg/hari per oral, atau 500-
1000/mg/m2/bulan IV pada penyakit berat. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk
mengurangi efek samping KS.2
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang
kurangnya 15 (SPF 15)
2.9 Prognosis
SLE telah menunjukan perbaikan yang nyata selama bebrapa decade terakhir dan
prognosisnya bergantung terutama pada system organ yang terkena. Prognosis yang lebih
buruk terlihat pada pasien dengan nefritis lupus berat atau serebritis, dengan risiko
terjadinya disabilitas kronik dan gagal ginjal.
11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Alloanamnesa
Keluhan Utama : Penurunan Kesaadaran
Keluhan Tambahan : Kejang, demam, perut kembung, nyeri otot dan sendi,
sariawan, bengkak di leher atas, bengkak pada kaki, depresi
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa oleh keluarga dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam
SMRS. Pasien mulai tidak sadarkan diri setelah pasien kejang pada pukul 05.00 pagi.
Pasien sudah kejang 3 kali. Kejang pertama pada pukul 20.00, kejang kedua pada pukul
04.00 dan dan kejang ketiga pada pukul 05.00 . Lama kejang sekitar 15 menit tiap kejang.
Saat kejang seluruh tubuh kelonjotan, mata berdelik ke atas, tangan dan kaki pasien kaku.
Setelah kejang pertama pasien sadar dan masih bisa berjalan sendiri. Setelah kejang kedua
pasien sadar namun tertidur kembali. Setelah kejang ketiga pasien tidak sadarkan diri dan
dibawa ke rumah sakit. Saat kejang pertama pasien sudah demam dan demam masih
berlangsung hingga tiba di rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung, nyeri perut tidak dikeluhkan. Pasien
sudah 2 hari sejak SMRS tidak BAB.
Setelah 2 hari dirawat di RS pasien sadar kemudian pada hari ke-3 rawatan pasien
mengeluhkan kakinya tidak bisa digerakkan namun fungsi sensorisnya masih baik.
11
12
Keluhan lainnya terdapat luka di bokong, dan muncul ruam kemerahan di wajah
berbentuk kupu-kupu, ruam juga munsul di telapak tangan yang terasa panas dan tidak
gatal. Tiga hari setelah ruam muncul (hari ke-7 rawatan), ruam menghitam dan mulai
hilang.
Selama dirawat dirumah sakit pasien sempat mengalami kejang berulang selama
beberapa kali dan pasien tidak sadar setelah kejang. Pada hari ke-10 rawatan pasien
mengeluhkan batuk, nyeri otot, sendi dan nyeri kepala. Pada hari ke-12 pasien
mengeluhkan bengkak di leher atas yang terasa nyeri dan mulai menghilang 3 hari
setelahnya. Setelah dirawat ± 2 minngu, ibu pasien mengatakan bahwa kaki pasien juga
megalami pembengkakan.
Ibu pasien mengeluhkan anaknya tampak depresi dan tidak memiliki semangat lagi
karena terlalu sering keluar-masuk rumah sakit akibat penyakit yang dideritanya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat kejang demam saat usia 1 tahun
- Sejak Desember 2016 pasien sudah terdiagnosa dengan SLE
- Riwayat operasi kista pankreas pada 27 desember 2016
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan seperti yang dialami pasien
Riwayat Pemakaian Obat :
Methyl prednison 0 – 1 (4 mg) - 2 (8 mg)
Riwayat Alergi :
Tidak ada
Riwayat Kehamilan :
Ibu pasien ANC teratur di bidan. Tidak ada kelainan selama kehamilan
Riwayat Persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, lahir pervaginam dengan berat
badan lahir 3200 gram.
Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap. Hepatitis B saat pasien usia 0, 1, 6 bulan. BCG saat pasein
usia 1 bulan. Polio saat pasien usia 0, 2, 4, 6 bulan. DPT saat pasien usia 2, 4, 6 bulan.
Campak saat umur 9 bulan.
13
Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ setempat (-)
Anus : Tidak ada kelainan
Data Antropometri
Berat badan : 36 kg
Tinggi badan : 160 cm
HA : 14 tahun
TB/U : 98%
BB/U : 65%
BB/TB : 73,5%
Status Gizi : Gizi kurang
3.7 Terapi
Terapi divisi Neurologi:
- IVFD 2:1 20 gtt/i (makro)
- drip fenitoin 80 mg/12 jam IV
- ambroxol 10 mg p.o
- dulcolax supp
- gentamisin zalf
- Diet M II
- Susu formula
17
Terapi pskiatri
- Kalxetin 5 mg
- Asam folat 1 mg pulv 1x pagi
3.8 Planning
- Darah rutin, feses rutin, urin rutin
- USG abdomen
- EEG
- MRI
- Konsul divisi Nutrisi, divisi HOM
- Evaluasi neurologis
- CRP
- Biopsi ginjal, biopsi kulit
- Monitor tekanan darah
18
3.9 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
- Diet M II
- Susu formula
S/ Batuk (+), demam (-), Th/
lemas (+), mual (+), kaki Menunggu CPA
belum bisa digerakkan
18/4/2017 O/
HR : 100 x/mnt
T : 36oC
RR : 22 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+), Th/
demam (-), lemas (+), mual Menunggu CPA
(+), kaki belum bisa
digerakkan
19/4/2017 O/
HR : 98 x/mnt
T : 36,8oC
RR : 23 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
O/
HR : 110 x/mnt
T : 36,2C
RR : 22 x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6C
RR : 22x/mnt
Ass/ SLE + Ensefalopaty
S/ Batuk berdahak (+) Th/
kaki sudah bisa digerakkan - Methyl prednisolon 4:3:3
tapi terbatas, (40 mg)
Pusing (+)
24/4/2017
O/
HR : 100 x/mnt
T : 36,6 C
RR : 20x/mnt
21
BAB IV
ANALISA KASUS
Telah diperiksa seorang pasien berumur 17 tahun dengan jenis kelamin perempuan
pada tanggal 17 april 2017. Pasien dibawa oleh keluarga dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mulai tidak sadarkan diri
setelah pasien kejang pada pukul 05.00 pagi. Pasien sudah kejang 3 kali. Kejang pertama
pada pukul 20.00, kejang kedua pada pukul 04.00 dan dan kejang ketiga pada pukul 05.00.
Lama kejang sekitar 15 menit tiap kejang. Saat kejang seluruh tubuh kelonjotan, mata
berdelik ke atas, tangan dan kaki pasien kaku. Setelah kejang pertama pasien sadar dan
masih bisa berjalan sendiri. Setelah kejang kedua pasien sadar namun tertidur kembali.
Setelah kejang ketiga pasien tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Saat kejang
pertama pasien sudah demam dan demam masih berlangsung hingga tiba di rumah sakit.
SLE dapat melibatkan sistem saraf pusat dan perifer, dengan 19 Sindrom
neuropsikiatri lupus (NPSLE) berbeda yang dijelaskan (Tabel 4.1) . Dua puluh tiga
Sampai 65% dari pSLE Pasien mengalami NPSLE setiap saat selama masa penyakit, dan
sampai 85% dari jumlah tersebut Pasien akan mengembangkan NPSLE dalam 2 tahun
pertama sejak diagnosis. Dari sekian banyak sindrom tersebut, pada pasien ini terjadi
kejang yang merupakan gejala dari NPSLE. Pasien terkadang juga mengeluhkan sakit
kepala.
Tabel 4.1
22
23
Kejang sering terjadi bersamaan dengan sindrom NPSLE lainnya. Jika terjadi,
kejang lebih banyak bersifat kejang umum daripada fokal. Kejang juga bisa terjadi pada
pasien dengan infeksi SSP, Hipertensi berat, dan pada pasien yang memiliki komplikasi
yang dikenal sebagai Sindroma ensefalopati reversibel posterior (PRES). Berbeda dengan
penyakit sistem saraf pusat, keterlibatan sistem saraf perifer jarang diamati di pSLE
Setiap pasien pSLE yang hadir dengan gejala neurologis dipertimbankan agar mendapat
kan diagnostik kerja penuh. Ini mungkin termasuk lumbal punksi, Magnetic resonance
imaging (MRI) dengan angiografi dan venografi MR, Electroencephalogram (EEG), dan
psikiatri, psikologi dan evaluasi neurologi. Pengobatan NPSLE tergantung pada
presentasi klinis. Terapi diarahkan pada manifestasi yang diamati. Pada kasus ini maka
pasien diarahkan ke terapi kejangnya.
Setelah 2 hari dirawat di RS pasien sadar kemudian pada hari ke-3 rawatan pasien
mengeluhkan kakinya tidak bisa digerakkan namun fungsi sensorisnya masih baik.
Keadaan ini berkaitan dengan sindrom NPSLE yang dijelaskan sebelumya. Masalah yang
terjadi pada fungsi motorik daerah tungkai yang melemah. Keluhan paresis pada tungkai
ini juga bisa dikaitkan dengan gangguan neuropskiatri yang berupa neuropati perifer atau
myelopathy.
Tabel 4.2
24
Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung, nyeri perut tidak dikeluhkan. Pasien
sudah 2 hari sejak SMRS tidak BAB. Dari beberapa gejala umum yang dapat terjadi pada
SLE, gejala gastrointestinal merupakan salah satu kemungkinan yang bisa timbul sebagai
keluhan pasien, hal itu berkisar antara 24-40 % dari keseluruhan gejala yang mungkin
bisa terjadi seperti pada tabel 4.2.
Keluhan lainnya muncul ruam kemerahan di wajah berbentuk kupu-kupu, ruam juga
muncul di telapak tangan yang terasa panas dan tidak gatal. Tiga hari setelah ruam muncul
(hari ke-7 rawatan), ruam menghitam dan mulai hilang. Ciri SLE adalah malar, atau ruam
kupu-kupu. Ruamnya terlihat pada 60 - 85% anak-anak Dengan SLE, umumnya
digambarkan sebagai erythematous, raised, non-pruritic, dan non-scarring. Ruam yang
sering meluas di atas jembatan hidung, mempengaruhi dagu dan telinga, namun tidak
melewati lipatan nasolabial. fotosensitif dapat terjadi dari sepertiga pasien, dan
eksaserbasi dari ruam fotosensitif sering menandai awal perkembangan ke sistemik.
Karena itu, tabir surya dengan faktor perlindungan matahari tinggi, serta topi dan
pelindung Pakaian direkomendasikan sepanjang tahun untuk semua individu dengan
SLE. Ruam diskoid, tidak seperti SLE pada orang dewasa, adalah manifestasi jarang dari
pSLE, terjadi lebih sedikit hanya 10% pasien. Ruam bekas luka ini paling sering terjadi
pada dahi dan kulit kepala, Dan penampilan bersisiknya mungkin salah diartikan sebagai
lesi tinea. Tabel 4.3 merangkum spektrum keterlibatan dermatologis, menggambarkan
beragam manifestasi kulit. Sebuah Biopsi kulit dibutuhkan untuk bantuan histologi dalam
membuat diagnosis yang benar, meski biopsi wajah Kulit harus dihindari. Kerontokan
rambut bekas luka jarang terjadi, tapi tidak spesifik untuk SLE.
Pasien juga mengeluhkan ada sariawan. Keterlibatan mukosa mulut dan hidung
berkisar dari hiperemia oral dan/atau nasal sampai ulkus oral yang tidak nyeri pada
palatum keras dan ulkus septum dangkal, dan jarang ada yang sampai perforasi septum
hidung. Karena lokasi dan sifat lesi yang tidak menyakitkan ini, Praktisi mungkin
mengabaikan temuan ini jika tingkat kecurigaan SLE rendah.
Pada hari ke-10 rawatan pasien mengeluhkan nyeri otot dan nyeri sendi. Hal ini
menunjukkan adanya gejala musculoskeletal. Pada SLE gejala musculoskeletal muncul
berkisar antara 60-90%. Keterlibatan muskuloskeletal sebagai konsekuensi dari SLE
aktif, dan yang sekunder akibat pengobatan dan/atau penyakit kronis. Manifestasi
Termasuk arthralgias dan arthritis. Disamping itu dapat terjadi nekrosis avaskular, fraktur
25
dan kerapuhan tulang . Amplifikasi nyeri Arthritis terjadi pada 80% pasien dengan pSLE,
Artritis ditandai dengan penurunan rentang gerak sendi kecil dan besar dan yang
signifikan, kekakuan pagi hari. Artritis hampir selalu tidak erosif dan tidak mengalami
deformasi. Arthralgias juga sering terjadi, dan bisa menjadi sekunder akibat sindrom
amplifikasi nyeri yaang terjadi selama atau setelah penyakit muncul. Nekrosis avaskular
dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid, yang terjadi lebih sering
pada penderita SLE dibandingkan dengan penyakit lain yang juga diobati dengan
kortikosteroid.
Pada hari ke-12 pasien mengeluhkan bengkak di leher atas yang terasa nyeri dan
mulai menghilang 3 hari setelahnya. Pasien SLE pada umumnya immunocompromised
karena disfungsi kekebalan intrinsik terhadap penyakit itu sendiri dan karena sering
menggunakan kortikosteroid dosis tinggi dan lainnya. Pengobatan imunosupresif dan
infeksi sekunder adalah penyebab yang penting dan sering terjadi morbiditas dan infeksi
harus disertakan dalam diferensial setiap pasien dengan dugaan SLE. Infeksi tersering
bakteri (60-80%), dan satu petunjuk untuk kehadiran mereka Adalah nilai CRP tinggi.
Sebagian besar infeksi bakteri memerlukan perawatan antibiotik intravena. Karena pasien
SLE diketahui memiliki pertahanan yang terganggu terhadap bakteri yang dienkapsulasi
Termasuk pneumococcus, meningococcus, hemophilus influenza tipe B dan salmonella.
Pada pasien ini diduga menderita parotitis/ mumps yang terinfeksi oleh virus.
Infeksi virus dapat menunjukan nilai CRP yang normal, ringan atau tinggi. Infeksi
sistomegalovirus sistemik (CMV) diketahui mungkin terjadi dan berakibat parah atau
bahkan fatal pada pasien pSLE yang immunocompromised. Pada pasien ini terdapat hasil
positif untuk CMV. Mungkin terjadi baik sebagai Infeksi primer, atau lebih sering sebagai
reaktivasi infeksi sebelumnya. Vaksinasi direkomendasikan dan sangat disarankan.
Namun vaksin hidup yang dilemahkan (termasuk campak, gondong dan rubella)
dikontraindikasikan dalam pSLE pasien yang menerima obat imunosupresif sistemik.
Setelah dirawat ± 2 minngu, ibu pasien mengatakan bahwa kaki pasien juga
megalami pembengkakan. Kemudian pasien didiagnosa oleh bagian nefrologi anak
dengan nefritis.
Keterlibatan ginjal terjadi pada 50 sampai 75% dari semua pasien pSLE, dan lebih
dari 90% di antaranya akan berkembang menjadi penyakit ginjal dalam 2 tahun pertama
setelah diagnosis. Manifestasi penyakit ginjal berkisar dari proteinuria minimal dan
26
hematuria mikroskopik, hipertensi berat, edema perifer, dan Insufisiensi ginjal atau gagal
ginjal akut. SLE paling sering mempengaruhi glomerulus (mis. "Lupus nephritis"), dan
interstitium ginjal jarang terjadi. Karena keparahan nefritis sering tidak berkorelasi
dengan tingkat keparahan tanda dan gejala klinis, diperlukan biopsi ginjal dilakukan
untuk kecurigaan glomerulonefritis, termasuk proteinuria ringan yang persisten.
Diagnosis histologis menggunakan klasifikasi standar Tabel 4.3 memandu pengobatan
dan alat bantu dalam menentukan keseluruhan prognosis.
Tabel 4.3
glomerulonephritis. Karena Pasien dengan lesi proliferatif ini memiliki risiko tertinggi
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD), dan karenanya diperlakukan dengan agresif
Imunosupresi dalam upaya untuk mencegah hasil ini.
Sebaliknya, Kelas V (membranous Lupus nephritis), bila terjadi sebagai lesi
eksklusif, jarang mengarah ke ESRD, oleh karena itu Umumnya tidak diobati dengan
derajat imunosupresi yang sama seperti Kelas III atau IV. Namun, lesi Kelas V sering
diamati bersamaan dengan lesi lainnya (biasanya Kelas III atau IV), dan dalam kasus ini
adanya lesi proliferatif mengarahkan terapi. Pasien harus melakukan pengukuran tekanan
darah secara teratur, kreatinin serum, dan Urinalisis untuk proteinuria dan hematuria.
Dari pemeriksaan laboratorium darah rutin ditemukan hemoglobin dan leukosit
yang lebih rendah dari rentang normal. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria SLE
dimana terjadi suatu gangguan hematologic dengan ditemukannya gambaran anemia,
leukopenia atau trombositopenia. Dari hasil tes fungsi hati juga ditemukan peninggkatan
kadar SGOT SGPT. Tes enzim hati yang meningkat terjadi pada 25% pasien, dan
mungkin akan terjadi untuk efek samping obat, SLE aktif, infiltrasi lemak, trombosis atau
infeksi.
Pasien juga sempat stress berat dan tidak tampak tidak semangat. Sudah
dikonsulkan ke dokter pskiatri dan didiagnosa sebagai episode depresi. Hal ini juga
merupakan salah satu kriteria neuropskiatri pada SLE yang telah dipaparkan sebelumnya.
Secara kriteria diagnosis, pasien ini sudah memenuhi 6 dari 11 kriteria diagnosis SLE
yaitu :
- Adanya ruam malar
- Ulkus mulut
- Artritis
- Gangguan renal
- Gangguan neurologi
- Gangguan hematologic
Untuk terapi SLE dari divisi alergi pada pasien ini terapi utamanya adalah methyl
prednisolone 40 mg dibagi 3 dosis (4:3:3). Sedangkan untuk terapi nefritis lupus dari
divisi nefrologi diberikan siklofosfamid atau CPA plus = 500 + BSA = 500 + 600 mg.
Siklofosfamid diberikan dengan bolus intravena setiap bulan selama 6 bulan kemudian
28
dilanjutkan setiap 3 bulan sampai total 36 bulan. Sedangkan terapi lain yaitu bersifat
terapi simptomatik.
29
BAB V
KESIMPULAN
SLE adalah penyakit autoimun seumur hidup yang mungkin sulit untuk didiagnosis
dan melibatkan multisistem, dan heterogenitas manifestasi klinis. Penyakit ini bersifat
agresif pada anak daripada SLE dewasa, dengan aktivitas penyakit yang lebih besar
seiring waktu, dan akibatnya menyebabkan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi.
Apalagi anak-anak dengan SLE harus menghadapi hal ini yang tak terduga, penyakit
kambuh kembali saat pubertas, masa hidup yang sudah menantang kapan. Penampilan
fisik itu penting, harga diri dan identitas masih harus dikembangkan. Studi hasil jangka
panjang dari pSLE terbatas. Penegakkan diagnosis lebih awal akan menentukan hasil
jangka panjang lebih baik pSLE dan dapat menjadi dasar pendekatan pengelolaan dan
pengobatan yang lebih disesuaikan Anak-anak dan remaja dengan pSLE
29
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Endaryanto A, Akib AAP, Setiabudiawan 29 B, Muktiarti D, Safri M, Kurniati N, et al.
Updates In Pediatric Allergy ang Immunology. 1st Annual Meeting of Indonesian
Pediatric Allergy and Clinical Immunology. 2013.
2. Kasjmir YI, Handono K, Kurniaty L, Hamijoyo L, Albar Z, Kalim H, et al. Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia. 2011.
3. Anggraini NS. Lupus Eritematosus Sistemik. J Medula Unila. 2016;4(4);124-131.
4. Sastroasmoro S. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
RSUP Nasional Dr. Cipro Mangunkusumo. 2016.
5. Bartels CM, Muller D, Diamond HS, Farina GA, Goldberg E, Hildebrand J, et al.
Systemic Lupus Erithematosus. Medscape; Rheumatology. 2016.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial edisi 6: Saunders Elsevier; 2011.
7. Levy DM, Kamphuis S. Systemic Lupus Erythematosus in Children and
Adolescents. Pediatr Clin North Am. NIH Public Access. 2012. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3348509/pdf/nihms-362971.pdf