You are on page 1of 28

https://www.kemenkeu.go.

id/publikasi/artikel-dan-opini/konflik-tambang-dan-manfaat-dana-
desa/

Manfaat Bijak Dana Desa( https://www.kemenkeu.go.id/media/4449/manfaat-


bijak-dana-desa.pdf

31/10/2017 6:19:17

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Pembangunan desa dan daerah jelas menjadi prioritas utama pemerintahan baru. Kue pembangunan yang awalnya hanya
berkutat di ibu kota, akan dicoba untuk lebih diratakan ke seluruh Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari fenomena
ketimpangan pendapatan antar daerah yang stagnan 0,41 dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Jika ditelusuri lebih lanjut,
persoalan serius yang muncul adalah tingkat kesenjangan yang terjadi di dalam satu wilayah itu sendiri. Persoalan
anggaran sering dianggap sebagai masalah utama, meskipun banyak pihak justru tidak mempermasalahkan. Namun
demikian, pemerintah tetap concern dengan persoalan ini, dibuktikan dengan mulai dialokasikannya anggaran Dana Desa
untuk tahun 2015. Pengalokasian Dana Desa tersebut merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari APBN.

Meskipun draft alokasinya sempat ditolak oleh DPR periode 2014-2019 yang baru saja dilantik, pemerintah telah
menyiapkan mekanisme pengalokasian dana tersebut ke provinsi, kabupaten dan kota. Berdasarkan hasil perhitungan
pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian
Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar
Rp500,3 miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar yaitu Rp1,16 triliun dengan
jumlah kabupaten/kota sebanyak 30. Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka Provinsi Papua memperoleh
alokasi terbesar Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota.

Penolakan DPR sendiri didasarkan kepada pertimbangan penggunaan sumber pengalokasian Dana Desa dari anggaran
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang notabene merupakan anggaran
Kementerian/Lembaga (K/L). Jika merujuk regulasi yang ada baik UU maupun PP, penolakan DPR sebetulnya patut
dipertanyakan. Di dalam pasal 4 PP Nomor 60 tahun 2014 menyebutkan bahwa Dana Desa bersumber dari belanja
pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan, meskipun di dalam pasal 8
ayat 1 dijelaskan bahwa anggaran Dana Desa merupakan bagian dari Anggaran Belanja Pusat non K/L sebagai pos
Cadangan Dana Desa (CDD). Pagu CDD ini nantinya akan diajukan oleh pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan menjadi pagu Dana Desa. Dalam pasal 72 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 juga disebutkan bahwa Dana
Desa bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.

Dalam dokumen APBN 2015 yang telah disepakati, pagu Dana Desa sebesar Rp9,06 triliun, yang tercantum di dalam
postur alokasi Transfer ke Daerah; Rp630,9 triliun bersama dengan komponen Dana Perimbangan (DBH, DAU, DAK)
sebesar Rp509,5 triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat dan NAD) Rp16,5 triliun, Dana Keistimewaan DIY
Rp547 miliar serta Dana Transfer Lainnya Rp104,4 triliun. Dalam pasal 2 PP No. 60 Tahun 2014, disebutkan bahwa Dana
Desa dikelola secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat
setempat. Dalam regulasi juga disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Desa menganut asas desentralisasi dan
tugas pembantuan. Asas desentralisasi menimbulkan pendanaan internal Desa (APBD Desa), sementara asas tugas
pembantuan memberikan peluang bagi Desa memperoleh sumber pendanaan dari pemerintahan yang ada diatasnya
(APBN, APBD Provinsi, APBD Kab/Kota).

Sesuai regulasi yang dimaksud dengan keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan
pengelolaan desa. Sementara dalam pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa pendapatan desa bersumber dari: pendapatan asli
Desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi Dana Desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan
APBD kabupaten/kota; hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lain-lain pendapatan Desa yang
sah.

Di dalam penjelasan pasal 72 ayat (2), besaran alokasi anggaran yg peruntukannya langsung ke desa, ditentukan 10% dari
dan diluar dana transfer ke daerah (on top) secara bertahap. Dalam penyusunannya, anggaran yg bersumber dari APBN
untuk desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk (JP), angka
kemiskinan, luas wilayah (LW), dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan
pembangunan desa.

Evaluasi Manfaat

Sebelum akhirnya disahkan, beberapa pihak sempat berpolemik mengenai UU Desa ini. Pihak yang mendukung merasa
bahwa selama ini desa menjadi bagian wilayah yang selalu terpinggirkan. Desa kemudian identik dengan keterbelakangan,
penduduk usia renta, profesi tak mentereng serta kemiskinan. Yang terjadi kemudian penduduk usia produktif di desa
berbondong-bondong pindah ke kota, dengan harapan memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Akibatnya desa semakin
terpinggirkan sementara kota mengalami over population. Karenanya mereka menilai guyuran dana diharapkan mampu
mengubah wajah desa, minimal menghambat meledaknya arus urbanisasi di kemudian hari.

Persoalannya, pihak yang menentang merasa bahwa persoalan utama desa bukan sekedar tidak adanya anggaran.
Bagaimana mengubah sistem, mind-set dan perilaku masyarakat justru menjadi agenda lebih krusial. Ketika persoalan ini
belum teratasi, ditambah dengan masalah kualitas manusia yang masih terbatas, alokasi dana yang melimpah justru akan
menimbulkan moral hazard baru di kalangan aparat desa. Dengan menggunakan asumsi data jumlah desa tahun 2014
sebanyak 72.944 desa, maka tiap-tiap desa diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan kondisi
yang ada saat ini, penambahan alokasi dana tersebut tentu sangat luar biasa.

Indonesia sebetulnya memiliki contoh terbaik dalam kasus implementasi otonomi daerah di level kabupaten/kota. Otonomi
yang sudah hampir menginjak usia hampir 15 tahun, justru terasa semakin jauh dari harapan awalnya. Aspek kemandirian,
kematangan daerah serta daya saing justru tenggelam oleh arus birokrasi yang semakin kompleks, budaya korupsi yang
merajalela serta pembentukan dinasti di daerah yang makin menggurita.

Hal ini sebetulnya tak lepas dari adanya perbedaan cara pandang diantara pemerintah. Awalnya otonomi diagendakan
bersifat bersifat a-simetris dengan tetap mengakui adanya kemajemukan daerah-daerah di Indonesia. Kemajemukan
tersebut justru dianggap sebagai warna tersendiri dalam potret ke-Indonesia-an, dan pemerintah menghargai keberagaman
tersebut dengan tetap menghormati keistimewaan, tradisi dan asal usul terbentuknya beberapa wilayah tertentu seperti
Yogyakarta, Aceh dan Papua.

Sayangnya konsep desentralisasi a-simetris ini justru justru diterjemahkan menjadi konsep a-simetris desentralisasi dimana
Pemerintah Pusat memandang otonomi sebagai sistem yang mampu menciptakan kemandirian daerah, sementara daerah
memandang otonomi justru sebagai mekanisme potong kompas (short-cut) demi mendapatkan alokasi anggaran mandiri.
Pemekaran merupakan contoh sederhana terjadinya kondisi ini. Pemerintah Pusat mendesain pemekaran sebagai sebagai
alat untuk memutus mata rantai birokrasi dalam pelayanan publik demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas kepada
masyarakat. Sebaliknya Pemda memandang pemekaran sebagai solusi singkat mendapatkan alokasi anggaran mandiri
lepas dari daerah induknya, serta menciptakan eselonisasi pejabat baru di daerah.

Hal yang sama juga bukan tidak mungkin terjadi di level desa nantinya. Terlebih regulasi tidak mengatur adanya hukuman
bagi desa yang tidak menggunakan alokasi dana seperti yang diharapkan. Regulasi yang mengatur penggunaan Dana Desa
diprioritaskan untuk penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.
Ancaman hukuman hanya berupa penundaan penyaluran Dana Desa. Itupun hanya dikaitkan dengan persoalan pelaporan
administrasi tanpa evaluasi kualitas penggunaan.

Dengan tanpa mengurangi penghormatan atas kebijakan yang sudah dihasilkan, Dana Desa sebetulnya memiliki potensi
luar biasa dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan Desa dalam rangka mengatasi berbagai persoalan
yang selama ini ada. Namun bagaimana menjaga supaya pemanfaatan tersebut tetap di koridor yang diharapkan, menjadi
PR bersama seluruh elemen bangsa di Indonesia. Harapannya, dengan anggaran yang meningkat maka desa dapat
mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat desa yang berkualitas tentu menjadi input yang
bermanfaat baik bagi desa itu sendiri maupun bagi daerah lainnya. Desa yang maju ditunjang oleh perkembangan kota
yang bijak, akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang lebih gemilang. Untuk itu mari kita wujudkan seluruh
mimpi-mimpi tersebut, mumpung belum terlambat.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja

Konflik Tambang dan Manfaat Dana Desa

31/10/2017 6:19:14

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Untuk kesekian kalinya, masyarakat kembali menjadi korban yang dipicu adanya konflik pertambangan dan
masyarakat. Layaknya cerita klasik, aparat desa yang selayaknya menjadi pengayom masyarakat, justru diduga
menjadi beking utama perusahaan tambang. Meskipun dinilai sangat terlambat, terkuaknya peristiwa tersebut
kemudian menghasilkan reaksi dari banyak pihak hingga akhirnya lokasi tambang tersebut ditutup oleh pihak
yang berwajib. Kondisi ini mungkin hanya menjadi sepenggal kisah dari berbagai kejadian serupa yang marak
terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia dan luput dari perhatian nasional. Terlebih di era otonomi, ketika
hak penguasaan ijin pertambangan ada di tangan Kepala Daerah, konflik-konflik dalam berbagai dimensi kerap
terjadi dengan dalih menyejahterakan masyarakat desa.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (Perpu) pengganti Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun


2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan
(WIUP) yang semula ada di tangan Bupati dan Walikota, akan dialihkan ke Pemerintah Pusat
dan Provinsi. Secara rinci, kewenangan Provinsi diantaranya: menerbitkan WIUP mineral non-
logam dan batuan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam dan batubara, IUP mineral
non-logam dan batuan serta menetapkan harga patokan mineral non-logam dan batuan.

Sementara kewenangan Pemerintah Pusat antara lain: menetapkan wilayah tambang (WP) yang
terdiri dari usaha pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), menetapkan
WIUP mineral logam dan batubara serta WIUPK, menetapkan WIUP mineral non-logam lintas
provinsi, menerbitkan IUP penanaman modal asing, menetapkan IUPK, penetapan produksi
mineral logam dan batubara untuk tiap provinsi, menetapkan harga patokan mineral logam dan
harga patokan batubara serta pengelolaan inspektur tambang.

Rencana tersebut sontak ditanggapi secara beragam oleh Bupati dan Walikota. Secara umum
mereka berkeberatan dengan ketentuan tersebut serta mengupayakan dalam prosesnya, mereka
tetap dilibatkan. Hal ini cukup wajar mengingat sudah menjadi rahasia umum jika banyak Bupati
dan Walikota menikmati manfaat dari kewenangan penetapan WIUP tersebut, meski tidak
berkorelasi dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.

Tumpang tindih

Persoalan menjadi makin akut, ketika draft regulasi tersebut ternyata belum diselaraskan dengan
peraturan teknis di sektor pertambangan sendiri khususnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam UU Minerba, kewenangan penatapan WIUP justru
masih ada di tangan Bupati dan Walikota. Di satu sisi, fakta akan menjadi pintu masuk bagi
Bupati dan Walikota untuk mengajukan gugatan secara hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Di sisi lainnya, kenyataan ini kembali mempertontonkan persoalan klasik di tubuh pemerintah
terkait kurangnya koordinasi dalam penyusunan regulasi di masing-masing sektor. Tumpang
tindih di sektor pertambangan sebetulnya bukan hanya terjadi kali ini dan hanya menjadi contoh
dari sekian persoalan besar lainnya. Tahun 2013, penulis mencatat terjadi tumpang tindih dalam
hal penetapan tarif pungutan pertambangan di Provinsi NAD. Sebagai informasi, berdasarkan
rapat paripurna DPR Aceh tanggal 27 Desember 2013, telah disahkan Qanun pungutan tambang
di Provinsi NAD sebesar 2,5%-6%.

Dengan berlakunya regulasi tersebut, perusahaan-perusahaan tambang wajib membayar


pungutan kepada Pemda, sesuai jenis tambang yang dikelolanya. Untuk batubara, kompensasi
yang harus dibayarkan berkisar 2,5%-6,6% tergantung dari kalori dan harga jual per ton. Jenis
alumina, tarif yang dikenakan 3,4% dari harga jual, aluminium (3,4%), bauksit (4,0%), bijih besi
(3,4%), pasir besi (4,0%), sponge iron/pig iron (3,00%), emas (4,0%), ferronickel (4,2%), perak
(3,6%), tembaga (4,2%), timah (3,4%) dan zirkonium (3,0%).

Kebijakan tersebut sontak disambut berbagai keberatan, khususnya dari kalangan pengusaha.
Mereka memandang Qanun tersebut justru menimbulkan prosedur pajak berganda sekaligus
menambah beban pungutan. Ditambah dengan pungutan pelabuhan, royalti dan beberapa jenis
tarif lainnya, dalam kalkulasi mereka setoran yang harus diberikan mencapai 12% dari harga
jual. Kondisi ini tentu sangat disesalkan serta berpotensi menurunkan minat investor khususnya
di sektor pertambangan. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) segera merespon kondisi tersebut. Awalnya direncanakan akan dibentuk tim
koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku
pembina Pemda untuk mendiskusikan ulang kelayakan pungutan pertambangan tersebut dari
segala aspek.
Berdasarkan pengamatan penulis, pihak yang pro dengan kebijakan tersebut mendasarkan
kepada Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang
memberikan keistimewaan kepada Provinsi NAD berdasarkan pertimbangan karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Dalam UU
Nomor 11 Tahun 2006 pasal 7 ayat 1 bab IV Kewenangan Pemerintahan Aceh dan
Kabupaten/Kota memang disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang terdiri dari urusan politik nasional,
pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan tertentu dalam bidang
keagamaan.

Pasal 16 ayat 1 juga menyebutkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan Aceh,
sementara dalam ayat 2 nya diatur mengenai urusan wajib lainnya yang merupakan
keistimewaan Aceh diantaranya penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup
beragama, penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam, penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam,
peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh dan penyelenggaraan pengelolaan ibadah haji
sesuai peraturan perundang-undangan.

Sebaliknya pihak yang kontra, mengajukan pertimbangan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2009 tersebut, istilah
pungutan daerah sudah tidak dikenal. Pemerintah hanya boleh mengenakan pungutan dalam
bentuk pajak atau retribusi daerah. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam batang tubuh UU Nomor
28 tahun 2009, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Sistem ini kemudian dikenal
sebagai mekanisme close list dari UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Beberapa pajak yang menjadi kewenangan provinsi diantaranya Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBBKB), pajak air permukaan dan pajak rokok. Sementara pajak yang dipungut
kabupaten/kota diantaranya pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, reklame, penerangan
jalan, parkir, PBB perdesaan dan perkotaan serta pajak air tanah. Selain pajak dan retribusi yang
sudah ditetapkan dalam regulasi ini, daerah dilarang menerbitkan berbagai pungutan.

Dengan dialokasikannya Dana Desa mulai tahun 2014, potensi konflik tersebut sebetulnya dapat
diminimalkan ketika desa menjadi lebih sejahtera. Desa yang sejahtera, tentu akan menjadi
barrier terbesar masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan. Desa yang sejahtera justru
akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat dalam berbagai aspek khususnya aspek
pelestarian alam dan lingkungan demi menjaga kearifan lokal yang tersebar di hampir seluruh
wilayah penjuru Indonesia. Syarat utama tentu efektivitas dan efisiensi dalam pengalokasian
Dana Desa.

Karenanya, ketika pemerintah betul-betul memiliki tujuan melestarikan lingkungan dan alam
demi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan sekaligus meredakan berbagai bentuk konflik
pertambangan dan masyarakat yang kerap terjadi, mekanisme utama yang dapat digunakan
adalah perbaikan aspek transparansi dan akuntabilitas alokasi Dana Desa. Dan hal tersebut dapat
diciptakan dengan dukungan seluruh komponen anak bangsa yang memiliki perasaan yang sama
: Satu Indonesia.

*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi dimana penulis bekerja.

Program Dana Desa Disebut Terasa Manfaatnya


Sabtu, 9 September 2017 14:10 WIB Penulis: Arga Sumantri

Ilustrasi

PROGRAM dana desa diapresiasi sejumlah pihak. Program itu dinilai bisa jadi solusi mengatasi
masalah pedesaan.

Kepala Desa Plosari, Kendal, Jawa Tengah, Suwardi, misalnya. Ia mengaku sangat senang
dengan adanya Undang-Undang Desa yang jadi muasal hadirnya dana desa. Ia menyebut
manfaat dana desa sangat dirasakan oleh masyarakat desa.

Menurut Suwardi, perjuangan mewujudkan adanya Undang-Undang Desa hingga harus berdemo
ke DPR berbuah manis. Bagi dia, program itu bentuk penghargaan bagi warga Desa.
"Melalui Undang-undang ini, masyarakat Desa baru merasa diakui oleh negara. Karena dulu itu,
masyarakat desa hanya merasa diakui oleh Kabupaten," kata Suwardi ?dalam diskusi di kawasan
Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/9).

Anggota DPD RI, Akhmad Muqowam segendang seirama. Tapi, ia mengingatkan lahirnya UU
Desa bukanlah janji politik dari Presiden Joko Widodo. Sebab, UU desa sudah ada sebelum
Jokowi dilantik.

"UU Desa dibahas April 2012 dan disahkan 14 Januari 2014 oleh Presiden SBY saat itu," ungkap
Akhmad.

Akhmad Muqowan mengamini, sedari dulu, Desa memang jadi lokasi yang kurang mendapat
apresiasi dari pemerintah. Padahal, kata dia, berdasarkan statistik, sebanyak 56% penduduk
Indonesia ada di perkotaan bukan di pedesaan.

Namun, Akhmad mengingatkan mekanisme dana desa mesti terus diperbaiki. Terutama dalam
hal pembinaan. Ia menilai, selama ini pemerintah terlalu fokus mengawasi, tapi lupa membina
sumber daya manusia agar pengelolaan dana desa sesuai aturan.

"Pembinaan kurang, tapi diawasi terus menerus, kan cape," ungkapnya. (MTVN/OL-6)

Masyarakat Sebagai Kunci Pengawasan dan Pemanfaatan Dana Desa


7 April 2017 17:00 Diperbarui: 7 April 2017 17:33 3638 1 0

Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan Dana Desa tak bisa dipandang remeh. Mereka
adalah objek sekaligus subjek dari pembangunan yang diprioritaskan dengan adanya dana desa.
Keterlibatan tidak hanya dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan desa
melalui dana desa, tapi tak terkecuali juga kesadaran masyarkat mutlak harus didorong dalam
pengawasan dan akuntabilatas dana desa. Peran serta pengawasan dana desa oleh masyarakat
juga akan meminimalisir potensi konflik sebagai akibat krisis kepercayaan masyarakat kepada
pengelola dana desa yang selama ini hal itu dituding akan membuatnya lemahnya kohesi sosial
budaya masyarakat desa dengan adanya dana desa.

Sebagaimana diketahui, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi


tahun 2017 ini mengalokasikan program Dana Desa sebesar Rp 60 triliun. Dana tersebut akan
dibagi kepada 74.910 desa yang ada di Indonesia.

Dana desa tersebut harus benar-benar diawasi dan memastikan masyarakat mendapatkan
informasi akuntabilitas peruntukannya untuk kepentingan pembangunan dan mendorong
kemandirian.

Komitmen pemerintah atas pembangunan desa dan upaya menekan angka kemiskinan di
perdesaan sangat tinggi. Tidak hanya terbukti dari terus naiknya transfer dana desa setiap
tahunnya—bahkan pada 2018 nanti Kementerian Desa PDTT memastikan anggaran transfer
dana desa akan meningkat 50 %. Totalnya mencapai 120 Triliun sehingga masing-masing desa
diperkirakan akan menerima dana 1 milyar.

Kementerian Desa PDTT juga sedari awal mengupayakan antisipasi supaya dana sebesar itu bisa
benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejak kehadirannya di Kementerian Desa, Eko Putro
Sandjojo yang memang memilki pengalaman mengelola bisnis dan memahami skema
pengembangan ekonomi, buru-buru membangun komitmen dengan berbagai pihak untuk
memastikan dana desa terkawal akuntabilitasnya. Salah satunya bekerjasama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat satuan tugas saber pungli di internal kementeriannya
dan dalam beberapa kesempatan selalu berpesan agar masyarakat berani ikut mengawasi dana
desa dan melaporkan bila terjadi penyelewengan.

Menteri Eko juga mewajibkan tiap desa memampang baliho yang memuat rencana sampai
realisasi Dana Desa. Hal ini dilakukan agar penyaluran Dana Desa bisa lebih transparan dan
tetap terjaga akuntabilitasnya.

Kemendes PDTT juga menyediakan layanan bagi masyarakat yang hendak menyampaikan
pengaduan apabila menemukan kejanggalan atau penyalahgunaan dana desa untuk dapat
melaporkannya ke Call Center 1500040 atau ke SMS Center di 081288990040 atau
087788990040.

Selain itu dana desa diharapkan Menteri Eko bisa menjadi salah satu kunci pengentasan
kemiskinan masyarakat desa. Jadi jangan biarkan penyelewenagan dan korupsi tumbuh subur.
Mari kawal dana desa agar pengentasan kemiskinan di Desa dapat dipercepat.

Bagaimana pun dana desa berpengaruh cukup besar terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan penyerapan tenaga kerja nasional, bahkan sata statistik mencatat bahwa pada 2016, dana
desa berkontribusi sebesar 0,9 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB), penyumbang 0,04
persen dalam pertumbuhan ekonomi nasional, serta menyerap tenaga kerja hingga mencapai 2,34
juta jiwa.

Secara formal manfaat dana desa juga tampak salah satunya dari fenomena terus tumbuhnya
gerak ekonomi masyarakat desa dengan adanya Badan Usaha Milik (BUM) Desa. Dua tahun
terakhir ini jumlah BUMDes meningkat tajam, yakni pada 2014 hanya 1.022 unit dan saat ini
sudah mencapai 18.466 unit.

Karena itu masyarakat tidak boleh lagi cuek, apalagi sampai ada yang tidak tahu akan adanya
transfer dana ke desa untuk pembangunan dan mendorong masyarakat maju dan mandiri secara
ekonomi. Kian tingginya komitmen pemerintah dalam pembangunan pedesaan harus dibarengi
dengan demokratisasi desa tanpa terkecuali tranparansi dan peran aktif masyarakat dalam
pengawasan dan pengendalian peuntukan dana desa. Jangan sampai terjadi penyelewengan
karena bagaimana pun dana tersebut adalah milik masyarakat desa, untuk masyarakat desa dan
pada akhirnya dari desa pembangunan nasional indonesia yang maju dan modern dimulai dan
bertumpu
Semua Pihak Harus 'Pelototi' Penggunaan Dana Desa

Penggunaan Dana Desa di Kaltim masih rendah

 Yudisial
 12 August 2017 , 16:00


BENAHI JALAN-Sejumlah pelajar melintas disekitar jalan dan jembatan desa yang amblas di Desa
Langaleso, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/8). Dana Desa sejatinya digunakan untuk
memperbaiki jalan seperti ini juga. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pd/17.

WONOSARI-Penggunaan Dana Desa harus memberi manfaat bagi masyarakat. Prioritas


penggunaan Dana ini adalah untuk kemandirian desa, pembangunan infrastruktur seperti
jalan dan irigasi. Karenanya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengajak semua
elemen seperti warga dan lembaga swadaya masyarakat mengawasi penggunaan dana
desa agar tepat sasaran, tidak diselewengkan.

"Harus diawasi penggunaannya agar bisa memberi manfaat bagi masyarakat," kata
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kepada pers usai Sosialisasi dan Dialog
dengan tema Sinergi Membangun Bangsa, di Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul,
Yogyakarta, Sabtu (12/8).

Budi menjelaskan, Dana Desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat ke sejumlah
desa di berbagai daerah tahun ini sebesar Rp60 triliun. Dan, tahun depan akan dinaikkan
dua kali lipat menjadi Rp120 triliun.

"Seperti kita ketahui sebagian masyarakat desa adalah bertani. Untuk itu pembangunan
dan perbaikan irigasi sangat diperlukan," ucap Menhub Budi.

Semua peruntukkan Dana pada akhirnya bisa meningkatkan perekonomian warga


setempat.

Bagi warga desa, kata Budi, adanya dana desa bisa memberikan manfaat yang positif
karena bisa digunakan untuk memajukan desanya. Tapi ada juga yang memperoleh dana
desa tidak digunakan dengan semestinya.

"Oleh sebab itu harus diawasi secara bersama-sama agar tepat sasaran," ujarnya,
menegaskan.

Wakil Bupati Gunungkidul Immawan Wahyudi, mengatakan pengelolaan dana desa


Gunungkidul ditujukan untuk kemakmuran desa. Dana tidak bisa digunakan semena-
mena, tapi untuk tujuan produktif seperti pembangunan infrastruktur dan kesehatan.

"Untuk kesehatan masyarakat kita menggunakan lebih dari 10 persen dari dana desa yang
diterima," imbuhnya.

Di daerah ini, agar penggunaan dana desa bisa efektif dan tepat sasaran, telah diterbitkan
sejumlah peraturan bupati yang intinya berisi petunjuk tata cara penggunaan.

Masih rendah
Penggunaan Dana Desa di Provinsi Kalimantan Timur ternyata masih rendah. Per 11
Agustus 2017 menurut laporan tersebut, dana baru digunakan mencapai 19,38 persen.
Padahal sudah ada 686 desa dari 841 desa menerima transfer sejak Juli lalu.

"Dana Desa tahap pertama yang sudah disalurkan ke rekening desa sudah mencapai
Rp340,93 miliar, namun desa yang menyampaikan laporan penggunaan baru 19,38
persen dengan nilai Rp66,07 miliar," ujar Alwani, selaku Koordinator Program Provinsi
KPW III Kaltim di Samarinda, Sabtu.
Diberitakan Antara, ia minta masih minimnya pelaporan ini menjadi perhatian bagi
semua pihak terkait mulai tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa, terutama bagi
Pendamping Profesional, Tenaga Ahli, hingga Pendamping Lokal Desa.

Pelaporan penggunaan Dana Desa merupakan hal wajib yang harus dilakukan oleh Desa.
Apapun yang dilakukan dengan Dana tersebut, harus ditindaklanjuti dengan pelaporan.
Jika tak dilaporkan, maka pekerjaan tersebut dianggap tidak ada, karena tidak diimbangi
dengan administrasi laporan pertanggungjawaban.

"Daerah yang paling minim melaporkan penggunaan Dana Desa hingga 11 Agustus
adalah Kabupaten Kutai Kartanegara, yakni dari Rp68,77 miliar dana yang ditransfer dari
RKUD setempat, penggunaan anggaran yang dilaporkan baru Rp100,56 juta atau hanya
0,15 persen," tutur Alwani.

Jika dilihat per desa, diantaranya dari 139 desa di Paser, jumlah yang menyampaikan
laporan penggunaan baru 34 desa, dari 193 desa di Kutai Kartanegara, jumlah yang
menyampaikan laporan baru dua desa. Dan, dari 139 desa di Kutai Timur, jumlah yang
menyampaikan laporan baru dua desa. (Rikando Somba)

Manfaat dana desa bagi masyarakat Nendali

Nendali- Dengan adanya kucuran dana desa di Kampung-kampung. Pemerintah Kampung


Nendali memanfaatkan dana tersebut untuk menjawab beberapa program yang telah dianggarkan
di perencanaan Kampung tahun 2017. yakni bidang Pembangunan Kampung dan Pemberdayaan
masyarakat Kampung.

Tampak masyarakat Kampung nendali sedang membangun rumah

Wemfrid Wally” selaku kepala Kampung Nendali. menjelaskan bahwa dana desa yang telah
diterima pada Tahun 2017 ini, digunakan sesuai dengan Perencanaan Kampung. program yang
telah dibahas dan disepakati dalam Musrenbang Kampung itulah yang di kerjakan. diantaranya
berupa pembangunan infrastruktur, rabat jalan, rehab rumah warga, dan juga bidang ekonomi
yaitu pembuatan konstruksi keramba bagi warga masyarakat. salah satunya perbaikan rumah
warga.
“Pemerintah memberikan dana desa ini ke kampung-kampung karena ada warga
masyarakat. Itu berarti dana ini milik masyarakat, sehingga merekalah yang harus dilibatkan
dalam mengawal, dan melaksanakan pembangunan di kampungnya sendiri, kami pemerintah
kampung hanya menyalurkan, mengawal dan melaporkan hasil nya“ ujar Wemfrid.

Tampak rumah warga sebelum dikerjakan

Tampak rumah warga setelah di kerjakan

Menurut Roby wally, yang adalah salah satu masyarakat penerima manfaat dari program
tersebut, mengungkapkan bahwa “saya sangat berterimakasih kepada Pemerintah Kampung
Nendali, karena telah membantu membangun rumah yang layak untuk saya, istri dan anak-anak
saya tempati, dan juga ada pembangunan yang nyata di kampung kami”..

(by. Loth Wally)

MANFAAT DANA DESA DIRASAKAN MASYARAKAT


Dibuat pada Senin, 05 Juni 2017 09:30
SAPA INDONESIA - DANA Desa yang digelontorkan pemerintah pusat benar-benar dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat di Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu, Brebes. Di sana dana itu
digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, jembatan, drainase dan saluran irigasi.

Desa berpenduduk 8.175 jiwa ini merupakan salah satu wilayah pelosok. Letaknya sekitar 7
kilometer ke arah barat dari kota Kecamatan Bumiayu. Di sebelah barat dan selatan, berbatasan
dengan Sungai Pemali Kecamatan Bantarkawung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Tonjong dan sebelah timur berbatasan dengan Desa/Kecamatan Bumiayu.

Sebelum ada dana desa, kerusakan jalan merata di setiap sudut desa. Namun sejak
dikucurkannya dana desa, secara bertahap kondisi lingkungan desa mulai berubah. DANA DESA

Meskipun belum seratus persen, jalan lingkungan desa yang memiliki luas wilayah 2.604,14
hektare dengan 13 pedukuhan yang terbagi dalam 36 RT dan 7 RWini kini dalam kondisi bagus.
Kalau tidak beraspal, ya rabat beton.

Akses jalan yang baik tersebut membuat warga lebih mudah beraktivitas. Dijelaskan, dana desa
mulai diterima sejak tahun 2015 dengan besaran Rp 343.437.000. DANA DESA

Pada tahun berikutnya, penerimaan dana desa meningkat menjadi Rp 825.172.000. Kemudian
pada 2017 perolehan dana desa meningkat signifikan menjadi Rp 1.053. 263.000. DANA DESA

Terapkan Siskeudes

Menurut kades, pembangunan infrastruktur dilaksanakan secara swakelola. Adapun untuk


akuntabilitas pengelolaan keuangan dana desa, pihaknya sudah mulai mencoba menerapkan
aplikasi sistem keuangan desa (Siskeudes) sejak 2015. DANA DESA

Bayu Setyo Nugroho, Kepala Desa Dermaji Kecamatan Lumbir, Banyumas yang baru saja
merampungkan masa jabatannya beberapa bulan lalu menyatakan ditetapkannya UU Desa
memberikan harapan baru bagi masyarakat desa. DANA DESA

Menurut Bayu, di tengah gaungnya implementasi UU Desa saat ini ternyata sampai saat ini
sering terjadi adanya perbedaan penafsiran dan pemahaman dari Pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah Desa terkait aturan tentang proses pembangunan,
pengelolaan keuangan, serta pengadaan barang dan jasa di desa. DANA DESA

Sumber: Suara Merdeka dot com

Bijak Menggunakan Dana Desa


Admin Berdesa 08/12/2015 2 Komentar 2033 kali dilihat
BERDESA.COM – Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan otonomi
luas kepada desa untuk mengatur dan mengurus kewenangan desa, termasuk dalam hal
pengelolaan keuangan. Selain Alokasi Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak Daerah Retribusi Daerah,
sumber penerimaan desa kemudian bertambah satu lagi, yaitu Dana Desa yang bersumber dari
APBN.

Pada 2015 rata-rata desa menerima Dana Desa sebanyak 280,27 juta yang kemudian secara
bertahap akan bertambah jumlahnya untuk setiap tahunnya. Pada tahun 2016 sudah diputuskan
dalam APBN 2016 bahwa dana desa akan naik sebesar 120% dari tahun 2015. Penggunaan Dana
Desa tersebut haruslah sesuai dengan prioritas pembangunan yang sudah ditetapkan dalam
Peraturan Desa tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) serta pedoman yang
dikeluarkan oleh Kementerian Desa.

Adapun prioritas penggunaan Dana Desa dalam Permendesa Nomor 5 Tahun 2015 tentang
Penetapan Priotitas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 adalah untuk menjalankan dua
kewenangan desa, yaitu kewenangan bidang pembangunan desa dan kewenangan bidang
pemberdayaan masyarakat. Di bidang pembangunan, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk
membangun, merawat, serta mengembangkan:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pengembangan pos kesehatan desa dan polindes;
posyandu, PAUD
2. Sarana dan prasarana desa, seperti jalan desa, jalan usaha tani, embung desa, pembangunan
energi baru dan terbarukan, pengelolaan air bersih berskala desa, pemeliharaan irigasi tersier,
budidaya perikanan, sarana dan produksi di desa
3. Potensi ekonomi lokal,seperti pengembangan BUMDesa, pasar desa, pelelangan ikan, lumbung
pangan, pupuk dan pangan organik, benih lokal, ternak kolektif, tambatan perahu, padang
gembala, desa wisata, teknologi tepat guna pengolahan hasil pertanian dan perikanan
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan, seperti hutan milik desa
dan pengelolaan sampah.

Sementara, di bidang Pemberdayaan, dana desa diprioritaskan untuk:

1. Peningkatan kualitas proses perencanaan desa


2. Mendukung kegiatan ekonomi baik melalui BUMDesa maupun kelompok usaha masyarakat
3. Peningkatan kapasitas kader pemberdayaan masyarakat desa
4. Pengorganisasian melalui pembentukan dan fasilitasi paralegal untuk memberikan bantuan
hukum kepada warga desa
5. Penyelenggaraan promosi kesehatan dan gerakan hidup bersih dan sehat
6. Dukungan terhadap kegiatan desa dan masyarakat pengelolaan hutan desa dan hutan
kemasyarakatan; dan
7. Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat melalui: Kelompok usaha ekonomi
produktif, Kelompok perempuan, Kelompok tani, Kelompok masyarakat miskin, Kelompok
nelayan, Kelompok pengrajin, Kelompok pemerhati dan perlindungan anak, Kelompok
pemuda, Kelompok lain sesuai kondisi desa.

Sementara dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Priotitas Penggunaan Dana Desa Tahun
2015, menyebutkan bahwa penggunaan Dana Desa haruslah mendukung sektor-sektor unggulan
untuk mencapai kedaulatan pangan, energi, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan
industri.(bd01)

Baca juga : Jangan Korupsi Dana Desa

Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016


2 Balasan

Akhir 2015, Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengeluarkan Peraturan
Menteri Desa Nomor 21 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016. Peraturan
ini menjadi salah satu dasar hukum serta pedoman penggunaan dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara umum, prioritas penggunaan Dana
Desa 2016 tetap ditujukan pada dua bidang yakni pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa.

Selain kedua bidang kewenangan ini, pendanaannya dari sumber lain seperti Alokasi Dana Desa
(ADD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bagi hasil pajak
dan restribusi daerah, serta pendapatan asli desa. Prioritas kegiatan, anggaran dan belanja desa
disepakati dalam Musyawarah desa yang partisipatif. Hasil musyawarah desa inilah yang
menjadi acuan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBDesa).

Pada lampiran Permen ini, ditegaskan bahwa “Peraturan Menteri ini disusun guna menjadi
pedoman umum penggunaan Dana Desa. Pedoman umum ini tidak dimaksudkan untuk
membatasi prakarsa lokal dalam merancang program/kegiatan pembangunan prioritas yang
diruangkan dalam dokumen RKPDesa dan APBDesa, melainkan memberikan pandangan
prioritas penggunaan Dana Desa, sehingga desa tetap memiliki ruang untuk berkreasi membuat
program/kegiatan desa sesuai dengan kewenangannya, analisa kebutuhan prioritas dan sumber
daya yang dimilikinya.”

Tujuan dan Prinsip Penggunaan Dana Desa

Pernyataan ini menguatkan tafsir pada pasal 2 dan 3 tentang Tujuan dan Prinsip penggunaan
Dana Desa 2016. Tujuan pengaturan prioritas penggunaan Dana Desa :

1. menentukan program dan kegiatan bagi penyelenggaraan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa yang dibiayai Dana Desa;
2. sebagai acuan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun pedoman teknis penggunaan
Dana Desa; dan
3. sebagai acuan bagi Pemerintah dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penggunaan Dana
Desa.

Sementara, pada pasal 3 disebutkan prinsip penggunaan Dana Desa:

1. keadilan, dengan mengutamakan hak atau kepentingan seluruh warga desa tanpa membeda-
bedakan;
2. kebutuhan prioritas, dengan mendahulukan yang kepentingan Desa yang lebih mendesak, lebih
dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat Desa;
dan
3. tipologi desa, dengan mempertimbangkan keadaan dan kenyataan karakteristik geografis,
sosiologis, antropologis, ekonomi, dan ekologi desa yang khas, serta perubahan atau
perkembangan kemajuan desa.

Prioritas Penggunaan Dana Desa

A. Bidang Pembangunan Desa

Penggunaan Dana Desa untuk pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, peningkatan kualitas hidup, serta penanggulangan kemiskinan. Untuk itu,
penggunaan Dana Desa untuk pembangunan desa diarahkan pada program-program seperti:

1. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan infrastruktur atau sarana dan prasarana fisik
untuk penghidupan, termasuk ketahanan pangan dan permukiman;
2. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat;
3. pembangunan, pengembangan dan pemelliharaan sarana dan prasarana pendidikan, sosial dan
kebudayaan;
4. pengembangan usaha ekonomi masyarakat, meliputi pembangunan dan pemeliharanaan sarana
produksi dan distribusi;
5. pembangunan dan pengembangan sarana prasarana energi terbarukan serta kegiatan
pelestarian lingkungan hidup.

B. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa

Prioritas penggunaan Dana Desa 2016 di bidang pemberdayaan masyarakat desa bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas warga dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta
perluasan skala ekonomi individu warga, kelompok masyarakat, antara lain:

1. peningkatan investatsi ekonomi desa melalui pengadaan, pengembangan atau bantuan alat-alat
produksi, permodalan, dan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pemagangan;
2. dukungan kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUMDesa atau BUMDesa Bersama,
maupun oleh kelompok dan/atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya;
3. bantuan peningkatan kapasitas untuk program dan kegiatan ketahanan pangan Desa;
4. pengorganisasian masyarakat, fasilitasi dan pelatihan paralegal dan bantuan hukum masyarakat
desa, termasuk pembentukan kader pemberdayaan masyarakat desa dan pengembangan
kapasitas ruang belajar masyarakat di desa;
5. promosi dan edukasi kesehatan masyarakat serta gerakan hidup bersih dan sehat, termasuk
peningkatan kapasitas pengelolaan Posyandu, Poskesdes, Polindes dan ketersediaan atau
keberfungsian tenaga medis/swamedikasi di desa;
6. dukungan terhadap kegiatan pengelolaan Hutan/Pantai/Desa dan Hutan/Pantai
Kemasyarakatan;
7. peningkatan kapasitas kelompok masyarakat untuk energi terbarukan dan pelestarian
lingkungan hidup; dan/atau
8. bidang kegiatan pemberdayaan ekonomi lainnya yang sesuai dengan analisa kebutuhan desa
dan telah ditetapkan dalam musyawarah desa.

Yang baru dalam pengaturan penggunaan Dana Desa 2016 ialah tentang tipologi Desa dan
perkembangan kemajuan desa. Tipologi desa ini didasarkan pada :

 kekerabatan Desa; (desa genealogis, desa teritorial dan desa campuran)


 hamparan; (desa pesisir/pantai, desa dataran rendah/lembah, desa dataran tinggi, dan desa
perbukitan/pegunungan)
 pola pemukiman; (menyebar, melingkar, mengumpul, memanjang)
 mata pencaharian; (pertanian, nelayan, industri, jasa)
 tingkat perkembangan kemajuan Desa.

Tingkat perkembangan kemajuan Desa didasarkan pada Indeks Desa Membangun (IDM) yang
ditetapkan oleh Kementerian Desa, yang meliputi:

 Desa Tertinggal dan/atau sangat tertinggal, mengutamakan kegiatan pemberdayaan


masyarakat yang berorientasi pada membuka lapangan kerja dan atau usaha baru, serta
bantuan penyiapan infrastruktur bagi terselenggaranya kerja dan usaha warga atau masyarakat
baik dari proses produksi sampai pemasaran produk, serta pemenuhan kebutuhan atau akses
kehidupan masyarakat desa;
 Desa berkembang, memprioritaskan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja dan/atau proses produksi sampai pemasaran produk,
serta pemenuhan kebutuhan atau akses modal/fasilitas keuangan;
 Desa maju dan/atau mandiri, mengembangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang
visioner dengan menjadikan desa sebagai lumbung ekonomi atau kapital rakyat dimana desa
dapat menghidupi dirinya sendiri atau memiliki kedaulatan ekonomi, serta mampu
mengembangkan potensi atau sumberdaya ekonomi atau manusia dan kapital desa secara
berkelanjutan.

[baca juga: Indeks Desa Membangun dan Pembangunan Desa]

Artikel: Alokasi Dana Desa Untuk Desa, Bukan Untuk Aparatus Desa

in KOLOM, OPINI 23/09/2014 25,496 Views

Ilustrasi

Oleh: Dedy Setiono

Keberadaan desa secara formal diakui dalam undang undang no 32 tahu 2004, tentang
pemerintah daerah dan peraturan pemerintah daerah nomor 27 tahun 2005 tentang desa.
Berdasarkan ketentuan ini desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat yang diakui dalam system pemerintahan Negara republic Indonesia.

Desa merupakan suatu organisasi pemerintah yang secara politis memiliki kewewenangan
tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau klompoknya. Dengan posisi tersebut desa
memiliki peranan penting dalam menunjang kesuksesan pemerintah nasional secara luas, bahkan
desa merupakan garda terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program
dari pemerintah.
Desa sebagai unit organisasi pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dengan
segala latar belakang kepentingan dan kebutuhannya mempunyai peranan yang sangat strategis,
khususnya dalam pelaksanaan tugas di bidang pelayanan publik. Maka desentralisasi
kewenangan-kewenangan yang lebih besar disertai dengan pembiayaan dan bantuan sarana-
prasarana yang memadai mutlak diperlukan guna penguatan otonomi desa menuju kemandirian
desa. Alokasi Dana Desa (ADD).

Alokasi dana desa merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan
yaitu hubungan keuangan anatara pemerintahan kabupaten dengan pemerintahan desa. Untuk
dapat merumuskan hubungan keuangan yang sesuai maka diperlukan pemahaman mengenai
kewenangan yang dimiliki pemerintah desa.

Penjabaran kewenangan desa merupakan implementasi program desentralisasi dan otonomi.


Dengan adanya desentralisasi dan otonomi desa maka desa memerlukan pembiayaan untuk
menjalankan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. berdasarkan sumber yang diperoleh
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ADD, yaitu
:

1. Terdapat delapan Tujuan ADD yang bila disimpulkan secara umum ADD bertujuan
peningkatan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik dalam rangka
mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidupnya.

2. Azas dan prinsip pengelolaan ADD yaitu transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini berarti
ADD harus dikelola dengan mengedepankan keterbukaan, dilaksanakan secara
bertanggungjawab, dan juga harus melibatkan peran serta aktif segenap masyarakat setempat.

3. ADD merupakan bagian yang integral (satu kesatuan/tidak terpisahkan) dari APBDes mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporannya.

4. Penggunaan ADD ditetapkan sebesar 30% untuk belanja aparatur dan operasional Desa dan
sebesar 70% untuk belanja pemberdayaan masyarakat.

5. Meskipun pertangungjawaban ADD integral dengan APBDes, namun tetap diperlukan


pelaporan atas kegiatan – kegiatan yang dibiayai dari anggaran ADD secara berkala (bulanan)
dan laporan hasil akhir penggunaan ADD. Laporan ini terpisah dari pertanggungjawaban
APBDes, hal ini sebagai bentuk pengendalian dan monitoring serta bahan evaluasi bagi Pemda.

6. Untuk pembinaan dan pengawasan pengelolaan ADD dibentuk Tim Fasilitasi Kabupaten/Kota
dan Tim Pendamping Kecamatan dengan kewajiban sesuai tingkatan dan wewenangnya.
Pembiayaan untuk Tim dimaksud dianggarkan dalam APBD dan diluar untuk anggaran ADD.

Tujuan yang diharapkan dari anggaran tersebut dapat terwujud. Hal mendasar yang harus
dilakukan aparatur desa adalah membuat perencanaan berjangka menengah/panjang dengan
memfokuskan pada satu atau dua program/kegiatan yang mampu memberikan kontribusi besar
bagi masyarakat utamanya kelompok masyarakat menengah kebawah, selain tetap melaksanakan
program / kegiatan lain yang bersifat jangka pendek.
Untuk itu masyarakat perlu diyakinkan akan pentingnya, tingkat keberhasilan, dan besar nilai
tambahnya bagi masyarakat atas program/kegiatan yang difokuskan tersebut. Alokasi dana desa
merupakan suplay dari pemerintah sebagai sarana penunjang dan juga impus untuk
pembangunan dan pemeberdsayaan masyarakat yang ada di sebuah desa, dimana bantuan
tersebut digunakan sebagai fasilitas masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan
produksivitas sebuah desa.

Artinya, anggaran pemerintah yang diberikan kepada desa terkait sepenuhnya adalah untuk
fasilitas pembangunan dan pemberdayaan desa sebagai salah satu lembaga yang andil dalam
format kepemerintahaan. Dana tersebut harus digunakan dan di alokasikan sebagai mana
mestinya sesuai dengan undang undang dan ketentuan yang berlaku yang telah ditetapkan
pemerintah Indonesia. Sehinggadenagan ADD tersebut mampu meningkatkan pembangunan
desa, partisipasi masyarakat dalam meberdayakan dan menimplementasikan bantuan tersebut
untuk kedepan.

Kendati demikian, alokasi dana yang diberikan biasanya sudah menjadi tradisi para actor-aktor
antagonis dalam pemerinthan tersebut untuk menyalahgunakan dana yang di suplay dari
pemerintah tersebut, adanya oknum oknum aparatur desa yang dengan sengaja mengalokasikan
dana tidak sebagaimana mestinya, kemudian meminimalisir anggaran yang di targetkan serta
memangkas dana yang dikeluarkan, hal demikaian tentunya sudah lazim di negeri ini, sehingga
tindakan-tindakan yang menyimpang tersebut perlu diwaspadai, dan di antisipasi, sebab
perbuatan ini akan merugikan dan juga menhambat kemajuan dan juga berefek pda desa itu
sendiri, tak seharusnya makanan untuk keluarga kita dengan tega kita menghabiskannya sendiri.

Bentuk penyelewengan ini sangat bertolak belakang dari tujuan ADD itu sendiri sehingga
dengan adanya penyimpangan ini tentunya akan diberikan sangsi dan hukuman sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku kepada para oknum penyalah guna anggaran tersebut, sebab hal ini
merupakan praktik korupsi dalam sekup kecil yang akan berimbas pada masa depan bangsa
bebrapa contoh seperti di Desa Tahalupu Kecamatan Waesala Kabupaten Seram Bagian Barat,
tiga desa di desa penggembur, desa mujur di lomboik, tengah, di aceh dan beberapa daerah
lainnyayang juga diberikan sangsi sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.

Oleh karena itu, Desa merupakan miniature bagi sebuah pemerintahan, sesuatu bermula pada
sesuatu yang sederhana dan kecil kemudian meretas kesusatuyang lebih besar, sehin sehingga
dari sebuah desa kita mampu melihat dan meneropong sberapa kamajuan dan kesejahteraan
sebuah negara, jadi anggaran dana desa yang diberikan oleh pemerintah meruapakan dana yang
di asumsikan sebagai fasilitas pembangunan dan pemberdayaan desa. Sudah sepatutnya dana
tersebut dialokasikan dan digunakan untuk sepenuhnya demi kemajuan desa.

Tindak penyaklah gunaaan dana desa merupakan satu tindakan yang semestinya kita tidak
lakukan, sebab hal tersebut merupakan suatu tindakan yang nantinya akan merugikan diri kita
sendiri, sebab dana tersebut merupakan dana untuk kepentingan kita sendiri masyarakat yang
tinggal dan hidup didalamnya, sudah semestinya kita membangun, memperindah, dan
mensejahterakan apa yang kita miliki, tempat yang kita singgahi, dan rumah bersama yang kita
diami, sehingga desa kita untuk kita dan untuk bangsa Idonesia.
Menuju khittah Dana Desa
23 SEBARAN




M Al Mustafad 13:37 WIB - Selasa, 17 Oktober 2017

Ilustrasi: Sejumlah buruh yang diberdayakan oleh desa, menyelesaikan pembuatan tahu bulat di
Buniasih, Ciamis, Jawa Barat, Jumat (22/9). | Adeng Bustomi /ANTARA FOTO

Desa di Indonesia identik dengan keterbelakangan. Pandangan ini bersandar kepada kondisi
geografis dan perilaku masyarakat yang sederhana, bangunan fisik desa, dan homogenitas yang
menjadi penanda desa.

Pasca disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa), desa menjadi harapan baru
bagi kemajuan negara. Muncul juga istilah desa membangun Indonesia. Hal ini sesuai dengan
salah satu Nawacita Jokowi-JK: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Desa menjadi salah satu unit
pemerintahan terkecil dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

Dana Desa menjadi wujud nyata dalam implementasi UU Desa. Tiap tahun anggaran Dana Desa
terus naik. Tahun ini sebanyak Rp60 triliun, atau sekitar 800 juta per desa, digelontorkan
pemerintah melalui APBN untuk Dana Desa. Jumlah tersebut akan terus naik tiap tahunnya.

Namun semangat UU Desa sedikit ternoda dengan beberapa kasus korupsi Dana Desa di
berbagai daerah. Kasus terakhir adalah operasi tangkap tangan terkait korupsi Dana Desa di
Kabupaten Pamekasan, Madura yang melibatkan Bupati Pamekasan, Kepala Inspektorat dan
Kejari Kabupaten Pamekasan.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 2016 hingga pertengahan 2017,
terdapat 110 kasus korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga
melibatkan 139 pelaku. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sedikitnya Rp30
miliar.

Sedangkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendesa PDTT) selama tahun 2016 terdapat 932 laporan pengaduan masyarakat terkait Dana
Desa. Sebanyak 200 laporan diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara,
67 di antaranya diserahkan ke kepolisian di berbagai daerah. Sisanya permasalahan administrasi
dan dari jumlah tersebut cuma sebanyak 67 kasus yang mendapat vonis di meja hijau. Sedang
untuk tahun 2017 sudah ada 300 laporan dan sebanyak 60 laporan sudah diserahkan ke KPK.

Secara presentase angka tersebut bisa dikatakan kecil dibanding jumlah desa di Indonesia yang
mencapai 94.910, akan tetapi jumlah kerugian negara yang dirilis ICW sekitar Rp30 miliar tidak
bisa dianggap kecil untuk ukuran anggaran desa. Anggaran tersebut apabila tidak dikorupsi bisa
dialokasikan untuk pembangunan jalan pertanian sepanjang lebih dari 60 km.

Upaya antisipasi dan pencegahan pun dilakukan pemerintah khususnya Kemendesa PDTT
dengan menggandeng beberapa pihak mulai dari KPK, TNI, Polri hingga pembentukan Satgas
Dana Desa. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pengawasan pelaksanaan Dana Desa. Ini
terbukti cukup berhasil dengan presentase laporan terkait penyelewengan Dana Desa yang terus
menurun setiap tahunnya.

Keberhasilan Dana Desa

Meskipun banyak kekurangan dalam penyaluran Dana Desa, manfaat program ini cukup
dirasakan masyarakat. Keberhasilan program Dana Desa juga patut diapresiasi semua pihak.
Data dari Kemendesa PDTT Hingga 12 Maret 2017, berbagai infrastruktur dasar di pedesaan
telah terbangun dari Dana Desa, seperti 66.884 km jalan desa, 12.596 unit irigasi, 5.119 km
jembatan, dan 1.819 pasar desa.

Dari keberhasilan tersebut, pembangunan fisik memang seperti menjadi perhatian utama. Hal ini
patut dimaklumi karena infrastruktur desa memang belum maksimal untuk memperlancar
aktivitas masyarakat desa.
Berdasarkan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No 22
Tahun 2016 tentang penetapan prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2017, Prioritas
penggunaan Dana Desa terbagi pada dua bidang kegiatan. Bidang pembangunan desa dan bidang
pemberdayaan masyarakat desa.

Dana Desa yang dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat masih belum maksimal karena
mindset tentang pembangunan masih terkungkung dalam paradigma fisik. Paradigma
pembangunan sumber daya masyarakat desa, mentalitas, agak sulit karena beberapa aspek.

Masyarakat desa memiliki kearifan, cara pandang, sistem nilai, yang berbeda dengan masyarakat
kota. Sistem sosial yang komunal membuat masyarakat desa sesungguhnya berpotensi untuk
diajak melakukan kerja-kerja pemberdayaan.

Pendekatan humanistis dari pendamping Dana Desa mesti diletakkan dalam narasi utama untuk
kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Pendamping desa sebagai garda depan yang langsung
bersentuhan dengan masyarakat desa mempunyai peran penting dalam keberhasilan Dana Desa.

Namun demikian minimnya sumber daya manusia di desa, baik dari unsur pemerintah desa
maupun masyarakat desa secara umum, menjadi tantangan berat dalam proses pendampingan di
desa. Saat ini pendamping desa sebagian besar masih berkutat pada pendampingan administratif
pemerintah desa. Hal ini lebih dikarenakan kekurangsiapan SDM di desa dalam mengelola
keuangan desa yang jumlahnya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Pendampingan diperlukan
agar pemerintah desa mampu mengelola keuangan desa dengan asas transparan, akuntabel,
partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran.

Transparan berarti keterbukaan,. Segala kegiatan dan informasi terkait pengelolaan keuangan
desa dapat diketahui dan diawasi oleh pihak lain yang berwenang.

Akuntabel berarti setiap tindakan atau kinerja pemerintah/lembaga dapat dipertanggungjawabkan


kepada pihak-pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan akan
pertanggungjawaban.

Partisipatif berarti setiap tindakan dilakukan dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat -


baik secara langsung maupun tidak langsung- melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya.

Sedangkan tertib dan disiplin anggaran berarti anggaran harus dilaksanakan secara konsisten
dengan pencatatan atas penggunaannya sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan di desa.

Selain pendampingan terhadap pemerintah desa, pendampingan terhadap masyarakat juga terus
dilakukan sebagai upaya untuk membangun kesadaran kritis agar masyarakat desa juga ikut
terlibat dalam proses pembangunan desa -mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan.
Masyarakat juga bertindak sebagai pelaksana maupun pengawasan semua kegiatan
pembangunan di desa baik yang berupa fisik maupun non fisik.
Keberhasilan UU Desa tak hanya sebatas pembangunan infrastruktur di desa. Lebih dari itu,
pembangunan sumber daya manusia di desa juga sangat penting untuk menciptakan desa mandiri
baik secara ekonomi maupun sosial budaya.

Menyelaraskan aturan

Desa saat ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Sebelum ada UU Desa, desa
berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pasca UU Desa,
Kemendesa PDTT dibentuk.

Saat ini sedikitnya ada tiga kementerian yang mempunyai kewenangan mengatur desa.
Kemendesa PDTT, Kemendagri dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu hanya
mengatur mekanisme pengalokasian, penyaluran, pelaksanaan dan pengawasan Dana Desa yang
bersumber dari APBN.

Di satu sisi ini berarti baik, karena banyak kementerian yang memikirkan pembangunan desa.
Namun di sisi lain desa dihadapkan kepada berbagai macam aturan yang dikeluarkan
kementerian tersebut yang berkaitan dengan desa. Pada kenyataannya masih sering terdapat
aturan yang tumpang tindih antar kementerian yang membingungkan desa dalam
pelaksanaannya.

Kementerian-kementerian yang mempunyai kewenangan pada desa diharapkan untuk lebih


menyelaraskan aturan agar mudah dipahami oleh desa. Hal ini sebagai upaya untuk mempercepat
proses pembangunan di desa.

Di Jawa ada ungkapan desa mawa cara, negara mawa tata, desa memiliki cara (adat istiadat,
kebiasaan kearifan lokal lainnya), negara punya aturan yang berwujud undang-undang dan
produk turunannya. Peran pendamping desa menjadi penting untuk menjembatani "cara" yang
dimiliki desa agar tidak melanggar aturan yang dikeluarkan oleh negara. Ungkapan itu juga
berarti bahwa pembangunan desa yang didanai oleh negara melalui Dana Desa tidak bermaksud
untuk menghilangkan identitas ke-desa-annya

Kementerian Desa: Dalam 3 Tahun, Manfaat Dana Desa Mulai Terasa

http://kbr.id/nasional/07-
2017/kementerian_desa__dalam_3_tahun__manfaat_dana_desa_mulai_terasa/91053.html

"Pemerintah tetap pada komitmen memajukan desa di seluruh Indonesia. Salah satunya dengan
terus menambah anggaran untuk dana desa. Tahun 2018 kami akan naikkan lagi menjadi Rp120
triliun."

Senin, 10 Jul 2017 22:00 WIB


Ilustrasi. Pembangunan jalan desa menggunakan dana desa tahun 2016 di Desa Sucen,
Temanggung, Jawa Tengah. (Foto: temanggungsucen.desa.kemendesa.go.id/publik domain)

AUDIO

00:00 / 00:00

SHARE THIS

ARTIKEL TERKAIT

Kades Gelapkan Dana Desa Setengah Milyar, Bayar Honor RT RW dengan Uang Palsu


Akui Terima Suap, Bekas Auditor BPK Berdalih Tak Berani Tolak Perintah Atasan

2018, Akan Ada Desa Dapat Dana Rp.4 Miliar

Jalan Kaki Puluhan Kilometer untuk Awasi Dana Desa

KBR, Bondowoso - Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi


mengklaim kucuran dana desa sejak 2015 hingga kini sudah mulai terasa manfaatnya.

Staf Ahli Kementerian Desa Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan Ansar Husain
mengatakan sejak 2015 sudah ada lebih dari 89 ribu kilometer jalan yang dibangun ditambah 553
jembatan serta 3.000 unit pasar dan seribu lebih lebih MCK yang dibangun menggunakan dana
desa.

"Tak hanya sampai di situ. Pengembangan fasilitas kesehatan dan listrik juga sudah dibangun
menggunakan dana desa. Kami berharap, ditambahnya anggaran bisa terus membantu desa untuk
bangkit dan mandiri," kata Ansar Husan saat bertemu para kepala desa di Pendopo Kabupaten
Bondowoso, Jawa Timur, Senin (10/7/2017).

Ansar mengakui saat ini masalah yang dialami desa-desa di Indonesia masih berkutat pada
persoalan tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan infrastruktur.

Untuk itu, Kementerian Desa juga membentuk Satgas Dana Desa guna mengawal dan memantau
penggunaan dana desa agar dimanfaatkan secara tepat untuk kepentingan masyarakat desa.

Ansar juga menegaskan pemerintah akan menaikkan anggaran dana desa sebesar 100 persen
pada tahun depan.

Ansar Husain mengatakan setiap tahun pemerintah berupaya terus meningkatkan jumlah dana
desa. Pada 2015 dana desa hanya sebesar Rp20 triliyun, dan naik 100 persen pada 2016 menjadi
Rp46 triliun.

Pada 2017, anggaran dana desa naik menjadi Rp60 triliun dan akan dinaikkan 100 persen
menjadi Rp120 triliun pada tahun depan.

Ansar Husain mengatakan penaikan anggaran dana desa dimaksudkan agar desa bisa segera
mandiri dan mampu mempercepat proses pembangunan Indonesia secara keseluruhan.

"Pemerintah tetap pada komitmen memajukan desa di seluruh Indonesia. Salah satunya dengan
terus menambah anggaran untuk dana desa. Tahun 2018 mendatang kami rencananya akan naik
lagi menjadi Rp120 triliyun," kata Ansar Husan

MANFAAT DANA DESA(DD) BAGI MASYARAKAT DESA WAWOBENDE

Posted oleh SUARA PEMBAHARUAN INFORMASI NASIONAL

Konsel.SPIN Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri, sebagaimana diamanatkan Pasal


112 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa bertugas membina dan mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan desa. Berdasarkan penjelasan diatas,program pemerintah melalui
Dana Desa (DD) yang dikucurkan dan diberikan kepada Kabupaten/kota maupun desa-desa yang
salah satunya di Desa Wawobende,Kec. Sabulakoa, Kab. Konawe Selatan dimanfaatkan dan
dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Sebagaimana kita ketahui Dana Desa (DD)
salah satu fungsinya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal
sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi di desa tersebut.

Kepala Desa Wawobende Yahya Suryadi yang ditemui oleh awak Media Suara Pembaharuan
Informasi Nasional/SPIN diselah-selah kesibukkannya mengatakan bahwa khususnya di Desa
Wawobende,Kec.Sabulakoa.Kab.Konawe Selatan Dana Desa sangat memberikan manfaat serta
dampak yang sangat besar bagi masyarakat baik secara kualitas hidup maupun kesejahteraannya.
Seperti pembuatan fasilitas yang sifatnya prioritas(utama) antara lain Rumah tidak layak huni 10
unit dengan anggaran Rp.156.000.000,- kemudian Sumur gali 8 unit anggaran Rp.85.123.440,-
dan gedung Posyandu 1 unit anggaran Rp.139.100.728,- peningkatan Jalan Usaha Tani 1500
meter anggaran Rp.208.092.500,- Pembangkit Listrik Tenaga Surya anggaran Rp.36.000.000,-
pembangunan Deuker 2 unit anggaran Rp.37.477.000,- kemudian Operasional TPK 4% anggaran
Rp.17.523.599,- . Sehingga dengan terwujudnya semua pembangunan ini diharapkan Desa
Wawobende dapat hidup lebih baik dan saya ingin berterima kasih kepada Ketua TPK yaitu
Bapak Sunarto dan para anggota yakni Bapak Markus dan Yan Burara karena telah membantu
terlaksananya program ini. EDISON.S

You might also like