Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului
oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia pada umumnya timbul pada
wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia. Pada wanita yang
menderita eklampsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering
pada primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan
eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum (eklampsia
intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum). Kebanyakan terjadi
antepartum. Perlu dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan
mulai tidak lama kemudian.1
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia,
tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur, sebagai usaha untuk
mencegah timbulnya penyakit itu.1
Eklampsia lebih sering terjadi pada :2
1) Kehamilan kembar
2) Hydramnion
3) Mola hydatidosa
3.2 Frekuensi
Frekuensi eklampsia bervariasi antara satu negara dan yang lain. Frekuensi rendah
pada umumnya merupakan petunjuk tentang adanya pengawasan antenatal yang baik,
penyediaan tempat tidur antenatal yang cukup dan penanganan pre-eklampsia yang
sempurna.1
Di negara-negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3% -
0,7%, sedang di negara-negara maju angka tersebut lebih kecil, yaiatu 0,05% - 0,1%.1
3.3 Etiologi
Sebab eklampsia belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah
bahwa eklampsia disebabkan ischemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplacentae).
Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak.2
3.4 Patofisiologi
Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan
merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik
ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus
terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat banyak.
Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan
albumin yang dihasilkan oleh hati.4
Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,
termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat
aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh
fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan
Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia,
terdapat resistensi arteri hepatika.4
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar
penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat
menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan membentuk
hematom subkapsular.4
Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat cukup
besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus menurun. Lesi
karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler
endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi
asam urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.4
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai
sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma
sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal
selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat,
keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari
nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang
dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).4
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan retensi
garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa preeklampsia
berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di
tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan
filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal
mengakibatkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi
garam dan juga retensi air.4
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria. Namun,
karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah melahirkan sebelum
gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24
jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan
minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang
samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif.
Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada
36% kasus.4
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap
sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi yang menurun
hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada keadaan yang berat
dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam Cunningham (2005)
melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat
yang mengalami oligouria dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme
intrarenal.4
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin, globulin dan
transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh glomerulus dan
kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses glomerulopati. Sebagian
protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam
urin.4
Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang normal.
Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi eritrosit (lebih
jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999) dalam Cunningham (2005).
Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari
150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual
pada pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal.
Level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).4
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan terjadinya
HELLP syndromeyang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati
dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak jauh dengan waktu kelahiran
(sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi peningkatan tekanan darah. Kebanyakan
abnormalitas hematologik kembali ke normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran
tetapi trombositopenia bisa menetap selama seminggu.4
3.7 Diagnosis
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan
gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah diuraikan, maka
diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan
dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-
muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2) kejang karena obat anestesia; apabila obat
anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat timbul kejang; (3) koma karena sebab lain,
seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, uremia, keracunan.2
3.8 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut
di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.2
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo 15,5% sulusio plasenta disertai pre-eklampsia.2
2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen
secara berkala.2
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus
tersebut.2
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.2
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan
tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.2
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.2
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.2
8. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet count.2
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.2
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).2
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.2
3.9 Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar
antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%.
Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan
anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan
antenatal dan nata; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan
yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis
dengan edema paru-paru, payah-ginjal, dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan
waktu kejangan.2
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intrauterin dan prematuritas. Berlawanan
dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia tidak menyebabkan hipertensi
menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan bahwa pada penderita yang mengalami
eklampsia pada kehamilan pertama, frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tinggi
daripada mereka yang hamil tanpa eklampsia.2
Prognosa kurang baik untuk Ibu dan anak. Prognosa bagi multipaara lebih buruk,
dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau umur melebihi 35 tahun dan juga oleh keadaan
waktu masuk Rumah Sakit.
Jika diuresis lebih dari 800 cc dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa
agak baik. Oliguri dan anuri merupakan gejala yang buruk.
Gejala-gejala lain memberatkan prognosa dikemukakan oleh Eden :
1) Coma yang lama
2) Nadi > 120 x/menit
3) Suhu > 39°C
4) TD > 200 mmHg
5) > 10 serangan
6) Proteinuti 10 gr sehari atau lebih
7) Tidak adanya oedem
3.10 Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :2
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua
wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara
apabila ditemukan;
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.2
3.11 Penatalaksanaan
Terapi profilaksis ialah dengan pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang cepat dan
intensif dari pre-eklampsia.2
Tujuan utama pengobatan eklampsia ialah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
mengizinkan.2
Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan penderita
eklampsia, sehingga ia harus dirawat di rumah sakit. Pada pengangkutan ke rumah sakit
diperlukan obat penenang yang cukup untuk menghindarkan timbulnya kejang; penderita
dalam hal ini dapat diberi diazepam 20 mg 1M. Selain itu, penderita harus disertai seorang
tenaga yang trampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah terjadinya trauma apabila
terjadi serangan kejang.2
Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejang mengurangi
vasospasmus, dan meningkatkan diuresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu diberikan
jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas (Bersihkan mulut yang
mungkin berisi bahan-bahan hasil regurgitasi dari lambung, intubasi endotrakeal),
menghindarkan tergigitnya lidah (tong spatel dililit dengan kain, penyumbat mulut, dompet),
pemberian oksigen, dan menjaga agara penderita tidak mengalami trauma (Kepala pasien
diganjal dengan sesuatu: handuk, sweater), Baringkan pasien pada sisi kiri (posisi
tredelenburg) untuk mengurangi risiko aspirasi. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejang
lagi yang selanjutnya mempengaruhi gejala-gejala lain, dapat diberikan beberapa obat,
misalnya :2
1. Sodium pentothal sangat berguna untuk menghentikan kejang dengan segera bila
diberikan secara intravena. Akan tetapi, obat ini mengandung bahaya yang tidak kecil.
Mengingat hal ini, obat itu hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan pengawasan
yang sempurna dan tersedianya kemungkinan untuk intubasi dan resusitasi. Dosis inisial
dapat diberikan sebanyak 0,2 - 0,3 g dan disuntikkan perlahan-lahan.2
2. Sulfas magnesicus yang mengurangi kepekaan saraf pusat pada hubungan
neuromuskuler tanpa mempengaruhi bagian lain dari susunan saraf. Obat ini
menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, meningkatkan diuresis, dan
menambah aliran darah ke uterus. Dosis inisial yang diberikan ialah 8 g dalam larutan
40% secara intramuskulus; selanjutnya tiap 6 jam 4g, dengan syarat bahwa refleks patella
masih positif, pernapasan 16 atau lebih per menit, diuresis harus melebihi 600 ml per hari;
selain intrarnuskulus, Magnesium sulfatdapat diberikan secara intravena; dosis inisial
yang diberikan adalah 4 g 40% Mg S04 dalam larutan 10 ml intravena secara pelahan-
lahan, diikuti 8 g IM dan selalu disediakan kalsium glukonas 1 g dalam 10 rnl sebagai
antidotum. Bahaya sulfas magnesicus ialah dapat melumpuhkan diafragma hingga pasien
berhenti bernafas, malahan kontraksi jantung berhenti. Maka untuk menjauhi bahaya
tersebut di atas sebelum menyuntikkan sulfas magnesicus harus diperiksa : refleks lutut
dan pernafasan tidak boleh < 16 x/menit. Sebagai antidotum selalu harus tersedia
gluconas calcicus 1 gr dalam 10 cc dan bantu dengan ventilator.2
3. Lyric cocktail yang terdiri atas petidin 100 mg, kiorpromazin 100 mg, dan prometazin
50 mg dilarutkan dalam glukosa 5% 500 ml dan diberikan secara infus intravena. jumlah
tetesan disesuaikan dengan keadaan dan tensi penderita. Maka dari itu, tensi dan nadi
diukur tiap 5 menit dalam waktu setengah jam pertama dan bila keadaan sudah stabil,
pengukuran dapat dijarangkan menurut keadaan penderita.2
Perawatan AktifI5
Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang (ICU), terpasang infus Dx/RL dari IGD.
2) Total bed rest dalam posisi lateral decubitus.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
a) Magnesium sulfat (MgSO4)
Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit). Reflek
patella (+) kuat, Rr > 16 x/menit, tanda distress nafas (-), Produksi urine > 100 cc
dalam 4 jam sebelumnya.
Cara Pemberian:
Loading dose secara intravenas: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit, intramuskuler: 4
gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/ MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda
impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD cukup im saja.
Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4 gr/MgSO4
40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 6 jam pasca
persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.
b) Diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika
dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada pemberian, alih rawat R. ICU.
6) Diuretika Antepartum: manitol
Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (Krelease). Indikasi: Edema
paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka
7) Anti hipertensi
Indikasi: T > 180/110 Diturunkan secara bertahap.
Alternatif:
antepartum
Adrenolitik sentral:
- Dopamet 3X125-500 mg.
- Catapres drips/titrasi 0,30 mg/500 ml D5 per 6 jam : oral 3X0,1 mg/hari.
Post partum
ACE inhibitor: Captopril 2X 2,5-25 mg dan Ca Channel blocker: Nifedipin 3X5-10 mg.
8) Kardiotonika , Indikasi: gagal jantung
9) Lain-lain:
Antipiretika, jika suhu >38,5 °C
Antibiotika jika ada indikasi
Analgetika
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm)(7).
Pengobatan obstetrik
1) Belum inpartu
a) Amniotomi & Oxytocin drip (OD), Syarat: Bishop score >8, setelah 3 menit tx. Medisinal.
b) Sectio Caesaria, Syarat: kontraindikasi oxytocin drip 12 jam OD belum masuk fase aktif.
2) Sudah inpartu
Kala I
Fase aktif: 6 jam tidak masuk f. aktif dilakukan SC. Fase laten: Amniotomy saja, 6 jam
kemudian pembuatan belum lengkap lakukan SC (bila perlu drip oxytocin).
Kala II
Pada persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan VE. Untuk kehamilan < 37 minggu,
bila memungkinkan terminasi ditunda 2X24 jam untuk maturasi paru janin.
Perawatan konservatif
Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending
eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari:
SM Therapy: Loading dose: IM saja. Maintenance dose: sama seperti di atas.
Magnesium sulfatdihentikan bila sudah mencapai tanda Preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Terapi lain sama seperti di atas.
Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.
Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2 gr/IV dulu.
Penderita pulang bila: dalam 3 hari perawatan setelah penderita menunjukkan tanda-
tanda PER keadaan penderita tetap baik dan stabil.6