You are on page 1of 5

Asuransi perokok: Wacana basi,

hangat kembali
Selasa, 13 September 2016 06:16 Reporter : Desi Aditia Ningrum, Moch
Wahyudi



Ilustrasi perokok. 漏 shutterstock.com/wavebreakmedia

Merdeka.com - Rokok. Banyak yang mendukung keberadaan produk


turunan tembakau tersebut dengan berbagai alasan.Mulai dari
urusan kesenangan pribadi, menghidupkan industri, hingga
kesejahteraan petani. Tapi tak sedikit yang membencinya karena
merusak kesehatan.

BERITA TERKAIT

 Rusak gara-gara puntung rokok


 Sebatang rokok ternyata bisa timbulkan efek buruk ganda bagi
wanita

 Saat rokok bikin nyeri punggungmu terasa makin


menyakitkan
Sehingga, wajar jika rokok menjadi isu sensitif di negeri ini. Ambil
contoh, wacana penaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu per
bungkus yang berkembang belum lama ini. Sebenarnya, penaikan
harga rokok merupakan hal wajar terjadi, sebagai dampak
penambahan tarif cukai, setiap tahun. Namun, jika penaikannya
hingga 150 persen dari harga rokok saat ini sebesar Rp 20 ribu per
bungkus, bukan kewajaran yang muncul, melainkan kegemparan di
masyarakat.

Wacana ini bermula dari hasil survei Pusat Kajian Ekonomi dan
Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Berdasarkan penelitian dilakukan sepanjang Desember
2015-Januari 2016, mayoritas responden yang merupakan
perokok menyatakan bakal berhenti mengepulkan asap jika harga
rokok mencapai Rp 50 ribu per bungkus.

Selain penaikan harga, jika ditelusuri, ada isu lain terkait rokok yang
tak kalah seksi: Asuransi kesehatan untuk perokok.

Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan


Masyarakat-Universitas Indonesia, menyebut bahwa asuransi
perokok sudah muncul sejak satu dekade lalu.

"Itu memang sudah lebih dari lima tahun hingga sepuluh tahun
digulirkan," katanya saat berbincang dengan merdeka.com, pekan
lalu.
Bahkan, katanya, sudah pernah ada draf peraturan presiden terkait
asuransi perokok. Namun, kala itu, Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat menolak.

"Karena memang kami melihat bukan sesuatu yang murni untuk


rakyat ada yang mendompleng," katanya.

"Usut punya usut, konon kabarnya, itu dari Industri rokok. Yang bisa
jadi karena niat baik mau menjamin perokok, bisa jadi ada akal
bulus."

Belakangan, menurut Hasbullah, ada upaya sistematis dilakukan


sejumlah pihak untuk menghidupkan kembali asuransi perokok. Ini
memanfaatkan momentum penyusunan draf undang-undang
tembakau yang diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat.

"Ada usulan yang saya liat dokumennya diusulkan oleh sebuah BUMN
asuransi. Dia mau mengembangkan asuransi perokok di luar Badan
Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan," katanya.

"Duit asuransinya nanti dari industri yang bayar. Industri rokok


akan naikkan harga termasuk untuk asuransi perokok. Kelihatannya
bagus tapi ini serigala berbulu domba."

Hasbullah khawatir, kebijakan tersebut bakal mendorong


pembengkakan jumlah perokok di Indonesia. Data Kementerian
Kesehatan menunjukkan prevalensi perokok meningkat dari 27
persen pada 1995 menjadi 36,3 persen pada 2013. Kemudian
prevalensi perokok perempuan turut meningkat dari 4,2 persen
menjadi 6,7 persen.
Lalu, prevalensi perokok berusia 16-19 tahun meningkat dari 7,1
persen menjadi 20,5 persen pada 2014. Data itu diperparah
dengan prevalensi perokok pemula, usia 10-14 tahun, meningkat
dari 8,9 persen menjadi 18 persen pada 2013.

"Asuransi perokok ini sebagian dari strategi untuk meningkatkan


konsumsi perokok yang bertentangan dengan undang-undang cukai
yang nafasnya mengendalikan konsumsi," katanya.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Pokok Indonesia


(GAPPRI) Ismanu Soemiran membantah jika pihaknya mendorong
pemberlakuan asuransi perokok. Malah, kata dia, pihaknya termasuk
yang menentang wacana tersebut pada lima tahun silam.

"Asosiasi tidak setuju isu memunculkan suatu tujuan agar


menciptakan lapangan pekerjaan baru. Mereka menggunakan public
opinion isu kesehatan," katanya saat dihubungi via sambungan
telepon, pekan lalu.

"Ada agenda tersembunyi di balik itu yang menginginkan peluang itu


di dalam nikotin ini, dimana mempunyai sirkulasi Rp 200 triliun. Itu
hanya perbuatan kelompok-kelompok tertentu yang tujuannya
kegiatan bisnis."

Sebaliknya, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AJJI)


Hendrisman Rahim menyiratkan kewajaran jika pihaknya
mengusulkan asuransi perokok. Mengingat, aktivitas itu memiliki
risiko berupa gangguan kesehatan yang sejatinya bisa mendapatkan
perlindungan finansial.

"Banyak usulan dari industri asuransi dalam usahanya


mengembangkan dan mengenalkan industri asuransi ke seluruh
lapisan masyarakat," kata direktur utama PT Asuransi Jiwasraya itu
lewat layanan pesan pendek.

"Kegiatan merokok juga mempunyai risiko. Apabila risiko bisa


diasuransikan, maka sudah sewajarnya kami mengusulkan peran
serta asuransi dalam mengelola risiko tersebut." [yud]

You might also like