You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang
paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15 – 44 tahun.
Menurut The Lupus Foundation of America, diperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk
Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9 : 1 antara perempuan dan laki-laki
pada setiap 100.000 penduduk.
Kementrian Kesehatan RI, dr. Dr. Trihono, MSc menyatakan bahwa di Indonesia,
orang penderita lupus (ODAPUS) diperkirakan berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000
ODAPUS baru ditemukan setiap tahunnya. Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia,
jumlah ODAPUS di Indonesia meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu
tercatat 8018 orang, sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien lupus
dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Dari data
Yayasan Lupus Indonesia, ternyata di Sumatera Utara juga terdapat sebuah komunitas
lupus yang bernama Cinta Kupu yang didirikan oleh para penderita lupus yang ada di
Sumatera Utara.
Bukti ilmiah menyatakan bahwa etiologi utama penyakit SLE belum diketahui.
Meskipun demikian, beberapa faktor seperti genetik, imunologi, hormonal serta
lingkungan diketahui dapat berperan dalam patofisiologi SLE. Pada respons kekebalan
tubuh normal, semua unsur sistem imun bekerja sama untuk memberikan respons
terhadap peradangan yang terjadi di dalam tubuh. Sistem imun berfungsi untuk menjaga
tubuh dari bakteri, virus dan benda asing lain, namun pada ODAPUS, sistem imun
berbalik menyerang jaringan tubuh yang sehat sehingga terjadi inflamasi pada jaringan
dan mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kondisi yang demikian dapat
menimbulkan berbagai macam gejala yang sangat mirip dengan gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh penyakit lain, sehingga diagnosa SLE sangat sulit untuk ditegakkan.

SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf,
kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi yang timbul pada beberapa
organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para
ODAPUS. Biesecker dkk (1982) melakukan penelitian untuk melihat manifestasi SLE
pada beberapa organ tubuh dan menemukan bahwa kelainan pada sendi adalah
manifestasi yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Selain itu depresi, anorexia
dan kelainan pada kulit juga dilaporkan dijumpai pada pasien SLE. Albilia dkk (2007)
1
melaporkan bahwa 30% dari pasien SLE mengalami komplikasi pada ginjal dan 40%
dapat mengalami lesi pada rongga mulut.
Penelitian yang dilakukan oleh Rhodus dan Jhonson (1990) yang dilakukan pada 16
pasien SLE dengan usia di atas 60 tahun, ditemukan 100% dari pasien SLE tersebut
mengalami xerostomia, 87,5% mengalami angular kelitis, 87,5% mengalami gangguan
pengecapan, dan 81,3 % mengalami mukositis dan glositis. Zakeri dkk (2012) dalam
penelitiannya mengenai manifestasi oral pada pasien SLE di Iran menemukan dari 70
pasien SLE pada rentang usia 10-70 tahun ditemukan 43 orang (61,4%) memiliki lesi
oral dan 27 orang (38,6%) tidak memiliki lesi oral. Lesi oral yang paling banyak
ditemukan adalah lesi merah 20 orang (35,08%), lesi putih 12 orang (21,05%),
pigmentasi 11 orang (19,29%), ulser 10,52%, angular kelitis 10,52%, lesi putih dan
merah 3,52%, serta 36 orang (51,4%) mengalami xerostomia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian lupus erimatosus autoimun?
2. Apa saja Etiologi dan Faktor Predisposisi lupus erimatosus autoimun?
3. Apa saja Terapi yang diberikan terhadap lupus erimatosus autoimun?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui lupus erimatosus autoimun.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor lupus erimatosus autoimun.
3. Untuk mengetahui terapi lupus erimatosus autoimun.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus
erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu
penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit
SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita,
peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE
dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang
terlibat.

B. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki

3
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap
di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen

4
yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara
sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri
tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid,
dan isoniazid.

C. Gambaran Klinis
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal,
saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut. Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami
gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya
morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE

5
berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi
glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal.


Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporo mandibular dan nekrosis avaskular
telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE. Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus
dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE)
dan subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE
pada kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi,
bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena
membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung
atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE
namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.
Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.
SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler
datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki
antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa
urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.
Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien
SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung.
Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk
keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,
kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama
kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh
penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting.
Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan
stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE
dibandingkan dengan populasi umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE
dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan
adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah
penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE
membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.

6
D. Penatalaksanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga
penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari.
Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu diingatkan
bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang
memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal
ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius,
cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita dengan
nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan kontraindikasi untuk
kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan
eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu,
pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada
umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan
kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa
dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.

E. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
d. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
e. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
f. Foto polos thorax
1) Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring
2) Setiap 3-6 bulan bila stabil
7
3) Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien
dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes
ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada
beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),
keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis
dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds
DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan
dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada
pasien yang bukan LES.

F. Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :
1. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau
terjadinya osteoporosis.

8
2. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
3. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang
ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan
lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai
tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan
kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian
dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24
Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari
meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko
infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan
moon face.
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering
digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih
rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan
sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh
darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,
sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien

9
dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem
imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi
pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF),
methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas. SLE dapat menyerang berbagai sistem organ dan
keparahannya berkisar dari sangat ringan sampai berat. Etiologi belum dipastikan, secara
garis besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu endokrin-metabolik, lingkungan dan genetik.
Pencetus fungsi imun abnormal mengakibatkan pembentukan antibodi yang ditujukan
terhadap berbagai komponen tubuh. Tidak ada suatu tes laboratorium tunggal yang dapat
memastikan diagnosis SLE. Masalah yang paling sering dirasakan pasien adalah keletihan,
gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh dan kurang pengetahuan untuk mengambil
keputusan mengenai penatalaksanaan mandir
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
a. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk
secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
b. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi
diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus)
sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga
penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
c. Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele tetapi
justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya sampai ke
organ-organ.

B. Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :
a. Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani dengan
baik sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau merawat penyakit
ini untuk menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.
b. Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
c. Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, JT., et.al, 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Edisi 6th, Mc. GrawHill.
Harrison, et.al., 2000, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit-Penyakit Dalam, Edisi 13th, diterjemahkan Asdie
AH., Penerbit buku kedokteran EKG, Jakarta.
Price A. Sylvia, 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6, Penerbit buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Wahono, C.S. 2012. Mengenal Seribu Wajah Lupus. (Online), diakses pada 1 Desember 2014
(http://singgihwahono.lecture.ub.ac.id/2012/04/manifestasi-klinis-lupus-eritematosus-
sistemik-les-dan-diagnosisnya/)
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC)
fourth edition. Missouri: Mosby
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Wiley, J. & Sons. 2009. Nursing Diagnoses definitons and classification 2009-2011. United
Kingdom: Blackwell.

12

You might also like