You are on page 1of 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada
wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang
menderita eklampsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering
pada primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan
eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia
intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum). Kebanyakan terjadi
antepartum. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan
mulai tidak lama kemudian.1
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia,
tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur, sebagai usaha untuk
mencegah timbulnya penyakit itu.1
Eklampsia lebih sering terjadi pada :2
1) Kehamilan kembar
2) Hydramnion
3) Mola hydatidosa

3.2 Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah
pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,
penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup dan penanganan pre-eklampsia yang
sempurna.1
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% -
0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaiatu 0,05% - 0,1%.1

3.3 Etiologi
Sebab eklampsia belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah
bahwa eklampsia disebabkan ischemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplacentae).
Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak.2
3.4 Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsi-eklampsi. Vasokonstriksi


menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya
vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi
kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain
itu Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi
plasenta. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak,
sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen,
sehingga dengan demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak
adalah hasil proses oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh.
Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase
terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan, maka akan timbul keadaan yang
disebut stess oksidatif.3
Pada Preeklampsi-eklampsi serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi
sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya
mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang
cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.
Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel
endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel
tersebut akan meng-akibatkan antara lain :3

 adesi dan agregasi trombosit,


 gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma
 terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dai rusaknya
trombosit
 produksi prostasiklin terhenti
 terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan
 terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lema

3.5 Gejala dan Tanda


Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan terjadinya
gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di
epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan
timbul kejangan; terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi eklampsia dibagi
dalam 4 tingkat, yaitu :2
1. Tingkat awal atau aura (Tingkat Invasi). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik.
Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya,
dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.2
2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik (Tingkat Kontraksi) yang berlangsung kurang
lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku,
tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka
mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.2
3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik (Tingkat Konvulsi) yang
berlangsung antara 1 – 2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan
berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini dapat
demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya,
kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.2
4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama secara
perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, Kalau pasien sadar kembali maka ia tidak
ingat sama sekali apa yang telah terjadi, lamanya coma dari beberapa menit sampai
berjam-jam, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan
yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.2
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40
derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti (1) lidah
tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta; dan (4)
perdarahan otak.2
Sebab kematian eklampsia ialah : oedeme paru-paru, apoplexia dan accidosis. Atau
pasien mati setelah beberapa hari karena pneumonia aspirasi, kerusakan hati dan gangguan
faal ginjal.
Kadang-kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah koma.
Eklampsia semacam ini disebut ”eclampsia sine eclampsi”, dan terjadi pada kerusakan hati
yang berat. Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada cyanosis.
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam. Juga
kalau anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit akan
berkurang. Proteinuri hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali kira-kira 2
minggu.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada satu
atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata
dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang
ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang
disebabkan edema intraokuler dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi
kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14
tahun, ditemukan 15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami
kebutaan yang dikemukakan oleh Cunningham (1995).4
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang
menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.4

Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan
merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik
ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus
terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak.
Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan
albumin yang dihasilkan oleh hati.4

Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,
termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat
aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh
fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan
Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia,
terdapat resistensi arteri hepatika.4
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar
penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat
menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk
hematom subkapsular.4

Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup
besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi
karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler
endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi
asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.4
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai
sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma
sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal
selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat,
keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari
nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang
dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).4
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi
garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia
berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di
tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan
filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal
mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi
garam dan juga retensi air.4
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun,
karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum
gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24
jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan
minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang
samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif.
Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada
36% kasus.4
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap
sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi yang menurun
hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat
dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham (2005)
melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat
yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme
intrarenal.4
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan
transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan
kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian
protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam
urin.4

Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal.
Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih
jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005).
Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari
150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual
pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.
Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).4
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya
HELLP syndromeyang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati
dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran
(sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan
abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran
tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.4

Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit


Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron meningkat. Pada
preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke kisaran normal pada ibu tidak
hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus
berkurang sehingga proses penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar
aldosteron dalam darah.4
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik atrium.
Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya curah jantung
dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif maupun preeklamptik. Hal
ini menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada
pasien preeklampsia.4
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui
penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum,
edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat
dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.4
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat mengeluarkan air
dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan filtrasi glomerulus
namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak mengalami perubahan.4

3.7 Diagnosis
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan
gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan, maka
diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan
dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-
muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejang karena obat anestesia; apabila obat
anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang; (3) koma karena sebab lain,
seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, uremia, keracunan.2

3.8 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut
di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.2
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% sulusio plasenta disertai pre-eklampsia.2
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen
secara berkala.2
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus
tersebut.2
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.2
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan
tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.2
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.2
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.2
8. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet count.2
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.2
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).2
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.2

3.9 Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar
antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%.
Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan
anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan
antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan
yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis
dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan
waktu kejangan.2
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas. Berlawanan
dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak menyebabkan hipertensi
menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang mengalami
eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tinggi
daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.2
Prognosa kurang baik untuk Ibu dan anak. Prognosa bagi multipaara lebih buruk,
dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh keadaan
waktu masuk Rumah Sakit.
Jika diuresis lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa
agak baik. Oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala-gejala lain memberatkan prognosa dikemukakan oleh Eden :
1) Coma yang lama
2) Nadi > 120 x/menit
3) Suhu > 39°C
4) TD > 200 mmHg
5) > 10 serangan
6) Proteinuti 10 gr sehari atau lebih
7) Tidak adanya oedem

3.10 Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :2
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara
apabila ditemukan;
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.2
3.11 Penatalaksanaan
Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang cepat dan
intensif dari pre-eklampsia.2
Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
mengizinkan.2
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan penderita
eklampsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit
diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejang; penderita
dalam hal ini dapat diberi diazepam 20 mg 1M. Selain itu, penderita harus disertai seorang
tenaga yang trampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah terjadinya trauma apabila
terjadi serangan kejang.2
Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejang mengurangi
vasospasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu diberikan
jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas (Bersihkan mulut yang
mungkin berisi bahan-bahan hasil regurgitasi dari lambung, intubasi endotrakeal),
menghindarkan tergigitnya lidah (tong spatel dililit dengan kain, penyumbat mulut, dompet),
pemberian oksigen, dan menjaga agara penderita tidak mengalami trauma (Kepala pasien
diganjal dengan sesuatu: handuk, sweater), Baringkan pasien pada sisi kiri (posisi
tredelenburg) untuk mengurangi risiko aspirasi. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejang
lagi yang selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat diberikan beberapa obat,
misalnya :2
1. Sodium pentothal sangat berguna untuk menghentikan kejang dengan segera bila
diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tidak kecil.
Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan pengawasan
yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan resusitasi. Dosis inisial
dapat diberikan sebanyak 0,2 - 0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan.2
2. Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan
neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini
menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan diuresis, dan
menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8 g dalam larutan
40% secara intramuskulus; selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks patella
masih positif, pernapasan 16 atau lebih per menit, diuresis harus melebihi 600 ml per hari;
selain intrarnuskulus, Magnesium sulfatdapat diberikan secara intravena; dosis inisial
yang diberikan adalah 4 g 40% Mg S04 dalam larutan 10 ml intravena secara pelahan-
lahan, diikuti 8 g IM dan selalu disediakan kalsium glukonas 1 g dalam 10 rnl sebagai
antidotum. Bahaya sulfas magnesicus ialah dapat melumpuhkan diafragma hingga pasien
berhenti bernafas, malahan kontraksi jantung berhenti. Maka untuk menjauhi bahaya
tersebut di atas sebelum menyuntikkan sulfas magnesicus harus diperiksa : refleks lutut
dan pernafasan tidak boleh < 16 x/menit. Sebagai antidotum selalu harus tersedia
gluconas calcicus 1 gr dalam 10 cc dan bantu dengan ventilator.2
3. Lyric cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, kiorpromazin 100 mg, dan prometazin
50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus intravena. jumlah
tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari itu, tensi dan nadi
diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila keadaan sudah stabil,
pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.2

Di sini ditekankan bahwa pemberian obat-obat tersebut disertai dengan pengawasan


yang teliti dan terus-menerus. Jumlah dan waktu pemberian obat disesuaikan dengan keadaan
penderita pada tiap-tiap jam demi keselamatannya dan sedapat-dapatnya juga demi
keselamatan janin dalam kandungan.2
Sebelum diberikan obat penenang yang cukup, maka penderita eklampsia harus
dihindarkan dari semua rangsang yang dapat menimbulkan kejang, seperti keributan, injeksi,
atau pemeriksaan dalam.2
Penderita dirawat dalam kamar isolasi yang tenang, tekanan darah, nadi, pernapasan
dicatat tiap 30 menit pada suatu kertas grafik; suhu dicatat tiap jam secara rektal. Bila
penderita belum melahirkan, dilakukan pemeriksaan obstetrik untuk mengetahui saat
permulaan atau kemajuan persalinan. Untuk melancarkan pengeluaran sekret dari jalan
pernapasan pada penderita dalam koma penderita dibaringkan dalam letak Trendelenburg dan
selanjutnya dibalikkan ke sisi kiri dan kanan tiap jam untuk menghindarkan dekubitus. Alat
penyedot disediakan untuk membersihkan jalan pernapasan, dan oksigen diberikan pada
sianosis. Dower catheter dipasang untuk mengetahui diuresis dan untuk menentukan protein
dalam air kencing secara kuantitatif. Balans cairan harus diperhatikan dengan cermat.
Pemberian cairan disesuaikan dengan jumlah diuresis dan air yans hilang melalui kulit dan
paru-paru; pada umumnya dalam 24 jam diberikan 2000 nil. Balans cairan dinilai dan
disesuaikan tiap 6 jam.2
Kalori yang adekuat diberikan untuk menghindarkan katabolisme jaringan dan asidosis.
Pada penderita koma atau kurang sadar pemberian kalori dilakukan dengan infus dekstran,
glukosa 10%, atau larutan asam amino, seperti Aminofusin. Cairan Yang terakhir ini, selain
mengandung kalori cukup, juga berisi asam amino yang diperlukan.2

Perawatan AktifI5
 Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang (ICU), terpasang infus Dx/RL dari IGD.
2) Total bed rest dalam posisi lateral decubitus.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
a) Magnesium sulfat (MgSO4)
Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit). Reflek
patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress nafas (-), Produksi urine > 100 cc
dalam 4 jam sebelumnya.
Cara Pemberian:
Loading dose secara intravenas: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit, intramuskuler: 4
gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda
impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD cukup im saja.
Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4
40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 6 jam pasca
persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.

b) Diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika
dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada pemberian, alih rawat R. ICU.
6) Diuretika Antepartum: manitol
Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (Krelease). Indikasi: Edema
paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka
7) Anti hipertensi
Indikasi: T > 180/110 Diturunkan secara bertahap.
Alternatif:
antepartum
Adrenolitik sentral:
- Dopamet 3X125-500 mg.
- Catapres drips/titrasi 0,30 mg/500 ml D5 per 6 jam : oral 3X0,1 mg/hari.
Post partum
ACE inhibitor: Captopril 2X 2,5-25 mg dan Ca Channel blocker: Nifedipin 3X5-10 mg.
8) Kardiotonika , Indikasi: gagal jantung
9) Lain-lain:
Antipiretika, jika suhu >38,5 °C
Antibiotika jika ada indikasi
Analgetika
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm)(7).

 Pengobatan obstetrik
1) Belum inpartu
a) Amniotomi & Oxytocin drip (OD), Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx. Medisinal.
b) Sectio Caesaria, Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase aktif.
2) Sudah inpartu
Kala I
Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC. Fase laten: Amniotomy saja, 6 jam
kemudian pembuatan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin).
Kala II
Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE. Untuk kehamilan < 37 minggu,
bila memungkinkan terminasi ditunda 2X24 jam untuk maturasi paru janin.

Perawatan konservatif
Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending
eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari:
 SM Therapy: Loading dose: IM saja. Maintenance dose: sama seperti di atas.
Magnesium sulfatdihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
 Terapi lain sama seperti di atas.
 Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.
 Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.
 Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan tanda-
tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.6

3.12 Tindakan Obstetrik


Setelah kejang dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka
direncanakan untuk mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara yang
aman. Apakah pengakhiran kehamilan dilakukan dengan seksio sesarea atau dengan induksi
persalinan per vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti keadaan serviks,
komplikasi obstetrik, paritas, adanya ahli anestesia, tidak terdapat koagulopati dan
sebagainya.2
Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilaksanakan cepat
tanpa banyak kesulitan. Pada eklampsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan
amniotomi dan infus pitosin, setelah penderita bebas dari serangan kejang selama 12 jam dan
keadaan serviks mengizinkan. Tetapi, apabila serviks masih lancip dan tertutup terutama pada
primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvik,
sebaiknya dilakukan seksio sesarea.2
Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan amniotomi untuk mempercepat
partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan ekstraksi vakum atau cunam.
Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eklampsia tergantung dari keadaan
umum penderita dan macam obat sedativa yang telah dipakai. Keputusan tentang hal ini
sebaiknya dilakukan oleh ahli anestesia. Anestesia lokal dapat dipakai bila sedasi sudah berat.
Anestesia spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya pada eklampsia; jadi
sebaiknya jangan dipergunakan.2
Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eklampsia tidak seberapa tahan terhadap
perdarahan postpartum atau trauma obstetrik; keduanya dapat menyebabkan syok, Maka dari
itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan selalu disediakan darah.
Ergomettin atau metergin boleh diberikan pada perdarahan postpartum yang disebabkan oleh
atonia uteri, tetapi jangan diberikan secara rutin tanpa indikasi.2
Setelah kelahiran, perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam Bila
tekanan darah turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam
postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24 - 48 jam
setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.2
Perawatan post partum : antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau
kejang terakhir, teruskan antihipertensi jika tekanan diastolik masih > 110 mmhg, pantau
urin.2
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terdapat oliguria (< 400 ml/24 jam), terdapat
sindrom HELLP, koma berlanjut > 24 jam sesudah kejang.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Mose C, Johanes. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi,Ed. 2, Gestosis hal


68 – 81, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. EGC. Jakarta: 2005
2. Wiknjosastro. H, Prof, dr, SpOG. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Cet. 8. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 2006. Hal 281 – 300
3. Rambulangin, John, Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia
Berat dan Eklampsia, Cermin Dunia Kedokteran; 2003.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_139_kebidanan_dan_penyakit_kandungan.
pdf)
4. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR. Sumatera
Utara. FK USU. 2009
5. Sudhaberatha, Ketut.Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia, UPF: Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Rumah Sakit Umum Tarakan
KalimantanTimur; 15 November 2010.
http://www.sidenreng.com/2016/06/penanganan-preeklampsia-berat-dan-
eklampsia/#more-37
6. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. 2006. Preeklmapsia
Berat dan Eklampsia Hal M-38. Ed.1, Cet. 11. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

You might also like