You are on page 1of 72

PEMBERIAN PERALATAN PERPANJANGAN HIDUP (LIFE SUSTANING DEVICE )

Salah satu aspek ketika yang penting dan controversial dalam pelayanan lansia adalah
penggunaan peralatan perpanjangan hidup (ventilator, resusitasi kardiopulmoner, dll).
Pada penderita dewasa muda hal ini seringkali tidak menjadi masala , karena - sering
diharapkan hidup penderita masih lama bila jiwanya masih bisa ditolong.

PERUMATAN PENDERITA TERMINAL DAN HOSPIS

Penderita yang secara medis didiagnosis dalam keadaan terminal tidak terbatas hanya pada
penderita lansia akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar merupakan penderita
berusia lanjut.
Oleh Karen itu perawatan hospis / perawatan bagi penderita terminal / menuju kematian
merupakan bagian yang penting dari pelayanan geriatric.
Bagi penderita yang masih sadar beberapa hal yang perlu diperhatikan :
- Apakah penderita perlu dikasih tahu.
- Kalau jelas semua tindakan medis tidak bisa dikerjakan apakah ada hal lain yang perlu
dilakukan atau apakah etis kalau dokter tetap memaksakan pemberian sitostatika /
tindakan lain.
Dari prinsip otonomi dijelaskan bahwa penderita harus diberitahu keadaan yang sebenarnya.
E.Kubler Ross meneliti aspek psikologis pada penderita yang diberitahu kematiannya dan
menyimpulkan perilaku psikologis penderita dan tindakan tim hospis yang bagaimana yang
diharapkan sesuai dengan perilaku psikologis penderita .

EUTANASIA
 Merupakan tindakan yang membantu seseorang agar dapat meninggal, baik secara pasif (
dengan menghentikan semua alat – alat perpanjangan hidup / obat-obatan pada saat masih
jelas ada kemungkinan hidup maupun secara aktif jelas-jelas tidak dibenarkan dalam
etika dan hukum di Indonesia.

1
Kode Etik Keperawatan

Kode Etik Keperawatan

Mukadimah
Berkat bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas pengabdian untuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa dan tanah air, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
menyadari bahwa perawat Indonesia yang berjiwa pancasila dan UUD 1945 merasa terpanggil
untuk menunaikan kewajiban dalam bidang keperawatan dengan penuh tanggung jawab,
berpedoman kepada dasar-dasar seperti tertera di bawah ini:

Perawat dan Klien

1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia,
keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit,
umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan social.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana
lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama
dari klien
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan
keperawatan
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.

Perawat dan Praktik

1. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui belajar terus
menerus
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran
professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi,
menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
4. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan selalu
menunjukkan perilaku professional

Perawat dan Masyarakat

1. Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai dan


mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan masyarakat.

2
Perawat dan Teman Sejawat

1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
2. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.

Perawat dan Profesi

1. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan
keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
2. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
3. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi
kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

27 Jun 2016 12:47:12

3
MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN PALIATIF

(Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan


Withdrawing or Withholding Life-Support Treatment)

BAB I
1. PENDAHULUAN
2. A. Latar Belakang
3. Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah
membawa dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara
lain : transplantasi organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi,
abortus provokatus (aborsi) dan euthanasia. Selain menyangkut bidang kedokteran
sendiri, perkembangan dan kemajuan tersebut justru harus lebih banyak berhadapan
dengan hak asasi manusia, etika dan hukum.(Achadiat, 2007).
4. Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan mutu individual,
maka peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus dilakukan, agar tidak tertinggal
dengan rotasi zaman. Begitu pula dalam bidang pelayanan keperawatan, peningkatan
pelayanan haruslah dilandasi dengan nilai-nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan
yang profesional harus dilandasi oleh nilai-nilai intelektual, komitmen moral terhadap
diri sendiri, tanggungjawab terhadap masyarakat, otonomi, serta pengendalian. Oleh
karena itu tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan kontribusi yang optimal
sesuai dengan pengetahuan, teknologi serta estetika perawatan pasien. (Mendri, 2009)
5. Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada
dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif
kronis, cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit genetika
dan penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping
kegiatan promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan
kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit
disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak
hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang
terbaik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis

4
tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada
stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun
juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif.
Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang
mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak
ada harapan untuk sembuh. Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat
dan juga tidak sebaliknya perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian
penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana
sering kali prioritas utama adalah kulitas hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit
pasien. Pasien cenderung untuk memilih hidup singkat namun bahagia daripada hidup
yang panjang tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas pasien yang berada dalam
stadium lanjut ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang realistis hanyalah
penghalang nyeri dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang efektif
dapat meningkatkan kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010) Masyarakat menganggap
perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera
meninggal. Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi
perawatan paliatif lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat
diatasidengan baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik
danterintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap
pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.Perawatan paliatif
merupakan pendekatan yang mengembangkan kualitas hidup pasien dan keluarganya dari
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam hidup, pada berbagai
kelainan bersifat kronis atau pada penyakit terminal. Perawatan paliatif berfokus pada
aspek yang multidimensi termasuk psikologis, social, spiritual, fisik, interpersonal dan
komponen perawatan. Menurut Tejawinata (2006), salah satu aspek penting dalam
perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan rasa syukur. Begitu
pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak
harusdilakukan dalam perawatan paliatif. Beliau juga menyatakan, pada penderita kanker

5
yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliatif pada dasarnya adalah upaya
untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yang berkualitas. Tidak ada
bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang calon ibu, yang sejak
awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh
kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahirandengan sehat dan selamat,
selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi dapat tumbuh menjadi
manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat perawatan paliatif adalah
konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari dan penderitaan bagi pasien
dan keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini tampaknya memiliki sedikit
hubungannya dengan perawatan akut disampaikandalam pengaturan seperti gawat darurat
Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meninggal di rumah di Amerika
Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati dirumah. Akibatnya, banyak
pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat. Mereka dapat melakukannya
ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan penyakit akut ditumpangkan pada
penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol gejala, terutama rasa sakit. Masalah
yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw adalah menyangkut “kehidupan dan
kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan minum, kadang-kadang dalam
keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus diberikan nutrisi
dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara umum seorang rata-
rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari tanpa makan. Seorang yang gemuk
malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena sel-sel lemak secara perlahan-perlahan akan
hancur dan memberikan daya-tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal
lebih cepat. Dalam waktu 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan
dan tenaganya.Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik,
kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dengan memberikan makan cairan melalui
sonde dan pemberian bantuan pernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU
kini dihadapkan pada dilema apakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai
diberikan atau tidak dan yang sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah
dididik untuk menolong jiwa pasien, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh
"merelakan pasien itu meninggal" (allowing the patient to die), mengingat satu dan lain
hal sudah tidak mungkin lagi untuk menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan

6
pasien itu akan diperpanjang dan kadang-kadang pasien sudah tidak tahan lagi
penderitaannya. Memang persoalannya bersifat kasuistis, sehingga suatu pedoman yang
pasti dan baku tak mungkin diberikan. Tergantung kepada hati- nurani sang dokter dan
kepercayaan dan agama yang dianutriya. Juga tergantung kepada hukum dari negara yang
berlaku. ( Guwandi, 2000). Dua pengacara, David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah
memberikan suatu contoh kasus dari Rhode Island yang menghebohkan. Kasusnya
sebagai berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serikat, di Rhode Island, telah
menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adalah seorang pasien Rhode
Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan vegetatif (persistent vegetative
state). Mengingat Gray tidak mempunyai harapan lagi untuk siuman kembali, maka
suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial dihentikan saja agar Gray direlakan
untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan mengatakan hal ini tidak bisa
mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanasia. Tindakan itu tidak
selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana atau perdata karena
menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pengadilan. Pengadilan
federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan hidrasi kepada Gray
dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya, pengadilan berpendapat
bahwa ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak pemberian bantuan kehidupan,
termasuk makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan hak ini adalah hak yang
paling utama di atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray telah merupakan suatu
preseden penting di Rhode Island, tetapi ini masih belum memecahkan persoalan dari
berbagai situasi yang dihadapi para dokter dalam memutuskan : apakah tidak memulai
atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan. ( Guwandi, 2000). Euthanasia dapat
menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit. Di satu pihak dokter harus
menghormati hak-hak pasien (termasuk hak untuk mati? ), namun dilain pihak faktor-
faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidk,
pada masa sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia atau
mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di merika Serikat setuju
dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperoleh kesempatan.
(Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat
yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif

7
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan
permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum
permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyataka nsehat oleh dokter.
Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang sama
pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian dan telaah dari sudut medis, etika
moral maupun hukum oleh masing-masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya
beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi
sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini disebut
sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia.
Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-semu. Salah satu
bentuk Pseudo-Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik
yang diketahui tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007)
Menghentikan atau tidak memulai memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or
Withholding Life-Support Treatment). Apabila hukum di Indonesia kelak mau
menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap
diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adalah, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati,
individual right; dalam keadaan khusus membunuh orang legal; dilihat dari Pancasila:
Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manfaat, Pengobatan paliatif mulai
berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Memberikan rasa aman kepada para
tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, walau kehidupan semu tunggu
mu’jizat; Sleepery Slope. (Sutarno, 2012)
6. Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu
langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan
pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter
dalam perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau
meneruskan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat
diharapkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien.
Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek

8
hidup pasien, melainkan untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar
kompetensinya. Dapat pula dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya
penganiayaan terhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan
diancam pidana ....... )
7. B. Permasalahan
8. Berdasar Pemaparan contoh kasus tersebut diatas dilema etik yang sering ditemukan
dalam praktek keperawatan paliatif dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema
menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau
lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tim perawatan paliatif kadang sulit karena
keputusan yang akan diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan.
Pada saat berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa
marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang harus
dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang baik dari tim
perawatan paliatif. ” Bagaimana Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif (Studi
Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan Withdrawing or Withholding Life-support
Treatment)”

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai"perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap
pengobatan kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah
psikologis, sangat penting.Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas terbaik
hidup bagi pasien dan keluarga mereka.
Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk
mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas
hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien

9
meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan
spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. (wikipedia.org)
Kualitas hidup pasien
Adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks
budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya.
Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey
Schipper(1999), adalah : gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan
keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah
keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri
sendiri dan fungsi dalam bekerja. (Tejawinata, 2006)

B. Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis, perawatan,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar perawatan
paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
Prinsip dasar perawatan paliatif : (Rasjidi, 2010)
1. Sikap peduli terhadap pasien
Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderitaan
pasien, bukan hanya masalah kesehatan.
Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik,
kepandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi
perawatan.
2. Menganggap pasien sebagai seorang individu
Setiap pasien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-gejala yang sama,
namun tidak ada satu pasienpun yang sama persis dengan pasien lainnya. Keunikan inilah
yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan paliatif untuk tiap individu.
3. Pertimbangan kebudayaan
Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi penderitaan
pasien. Perbedaan-perbedaan ini harus ciperhatikan dalam perencanaan perawatan.

10
4. Persetujuan
Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau
diakhiri. Mayoritas pasien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun dokter
cenderung untuk meremehkan hal ini. Pasien yang telah diberi informasi memadai clan
setuju dengan perawatan yang akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha
perawatan.
5. Memilih tempat dilakukannya perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien can keluarganya harus ikut serta dalam
diskusi ini. Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawatan di rumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga adalah hal yang
sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
7. Aspek klinis : perawatan yang sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit yang
diderita pasien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesuai, baik itu
lebih maupun kurang, hanya akan menambah penderitaan pasien. Pemberian perawatan
yang berlebihan berisiko untuk memberikan harapan palsu kepada pasien. Demikian jugs
perawatan yang dibawah standard akan mengakibatkan kondisi pasien memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawatan yang
diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun itu sia-sia
adalah tidak etis.
8. Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang profesi
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik clan integratif, sehingga
dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien serta koordinasi
yang baik dari masing-masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil Yang
maksimal kepada pasien dan keluarga.
9. Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan medis
yang konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang tidak
terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu baik pasien maupun keluarga.

11
10. Perawatan yang berkelanjutan
Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan dasar
tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kontinuitas perawatan.
11. Mencegah terjadinya kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadinya
kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyakit. Pasien
dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-masalah yang sering
terjadi, dan membentuk rencana untuk meminimalisasi stres fisik dan emosional.
12. Bantuan kepada sang perawat
Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan
emosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perhatian
khusus kepada mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga tergantung
dari sang pemberi perawatan itu sendiri.
13. Pemeriksaan ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien dengan
penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.

C. Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif


( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif.
Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya
dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun
pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed
consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan
informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan
pasien sendiriapabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya.
Waktu yangcukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi dengan
keluargaterdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka keluarga
terdekatnyamelakukannya atas nama pasien.

12
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau bolehatau
tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun(advanced
directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bolehatau tidak boleh
dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya
dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten.Pernyataan tersebut dibuat tertulis
dan akan dijadikan panduan utama bagi timperawatan paliatif. Pada keadaan darurat,
untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan
kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapatdiberikan pada kesempatan pertama.
2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif.
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat olehpasien
yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya
telah diinformasikan pada saat pasien memasukiatau memulai perawatan paliatif.Pasien
yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi
adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam bentuk
informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada
dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam
advanced directive tertulis. Namun demikian, dalamkeadaan tertentu dan atas
pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaantertulis oleh seluruh anggota
keluarga terdekat dapat dimintakan penetapanpengadilan untuk pengesahannya.
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai
dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal
dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas
hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
3. Perawatan pasien paliatif di ICU.
Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum
yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.Dalam menghadapi tahap terminal, Tim
perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan
penghentian peralatan life-supporting.

13
4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif.
Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan
Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.Pada dasarnya
tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenagamedis, tetapi dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medisyang terlatih. Komunikasi antara
pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

D. Medikolegal Euthanasia
1. Sejarah Eutanasia
Rasjidi, (2010) Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and
"thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada sumpah Hippokrates
yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan
menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun
telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak
tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak
diperbolehkan.
Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat
penenang.
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri & keluarganya.

14
2. Pseudo-Euthanasia
Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-
euthanasia ialah :
a. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak.
b. Pasien menolak perawtan atau bantuan medik terhadap dirinya.
c. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force
majure).
d. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya.
3. Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya

a. Eutanasia pasif : Menghentikan/mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu


untuk mempertahankan hidup manusia menyadari. Eutanasia ini dikategorikan sebagai
tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan pasien. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara
sengaja tidak memberikan bantuan medis untuk memperpanjang hidup pasien. Misalnya
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan
atau tidak memberikan obat-obat baik antibioti, vasopressor, vasoaktif, atau analgetik.
Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun keputusasaan
keluargan karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.

b. Eutanasia aktif Menurut Sutarno (2012) Eutanasia aktif tidak langsung : Tindakan
medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien pelaku menyadari.Eutanasia aktif langsung
(mercy killing) : Tindakan medis secara terarah yg akan mengakhiri hidup pasien, atau
memperpendek hidup pasien, pelaku menyadari.

4. Penerapan Hukum Positif Pada Kasus Eutanasia di Indonesia


Sutarno (2012) Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada
yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa
”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12

15
tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359
KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan etanasia.
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun. Belum ada Peraturan perudangan yang
khusus, dilihat dari sisi hukum: pembunuhan / pembiaran / kelalaian atau malpraktik medik ?
Yang berkaitan adalah : a) Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana
?; b) Asas legalitas, penghilangan nyawa; c) Kesalahan ( dolus, culpa); d) Delicta
Commissionis, Delicta Omissionis, Delicta Commissionis per Omissionem Commissa.

Berkaitan dengan Tindakan Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang


diketahui tidak ada gunanya. ( Withdrawing or Withholding Life-support Treatment)
bagaimanapun juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal yang erat kaitannya
dengan kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan paliatif. Sesuatu yang berada diluar
batas ilmu kedokteran sudah tidak merupakan wewenang dokter dalam tim perawatan untuk
menganinya karena bukan merupakan kompetensinya. Bilamana tim perawatan paliatif
bekerja diluar kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasien, maka dapat dikatakan telah
melakukan penganiayaan terhadap pasiennya. Yang terpenting kriteria medik harus selalu
digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna atau
tidak. Tentunya semua berdasarkan pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun
pengalaman yang dimiliki oleh dokter dan tim perawatan. (Achadiat, 2007)

E. Prinsip-Prinsip Etik
1. Autonomy (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus
dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi
merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat tim perawatan paliatif menghargai hak-hak klien
dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

16
9. 2. Non maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip
tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan bahwa kita
berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain.
Prinsip ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium non
nocere yang berarti bahwa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan. (Achadiat,
2007)

3. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa
pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif
untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan
adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk
pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya

4. Beneficienec (berbuat baik)


Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.

5. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
prkatek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi yang benar sesuai
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.

17
6. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang Pasien harus dijaga
privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan Pasien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh Pasien dengan bukti persetujuannya.
Diskusi tentang Pasien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau
keluarga tentang Pasien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang
terjaga adalah informasi yang diberikan oleh tim perawatan kepada Pasien dengan
kepercayaan dan keyakinan informasi tersebut tidak akan bocor. ( Perry & Potter, 1997 )
7. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas
merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai
dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Tim Perawatan seringkali
mengandalkan pertimbangan mereka denagn menggunakan (Teori Moral Mandle, 1994,
dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu Teori Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang
untuk mempertimbangkan kebenaran dan kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau
kewajiban tersebut. Teori Teleologis : umumnya mempertimbangkan konsekwensi suatu
tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu yang baik dengan melihat pada
situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran konsekwensi apa yang
akan dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.
Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan),
memerlukan adanya kesdaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan
mengutamakan kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga
diperlukan agar menghargai setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif
dalam usaha meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu
akan berfungsi dalam tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan
tertentu dengan mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab.
(Komalawati, 1989).

18
F. Tinjauan menurut Ajaran Agama (Rasjidi, 2010)

Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga
tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau
tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik
penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai
aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya.

1. Dalam Ajaran Islam


Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia.Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
(QS 22: 66; 2: 243).Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam AlQuran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasihsayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit,
baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran
Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang
membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga.

19
Eutanasia Positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian sisakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen(alat).Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia
positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan
yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.Perbuatan
demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia Negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi iahanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alamsemesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah yang
sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari
penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.
Dalamhal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
2. Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelasmungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem

20
penunjang hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya
sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi
untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi
eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II,yang
prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang
paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia
dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes
Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itutidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae,nomor 66)
3. Dalam Ajaran Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang
karma,moksa dan ahimsa.Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua
jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin
dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma"
yang buruk adalah menjadi penghalang"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus
reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah
merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri
adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa
perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi
oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu
kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,
maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana

21
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali kedunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal.
4. Dalam Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya
:Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa :
"penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankahperalatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut". Gereja
Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan
medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana
perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab
moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.Seorang
kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan
pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah
merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi,
pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri
kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa
depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani
dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.
Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan
tujuan pemberian tersebut.

22
5. Dalam Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran
agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada
"welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah
merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan
keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
6. Dalam Ajaran Gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan
doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan.
Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan
kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya
menentang anjuran eutanasia.
7. Dalam Ajaran Agama Yahudi
10. Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhanyang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan.
Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan
berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan. Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab
Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan
menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".
Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk
kepada larangan tindakan eutanasia.

23
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia
dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati
posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran,
tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya
secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan ya ng lain
berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan
dan ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan sebagainya.
Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan
dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

BAB III
SIMPULAN
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan
meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah
lain-fisik, psikososial, dan spiritual.Tampaknya terasa suatu kebutuhan yang sangat
mendesak akan suatu pedoman yang mengatur hak-hak pasien yang kompeten dan tidak
kompeten untuk menolak atau menghentikan pemberian bantuan kehidupan.
Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia
yang belum ada tanda-tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman
tersebut harus memuat garis-garis besar untuk melindungi hak-hak pasien untuk menentukan
apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan meninggal secara alami dan

24
memungkinkan para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota keluarga dan wali
menghadapi problema besar ini untuk berani membuat keputusan tanpa khawatir akan
tuntutan hukum. Namun tentunya kita tidak bisa meniru saja apa yang sudah dilakukan di
belahan dunia Barat, tetapi harus diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, budayadan
melalui kajian keagamaa kita sendiri yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tertentu.
Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup
milik pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui
pula adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia
diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia
ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan
masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis dan
moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat
nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral
telah banyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-nilai moral di
dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat penting dan
sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak
merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu
etika, moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan.
Kemajuan ilmu teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi
sejak dini dengan rumusan-rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan
euthanasia.

25
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
11. Achadiat. Chritiono M, 2007, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, ECG, Jakarta
12. Guwandi, 2000, Bioethics & Biolaw, Faultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
13. Komalawati. D. Veronica, 1989, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka
Harapan, Jakarta
14. Kozier, 2000, Fundamentals of Nursing : concept theory and practices. Philadelphia.
Addison Wesley.
15. Mendri. Ni Ketut, 2009, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawat
Dengan Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis Tidak
Dipublikasikan. Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
16. Perry & Potter, 1997, Fundamental Keperawaran, Buku Ajar Konsep, Proses dan
Praktik, ( Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk) Ed. 4, EGC, Jakarta.
17. Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV
Sagung Seto, Jakarta
18. Sutarno, Eutanasia Yang Tidak Disadari Di Rumah Sakit, disampaikan dalam Kongres
Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia di Yogyakarta 10 Juni 2012
19. Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap Manusia,
disampiakan pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober 2008, Surabaya.
(Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo periode 1992-
2006)
20. WHO. 2009. WHO Definition of Palliative Care. http://www.WHO.Int/ can cerlpallia
tiveldefinitionlenl. Diakses tanggal 4 Mei 2011.
21. Sutrisno, Eutanasia, http://medicineforthesoul.multiply.com/journal/item
22. Http\\www.wikipedia.org/w iki/Palliative_care
23. Http://www.hukumonline.com/klinik/.../pengaturan-euthanasia-di-indonesia
24. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Paparan Masalah

26
Perawat sebagai profesi yang turut serta mengusahakan
tercapainya kesejahteraan secara fisik, mental, spiritual untuk berpedoman pada sumber asalnya
yaitu kebutuhan pelayanan keperawatan masyarakat Indonesia. Warga keperawatan Indonesia
menyadari bahwa kebutuhan keperawatan bersifat universal bagi klien. Oleh karena itu
pelayanan yang diberikan oleh perawat selalu berdasarkan pada cita-cita yang luhur, niat yang
murni untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa,
suku, warna kulit, umur jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial (Dalami, Rochimah dan Suryani, 2010).

Sikap etis profesional yang kokoh dari perawat akan tercermin dalam setiap tingkah lakunya
termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul.
Kadang-kadang perawat dihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan untuk mengambil
tindakan. Perawat member asuhan keperawatan kepada klien, keluarga dan masyarakat, serta
menerima tanggung jawab untuk membuat keadaan lingkungan fisik, sosial dan spiritual yang
memungkinkan untuk penyembuhan dan menekankan pencegahan penyakit serta meningkatkan
kesehatan dengan penyuluhan kesehatan.

Contoh kasus mengenai pelayanan keperawatan terhadap pasien dilihat dari aspek etik dan
hukum yang terjadi adalah sebagai berikut:

Ners Sony bekerja di sebuah rumah sakit dan tinggal di daerah pedesaan. Saat di rumah dia
melakukan praktik dengan menerima pasien dari masyarakat sekitarnya. Semakin lama
pasiennya bertambah banyak. Saat praktik dia memberikan pengobatan sesuai dengan
pengalamannya saat bekerja di rumah sakit. Pada suatu hari datang Tn. Ahmad dengan keluhan
mual, muntah, pusing, dan hipertermi. Ners Sony kemudian memberikan injeksi dan obat kepada
pasien. Setelah 2 jam di rumah, Tn. Ahmad mengalami kejang dan tidak sadarkan diri. Keluarga
panik dan akan melaporkan Ners Sony ke polisi.

Dari kasus tersebut perlu dilakukan analisa dan klarifikasi lebih dalam terkait bagaimana seorang
perawat memberikan asuhan keperawatan kepada klien, cakupan tanggungjawab perawat dalam
melaksanakan tugas profesional yang berdaya guna dan berhasil guna. Selanjutnya akan dibahas
lebih lanjut dari aspek etik dan hukum dalam profesi keperawatan.

27
1. Pembahasan

Praktek keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang batasan legal yang ada dalam
praktik perawat. Pemahaman tentang implikasi hukum dapat mendukung pemikiran kritis
seorang perawat, sama dengan semua aspek keperawatan. Perawat perlu memahami hukum
untuk melindungi hak pasien dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak perlu takut hukum,
tetapi lebih melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat atau pasien
harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang profesional.

Prinsip legal dan etis meliputi prinsip otonomi, berbuat baik, keadilan, tidak merugikan,
kejujuran, menepati janji, kerahasiaan, akuntabilitas dan informed consent. Semua prinsip
tersebut harus ada pada seorang perawat yang profesional, sehingga dalam pelayanannya
melakukan asuhan keperawatan untuk pasien itu sesuai dengan standar dan pasien nantinya akan
merasakan hak-haknya dipenuhi dengan baik sebagai seorang pasien baik itu di Rumah Sakit
atau pelayanan kesehatan lain (Blais, Hayes, Kozier & Erb, 2007).

Setiap perawat akan melakukan tindakan keperawatan baik itu di Rumah Sakit maupun diluar
Rumah Sakit, harus menyampaikan informasi yang benar dan jujur kepada pasien, seperti efek
yang akan ditimbulkan ketika pasien mendapat tindakan keperawatan tertentu dan berapa lama
suatu obat bekerja. Pada kasus diatas, Ns. Sony melakukan tindakan keperawatan memberikan
obat. Pemberian obat merupakan salah satu tindakan medis yang dimiliki oleh dokter untuk
kategori jenis obat yang diberikan, namun untuk pelaksanaannya adalah perawat yang
melakukan pemberian obat tersebut, baik itu oral, perenteral, suppositoria dan yang lainnya.

Menurut Guy (2010), perawat harus menyampaikan informasi yang benar dan jujur kepada
pasien terkait dengan tindakan atau resiko yang akan dialami oleh pasien, tidak dianjurkan
seorang perawat atau tenaga medis lainnya menyampaikan informasi yang tidak benar bahkan
sampai menakut-nakuti pasien dan keluarga dengan harapan mereka mau atau tidak mau
dilakukan tindakan medis atau keperawatan, disesuaikan dengan situasi dan kasus yang ada.

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya,
termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya
menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati. Memahami
masalah etika, hukum, dan sosial untuk menyelesaikan masalah dalam praktek sangat penting
untuk melayani pasien, keluarga, dan masyarakat dengan aman serta perawatan kesehatan yang
efektif (Badzek, Laurie, Henaghan, Turner, Martha, & Rita, 2013).

Menurut Chattopadhyay, S. (2012), setiap dokter dan perawat harus peduli dan tahu betapa
pentingnya untuk menginformasikan pasien tentang diagnosis dan prognosis dari penyakit serta
pilihan pengobatan. Karena dengan pasien yang tahu kondisinya akan bisa dengan mudah diajak
untuk ikut peran serta dalam proses penyembuhan dan tindakan baik medis maupun paramedis
yang dijalaninya.

28
Secara legal etik, setiap tindakan yang dilakukan pada pasien harus diberikan informasi dan
dilakukan penandatanganan formulir yang disebut sebagai informed consent. Informed consent
adalah pengakuan atas hak autonomy pasien, yaitu hak untuk dapat menentukan sendiri apa yang
boleh dilakukan terhadap dirinya. karenanya tidak hanya informed consent yang kita kenal,
melainkan juga informed refusal. Doktrin informed consent mensyaratkan agar pembuat consent
telah memahami masalahnya terlebih dahulu (informed) sebelum membuat keputusan (consent
atau refusal) (Iserson, 2014).

Dengan demikian, informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa
yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dan aspek hukum bukanlah
suatu perjanjian antara dua pihak melainkan ke arah persetujuan sepihak atas tindakan yang
ditawarkan pihak lain. Dengan demikian cukup ditandatangani oleh pasien atau walinya.
Sebelum ners sony melakukan tindakan, pasien juga harus benar-benar mendapatkan informasi
yang benar serta tidak membahayakan pasien, dalam hal ini Tn. Ahmad. Hal tersebut sesuai
dengan nilai keadilan (justice) dan tdak membahayakan (beneficience). Apalagi tindakan yang
dilakukan ners Sony salah satunya yaitu pemberian obat. Nama obat dan kegunaan serta efek
sampingnya harus pasien ketahui dengan baik.

Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis
yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai
upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi (Badzek, Laurie, Henaghan, Turner, Martha & Monsen, 2013).

Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur
meliputi keterbukaan informasi yang cukup diberikan, dokter atau tenaga kesehatan lain yang
berkompeten dalam memberikan informasi tersebut dan persetujuan dari pasien dengan sukarela
(tanpa paksaan atau tekanan). Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia
tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan
pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.

Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut:

1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.


2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.

Persetujuan tersebut bisa dilakukan secara lisan ketika tindakan medis yang dilakukan kepada
pasien bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan tertulis
dilakukan ketika pasien akan dilakukan tindakan medis yang mempunyai resiko besar dan

29
sebelumnya pihak pasien dan keluarga harus memperoleh informasi yang cukup tentang tindakan
medis tersebut, sesuai dengan Permenkes RI No.290/Menkes/PER/III/2008 pasal 3 ayat 1.
Adapun persetujuan yang bersyarat, dilakukan pasien melalui syarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan memiliki akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup
kemungkinan perawat berbuat kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu
dalam menjalankan prakteknya secara hukum perawat harus memperhatikan baik aspek moral
atau etik keperawatan dan juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia (Sudrajat, 2009).

Profesi perawat juga telah memiliki aturan tentang kewenangan profesi, yang memiliki dua
aspek, yaitu kewenangan material dan kewenangan formil. Kewenagan material diperoleh sejak
seseorang memperoleh kompetensi dan kemudian ter-registrasi, yang disebut sebagai Surat ijin
perawat (SIP). Sedangkan kewenangan formil adalah ijin yang memberikan kewenangan kepada
perawat (penerimanya) untuk melakukan praktek profesi perawat, yaitu Surat Ijin Kerja (SIK)
bila bekerja didalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara
perorangan atau kelompok. (Permenkes 148, 2010).

Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam keperawatan


diantaranya yaitu kesalahan pemberian obat. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya jumlah obat
yang beredar metode pemberian yang bervariasi. Kelalaian yang sering terjadi, diantaranya
kegagalan membaca label obat, kesalahan menghitung dosis obat, obat diberikan kepada pasien
yang tidak tepat, kesalahan mempersiapkan konsentrasi, atau kesalahan rute pemberian.
Beberapa kesalahan tersebut akan menimbulkan akibat yang fatal, bahkan menimbulkan
kematian (Garmel, 2013).

Contoh kasus diatas sudah jelas, bahwa dalam hal ini Tn. Ahmad dan keluarga yang merasa
dirugikan dengan tindakan yang dilakukan oleh ners Sony dalam melakukan asuhan keperawatan
mandiri dirumah. Tidak hanya memberikan informasi secara baik dan benar terkait obat atau
tindakan lain misalnya sebelum diberikan kepada pasien, tetapi riwayat terkait alergi terhadap
suatu obat juga perlu ditanyakan, barangkali hal ini yang belum ners Sony lakukan kepada Tn.
Ahmad. Karena bisa jadi kejang yang dialami Tn. Ahmad merupakan efek samping setelah obat
diberikan dan ternyata pasien atau Tn. Ahmad alergi terhadap obat tersebut.

Riwayat kesehatan pasien atau Tn. Ahmad juga perlu dilakukan anamnesa, tidak menutup
kemungkinan jika Tn. Ahmad juga mempunyai penyakit yang akan kambuh pada kondisi-
kondisi tertentu dengan faktor penyebab yang kita atau pihak keluarga belum mengetahuinya
secara pasti. Bisa jadi kejang yang muncul tersebut merupakan efek dari kambuhnya penyakit
yang dialami Tn. Ahmad, bukan karena efek obat yang diberikan oleh ners Sony atau akibat dari
tindakan keperawatan yang sudah dilakukan.

Proses pengkajian yang dilakukan dengan baik, meliputi anamnesa baik itu langsung maupun
tidak langsung, akan membuat tindakan perawatan atau penanganan yang dilakukan terhadap
pasien akan lebih baik. Data pengkajian yang detail dan spesifik akan memberikan gambaran

30
lebih kepada perawat dalam hal ini yang akan memberikan asuhan keperawatan untuk lebih teliti
dalam mengambil keputusan, tindakan apakah yang sebaiknya diberikan kepada pasien dengan
memperteimbangkan banyak nilai, moral, keyakinan dan segi kesehatan itu sendiri. Pemahaman
tentang kebutuhan pasien juga akan menginisiasi perawat untuk memberikan proses keperawatan
(Lachman, 2012).

Sikap etis profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya,
termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon situasi yang muncul.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya
menjadi bagian yang sangat penting dan mendasar dalam memberikan asuhan
keperawatan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi pertimbangan dan dihormati. Memahami
masalah etika, hukum, dan sosial untuk menyelesaikan masalah dalam praktek sangat penting
untuk melayani pasien, keluarga, dan masyarakat dengan aman serta perawatan kesehatan yang
efektif (Badzek et al, 2013).

Hubungan perawat dengan pasien serta tenaga kesehatan lain dapat dilihat dari pelayanan
praktek keperawatan, baik dari kode etik dan standar praktek atau ilmu keperawatan. Pada
praktek keperawatan, perawat dituntut untuk dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin dan
hukum. Seorang perawat dapat memegang teguh prinsip atau nilai-nilai yang mendasari praktik
keperawatan itu sendiri, yaitu membantu pasien untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal,
membantu meningkatkan autonomi pasien dalam mengekspresikan kebutuhannya, perawat
mendukung martabat kemanusiaan dan berlaku sebagai advokat bagi pasien serta menjaga
kerahasiaan pasien.

Perawat pada dasarnya harus mempunyai kompetensi khusus dan pengetahuan terkait dengan
hukum legal dan etik keperawatan. Kompetensi khusus yang dimaksud disini yaitu perawat
melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional atau SPO yang
sudah ada di Rumah Sakit. Hal ini bersifat sebagai payung hukum ketika terjadi sesuatu atau hal-
hal yang tidak diinginkan (Nikolaos, 2014).

1. Kesimpulan dan Saran

Salah satu tantangan besar perawat dalam melakukan pelayanan adalah bagaimana
mengintegrasikan nilai-nilai dan keyakinan kita sendiri ke dalam praktek profesional dengan
tepat. Hubungan yang muncul antara pasien dan perawat dapat memberikan kesempatan luar
biasa untuk menunjukkan perasaaan saling menghargai, mengurangi ketakutan, serta
memberikan kekuatan dan dukungan psikologis pada pasien.

Perawat merupakan profesi yang selalu berhubungan dan berinteraksi langsung dengan pasien,
baik itu pasien sebagai individu, keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu perawat dalam
memberikan asuhan keperawatannya dituntut untuk memahami dan berperilaku sesuai dengan
etik keperawatan. Prinsipnya dalam melakukan praktek keperawatan, perawat harus
memperhatikan beberapa hal, yaitu melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan
kecermatan sesuai standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan
mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai tujuan praktek.

31
Dampak dari kelalaian secara umum dapat dilihat baik sebagai pelanggaran nilai dan moral serta
pelanggaran hukum, yang jelas mempunyai dampak bagi pelaku, penerima, dan organisasi
profesi dan administrasi. Sedangkan dari segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu
apakah perawat tersebut kompeten dan sudah memiliki Surat Ijin Perawat, atau lainnya sesuai
ketentuan perudang-undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompeten dan telah
sesuai melakukan praktek asuhan keperawatan, terlebih dalam praktik keperawatan yang
dilakukan adalah praktek mandiri dirumah. Keputusan ada atau tidaknya kelalaian/malpraktek
bukanlah penilaian atas hasil akhir pelayanan praktek keperawatan pada pasien, melainkan
penilaian atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis
dibandingkan dengan standar yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Badzek, Laurie, Henaghan, M., Turner, Martha, & Monsen, Rita. (2013). Ethical, legal, and
social issues in the translation of genomics into health care. Journal of Nursing Scholarship,
45(1), 15-24.

Blais, K., Hayes, J., Kozier, B., & Erb, G. (2007). Praktik Keperawatan Profesional: Konsep dan
Perspektif. Jakarta: EGC Kedokteran.

Chattopadhyay, S. (2012). Telling culturally construed truth in clinical practice. The Lancet,
379(9815), 520.

Dalami, E. , Rochimah, & Suryani, K. (2010). Etika Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Dermawan, D. (2013). Pengantar Keperawatan Profesional. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Garmel, GM. (2013). Conflict resolution in emergency medicine. In J. Adams (Ed.), Emergency
Medicine (2nd ed., pp. 1743-1748). Illinois: Elsevier.

Guy, H. (2010). Accountability and legal issues in tissue viability nursing. Nursing Standard,
25(7), 62-4, 66-7.

Iserson, KV., Heine, CE. (2014). Bioethics. In J. Marx (Ed.), Rosen’s Emergency Medicine (8
ed., pp. 33-46). California: Saunders.

Lachman, VD. (2012). Applying the ethics of care to your nursing practice. Medsurg Nursing,
12(2), 112-116.

Nikolaus, T. (2014). Ethical and Legal Aspects of Nursing Care: a Focus on the Greek
Legislation International Journal of Caring Sciences 7(1).

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010. Tentang Registrasi


Tenaga Kesehatan

32
Permenkes RI No.290/Menkes/PER/III/2008 pasal 3 ayat 1 tentang pemberian informasi atau
Informed Consent

Sudrajat, DA. (2009). Aspek hukum praktik keperawatan Jurnal Kesehatan Kart

Keperawatan dan Euthanasia


30 Mei 2017 14:33 Diperbarui: 30 Mei 2017 14:54 2117 0 0

Pelayanan kesehatan dalam dinamika modernisasi masyarakat di Indonesia yang di dalamnya


semakin meningkatkan kesadaran hukum masyarakatnya menjadikan tenaga professional di
segala bidang harus terus meningkatkan kualitas dalam pelayanan yang akan diberikan. Begitu
pula dengan tenaga professional pada pelayanan kesehatan. Baik itu tenaga medis, keperawatan,
kebidanan, farmasi dan semua tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam pemberi pelayanan
kesehatan baik itu di rumah sakit atau pelayan kesehatan tingkat desa. Semua sektor terkait di
tuntut untuk meningkatkan kualitas dalam pelayanannya (Marius Widjajarta, 2011).

Oleh karena itu tenaga kesehatan harus mempersiapkan diri secara optimal dan maksimal guna
tewujudnya pelayanan kesehatan yang berkualitas. Dimulai dari jenjang pendidikan hingga nanti
memasuki dunia pelayanan kesehatan yang sebenarnya. Sebagai perwujudan tenaga kesehatan
yang optimal agar serasi dan selaras dengan tujuan pembangunan kesehatan, maka diperlukan
keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap sektor yang terlibat dalam pembangunan kesehatan
itu sendiri (Ahmad Zaelani, 2008).

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (sebelumnya diatur dalam
UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan), dan lebih anjut PERMENKES Nomor
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis sebelum melakukan suatu
tindakan yang didahului oleh penjelasan-penjelasan yang menyangkut tindakan, resiko, yang
akan dilakukan pada pasien. Pasien maupun keluarganya akan mencari pertolongan kepada
petugas kesehatan (Marius Widjajarta, 2011).

Dalam menjalankan profesinya, sudah barang tentu kesehatan harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu, setiap profesi tenaga kesehatan juga
dilengkapi suatu kode etik profesi, yang harus dimengerti, difahami dan dilaksanakan di setiap
waktu. Dan sangat melekat dengan profesinya, adalah hak dan kewajiban tenaga kesehatan.
Berkenaan dengan era globalisasi, dan juga mengingat para tenagakesehatan utamanya para
perawat juga melakukan profesinya bersama-sama dengan tenaga kerja Indonesia di luar negeri,
hak dan kewajiban tenaga perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri, perlu disiapkan secara
maksimal dan profesionalismenya. Dalam memberikan pelayan kesehatan bagi klien baik
individu maupun sosial tentu tenaga kesehatan haus memperhatikan dari sisi kemanusiaan atau
hak asasi manusia dari klien. Terutama dalam bidang keperawatan yang fokus utamanya adalah
kenyamanan bagi klien dan klien adalah hal yang paling utama. Kepeawatan merupakan salah
satu lini terbesar dalam pelayanan kesehatan, yang 24 jam ada dengan pasien yang membedakan

33
tenaga keperawatan dengan tenaga kesehatan lainnya. Tentunya juga memiliki hak dan
kewajiban dalam pelayanannya.

Dalam Peraturan Menteri Kesehtan Nomor 148/2010, hak perawat terdapat pada Pasal 11. Dalam
melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak :

a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan sesuai standar

b. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan/atau keluarganya.

c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya

d. Menerima imbalan jasa profesi, dan

e. Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang bekaitan dengan tugasnya.

Kewajiban adalah sesuatu yang harus diperbuat atau harus dilakukan oleh seseorang atau suatu Badan
Hukum. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kewajiban adalah sesuatu yang wajib
dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Kewajiban dibagi atas dua macam, yaitu
kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain dan kewajiban tidak sempurna yang
tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna

mempunyai dasar keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna beradasarkan moral. Dalam Kamus
Hukum (Marwan dan Jimmy, 2009), kewajiban merupakan segala bentuk beban yang diberikan oleh
hukum kepada orang ataupun badan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Pasal
22 ayat (1), dinyatakan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam

melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk:

a. Menghormati hak pasien;

b. Menjaga kerahasiaan identitas dan tata kesehatan pribadi pasien;

c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan;

d. Meminta pesetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

e. Membuat dan memelihara rekam medis

Dalam Kepmenkes 1239/2001 berkaitan dengan praktik perawat, kewajiban perawat terdapat pada
Pasal 12 ayat (1). Dalam melaksanakan praktik, perawat wajib untuk :

a. Menghormati hak pasien.

b. Melakukan rujukan.

34
c. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/klien dan pelayanan yang dibutuhkan.

e. Meminta persetujuan tindakan keperawatan yang dilakukan.

f. Melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis.

g. Mematuhi standar

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini, konsepsi mengenai hak asasi manusia telah
dirinci secara detail. Pasal 28 A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dari pasal ini menunjukkan bahwa hak hidup merupakan
hak yang dilindungi oleh konstitusi. Sementara itu, dalam dunia medis, ada tindakan eutanasia yang juga
bertujuan untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya, baik atas permintaan dari
pasien atau intervensi aktif dari dokter. Eutanasia dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai hak untuk
mati yang berseberangan dengan hak untuk hidup sebagaimana ada dalam konsitusi. Hal ini
memunculkan polemik apakah eutanasia diperbolehkan dalam hukum positif di Indonesia. Lalu apakah
eutanasia merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dalam tindakan medis dimana hal ini
juga melibatkan tenaga perawat di dalamnya (Sutarno dan Bambang, 2012).

Hal ini tentunya memunculkan dilema etik bagi tenaga keperawatan dan tenaga medis tentunya, Dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi
dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan seanding. Dalam dilema etik tidak ada yang
benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus tergantung pada pemikiran yang
rasional dan bukan emosional. Dalam hak dan kewajiban yang seudah dijelaskan sebelumnya mengenai
kewajiban perawat pada poin menghormati hak pasien, pada satu sisi bertentanga dengan hak manusia
untuk hidup, namun di sisi lain hal ini bertujuan untuk membantu pasien itu sendiri (Thomson &
Thomson, 1985; CNA, 2002 dalam Saunders, K., & Chaloner, C., 2007).

Euthanasia adalah intervensi yang disengaja atau kelalaian dengan maksud untuk mempercepat atau
mengakhiri kehidupan individu untuk mengurangi rasa sakit atau menyelesaikan suatu penderitaan.
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti "kematian yang mudah" (Merriam-Webster
Online Dictionary, 2007)

Dilihat dari aspek bioetis, eutanasia terdiri atas eutanasia volunter, involunter, aktif dan pasif. Pada
kasus eutanasia volunter klien secara sukarela dan bebas memilih untuk meninggal dunia. Pada
eutanasia involunter, tindakan yang menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan
dari klien dan seringkali melanggar keinginan klien (Glover, 1977). Eutanasia aktif merupakan suatu
tindakan yang disengaja yan menyebabkan klien meninggal misalnya pemberian injeksi obat letal.
Eutanasia pasif dilakukan dengan menghentikan pengobatan atau perawatan suportif yang
mempertahankan hidup (misalnya antibiotika, nutrisi, cairan).

35
Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, memang akan berbeda pendapat
dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia atau suntik mati tersebut.
Hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap orang,
karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit
menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di
negara Inggris yang telah melegalkan euthanasia atau suntik mati pada prinsipnya bukan merupakan
kesepakatan bulat dikalangan pemerintahannya, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan
alasan terkait dengan hak asasi manusia.

Dilihat dari sudut pandang caring terkait empat prinsip etik – otonomi, non maleficence ( tidak
merugikan orang lain), beneficence (memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian) dan justice
(keadilan) menjadi topik bahan diskusi. Ada yang mendukung, akan tetapi ada juga yang menolak
tindakan eutanasia ini. Untuk yang menolak tindakan eutanasia ini menyatakan dengan tindakan
eutanasia akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap profesi. Dengan tindakan eutanasia seperti
menciptakan pandangan yang merubah peran perawat untuk merawat dan advokasi (Zimbelman, 1994;
Simpson & Kowalski, 1993; Mc Cabe, 2007). Fokus perawat dalam melakukan asuhan keperawatan
adalah mengobati pasien (merawat pasien) dan tidak termasuk eutanasia. Eutanasia merupakan
tindakan antietik untuk aktifitas keperawatan dan bukan merupakan bagian dari pandangan perawat
sebagai pengobat/healing (Ariyani, R.R. dan Flamboyan, E. 2004 ).

Low dan Pang (1999) juga menolak tindakan eutanasia. Mereka berpandangan eutanasia merupakan
hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar pengobatan dan keperawatan secara umum,
termasuk perawatan paliatif. Prinsip perawatan paliatif adalah ”melakukan hal yang baik” dan ”tidak
melukai”. Dengan eutanasia akan mengakhiri pertumbuhan kemanusiaan seseorang. (Slettebo, A., &
Bunch, E. H., 2004) berpendapat perawatan alternatif akan lebih baik dari eutanasia seperti memberi
perhatian lebih, mendukung pasien, dan menggunakan teknik yang lebih baik dalam mengontrol nyeri.
Perawatan pendukung dan eutanasia bukanlah dilema etik karena eutanasia bukan pandangan yang baik
dalam keperawatan.

Sedangkan yang mendukung tindakan eutanasia berpandangan eutanasia merupakan bagian dari
perawatan terminal, dan tidak bertentangan dalam perawatan yang. Karena eutanasia merupakan salah
satu tugas dalam memberikan perawatan. Dibutuhkan keterampilan dan kesabaran untuk menemani
seseorang yang akan meninggal dan memberikan perawatan yang maksimal, termasuk didalamnya
adalah eutanasia. Euthanansia bukanlah tanda dari kegagalan perawatan, karena eutanasia merupakan
bagian dari moral, walau alternatif pengobatan yang lain ada. Dan Kuhse (1997) berpendapat eutanasia
merupakan bentuk perawatan yang spesialis.

36
Ketika berbicara yang berkaitan dengan etik maka akan mendapatkan tempat yang khusus baik didalam
institusi maupun di dalam kehidupan sosial. Karena ketika membicarakan etik akan berhubungan
dengan pelaksanaan moral dan permasalahannya. Berkaitan dengan perawatan pada pasien yang
meminta euthanasia maka akan berhubungan dengan struktur unit perawatan, waktu perawatan,
konteks legal, peraturan etik internal euthanasia sehingga mempengaruhi tingkatan dan keterlibatan
perawat. Dengan kenyataan tersebut perawat menyadari pentingnya pendekatan etik didalam
melakukan asuhan keperawatan dan melakukan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada.

Permasalahan yang ada dalam tindakan euthanasia dipicu dari adanya batasan antara tim kesehatan
dalam pengambilan keputusan dan terputusnya komunikasi antara perawat dan dokter. Untuk
menyelesaikan masalah yang ada dilakukan melalui proses pengambilan keputusan dengan pendekatan
“caring” sehingga didapatkan pandangan yang jelas dari sudut pandang keperawatan terhadap
euthanasia. Pentingnya perawatan secara umum, dan perawatan paliatif sebagai bagian didalamnya
dimana euthanasia akan masuk didalam perawatan paliatif tersebut. Dan didalam perawatan perlu
diperhatikan kode etik sehingga didapatkan area yang jelas secara professional antara asuhan
keperawatan dan euthanasia itu sendiri

DAFTAR PUSTAKA

Ariyani, R. R. & Flamboyan, E. (2004). Jelang putusan euthanasia Ny Agian Isna Nauli. Diunduh pada
tanggal 25 Mei 2017 dari www.kompas.com

Bertens, K. (2002). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Glover, J. (1977). Causing death and saving lives. London: Penguin.

Goodman M. Is there a place for euthanasia in palliative care? Int J Palliat Nurs 1996; 2:163–67.

Kuhse, H., Singer, P., Baume, P., Clark, M., & Rickard, M. (1997). End of life decisions in Australian
medical practice. Med J Aust. 166: 191-96.

Merriam-Webster Online Dictionary (2007). Euthanasia. Diunduh pada tanggal 1 Desember 2013 dari
www.m-w.com/dictionary/euthanasia.

Redman, B. K., & Fry, S. T. (2000). Nurses’ ethical conflicts: What is really known about them? Nursing
Ethics, 7, 360-366.

37
BAB IPENDAHULUAN
A . L a t a r B e l a k a n g Etika dapat dianggap menjadi subjek teoritis yang
memiliki sedikitrelevansi yang berpengaruh terhadap perawatan pasien. Dimulai
dengangambaran bagaimana sebuah aspek yang relatif sederhana dalam perawatan pasien dapat
menantang kebolehan etis. Di sini menetapkan dua pendekatanfilosofis kunci konsekuensialisme
dan deontology yang telah mempengaruhinilai-nilai dan moral Barat berbasis masyarakat dan
budaya. rinsip-prinsipetika yang berhubungan dengan perawatan kesehatan . rinsip ini
bersamadengan alat lain yang digunakan dalam pengambilan keputusan etis
klinis!memungkinkan perawatan kesehatan yang profesional untuk menentukanapakah
tindakan klinis atau keputusan tentang perawatan etis dibenarkan. Akhirnya! isu-isu
terkini dalam perawatan paliatif dieksplorasi! denganfokus terutama pada subyek
perawatan luar biasa dan sia - sia di akhir kehidupan.B . " u m u s a n
# a s a l a h $.Bagaimana etika dalam isu perawatan paliatif % & . A p a p r i n s i p e t i k
k e s e h a t a n % '.Bagaimana cara pengambilan keputusan klinis perawatan paliatif% (.Apa
peran perawat dalam pengambilan keputusan etis% ) . * u j u a n $.+ntuk
mengetahui etika dalam isu perawatan paliatif &.+ntuk mengetahui prinsip etik
kesehatan '.+ntuk mengetahui pengambilan keputusan klinis perawatan paliatif (.+ntuk
mengetahui peran perawat dalam pengambilan keputusan etis
BAB IIPEMBAHASAN
A . E t i k a d a l a m i s u p e r a w a t a n p a l i a t i f ,ementara isu-isu ini mungkin
m i r i p d e n g a n ya n g d i a l a m i d a l a m spesialisasi kesehatan lainnya. ,ifat
perawatan paliatif berfokus pada perdebatan tentang masalah etika pada kematian.
eadaan pada akhir hidup

PENDAHULUAN
Etika dapat dianggap menjadi subjek teoritis yang memiliki sedikit relevansi yangberpengaruh
terhadap perawatan pasien. Dimulai dengan gambaran bagaimana sebuah aspek yang relatif
sederhana dalam perawatan pasien dapat menantang kebolehan etis. Di sinimenetapkan dua
pendekatan filosofis kunci - konsekuensialisme dan deontology yang telahmempengaruhi nilai-
nilai dan moral Barat berbasis masyarakat dan budaya. Prinsip-prinsipetika yang berhubungan
dengan perawatan kesehatan . Prinsip ini bersama dengan alat lainyang digunakan dalam
pengambilan keputusan etis klinis, memungkinkan perawatankesehatan yang profesional untuk
menentukan apakah tindakan klinis atau keputusan tentangperawatan etis dibenarkan. Akhirnya,
isu-isu terkini dalam perawatan paliatif dieksplorasi,dengan fokus terutama pada subyek
perawatan luar biasa dan sia - sia di akhir kehidupan.
II.

GAMBAR MORAL
Penyed iaan layanan kesehatan ini menjadi semakin rumit,dengan harapan masyarakatyang lebih
tahu tentang informasi tentang pilihan pengobatan saat ini dan memiliki tuntutandan harapan
yang tinggi tentang perawatan kesehatan yang diberikan. Fokus perawatanpaliatif, menuju multi-
profesional penyediaan pelayanan holistik. Ini menempatkanpenekanan pada preferensi individu
dalam menentukan kualitas hidup. Masalah-masalahsubjektif yang muncul harus
dipertimbangkan secara individual, dan harus diakui sebagainilai-nilai yang inti dari perawatan
individual. Dalam upaya memberikan perawatan yangtepat, profesional dalam perawatan

38
kesehatan mungkin menemukan konflik antara penilaianmereka tentang kebutuhan pasien dan
keluarga mereka.
III.

ETIKA DALAM ISU PERAWATAN PALIATIF


Sementara isu-isu ini mungkin mirip dengan yang dialami dalam spesialisasikesehatan lainnya.
Sifat perawatan paliatif berfokus pada perdebatan tentang masalah etikapada kematian.Keadaan
pada akhir hidup dapat mengakibatkan dilema etika yang lebih rumitoleh isu-isu tentang
kompetensi orang yang akan meninggal, hak mereka untuk menolak ataumenerima perawatan
dalam mempertahankan integritas pribadi mereka atas kematian merekasendiri. Dilema etika
mungkin timbul dari perbedaan nilai-nilai, ditempatkan pada nilaikehidupan dan wali mereka.
Setiap orang memiliki hak untuk mengakses setiap kemungkinanpengobatan, berapapun harga
dalam hal keuangan, waktu dan sumber daya yang tersedia.Dalam membawa kenyamanan dan
harapan bagi pasien dan keluarga mereka yang

ETIK, DILEMA ETIK DAN CONTOH KASUS DILEMA ETIK

“ ETIK, DILEMA ETIK DAN CONTOH KASUS DILEMA ETIK “

DISUSUN OLEH :
Ns. DODY SETYAWAN, S.Kep.,CWCCA

A DEFINISI ETIK
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik
secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,
1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David
(1978) berarti ” kebiasaaan ”. ”model prilaku” atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu
untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai motif atau
dorongan yang mempengaruhi prilaku. (Mimin. 2002).
Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana
sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta kewajiban dan
tanggung jawab
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan

39
untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa etika mengandung 3
pengertian pokok yaitu : nilai-nilai atau norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, kumpulan azas atau nilai moral, misalnya kode
etik dan ilmu tentang yang baik atau yang buruk (Ismaini, 2001)

B TIPE-TIPE ETIKA
1. Bioetik
Bioetika merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik, menyangkut
masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika difokuskan pada pertanyaan etik yang
muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan
theology. Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etika pada moralitas
treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada manusia. Pada lingkup
yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin membantu atau
bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi
semua tindakan yang berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain
: peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan.
2. Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama
pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam
tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik. Etika keperawatan
dapat diartikan sebagai filsafat yang mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasari
pelaksanaan praktek keperawatan. Inti falsafah keperawatan adalah hak dan martabat manusia,
sedangkan fokus etika keperawatan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse, 2009)

40
C TEORI ETIK
Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan,
sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Beberapa
teori etik adalah sebagai berikut :
1. Utilitarisme
Sesuai dengan namanya Utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis
yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat,
tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang banyak memberikan kebahagiaan kepada
banyak orang. Teori ini sebelum melakukan perbuatan harus sudah memikirkan konsekuensinya
terlebih dahulu.
2. Deontologi
Deontology berasal dari kata deon dari bahasa yunani yang artinya kewajiban. Teori ini
menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas
pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan. Teori ini
tidak terpatok pada konsekuensi perbuatan dengan kata lain teori ini melaksanakan terlebih
dahulu tanpa memikirkan akibatnya. (Aprilins, 2010)

D PRINSIP-PRINSIP ETIK
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan
membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai
oleh orang lain. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak
klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi

41
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan
bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif
untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya kepada pasien.
7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasinya.
Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam
rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali
jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. (Geoffry hunt. 1994)

E DEFINISI DAN KODE ETIK KEPERAWATAN


Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku
dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan keperawatan
yang bersifat professional. Perilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari pasien, perawat dan
interaksi sosial dalam lingkungan. Tujuan dari etika keperawatan adalah :

42
1. Mengidentifikasi, mengorganisasikan, memeriksa dan membenarkan tindakan-tindakan
kemanusiaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tertentu
2. Menegaskan tentang kewajiban-kewajiban yang diemban oleh perawat dan mencari informasi
mengenai dampak-dampak dari keputusan perawat.

Sedangkan Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi
yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik
yang berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim
kesehatan lain. Pada dasarnya, tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat, dalam
menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia.
Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien atau pasien, teman
sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan maupun
dengan profesi lain di luar profesi keperawatan.
2. Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang silakukan oleh praktisi
keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya.
3. Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya diperlakukan
secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
4. Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan kepoerawatan agar dapat
menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan.
5. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai / pengguna tenaga
keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam melaksanakan tugas praktek
keperawatan. ( PPNI, 2000 )

F DILEMA ETIK
Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku
yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu diperlukan pengambilan
keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Enam pendekatan dapat dilakukan orang
yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta

43
3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma
4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema
5. Menentukan konsekwensi yang mungkin dari setiap alternative
6. Menetapkan tindakan yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau menghindari
rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2) jika legal maka
disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan konsekwensinya.
Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan
stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak
lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut
Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak
ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak
memuaskan sebanding. Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan
pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah,
antara lain:
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
2) Apa tindakan yang diusulkan
3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
4) Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

44
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum untuk
perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi
tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
5. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan, komponen
etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

45
BAB III
KASUS DILEMA ETIK

Suatu hari ada seorang bapak-bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit
di kota Surakarta dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu bapak-
bapak tersebut (Tn. A) menderita sariawan sudah 3 bulan tidak sembuh-sembuh, dan berat
badannya turun secara berangsur-angsur. Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan terakhir ini
badannya kurus dan telah turun 10 Kg dari berat badan semula. Tn. A ini merupakan seorang
sopir truk yang sering pergi keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan jarang pulang, kadang-
kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.
Tn. A masuk UGD kemudian dari dokter untuk diopname di ruang penyakit dalam karena
kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Tn. A
melakukan visit kepada Tn. A, dan memberikan advice kepada perawatnya untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin tahu sekali
tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu penyakitnya setelah
didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil pemeriksaan telah diterima
oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa Tn. A positif
terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga Tn. A untuk
menghadap dokter yang menangani Tn. A. Bersama dokter dan seijin dokter tersebut, perawat
menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya. Keluarga terlihat kaget dan bingung.
Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat untuk tidak memberitahukan penyakitnya ini
kepada Tn. A. Keluarga takut Tn. A akan frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan
dikucilkan dari masyarakat.
Perawat tersebut mengalami dilema etik dimana satu sisi dia harus memenuhi permintaan
keluarga namun di sisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh
Tn. A karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.

46
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Kasus diatas menjadi suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik itu didefinisikan
sebagai suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu tindakan tetapi
tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap alternatif tindakan
memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar
atau salah dan dapat menimbulkan kebingungan pada tim medis yang dalam konteks kasus ini
khususnya pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya. Menurut Thompson & Thompson (1981) dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang
memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang
perawat harus bisa berpikir rasional dan bukan emosional.
Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan
etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain itu
dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien
salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi tentang
kondisi dan penyakitnya. Hal ini sesuai dengan salah satu hak pasien dalam pelayanan kesehatan
menurut American Hospital Assosiation dalam Bill of Rights. Memberikan informasi kepada
pasien merupakan suatu bentuk interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan. Sifat hubungan ini
penting karena merupakan faktor utama dalam menentukan hasil pelayanan kesehatan.
Keputusan keluarga pasien yang berlawanan dengan keinginan pasien tersebut maka perawat
harus memikirkan alternatif-alternatif atau solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan
berbagai konsekuensi dari masing-masing alternatif tindakan.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar mampu memahami
tanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar manusia dan bertanggung
jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut tidak hanya berfokus pada pemenuhan
kebutuhan fisiknya atau psikologisnya saja, tetapi semua aspek menjadi tanggung jawab perawat.
Etika perawat melandasi perawat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Dalam pandangan
etika keperawatan, perawat memilki tanggung jawab (responsibility) terhadap tugas-tugasnya.
Penyelesaian kasus dilema etik seperti ini diperlukan strategi untuk mengatasinya karena
tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat antar tim medis yang terlibat

47
termasuk dengan pihak keluarga pasien. Jika perbedaan pendapat ini terus berlanjut maka akan
timbul masalah komunikasi dan kerjasama antar tim medis menjadi tidak optimal. Hal ini jelas
akan membawa dampak ketidaknyamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan keperawatan.
Berbagai model pendekatan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dilema etik ini antara
lain model dari Megan, Kozier dan Erb, model Murphy dan Murphy, model Levine-ariff dan
Gron, model Curtin, model Purtilo dan Cassel, dan model Thompson dan thompson.
Berdasarkan pendekatan model Megan, maka kasus dilema etik perawat yang merawat
Tn. A ini dapat dibentuk kerangka penyelesaian sebagai berikut :
1. Mengkaji situasi
Dalam hal ini perawat harus bisa melihat situasi, mengidentifikasi masalah/situasi dan
menganalisa situasi. Dari kasus diatas dapat ditemukan permasalahan atau situasi sebagai berikut

 Tn. A menggunakan haknya sebagai pasien untuk mengetahui penyakit yang


dideritanya sekarang sehingga Tn. A meminta perawat tersebut memberikan informasi
tentang hasil pemeriksaan kepadanya.
 Rasa kasih sayang keluarga Tn. A terhadap Tn. A membuat keluarganya berniat
menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut dan meminta perawat
untuk tidak menginformasikannya kepada Tn. A dengan pertimbangan keluarga takut
jika Tn. A akan frustasi tidak bisa menerima kondisinya sekarang
 c. Perawat merasa bingung dan dilema dihadapkan pada dua pilihan dimana dia harus
memenuhi permintaan keluarga, tapi disisi lain dia juga harus memenuhi haknya
pasien untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan atau kondisinya.

2. Mendiagnosa Masalah Etik Moral


Berdasarkan kasus dan analisa situasi diatas maka bisa menimbulkan permasalahan etik moral
jika perawat tersebut tidak memberikan informasi kepada Tn. A terkait dengan penyakitnya
karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasien termasuk
penyakitnya.

48
3. Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh perawat bersama tim medis
yang lain dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun alternatif rencana yang
bisa dilakukan antara lain :
a. Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa memberikan informasi hasil
pemeriksaan/penyakit Tn. A kepada Tn. A saat itu juga, tetapi memilih waktu yang tepat ketika
kondisi pasien dan situasinya mendukung.

Hal ini bertujuan supaya Tn. A tidak panic yang berlebihan ketika mendapatkan
informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan-pendekatan oleh perawat.
Selain itu untuk alternatif rencana ini diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang
kuat dari keluarga. Keluarga harus tetap menemani Tn. A tanpa ada sedikitpun perilaku dari
keluarga yang menunjukkan denial ataupun perilaku menghindar dari Tn. A. Dengan demikian
diharapkan secara perlahan, Tn. A akan merasa nyaman dengan support yang ada sehingga
perawat dan tim medis akan menginformasikan kondisi yang sebenarnya.
Ketika jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu Tn. A tentang kondisinya
dan ternyata Tn. A menanyakan kondisinya ulang, maka perawat tersebut bisa menjelaskan
bahwa hasil pemeriksaannya masih dalam proses tim medis.
Alternatif ini tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera memberikan informasi
yang dibutuhkan Tn. A dan tidak jujur saat itu walaupun pada akhirnya perawat tersebut akan
menginformasikan yang sebenarnya jika situasinya sudah tepat. Ketidakjujuran merupakan suatu
bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.

b. Perawat akan melakukan tanggung jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien
terutama hak Tn. A untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil pemeriksaan sudah ada
dan sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan langsung menginformasikan
kondisi Tn. A tersebut atas seijin dokter.

Alternatif ini bertujuan supaya Tn. A merasa dihargai dan dihormati haknya sebagai
pasien serta perawat tetap tidak melanggar etika keperawatan. Hal ini juga dapat berdampak pada

49
psikologisnya dan proses penyembuhannya. Misalnya ketika Tn. A secara lambat laun
mengetahui penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota keluarga yang membocorkan informasi,
maka Tn. A akan beranggapan bahwa tim medis terutama perawat dan keluarganya sendiri
berbohong kepadanya. Dia bisa beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau berpikiran bahwa
perawat dan keluarganya merahasiakannya karena ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
merupakan “aib” yang dapat mempermalukan keluarga dan Rumah Sakit. Kondisi seperti inilah
yang mengguncangkan psikis Tn. A nantinya yang akhirnya bisa memperburuk keadaan Tn. A.
Sehingga pemberian informasi secara langsung dan jujur kepada Tn. A perlu dilakukan untuk
menghindari hal tersebut.
Kendala-kendala yang mungkin timbul :
1) Keluarga tetap tidak setuju untuk memberikan informasi tersebut kepada Tn. A
Sebenarnya maksud dari keluarga tersebut adalah benar karena tidak ingin Tn. A frustasi
dengan kondisinya. Tetapi seperti yang diceritakan diatas bahwa ketika Tn. A tahu dengan
sendirinya justru akan mengguncang psikisnya dengan anggapan-anggapan yang bersifat
emosional dari Tn. A tersebut sehingga bisa memperburuk kondisinya. Perawat tersebut harus
mendekati keluarga Tn. A dan menjelaskan tentang dampak-dampaknya jika tidak
menginformasikan hal tersebut. Jika keluarga tersebut tetap tidak mengijinkan, maka perawat
dan tim medis lain bisa menegaskan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab atas dampak
yang terjadi nantinya. Selain itu sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001 yang mengatakan bahwa
perawat berhak menolak pihak lain yang memberikan permintaan yang bertentangan dengan
kode etik dan profesi keperawatan.
2) Keluarga telah mengijinkan tetapi Tn. A denial dengan informasi yang diberikan perawat.
Denial atau penolakan adalah sesuatu yang wajar ketika seseorang sedang mendapatkan
permasalahan yang membuat dia tidak nyaman. Perawat harus tetap melakukan pendekatan-
pendekatan secara psikis untuk memotivasi Tn. A. Perawat juga meminta keluarga untuk tetap
memberikan support sistemnya dan tidak menunjukkan perilaku mengucilkan Tn. A tersebut.
Hal ini perlu proses adaptasi sehingga lama kelamaan Tn. A diharapkan dapat menerima
kondisinya dan mempunyai semangat untuk sembuh.

50
4. Melaksanakan Rencana
Alternatif-alternatif rencana tersebut harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan tim medis
yang terlibat supaya tidak melanggar kode etik keperawatan. Sehingga bisa diputuskan mana
alternatif yang akan diambil. Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan dilema etik harus
berdasar pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu ( John Stone, 1989 ), yang
meliputi :
a. Autonomy / Otonomi
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dan
keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka perawat
harus mengutamakan hak Tn. A tersebut untuk mendapatkan informasi tentang kondisinya.
b. Benefesience / Kemurahan Hati
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan yang baik dan
tidak merugikan Tn. A. Sehingga perawat bisa memilih diantara 2 alternatif diatas mana yang
paling baik dan tepat untuk Tn. A dan sangat tidak merugikan Tn. A
c. Justice / Keadilan
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil berarti Tn. A
mendapatkan haknya sebagaimana pasien yang lain juga mendapatkan hak tersebut yaitu
memperoleh informasi tentang penyakitnya secara jelas sesuai dengan konteksnya/kondisinya.
d. Nonmaleficience / Tidak merugikan
Keputusan yang dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian pada Tn.
A baik secara fisik ataupun psikis yang kronis nantinya.
e. Veracity / Kejujuran
Perawat harus bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi Tn. A tentang
penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab perawat untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan Tn. A secara benar dan jujur sehingga Tn. A akan
merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
f. Fedelity / Menepati Janji
Perawat harus menepati janji yang sudah disepakati dengan Tn. A sebelum dilakukan
pemeriksaan yang mengatakan bahwa perawat bersdia akan menginformasikan hasil
pemeriksaan kepada Tn. A jika hasil pemeriksaannya sudah selesai. Janji tersebut harus tetap

51
dipenuhi walaupun hasilnya pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena ini
mempengaruhi tingkat kepercayaan Tn. A terhadap perawat tersebut nantinya.
g. Confidentiality / Kerahasiaan
Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu menghargai
apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan segala sesuatu yang telah
dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.

Berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa diambil


dari dua alternatif diatas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara langsung
memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan selesai dan didiskusikan
dengan semua yang terlibat. Mengingat alternatif ini akan membuat pasien lebih dihargai dan
dipenuhi haknya sebagai pasien walaupun kedua alternatif tersebut memiliki kelemahan masing-
masing. Hasil keputusan tersebut kemudian dilaksanakan sesuai rencana dengan pendekatan-
pendekatan dan caring serta komunikasi terapeutik.

5. Mengevaluasi Hasil
Alternatif yang dilaksanakan kemudian dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana Tn. A
beradaptasi tentang informasi yang sudah diberikan. Jika Tn. A masih denial maka pendekatan-
pendekatan tetap terus dilakukan dan support sistem tetap terus diberikan yang pada intinya
membuat pasien merasa ditemani, dihargai dan disayangi tanpa ada rasa dikucilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Aprilins. 2010. Teori Etika. Diakses 26 Desember 2011 pukul 21.00 WIB. Diposkan 23 Februari 2010
pukul 10.02 PM. URL : http://aprillins.com/2010/1554/2-teori-etika-utilitarisme-deontologi/

Carol T,Carol L, Priscilla LM. 1997. Fundamental Of Nursing Care, Third Edition, by Lippicot
Philadelpia, New York.

Geoffry hunt. 1994. Ethical issues in nursing. New york: press (padstow) Ltd.

Ismaini, N. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika

k_2 nurse. 2009. Etika Keperawatan. Unpad Webblog. Diakses tanggal 13 November 2011. Diposkan
tanggal 16 Januari 2009. http://blogs.unpad.ac.id/k2_nurse/?tag=etika-keperawatan

52
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J. 2004. Fundamentals of Nursing Concepts, Process and
Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line

Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC

PPNI. 2000. Kode Etik Keperawatan Indonesia. Keputusan Munas VI.

Rubenfeld, M. Gaie. K. Scheffer, B. 2006. Berpikir Kritis dalam Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EG

Suhaemi,M. 2002. Etika Keperawatan aplikasi pada praktek. Jakarta : EGC

ThompsonJ.B & Thopson H.O. 1981. Ethics in Nursing. Macmillan Publ. Co

ISUE ETIS ONKOLOGI :

Oleh Dr Ananya Mandal, MD

Perawatan kanker penuh dengan beberapa isu-isu etis. Ada dilema dalam diagnosis, sejauh mana
informasi pasien, perencanaan pengobatan dan mengikuti. Masalah ini sering keprihatinan
Onkologi dalam praktek sehari-hari mereka.

Diagnosis dan deteksi kanker

Skrining untuk kanker dan kemungkinan untuk mendapatkan positif palsu (hasil positif yang
menunjukkan kanker ketika tidak benar-benar tidak ada kanker) adalah masalah etis yang besar.

Ada beberapa diagnostik dan tes yang digunakan untuk mendeteksi kanker skrining. Sementara
deteksi dini berguna untuk pasien, perlu penyelidikan dan hasil positif palsu dapat meningkatkan
kecemasan pasien dan keluarga mereka tidak perlu. Ini dapat mengakibatkan penderitaan mental
yang parah dan efek lain sakit pada pasien juga.

Deteksi risiko kanker pada anggota keluarga pasien genetik juga menimbulkan risiko serupa.

Luasnya informasi pasien

Setelah didiagnosis, pertanyaan muncul atas tingkat informasi yang akan diberikan kepada
pasien mengenai penyakit tingkat dan kemungkinan hasil dari penyakit. Banyak pasien dapat
memilih untuk memiliki kebenaran dalam hitam dan putih, tetapi beberapa mungkin ingin
terlindung dari tingkat penyebaran kanker. Wahyu kanker dan hasilnya kepada pasien telah
tantangan etis dari zaman dahulu.

53
Dimasukkan ke dalam uji klinis untuk terapi novel

Uji klinis kanker perlu pasien kanker untuk sukses. Namun, terapi novel ini belum diuji untuk
keselamatan mereka dan kemanjuran sebelum dan pasien perlu menyadari risiko mengambil
bagian dalam uji klinis untuk jenis manusia. Dimasukkannya ini penuh dengan isu-isu etis.

Perencanaan pengobatan

Banyak pasien mungkin enggan untuk menjalani modalitas pengobatan tertentu. Sebagai contoh,
pasien kanker payudara mungkin ingin mempertahankan payudara dan tidak kehilangan mereka
untuk operasi.

Beberapa pasien dapat menolak kemoterapi karena takut efek samping yang parah seperti rambut
rontok, mual dan kerentanan terhadap infeksi. Mempertahankan otonomi pasien dalam keputusan
pada pengobatan penting.

Pengobatan alternatif

Penggunaan atau pilihan pengobatan alternatif seperti pengobatan homeopati atau Herbal untuk
kanker juga perlu ditangani oleh dokter dan onkologi

Penarikan dari pengobatan aktif

Masalah etika utama lainnya adalah penarikan dari pengobatan aktif. Ini mungkin pilihan pasien
sendiri atau karena non-responsif kanker untuk terapi. Perawatan paliatif dapat dipilih dalam
kasus ini. Ketika untuk menarik pengobatan adalah isu etis yang penting.

Akhir masalah hidup

"tidak resusitasi" perintah dan lain akhir masalah hidup seperti eutanasia adalah masalah etis
yang sangat diperdebatkan

Isu-isu etis lainnya

Ada juga isu-isu etis terkait dengan kepribadian pasien, agama, budaya, status sosial ekonomi,
kehidupan pribadi, dan keluarga.

Menyelesaikan masalah etika

Kebanyakan isu-isu etis perlu diselesaikan menggunakan tingkat tinggi kepekaan dan
komunikasi yang sangat baik pada bagian dari tim Onkologi untuk mengatasi masalah ini dengan
benar. Pada setiap waktu hukum non-maleficence (tidak menyebabkan kerusakan pada pasien)
dan otonomi pasien harus ditegakkan.

54
Ditinjau oleh April Cashin-Garbutt, BA Hons (Cantab)

Sumber

1. http://www.Hum.Utah.edu/~plutynsk/jhs017track.pdf
2. http://www.iaari.HBI.IR/Journal/Archive/articles/v6s5za2.pdf
3. http://www.ludusvitalis.org/textos/Foro/25_hancock.pdf
4. http://www.ncbi.NLM.nih.gov/PMC/articles/PMC2491264/PDF/bullwho0006
2-0002.pdf

Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada
saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir,
yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan
lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang
diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi
sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).

Macam-macam Euthanasia
Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang
luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Contoh

55
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap
pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).

Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan


dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.
(Utomo, 2003:178).

Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala

56
persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.

A. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori


pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan


mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

57
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990:
111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-
Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan
ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya
yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.”
(HR Bukhari dan Muslim).

B. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik


menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter
bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau

58
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati
atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).

Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib.
Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah
tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :


“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut
ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-
thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar
dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah

59
kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan
perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib
(Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk


dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada
dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital
lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada
pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada
pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena
itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-
alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan
tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan

60
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan
izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).

Wallahu a’lam.
5. DAFTAR PUSTAKA
6. Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul
Ummah.
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz
III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
8. Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut :
Muassasah Ar-Risalah.
9. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX
(Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
10. Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-
Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
11. Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
12. Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql
A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-
Maut. Beirut :
Darul Ummah.
13. Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam
Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung,
Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

61
14. Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji
Masagung

Pengertian EUTHANASIA, Sejarah, Ragam, serta Hukumnya

15. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempuna, sesuai yang
dikatakan di dalam firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 4, “Sesungguhnya telah kami
ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Manusia di karuniai kemampuan
inteligensi yang tinggi, memiliki qalbu, serta nafsu syahwat.

Untuk itu manusia seharusnya banyak-banyak bersykur atas nikmat yang telah diberikan,
seperti nikmat kesehatan. Dengan tubuh yang sehat manusia mampu melaksanakan
kegiatannya sehari-hari baik itu untuk pendidikan, pekerjaan, dan terutama dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT.

Namun sepandai-pandainya manusia menjaga kesehatan, secanggih-canggih apapun obat


untuk mengantisipasi datangnya penyakit, tidak seorangpun manusia dapat menolaknya.
Sebab penyakit itu datangnya atas izin Allah, dan atas izin Allah pulalah seseorang itu
sembuh. Meskipun penyakit itu datang atas izin Allah, tetapi tanpa kita sadari bahwa
ternyata manusia itu sendirilah yang menyebabkan penyakit itu menggerogotinya,
sebagai contoh penyakit paru-paru, kolesterol tinggi, gula darah tinggi, kanker yang
paling sering dialami pada masa kini.

Penyakit itu mucul bisa saja akibat dari pola makanan yang jauh dari kata sehat,
seperti makan makanan instan. Kemudian juga berasal dari kebiasa-kebiasan buruk
yang bersifat kumulatif, seperti merokok yang pada akhirnya menjadi penyakit yang
sangat parah sehingga dapat menyebabkan kematian.
Banyaknya penderita penyakit kritis yang terjadi saat ini, bisa dibuktikan dengan
semakin banyaknya jumlah Rumah Sakit yang ada, dan tiap-tiap RS itu selalu
memiliki pasien yang sakit kritis, atau boleh dikatakan tidak pernah kosong. Penyakit
kritis seperti kanker yang sudah berada pada stadium 4, atau pasien yang telah lama
mengalami koma akibat benturan keras dikepala, membutuhkan waktu yang sangatn
lama untuk melakukan perawatan serta pengobatannya.
Bagi pihak penderita yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi tentu saja
bisa bernafas lega, dan bahkan sanggup mengatakan “Berapapun biayanya akan
ditanggung, asalkan ia sehat kembali seperti biasa” meskipun sebenarnya tidak ada
lagi harapan untuk hidup. Tetapi hal sebaliknya terjadi kepada pihak penderita yang
tidak memiliki kemampuan untuk menanggung seluruh biaya pengobatan dan
perawatan. Sehingga dari pihak medis tidak sepenuh hati dalam menjalankan
tugasnya, bahkan lebih ekstrim lagi, menghentikan pengobatan kepada pasien dan
mengakibatkan kematian.
Kasus yang telah dipaparkan di atas, merupakan salah satu contoh yang termasuk
pada perbuatan Euthanasia. Agar kita bisa lebih memahami tentang euthanasia,
penulis akan mencoba menguraikan beberapa hal sehingga kita mampu memahami,

62
serta mengatahui status perbuatan tersebut, apakah dibolehkan dalam Islam, ataupun
dilarang.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan menjelaskan tentang euthanasia sebagai
berikut:
1. Pengertian euthanasia
2. Sejarah euthanasia
3. Ragam euthanasia
4. Hukum euthanasia

PEMBAHASAN
A. Euthanasia
1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” berarti baik, bagus,
dan “thanotos” artinya mati. Euthanasia adalah mati yang baik tanpa melalui proses
kematian dengan rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-laruti[i]. Pengertian lain dari
Euthanasia adalah mati yang gampangii[ii].
Euthanasia dalam istilah Arab dikenal dengan Qatl ar-Rahmah (membiarkan
perjalanan kematian menuju kematian karena belas kasihan) atau Taisir al-Maut
(memudahkan proses kematian), ialah tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan perderitaan orang yang sakit, baik dengan cara yang positif maupun
negatifiii[iii].
Secara terminologi kedokteran, euthanasia adalah tindakan memudahkan kematian atau
mengakhiri hidup seseorang denga sengaja tanpa rasa sakit, karena kasihan untuk
meringankan penderitaan si sakit. Tindakan ini dilakukan kepada penderita penyakit yang
tidak memiliki harapan untuk sembuhiv[iv].
Menurut Dr. M. Ali Akbar, Euthanasia memiliki pengertian:
1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit
2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya
3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baikv[v].
Dengan demikian makna euthanasia adalah suatu cara menghilangkan nyawa yang
dilakukan oleh petugas medis kepada seseorang yang mengidap penyakit mematikan atau
telah didiagnosis bahwa penyakit tersebut tidak dapat disebuhkan, untuk menghilangkan
penderitaannya.
Seseorang yang telah mengidap penyakit dalam rentang waktu yang lama, sehingga
mandatangkan kesulitan, baik kepada penderita yang merasakan sakit berlarut-larut,

63
maupun kepada pihak keluarga yang harus menanggung beban biaya pengobatan yang
terus bertambah. Adapun seorang yang mengidap penyakit HIV/AIDS yang boleh
dikatakan tidak ada obat untuk menyembuhkannya vi[vi], dan hanya tinggal menuju ajal
atau bahkan seorang Ibu yang mengandung bayi, tidak ada cara lain untuk
menyelamatkan si Ibu kecuali dengan mematikan bayinya. Atas dasar inilah yang
mungkin muncul sebuah gagasan dalam kedokteran untuk mempercepat kamatian itu.
2. Sejarah Euthanasia
Euthanasia telah dikenal sejak zaman yunani kuno, pada zaman itu euthanasia ditekankan
pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan terutama yang
mengalami penyakit parah. Selain itu ada kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya
euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan
pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.
Kemudian euthanasia oleh Pytagoras yang berpendapat bahwa hidup manusia
mempunyai nilai keabadian, dan euthanasia merupakan tindakan yang tidak menanggapi
arti hidup manusia. Sedangkan Aristoteles bersimpati terhadap Euthanasia dengan alasan
bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Pada tuhun 1920 melalui buku yang berjudul The Permision to Destroy Life unworthy
of life. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche dan
seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding.
Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu seseoarang yang mengalami
kematian adalah masalah etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang
tepat, yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.
Di Inggris pada tahun 1935 seorang Dokter membentuk The Voluntary Euthanasia
Legislation Society, untuk melegalisasi euthanasia bersama dengan dokter-dokter
terkenal lainnya. Namun rancangan ini kemudian di tolak oleh Dewan Lord setelah
melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936.
Jerman pada saat kekuasaan Adolf Hitler yang melegalkan euthanasia memeritahkan
untuk melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal dengan “Action T4”
untuk menghapus kehidupan orang yang dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life
Under Worty of Life).
Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU Euthanasia
dan berlaku pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada tahun
1997. sedangkan di Oregon negara bagian AS mengelurkan death with dignity Law

64
satu undang-undang yang memperbolehkan dokter menolong pasien yang dalam
kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada tahun 1998 sudah ada
100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini terus diperdebatkan di Amerika dan
pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara
bagian Amerika yang melegalkan euthanasia.
Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan euthanasia Aktif Voluntir ini mendapat
berbagai sorotan dari organisasi anti euthanasia dan juga dari organisasi pro
euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1
“Internasional Againts Euthanasia task force“ apakah sekarang sebuah kejahatan akan
diganti dengan perawatan” sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary
euthanasia Society menganggapi sebagai suatu perkebangan, orang-orang mengambil
keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatahkan “bahwa
undang undang ini adalah kesalahan sejarah”.
Tahun 2002 juga Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia
menetapkan kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan
sadar. Saat penyataan itu dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk
Euthanasia. Sedangkan di Swiss Euthanasia masih ilegal tetapi terdapat tiga
organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan
obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.
Di asia Jepang melegalkan euthanasia Voluntir yang disahkan melalui keputusan
pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu karena
faktor budaya yang kuat euthanasia tidak pernah terjadi lagi dijepang setelah itu.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia ini telah terjadi
sejak zaman yunani kuno yang kental dengan sektenya, kemudian secara bertahap
dibeberapa negara juga melegalkan pelaksanaan euthanasia ini dengan alasan belas
kasihan terhadap penyakit yang parah, serta terjamasuk euthanasia yang ekstrim
dilakukan oleh nazi yang bertujuan melenyapkan orang-orang tidak bergunavii[vii].

B. Ragam Euthanasia
Euthanasia ini terbagi kedalam 2 (dua) macam, yaitu euthanasia positif (aktif) dan
euthanasia negatif (pasif) dengan penjelasan sebagaik berikut.

65
1. Euthanasia Positif (aktif)
Euthanasia positif ini adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan instrumen (alat) seperti suntikan ke dalam tubuh pasien. Suntikan ini
diberikan apabila penyakitnya sudah sangat parah atau stadium akhir, yang menurut
perhitungan/perkiraan medis tidak ada harapan untuk sembuh atau bertahan lama.
Inti dari euthanasia positif ini adalah pemberian instrumen (alat) oleh dokter kepada
pasien sebagai tindakan akhir.
Berikut ini beberapa contoh kasus euthanasia positif:
a. Seseorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga
penderita sering mengalami pinsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
yang tinggi (overdosis) yang sekitanya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernafasannya sekaligus.
b. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian
otaknya terserang penyakit atau mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan
demikian ia mungkin hanya dapat hidup dengan bantuan alat pernafasan, sedangkan
dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan
itulah yang memompakan udara kedalam paru-parunya dan menjadikannya dapat
bernafas secara otomatis. Jika alat pernafasan tersebut dihentikan, si penderitan tidak
mungkin dapat melanjutkan pernafasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat
dilakukan adalan membiarkan pasien itu hidup dengan menggunakan alat pernafasan
bantuan. Namun ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “Orang
mati” yang tidak mampu melakukan aktifitas. Maka memberhentikan alat pernafasan itu
sebagai cara posotif untuk memudahkan proses kematiannya.

2. Euthanasia Negatif (pasif)


Yang dimaksud dengan euthanasia ngetif (pasif) adalah tindakan dokter berupa
penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah
tidak mampu lagi untuk sembuh. Pemberhentian pengobatan ini mangakibatkan cepatnya
kematian. Namun biasanya tindakan ini dilakukan karena pihak keluarga pasien tidak
mampu menanggung biaya pengobatan yang sangat tinggi. Hal itulah yang menjadikan
euthanasia ini menjadi bersifat negatif.
Inti dari euthanasia negaatif ini adalah penghentian pengobatan kepada pasien. Perbedaan
dengan yang positif adalah tindakan yang dilakukan. Euthanasia positif, mengganti obat
biasa menjadi obat mati, karena obat biasa itu hanya memperburuk keadaan.
Beberapa contoh tentang euthanasia negatif sebagai berikut:
a. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit syaraf yang
tidak ada harapan sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru dan
masih ada kemungkinan untuk hidup dan bertahan, namun pengobatannya dihentikan,
sehingga mempercepat kematiannya.
b. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita penyakit tashallub al-
Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal al-Mukhkhi (kelumpuhan otak).
Dalam keadaan demikian ia dapat saja kanndibiarkan tanpa diberi pengobatan. Apabila
terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat
membawa kematian anak tersebut.

66
At-tashallub al-musyrab atau al-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang
belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan
kemampuan/ kontrol pada saluran kandung kemih dan usus besar. Anak yang menderita
penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya.
Sedangkan al-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa
saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikirab dan
kelumpuhan badannyadengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita
penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus
selama hidupnyaviii[viii].
c. DR. Kartono Muhammad mengetakan bahwa pada praktek secara sadar atau tidak,
euthanasia pasif bisa saja terjadi di Indonesia yang tidak sadar terpaksa melakukannya
karena kurangnya fasilitas yang ada dirumah sakit. Sedangkan yang sadar, membiarkan
pasien yang sudah tidak tertolong lagi itu dibawa pulang sebelum waktunya.
Dari sumber yang berbeda, ada 2 ragam yang dikelompokkan juga sebagai macam-
macam dari euthnasia, yaitu euthanasia volunter, ialah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan pasien.
Kemudian euthanasia volunter, ialah euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam
kedaan tidak sadar di mana tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan
kriminalix[ix].

C. Hukum Euthanasia
Sebagai umat Islam dan sebagai warga negara Indonesia, tindakan yang dilakukan
agar mempercepat proses kematian (euthanasia) ini, tentu saja menuai banyak
kontroversi, tentang bagaimanakah hukum melaksanakannya bagi pribadi, atau orang
yang bertindak sebagai pengeksekusinya. Berikut ini adalah penjelasan bagaimana
hukum euthanasia menurut pandangan Islam dan menurut hukum negara Indonesia.
1. Euthanasia menurut hukum Islam
Islam sangan mengatakan bahwa pretikat manusia didunia adalah sebagai khalifah,
artinya manusia memiliki status yang mulia di dunia. Dalam hal ini syariat Islam
berarti menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia. Allah secara tegas dan berulang-
ulang mengatakan didalam firman-Nya bahwa setiap perbuatan menghilangkan
hidup, baik dilakukan oleh orang lain maupun diri sendiri adalah dilarang, dan bahkan
diberikan sanksi. Berikut ini ayat-ayat yang menyatakan tentang dilarangnya
pembunuhan.
a. Surat An-Nisaa: 92
“Dan tidak boleh bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain,
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena kesalahan (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) menyedekahkannya.”
b. Surat An-Nisaa: 93

67
Surat Al-Israa’: 31
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853].”
Surat Al-An`am: 151
. . . Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata “ telah .16
bersabda Rasulullah SAW : “tidak halal darah
seseorang yang menyaksikaan bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan bahwa saya adalah
Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga
perkara yaitu janda atau duda yang berzina,
orang yang melakukan pembunuhan, dan orang
yang meninggalkan agamanya dan memisahkan
diri dari jama`ah””. (HR.Bukhari dan Muslim).
b. Dari Aisyah ra. Dari Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal membunuh seorang
muslim, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: pezina yang muhshon (telah
berkeluarga) maka ia harus dirajam, seseorang yang membunuh seorang muslim dengan
sengaja maka ia harus dibunuh, dan orang yang keluar dari Islam kemudian ia
memerangi agama Allah dan Rasulullah maka ia harus dibunuh atau disalib, atau
diasingkan dari tempatnya.” (HR.Abu Daud dan Nasa’i).
c. “Orang yang mencekik dirinya sendiri, ia akan mencekik dirinya di neraka. Orang
yang menusuk perutnya sendiri, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka dan orang
yang melemparkan dirinya sendiri, ia akan melemparkan dirinya sendiri dineraka.” (HR.
Bukhari dan Abu Hurairah).
d. “Barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung hingga dia membunuh
dirinya sendiri, maka tempatnya dineraka jahannam. Ia masuk kedalamnya kekal untuk
selama-lamanya. Dan barang siapa yang meminum racun sehingga ia membunuh dirinya
sendiri, maka racun itu dipegang di tangannya ia meminumnya di neraka jahannam, ia
kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan
benda tajam, maka benda tajam itu dipegangkan di tangannyadan dipukulkannya pada
dirinya di neraka jahannamdan ia kekal didalamnya selama-lamanya”. (HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah)x[x].
e. Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusukknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu”.(HR.
Bukhari dan Muslim).
f. “betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya”. (HR. Ahmad dan
Muslim)xi[xi].
Dari beberapa ayat dan hadits yang telah disampaikan di atas memberikan pengertian
bahwa perbuatan euthanasia, khususnya euthanasia aktif yang mana dokter secara aktif
ikut membantu mempercepat proses kematian seseorang meskipun atas permintaan
pasien atau keluarga, adalah perbuatan yang dilarang oleh Islam.

68
Euthanasia aktif tergolong dalam kategori pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
dan dinyatakan haram. Pembunuhan yang boleh dilakukan kepada seseorang hanyalah
yang disebutkan didalah hadits yaitu, janda atau duda atau berkeluarga yang berzina,
orang yang membunuh dengan sengaja, murtad dan mengganggu keamanan.
Kemudian euthanasia pasif, juga merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan,
meskipun petugas medis tidak terlibat langsung dalam perbuatan tersebut. Menurut Islam,
sakit merupakan bagian dari cara Allah untuk mengurangi dosa orang tersebut, atau
tandanya Allah menyayangi hamba-Nya. Meskipun demikian tidak semata-mata si
penderita penyakit membiarkan saja, dan tidak ada usaha untuk melakukan pengobatan.
Jika penyakit itu telah difonis dokter memang tidak bisa disembuhkan lagi, Islam tetap
menganjurkan manusia untuk melakukan usaha terakhir, yaitu doa yang diajarkan
Rasulullah SAW yang artinya: “Ya Allah hipukanlah aku selagi kehidupan itu baik
untukku, dan matikanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku”. Lalu kemudian
bertawakal dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Satu-satunya euthanasia yang diperbolehkan dalam Islam adalah, yang tergolong dalam
euthanasia aktif yaitu pada kasus penyelamatan ibu yang melahirkan. Prosesnya adalah,
ketika seorang ibu yang hendak melahirkan, kemudian ada terdapat kejanggalan dalam
proses kehamilan dan proses kelahirannya yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa si
ibu apabila anak tersebut dipaksa melahirkannya. Dalam hal ini dinyatakan darurat,
sesuai dengan kaidah, “keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang”
dan “menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu
adalah wajib”.
Dibolehkan untuk melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan si janin demi
menyelamatkan si Ibu. Karena seorang Ibu memiliki tanggung jawab atas dirinya kepada
Allah, keluarga, dan sesama. Sedangkan janin tersebut belum memiliki tanggungan
apapun karena belum dilahirkan ke dunia.
2. Euthanasia menurut hukum negara Indonesia
Menurut hukum negara Indonesia, perbuatan euthanasia ini di kaitkan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM), karena tindakan tersebut melanggar hak manusia untuk hidup.
Kemudian menurut ahli hukum pidana Universitas padjadjaran, Komariah Emong
mengatakan: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang
larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif
dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344
KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana,

69
sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan
pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.

Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan
kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter
menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien
menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika
dokter, euthanasia tidak diperbolehkanxii[xii].
Di tengah kontroversi pro dan kontra euthanasia pihak masing-masing bertahan dengan
alasan yang diyakini Alasan pro euthanasia adalah sebagai berikut :
a. Rasa kasihan (mercy killing)
b. Faktor ekonomi
c. Faktor sosial
d. Pasien siap mati wajar
e. Mati batang otak
f. Pasien menolak semua tindakan medis
g. Tindakan medis tidak menolong lagi
h. Setuju asal dilakukan dinegara yang melegalkan Euthanasia.
Dari beberapa alasan di atas jika kita tinjau dari beberapa sudut pandang seperti sudut
pandang agama hanya memungkinkan jika pasien sudah siap mati dengan tenang di
tengah keluarganya. Jika dari segi medis jika pasien menolak semua tindakan medis dan
pasien sudah mati batang otak dari segi KODEKI tidak melanggar sesuai dengan SK.PB.
IDI no. 231/PB/A.4/07/90. Pasien dinyatakan mati bila sudah terdapat kerusakan
permanen pada batang otakxiii[xiii].

Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif dan sukarela secara tersurat dilarang oleh
hukum negara, sedangkan euthanasia pasif tidak dinyatakan secara tersurat di dalam
KUHP maupun kode etik kedokteran.

Kemudian penerapan euthanasia terhadap penyakit AIDS. AIDS (Acquired Immuno


Deficiency Syndrome) merupakan penyakit penurunan kekebalan tubuh manusia akibat
serangan virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Begitu masuk ke
dalam tubuh manusia, HIV dengan cepat akan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh.
Sehingga, orang yang telah terinfeksi HIV akan memiliki kekebalan tubuh yang sangat

70
rendah. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah sekali terserang pelbagai jenis
penyakit.
AIDS ini disebabkan oleh virus yang ditularkan memalui hubungan seksual yang tidak
sehat atau berganti-ganti pasangan. Penyakit ini termasuk penyakit yang tidak dapat
ditemukan obatnya, dengan kata lain si penderita penyakit ini hanya menunggu ajal
menjemputnya.
Perawatan penderita AIDS menghabiskan banyak materi dan waktu yang sangat lama,
sedang penderita tidak memperlihatkan ada perkembangan yang positif. Sewaktu-waktu
orang dapat tertular AIDS jika penderita nekat menularkan penyakitnya kepada orang
lain misalnya melalui suntikan atau hubungan seksual. Kemudian masyarakat akan resah
dan ketakutan dengan penderita AIDS yang tinggal diwilayahnya.
Jika kita melihat betapa besar bahaya dan madharat penyakit AIDS ini baik bagi
penderita terlebih-lebih orang lain, maka tindakan euthanasia positif mungkin tepat
dilakukan pada penderita penyakit ini. Dalam kaidah fiqih dinyatakan bahwa “setiap
bahaya harus dihilangkan, dan mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada
mengambil kebaikan”xiv[xiv].
Namun usaha yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah ini adalah membuat
suatu tempat khusus yang terisolir dari keramaian untuk melakukan perawatan intensif
bagi penderita serta menghidari menularnya penyakit tersebut kepada orang lain.

i[i]Huzaimah Tahidu Yanggo. 2005. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung:
Angkasa. 104.

ii[ii]M. Ali Hasan. 1996. Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 132.

iii[iii]Yusuf Qardhawi. 1995. Hadyul Isla Fatawi Mu’shirah (terj. As`ad Yasin. Fatwa-fatwa
Kontemporer) Jakarta: Gema Insani. 749.

iv[iv]Setiawan Budi Utomo. 2003. Fikih Aktual. Jakarta: Gema Insani. 176.

v[v]Op.Cit., Huzaimah Tahidi Yanggo. 104.

vi[vi]Masyfuk Zuhdi. 1992. Masail fiqhiyah. Jakarta: Ikrar Mandiriabadi. 157.

vii[vii] http://tedjho.wordpress.com/tag/sejarah-euthanasia/ diunduh tanggal 22-10-2013.

viii[viii]Op.cit.,Yusuf Qardhawi. 749-750.

ix[ix]http://kadrybonjoly.blogspot.com/2013/05/euthanasia-fiqh-kontemporer.html. Diunduh pada tanggal


21-10-2013.

x[x]Op.Cit., Huzaimah Tahidu Yanggo. 106-110.

xi[xi] Op.Cit.,Setiawan Budi Utomo. 179-180.

71
xii[xii] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2235/pengaturan-euthanasia-di-indonesia diunduh
tanggal 22-10-2013.

xiii[xiii]Loc.Cit.,http://tedjho.wordpress.com/tag/sejarah-euthanasia/ diunduh tanggal 22-10-2013.

xiv[xiv]http://zainoelhakiem.blogspot.com/2010/05/kumpulan-makalah-fiqih-kontemporer.html. diunduh
tanggal 21-10-2013.

72

You might also like