Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak
ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat
dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana
sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit
pasien. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan
pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut
dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar
mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Pada stadium lanjut,
pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti
nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami
gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan
keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya
paliatif care, maka masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam
kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif
menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik,
psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik Perawatan paliatif adalah pelayanan
kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi
dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai
perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 6 (enam) ibu kota propinsi yaitudimulai
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik,
maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan arah bagi
tantangan yang kita hadapi pada di hari-hari kemudian nyata sangat besar. Meningkatnya
jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan
anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic
fibrosis,stroke, Parkinson, gagal jantung /heart failure, penyakit genetika dan penyakit
infeksi seperti HIV/ AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan
Oleh sebab itu, penulis membahas tentang ruang lingkup perawatan paliatif care
pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, atau penyakit yang termasuk
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
(palliative care)
c. Mahasiswa mampu menetapkan tujuan dan kriteria hasil pasien terminal illness
(palliative care)
(palliative care)
care)
BAB II
PEMBAHASAN
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah
keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya
dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.
yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
1. Gejala mayor
a. Berat badan menurun leih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari satu bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpeszoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidas orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus sitomegalo
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,
faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan
hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita
HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
C. Tahap Berduka
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan
meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk
hidup.
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia
sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan
teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan
terselesaikan.
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit
E. Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
Klien dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis
maupun social-spiritual.
konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi
oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal
ginjal
3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat
sensasi menurun.
4. Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara
intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan.
5. Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan
masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang
sering.
6. Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami
banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup,
kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier
komunikasi.
7. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada
mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien,
kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien
harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
3. Faktor Sosial
Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus
dihindari.
6. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan.
spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan
dapat terpenuhi.
jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara
Rekomendasi :
1.Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
2.Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
Aktif
• Efektivitas
• Interaksi obat
• Kepatuhan
• Harga obat
2. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU
NVP Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
TDF + 3TC (atau FTC) +
Emtricitabine) + Efavirenz)
EFV
Pilihan yang
Populasi Target Catatan
direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang sesuai
(atau FTC) + EFV atau untuk sebagian besar pasien
NVP Gunakan FDC jika tersedia
Ko-infeksi
HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah terapi
(FTC) + EFV TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila
EFV
tidak dapat digunakan
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi
NNR
Penggunaan NVP dan EFV
Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada laki-laki
dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-
nya.
kali sehari.
EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
dibandingkan NVP
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri
tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan
meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat
pasien
EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pertama.
AZT+3TC +TDF
itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4
penggunaan AZT
antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut
0.5% sampai 2%
TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit
4. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu kali
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun
waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir
(TDF) maupun Abacavir (ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa
penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain
lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis
• Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan
• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
bulan
• Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai
bertahap (phasing out) dan mendatang tidak menyediakan lagi d4T setelah
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi Lini Pertama,
hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien
Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua.
kronis
TDF + 3TC + ABC atau Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R dan
terkait dengan seringnya kegagalan virologi secara
TDF + 3TC + ddI
Dini
F. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi
pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter.
Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.
Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap
mengkonsumsi ARV. .
Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat kepatuhan terapi ARV
yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang
optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi
timbul jika pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan
dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang konstruktif akan membantu
kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah penghambat yang berperan
sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena hal tersebut menyebabkan pasien tidak
yang nyaman, jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, ras / etnis,
dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks komersial) dan faktor psikososial
3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan, bentuk paduan
(FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum, kompleksnya paduan
(frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan), karakteristik obat dan efek
terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang berhubungan
terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi
keputusan, nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan
dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang
Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi, kemungkinan
timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan. Perlu diberikan informasi yang
kepatuhan berobat.
Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau rumah tangga, pekerjaan dan tidak
Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang lain. Hal ini sering
23
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa
sering menjadi hambatan dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan
merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu didukung agar mampu
terapi.
Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan diskusi untuk
mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan membuat perencanaan praktis.
Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas kesehatan.
Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci kesinambungan perawatan dan
pengobatan pasien. Sikap petugas yang mendukung dan peduli, tidak mengadili dan
menyalahkan pasien, akan mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan makan
obatnya.
Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV
Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien untuk memulai terapi
Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut minum obat
Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau dikatakan dua
Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan kondisi pasien
baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika perlu disertai dengan banyak
Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa membuat pasien takut
24
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa
dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-obat yang boleh
tanpa menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum obat.
25
Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek lain
diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi ketidak
patuhan pasien.
ARV
gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan
yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua kali
26
Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah tergantung
minum obat.
Perlu diingat bahwa pasien yang tidak dapat mengambil obat TIDAK
Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung sisa
obat yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang membantu
secara terus menerus dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien
merasa bosan.
27
F. DiagnosaKeperawatan
1. Biologi :
- ketidakefektifan termogulasi b.d penurunan imunitas Tubuh
- katidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan
asupan oral
- intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan,
penyebaran infeksi
- Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan
keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC : NIC :
2. Adherence (pengaturansuhu)
monitor suhu
28
oduksipanas, panas RR
kedinginan
29
1.10 Beritahu tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan
penanganan
emergency yang
diperlukan
penanganan yang
diperlukan
30
badan 2.5 Kolaborasi dengan
- Tidak ada tanda-tanda
ahli gizi untuk
malnutrisi
- menunjukkan menentukan jumlah
menelan
- Tidak terjadi
yang berarti
dan RR beraktivitas
- -Mampu melakukan
3.4 Monitor responfisik,
aktivtas sehari-hari
emosional, social dan
(ADLs) secara
31
mandiri spiritual.
- Keseimbangan
3.5 Kolaborasi dengan
aktivitas dan istirahat
Tenaga Rehabilitasi
Medik dalam
merencanakan
tepat.
32
dan tingkat aktivitas penuh perhatian
relaksasi
mengurangi
kecemasan
Hasil : situasi
33
koping efektif 5.6 Kaji alasan-alasan
menyalahkan diri
sendiri
sumber-sumber lain
perawat specialis
keagamaan )
counseling
pertolongan interaktif
kebutuhan, masalah
untuk meningkatkan
atau mendukung
koping pemecahan
masalah
6 IsolasiSosial NOC : Socialization enhacement
34
yang dialami skills. kepada pasien oleh
35
gan terhadap keadaan mengubah lingkungan
36
permusuha dalam perilaku social.
n pribadi, interaksi
oleh diasingkan.
kelompok
kultural
yang
dominan
13. Tidak
komunkati,
menarik
diri
Subjektif :
1. Minat yang
37
tidak sesuai
dengan
perkemban
gan
2. Mengalami
perasaan
berbeda
dari orang
lain
3. Tidak
percaya
diri saat
berhadapan
dengan
public
4. Mengungk
apkan
perasaan
kesendirian
yang
didorong
oleh orang
lain.
38
5. Mengungk
apkan
perasaan
penolakan.
6. Mengungk
apkan nilai
yang tidak
dapat
diterima
kelompok
cultural
dominan.
Factor yang
berhubungan :
1. Perubahan
status
mental
2. Gangguan
penampilan
fisik
7 Tidak efektifnya Setelah dilakukan Coping Enhancement
39
kemampuan Keluarga dapat dan perawatanny
menerima keadaan
klien
8 distress spiritual Setelah dilakukan 1.1 bina hubungan saling
40
perasaan dan pikiran -bangkan skill untuk
keyakinan atau
oleh pasien
kegiatan keagamaan
mengevaluasi
perasaan setelah
melakukan kegiatan
spiritual lainnya.
D. EvaluasiKeperawatan
41