Professional Documents
Culture Documents
KONTRUKTIVISME
Diposkan pada11 JUNI 2015
Guru adalah jabatan dan pekerja profesional. Sebagai seorang pendidik,
profesionalisme seorang guru bukanlah pada kemampuan
mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada kemampuannya
untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna.menurut
Degeng (dalam bukunya Sugiyanto, 2009) daya tarik suatu mata pelajaran
(pembelajaran) ditentukan oleh dua hal, pertama oleh mata pelajaran itu
sendiri, dan kedua oleh cara mengajar yang dilakukan seorang guru. Oleh
karena itu tugas profesional seorang guru adalah menjadikan pelajaran
yang sebelumnya tidak menarik menjadi menarik, yang dirasakan sulit
menjadi mudah, yang tadinya tidak berarti menjadi bermakna. Jika hal
tersebut dapat dilaksanakan guru, siswa secara sukarela mempelajari lebih
lanjut karena adanya kebutuhan yang dan belajar bukan sekedar
kewajiban, maka guru sebagai pengajar dapat
dikatakan berhasil.namun untuk menciptakan hal tersebut tidaklah mudah,
sebab diperlikan pendidikan, keahlian dan ketrampilan yang terangkum
dalam empat kompetensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial ( UU nomor 14
tahun 2005;Furqon 2005).
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, dan berwibawa, menjadi teladan bagi perserta didik, dan
berakhlak mulia. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelrjaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan peserta
didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilliki.
Kompentensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
dalam standar nasional pendidikan. Kompentensi sosial adalah
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik dan
masyarakat.
Jika keempat kompetensi tersebut dikuasai para guru, maka berbagai peran
dalam pembelajaran diharapkan dapat dilaksanakan secara optimal yaitu
sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing,
motivator, dan evaluator. Jika peran tersebut dapat dijalankan maka usaha
memberikan layanan pembelajaran yang optimal ke araah pelaksanaan
pendekatan kontruktivisme semoga dapat dicapai dengan baik.
Nah untuk memahami model-model pembelajaran kontruktivisme, seperti
discovery learning, reception learning, assisted learning, active learning,
the acclerated learning, quantum learning, dan contextual teaching and
learning, kooperative learning, ikuti uraian berikut ini:
A. Discovery Learning
Salah satu model pembelajaran kognitif yang paling berpengaruh adalah
discovery learning-nya Jerome Bruner (Slavin, 1994), yaitu siswa
didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar melalui
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk mempunyai pengalaman-pengalaman dan menghubungkan
pengalaman-pengalaman tersebut untuk menemukan prinsip-prinsip bagi
diri mereka sendiri.
Discovery learning telah banyak aplikasinya dalam dunia keilmuan,
misalnya pada beberapa museum sains ada beberapa silinder yang
memiliki ukuran dan berat yang berbeda-beda, beberapa ada yang ringan
dan yang lain berat. Siswa didorong untuk mengamati secara detail
perbedaan-perbedaan silinder tersebut, di antaranya adalah menentukan
kecepatan silinder tersebut.
Discovery learning mempunyai beberapa keuntungan mempunyai
keuntungan dalam belajar, antara lain siswa memiliki motivasi dari dalam
diri sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan sampai mereka menemukan
jawaban-jawaban atas problem yang dihadapi mereka. Selain itu siswa
juga belajar untuk mandiri dalam memecahkan problem dan memiliki
keterampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan
mengelola informasi.
B. Reception Learning
David Ausabel (Slavin 1994) memberikan kritik terhadap discovery
learning. Dia berargument bahwa siswa tidak selalu mengetahui apa yang
penting atau relavan, dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal
untuk mempelajari apa yang diajarkan di sekolah.
Namun demikian, kendati peran guru dalam reception learning maupun
discovery learning berbeda, namun keduanya memiliki beberapa
persamaan pandangan, antara lain:
1. Antara reception learning dan discovery learning, sama-sama
membutuhkan keaktifan siswa belajar.
2. Kedua pendekatan tersebut menekankan cara-cara bagaimana
pengetahuan siswa yang sudah ada dapat menjadi bagian dari pengetahuan
baru.
3. Kedua pedekatan sama-sama mengasumsikan pengetahuan sebagai
sesuatu yang dapat berubah terus.
Ausabel menjelaskan sebuah alternatif model pembelajaran yang disebut
reception learning. Para penganut teori resepsi ini menyatakan bahwa guru
mempunyai tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi
yang sesuai bagi siswa, kemudian mempresentasikan dengan baik
pelajaran yang dimulai dari umum ke yang spesifik. Inti pendekatan
reception lesrning adalah exspository teaching, yaitu perencanaan
pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.
Pengajaran ekspositori berisi tiga prinsip tahapan pembelajaran, yaitu:
1. Tahap pertama, advance organizer. Secara umum belajar secara
maksimal terjadi bila ada potensi kesesuaian antara skema dimiliki siswa
dengan materi atau informasi yang akan dipelajarinya. Agar terjadi
kesesuaian tersebut, Ausabel (Woolfolk, 1995) menyarankan sebuah
strategi yang disebut dengan advance organizer, yaitu sebuah statemen
perkenalan yang menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh
siswa dengan informasi baru yang akan dia pelajari. Fungsi dari advance
organizer ini adalah memberi bimbingan untuk memahami informari yang
baru. Dengan kata lain, advance organizer ini dapat menjadi jembatan
antara meteri pelajaran atau informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah dimiliki oleh siswa. Pemberian advance organizer mempunyai tiga
tujuan, yaitu memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang
terpenting dari materi yang akan dipelajarinya; menghigh-light diantara
hubungan-hubungan yang akan dipelajari; dan memberikan penguatan
terhadap pengetahuan yang diperoleh atau dipelajari.
2. Tahap kedua, meyampaikan tugas-tugas belajar. Setelah pemberian
advance organizer, langkah berikutnya adalah menyampaikan persamaan
dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang
baru, siswa tidak harus melihat hanya persamaan antara materi yang akan
dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Lebih dari itu,
siswa juga perlu melihat perbedaannya pula. Dengan demikian, tidak
terjadi kebingungan ketika siswa mempelajari materi yang baru dengan
pengetahuan yang sudah ada. Untuk membantu siswa memahami
persamaan dan perbedaan ini dapat digunakan berbagai cara, antara lain
cara ceramah, diskusi, film-film, atau tugas-tugas belajar.
3. Tahap ketiga, penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, Ausabel
menyatakan bahwa guru mencoba untuk menambahkan informasi baru ke
dalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran
dimulai dengan membantu siswa untuk mengamati bagaimana setiap detail
dari informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar atau lebih
umum. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka
pelajari.
C. Assisted Learning
Assisted learning mempunyai peran yang sangat penting bagi
perkembangan kognitif individu. Vygotsky menyatakan bahwa
perkembangan kognitif terjadi melalui interaksi dan percakapan seorang
anak dengan lingkungan di sekitarnya, baik dengan teman sebaya, orang
dewasa, atau orang lain dalam lingkungannya. Orang tersebut sebagai
pembimbing atau guru yang memberikan informasi dan dukungan penting
yang dibutuhkan anak untuk menumbuhkan intelektualitasnya. Orang
dewasa yang ada di sekitar anak memberikan perhatian dan bimbingan
terhadap apa yang dilakukan, dikatakan, ataupun dipikirkan oleh anak,
sehingga anak mengetahui manakah yang benar dan manakah yang salah.
Dengan demikian, seorang anak “tidak sendirian” dalam menemukan
dunianya sebagai bagian proses perkembangan kognitifnya. Anak dapat
melakukan konservasi dan klasifikasi dengan bantuan anggota keluarga,
guru, atau kelompok bermainnya. Pada umumnya bimbingan ini di
komunikasikan melalui bahasa.
Jerome Bruner menyebut bantuan orang dewasa dalam proses belajar anak
dengan istilah scaffolding, yaitu sebuah dukungan untuk belajar dan
memecahkan problem. Dukungan ini dapat berupa isyarat-isyarat,
peringatan-peringatan, dorongan, memecahkan problem dalam beberapa
tahap, memberikan contoh, atau segala sesuatu yang mendorong seorang
siswa untuk tumbuh dan menjadi pelajar yang mandiri dan memecahkan
problem yang dihadapinya. Guru dapat membantu belajar siswa dengan
menunjukkan keterampilan-keterampilan, mengajak siswa melalui tahap-
tahap untuk menyelesaikan masalah, atau memberikan feedback terhadap
hasil kerja siswa, sehingga siswa mendapatkan masukan dari hasil
kerjanya, dan selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan yang telah dukuasainya.
Menurut Vygotsky, interaksi sosial dan bantuan belajar lebih dari sekedar
metode mengajar, keduanya merupakan sumber terjadinya proses-proses
mental yang lebih tinggi seperti misalnya memecahkan problem,
mengalahkan memori dan perhatian, berpikir dengan simbol-simbol. Dia
mengasumsikan bahwa pandangan tentang fungsi mental sepatutnya dapat
diaplikasikan dalam kelompok seperti bentuk-bentuk aktivitas individual.
Dalam belajar dengan bantuan atau perantara ini, guru adalah seorang agen
budaya yang dengan bimbingan dan pengajarannya siswa dapat
menginternalisasi dan menguasai keterampilan yang membutuhkan fungsi
kognitif yang lebih tinggi. Secara budaya, kemampuan untuk
menginternalisasikan ini berkaitan dengan usia dan tahap perkembangan
kognitif.
Sementara secara teknis, scaffolding dalam belajar adalah membatu siswa
pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan
secara perlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa
dapat belajar sendiri serta dapat menemukan pemecahan bagi problem atau
tugas-tugas yang dihadapinya.
D. Active Learning
1. Pengertian Active Learning (Pembelajaran Aktif)
Active learning artinya pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif secara
sederhana didefinisikan sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa
secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Melvin L. Silberman,
belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian
informasi kepada siswa. Brlajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa memerlukan
sebagian besarpekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari
(Silberman, 1996).
Menurut Silberman, cara belajar dengan cara mendengarkan akan lupa,
dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara
mendengarkan, melihat dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham,
dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan
memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai
pelajaran yang terbagus adalah dengan mengerjakan.
Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik.
Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang hampir
dapat diterapkan untuk semua pelajaran.
2. Pembelajaran Aktif sebagai Induk Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan
pengalaman belajar yang bermakna dan senantiasa berpikir tentang apa
yang dapat yang dapat dilakukannya selama pembelajaran. Pembelajaran
aktif melibatkan siswa/mahasiswa untu melakukan sesuatu dan berpikir
tentang sesuatu yang sedang dilakukannya. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut, kegiatan aktif individual siswa di rumah seperti mengerjakan PR
oleh sementara ahli justru tidak dimasukan dalam kelompok pengajaran ini
karena pembelajaran aktif didefinisikan terkait pembelajaran yang
dilakukan di sekolah. Pembelajaran individual diluar sekolah dapat
digolongkan sebagai pembelajaran aktif jika ada pertanggungjawaban
berupa presentasi di dalam kelas seperti dalam pembelajaran berbasis
masalah atau dalam pembelajaran berbasis proyek.
Konsep pembelajaran aktif berkembang setelah sejumlah institusi
melakukan riset tentang lamanya ingatan siswa terhadap materi
pembelajaran terkait dengan metode pembelajaran yang digunakan. Hasil
riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine (1954), Amerika
Serikat menunjukkan bahwa dalam kelompok pembelajaran berbasis guru
mulai dari ceramah, tugas membaca, presentasi guru dengan audiovisual
dan bahkan demonstrasi oleh guru, siswa hanya dapat mengingat materi
pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dan pembelajarab dengan metode
diskusi yang tidak di dominasi oleh guru siswa dapat mengingat sebanyak
50%. Jika para siswa diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu mereka
dapat mengingat 75%. Praktik pembelajaran belajar dengan cara mengajar
(learning by teaching) menyebabkan mereka mampu mengingat sebanyak
90% materi.
Menurut Charles C. Bonwell dan J.A. Eison (1991) seluruh bentuk
pengajaran yang berfokus pada siswa sebagai penanggung jawab
pembelajaran adalah pembelajaran aktif. Jadi, menurut kedua ahli tersebut,
pembelajaran aktif mengacu kepada pembelajaran berbasis siswa. Dalam
hubungannya ini, Centre for Research on Learning and Teaching
University of Michigan, memberikan definisi yang lebih ketat lagi tentang
pembelajaran aktif. Menurut lembaga tersebut, pembelajaran aktif adalah
suatu proses yang memberikan kesempatan kepada para siswa terlibat
dalam tugas-tugas pemikiran tingkat tinggi seperti menganalisis,
melakukan sintesis dan evaluasi.
Umumnya. Pembelajaran aktif individual diwujudkan dalam metode
pemberian tugas mandiri seperti menyusun karangan berupa cerpen,
membuat puisi, membuat rangkuman, tugasc membaca, membuat peta
konsep, membuat diagram pohon, membuat resensi, meringkas, menyusun
karya ilmiah dan lain-lain, yang dapat dikerjakan siswa secara mandiri.
Dalam hubungan ini, kita akan sedikit membahas tentang pembelajaran
aktif individual semacam ini.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pembelajaran aktif lebih
menekankan pada pendekatan pembelajaran, dengan esensi mengaktifkan
siswa dalam pembelajaran, yang dilaksanakan dengan strategi
pembelajaran berbasis siswa. Jumlha siswa dalam pembelajaran aktif
bebas, boleh perseorangan atau kelompok belajar, yang penting siswa
harus aktif, sedangkan manifestasinyadalam pembelajaran berkelompok
dapat diwujudkan dengan metode pembelajaran kolaboratif, pembelajaran
kooporatif, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis
proyek. Oleh sebab itu, tidak ada sintaks khusus pembelajaran aktif,
bergantung pada metode yang dipilih lebih lanjut. Sintaks adalah nama
lain dari urutan langkah-langkah pembelajaran.
Terkait pembelajaran aktif, ada suatu hal yang patut dipahami berupa
konsep yang dikembangkan oleh L. Dee Fink. Menurut Fink (1999),
pembelajaran aktif terdiri dari dua komponen utama yakni, komponen
pengalaman dan komponen dialog. Lebih lanjut komponen pengalaman
terdiri dari pengalaman melakukan (doing) dan pengalaman mengamati
(observing), sedangkan komponen dialog terdiri dari dialog dengan diri
sendiri (dialogue with self) dan dialog dengan orang lain (dialogue with
others)
Dalam komponen melakukan (doing), siswa benar-benar melakukan
sesuatu secara nyata oleh dirinya sendiri, misalnya merancang dan
melakukan eksperimen proses respirasi di sekolah, meengarang cerpen
atau puisi, membuat resensi, mengarang gurindam (dalam pembelajaran
bahasa indonesia), menyusun silsilah raja-raja Kesultanan Yogyakarta
sejak perjanjian Giyanti (sejarah), mendemonstrasikan bahwa kertas
mengandung karbon (kimia), merancang dam penampungan air (teknik),
memimpin band sekolah (musik), presentasi oral (komunikasi), dan
sebagainya.
Dalam komponen mengamati (observing), siswa melihat dan
mendengarkan ketika orang lain melakukan sesuatu (doing something)
atau berdemonstrasi atau memberi contoh gerakan sesuatu. Guru olah raga
memberi contoh bagaimana cara menggiring dan menendang bola dengan
baik, cara melakukan servis bola dalam permainan bola voli. Guru bioligi
memberi contoh bagaimana memindahkan anakan tanaman ke tempat
yang lebih besar dan sebagainya. Tindakan mengamati dapat dilakukan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya transaksi di pasar
terkait pelajsran ekonomi atau IPS (di SD) dapat dipelajari siswa secara
langsung, atau dapat juga siswa mengamati secara tidak langsung kegiatan
simulasi yang dilakukan teman sekelasnya, atau melihatnya dari televisi,
dari film video dan internet, dan lain sebagainya.
Dialog dengan diri sendiri merupakan kegiatan refleksi terhadap suatu
konsep pembelajaran yang baru saja di lakukannyaatau diamatinya. Hal ini
terkait dengan apa yang terjadi tatkala siswa belajar berpikir secara
reflektif terhadap suatu topik pembelajaran. Dengan melakukan apa yang
di sebut dengan thinking about my own thinking ini, siswa mengembara ke
alam abstraknya, mencoba mengingat kembali konsep terkait dengan
konsep yang dipelajarinya, apa kegunaan konsep tersebut, apa
keterkaitannya dengan bidang studi secara keseluruhan, dan sebagainya.
Ini adalah contoh suatau metakognisi. Dalam hubungan ini guru dapat
menugasi siswa dalam skala kecil berupa membuat jurnal
pertemuan/perkuliahan, sedangkan dalam skala yang lebih besar misalnya
menyusun portopolio pembelajaran. Dalam kasus lain, ia dapat menuliskan
apa saja yang telah dipelajarinya, bagaimana cara ia belajar untuk
memahami bahan ajar, dan sebagainya.
Dialog dengan orang lain dapat berupa kegiatan membaca buku,
mendengarkan orang lain brceramah, atau sedang menjelaskan
sesuatu.dialog semacam ini abstrak dan sifatnya terbatas karena tidak ada
umpan balik serta pertukaran pemikiran. Fink menyebutnya sebagai partial
dialogue.
Jenis yang lain adalah dialog dalam diskusi, terutama dalam diskusi
kelompok kecil. Hal ini lebih bersifat dinamiskarena ada pertukaran
pikiran dan masukan umpan balik. Disini guru dapat mengembangkan
cara-cara yang lebih kreatif, misalnya ketika karya wisata mengajak siswa
berdialog dengan narasumber, guide atau dalam penerapan metode
pembicara tamu siswa dapat berdialog dengan pakar atau narasumber yang
sengaja diundang ke sekolah.
3. Peran Guru dalam Pembelajaran Aktif
Peran fungsional guru dalam pembelajaran aktif yang utama adalah
sebagai fasilisator. Hal ini sesuai dengan teori kontruktivisme. Fasilisator
adalah seseorang yang membantu peserta didik untuk belajar dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Sebagai fasilisator guru menyediakan fasilitas pedagogis,
psikologis, dan akademik bagi pengembangan dan pembangunan struktur
kognitif siswanya. Dengan kata lain, guru wajib dan harus menguasai teori
pendidikan dan metode pembelajaran serta mumpuni dalam penguasaan
bahan ajar agar pembelajaran aktif bergulir dengan lancar. Itulah
kewajiban mutlak guru abad XXI ini.
Fasilitasi dalam pembelajaran menggambarkan suatu proses dalam
membawa seluruh seluruh anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam
pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi bahwa setiap peserta didik
memiliki sikap unik yang bernilai untuk saling dipertukarkan. Prinsip yang
harus dipegang disini adalah “Tanpa kontribusi dan kemampuan berbagai
pengetahuan dari setiap anggota kelompok, derajat pemahaman dan
kemampuan merespons kelompok terhadap masalah akan berkurang”.
• Seseorang yang mengetahui kekuatan dan kemampuan setiap anggota
kelompok dan membantunya untuk merasa nyaman dalam saling berbagi
harapan, kepedulian, dan gagasan;
• Seseorang yang mendukung kelompok, memberikan partisipan rasa
percaya diri dalam berbagi dan mencoba gagasan-gagasan baru;
• Seseorang yang menyadari adanya beragam nilai dan kepekaan terhadap
kebutuhan dan minat yang berbeda dari setiap anggota kelompok.
Perbedaan ini mungkin terkait jenis kelamin, usia, ras, suku, status
ekonomin, status sosial, dan lainnya;
• Seseorang yang memimpin dengan keteladanan melalui sikap,
pembicaraan, pendekatan, dan tindakan.
Dalam hubungan ini, Tylee (2000) menyatakan tugas pokok sorang
fasilitator atau peran guru pada saat tatap muka di kelas terutama, adalah:
• Menilai para siswa;
• Merencanakan pembelajaran
• Menimplementasikan rancangan pembelajaran; dan
• Melaksanakan evaluasi proses pembelajaran.
Dalam hubungannya dengan tugas menilai (mengases) siswa sebagai
prasyarat awal agar observasi terhadap siswa yang dinilai dapat secermat
mungkin, guru harus berupaya akrab dengan siswa. Dengan kata lain, ia
mengenal dan mengetahui para siswanya dengan baik. Aspek penting dari
siswa yang harus dinilai antara lain lemauan belajar dan kecakapan siswa.
Kedua hal tersebut dapat membuka secara luas kesempatan belajar bagi
siswa. Kemauan belajar siswa terkait dengan nilai-nilai, sedangkan
perasaan siswa terkait dengan proses pembelajaran. Setiap kecakapan
siswa dalam belajar mengacu kepada pemaham belajar dan keterampilan
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran,
sedangkan mengetahui sistem nilai yang dipegang para siswa diperlukan
untuk mengetahui hal-hal apakah yang penting dan menarik minat mereka.
Tugas fasilitator yang kedua, yakni menyusun rencana pembelajran,
Rencana pembelajaran dapat disusun lebih baik oleh para guru jika para
guru telah memahami apa yang akan dinilai dari para siswanya. Selain itu,
rancangan pembelajaran juga harus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan
minat para siswa. Dari hal tersebut, para guru dapat menemukan output
pembelajaran sebagai hasil dari saling menunjang antara isi bahan ajar,
teori personal tentang pengajaran dan pembelajaran yang dianut oleh guru,
serta hasil penilaian guru terhadap kebutuhan dan minat siswa.
Terkait implementasi rancangan pembelajaran, hal utama yang harus
diperhatikan oleh guru adalah bagaimana cara mengelola kelas (classroom
management) dengan sebaik-baiknya, serta mengimplementasikan strategi
pembelajaran yang mengakomodasikan berbagai gaya belajar siswa.
Dalam hal ini termasuk bagaimana mengembangkan iklim emosional dari
kelas dan kualitas interaksi antara guru dengan para siswa.
Tugas yang terakhir dari fasilitator adalah melakukan evaluasi terhadap
proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru sebagai fasilitator harus merivisi
hasil asesmen siswa. Maksudnya hasil asesmen kelas harus menjadi bahan
perbaikan bagi pembelajaran berikutnya. Iklim emosi yang terbangun pada
saat pembelajaran harus menjadi perhatian pokok dari evaluasi yang
berkesinambungan, sehingga masalah-masalah yang timbul dapat
diidentifikasi dan rancangan pembelajaran yang dikembangkan
selanjutnya telah mengakomodasikan penyelesaian masalah-masalah
tersebut.
Dalam konteks fasilitator ini, minimal ditemukan ada delapan peran
alternatif yang dapat dimainkan guru sesuai dengan kondisi dan situasi
pembelajaran (Northern Ireland Curriculum,2000), yakni sebagai :
1. Fasilitator netral (neutral facilitator), fasilitator yang membuat
kelompok belajar mampu mengeksplorasikan berbagai pandangan siswa
tanpa menyatakan pendapatnya sendiri;
2. “Si Durna” (devil’s advocate), pengacara lancung, fasilitator yang
secara sengaja memposisikan dirinya berbeda pandangan dengan
kelompok siswa, dengan tujuan agar situasi diskusi lebih hidup dan
muncul berbagai argumen dari siswa untuk mempertahankan pendapatnya
masing-masing.
3. Penyampai pandangan (declared interest), fasilitator yang pada suatu
waktu yang tepat dan memungkinkan juga menyampaikan juga pendapat
pribadinya sehingga kelompok siswa mengetahui pandangannya.
4. Sekutu (ally), fasilitator mendukung pandangan siswa tertentu, biasanya
mendukung sebagian kecil anggota kelompok atau subkelompok yang
menjadi minoritas dalam kelompok.
5. Pemberi tahu pandangan resmi (official view), fasilitator
memberitahukan kepada anggota kelompok, pandangan dari organisasi
resmi atau aturan dan hukum-hukum tentang isu terkait.
6. Penantang (challenger), fasilitator melalui sejumlah pertanyaan,
memberikan tantangan kepada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya
dan mendorong siswa untuk berani menegaskan posisi pandangannya;
7. Provokator (provokator), fasilitator membawa argumen, pandangan dan
informasi yang diketahuinya untuk memprovokasi kelas bagi hadirnya
diskusi yang lebih bergairah, serta mempresentasikan argumen,
pandangan, dan informasinya tersebut di depan kelas dengan penuh
keyakinan;
8. Pemain peran (in-role), fasilitator memainkan peran tertentu yang
relevan dengan topik diskusi (misalnya menjadi seorang kiai atau ustad,
seorang pendeta, menjadi politikus, dalam konteks peran ini fasilitator juga
boleh menjadi karikaturis).
Untuk dapat memainkan berbagai peran tersebut seorang fasilitator harus
menguasai sejumlah kecakapan tertentu. Kecakapan tersebut antara lain
adalah sebagai berikut.
a. Kecakapan mendengar, yaitu seorang fasilitator harus mampu
mendengarkan dengan baik dan hati-hati, dan secara kreatif memungut
aspek-aspek positif dari suatu masalah.
b. Kecakapan mengamati, yaitu kemampuan untuk melihat apa yang
sesungguhnya terjadi serta memantau pelaksanaan kerja kelompok secara
objektif.
c. Kepekaan/empatim yaitu kecakapan untuk melihat masalah dari titik
pandang peserta didik. Memahami perasaannya, gagasan, dan nilai-nilai
mereka serta lebih berfokus kepada struktur kerja kelompok daripada
kepada pribadi dan kompetensi siswa.
d. Mendiagnosa, yaitu kecakapan untuk mendefinisikan masalah dan
memilih intervensi serta tindakan bagi penyelesaian masalah.
e. Mendukun/mendorong yaitu kecakapan untuk menyediakan indikator
baik verbal maupun nonverbal untuk memberikan dorongan, menyetujui,
melakukan apresiasi, dan menyatakan kepedulian. Hal semacam ini
diperlukan untuk membantukelompok dalam mencari penyelesaian
masalah.
f. Menantang, yaitu kecakapan untuk melakukan konfrontasi menyatakan
ketidaksetujuan, atau memberhentikan proses yang menyimpang dari
tujuan tanpa bertindak kasar.
g. Keterbukaan, yaitu kecakapan untuk mengundang adanya dialog,
menerima umpan balik dan kesiapan dalam mengamati sikap, nilai-nilai,
dan gagasan setiap peserta didik, serta kemampuan mengubah sikap, nilai,
dan ide milik peserta didik tersebut jika diperlukan.
h. Menjadi model, yaitu kecakapan untuk menjadikan dirinya sebagai
model bagi kelompok.
Sebagai seorang fasilitator, harus mampu membangun lingkungan
pembelajaran yang kondusif bagi terselanggaranya pembelajaran aktif
yang baik.
Harrison (1998), dalam Tylee (2000) menghadirkan model SPACE bagi
terciptanya kondisi pembelajaran yang optimal. Pada prinsipnya, model
yang harus dibangun guru tersebut adalah membuat para siswanya mampu
memanifestasikan hal-hal sebagai berikut:
• Self-affirmation, yaitu peserta didik harus memandang dirinya sendiri
sebagai peserta didik yang efektif, sedangkan tugas guru adalah
memberikan masukan-masukan yang mampu memperkuat pandangan
tersebut.
• Personal meaning, yaitu siswa mampu menemukan makna pembelajaran,
artinya pembelajaran relevan dengan kebutuhan dirinya.
• Aktif learning, yaitu siswa aktif selama kegiatan pembelajaran, dapat
berupa secara fisik melakukan sesuatu atau secara intelektual melakukan
sesuatu (sebagai abstraksi dari peserta didik yang bersifat reflektif).
• Collaborative, yaitu siswa mampu berkolaborasi satu sama lain dalam
proses pembelajaran dan tidak berpandangan bahwa belajar itu merupakan
pengalaman terisolasi.
• Empowering, yaitu siswa mampu membentuk proses belajar, mengontrol
apa yang sudah dipelajarinya dan mampu mengontrol arah pembelajaran.
Berkaitan dengan hal ini, Clarke (2005) menyatakan bahwa fasilitator
yang baik harus memiliki karakteristik pribadi tertentu yang mampu
mendorong anggota kelompok untuk berpartisipasi. Karakteristik pribadi
itu termasuk sikap rendah hati, murah hati, dan kesabaran yang
digabungkan dengan pemahaman, kesediaan menerima dan menyetujui
(afirmasi). Tekni-teknik yang sering dilaksanakan oleh seorang fasilitator
yang baik, adalah sebagai berikut:
• Meminta anggota kelompok untuk saling berbagi informasi melalui
paparan yang menggunakan gambar-gambar, diagram atau bantuan media
visual lain ini akan membantu anggota yang lambat belajar.
• Membagi kelompok menjadi kelompok-kelompok kecil untuk
mendorong keberanian anggota yang pemalu atau bersikap tertutup untuk
berpartisipasi.
• Menggunakan diskusi kelompok dan kegiatan kelompok yang
menyediakan kesempatan bagi peserta yang lambat belajar untuk aktif
terlibat dalam proses pembelajaran.
• Meminta kelompok untuk menyetujui aturan-aturan dasar permainan
seperti tidak melakukan interupsi saat anggota lain sedang berbicara,
menghargai pandangan yang berbeda, serta menyepakati keputusan yang
telah disepakati oleh sebagian besar anggota kelompok.
• Memebrikan tugas khusus bagi peserta yang dominan sehingga ada ruang
dan waktu berpartisipasi bagi yang lain sambil menjaga agar setiap orang
terlibat aktif.
• Menangani konflik dengan cara dan pendekatan yang sensitif, sehingga
setiap perbedaan yang ada selalu memiliki nilai dan dihargai`
3. Bertanya
Pembelajaran kontekstual dibangun melalui dialog interaktif melalui tanya
jawab oleh keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar.
Dalam rangka objektivikasi pengetahuan yang dibangun melalui
intersubjektif, bertanya sangatlah penting. Kegiatan bertanya penting
untuk menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui,
dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Bertanya sangat penting untuk melakukan elaborasi yaitu proses
penambahan rincian, sehingga informasi baru akan menjadi lebih
bermakna. Melalui berbagai pertanyaan peserta didik dapat melakukan
probing, sehingga informasi yang diperolehnya lebih mendalam. Bertanya
adalah proses dinamis, aktif, dan produktif. Bertanya adalah proses fondasi
dari interaksi belajar mengajar.
4. Masyarakat Belajar
Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pembelajaran sebagai
proses sosial. Melalui interaksi dalam komunitas belajar proses dan hasil
belajar menjadi lebih bermakna. Hasil belajar diperoleh dari berkolaborasi
dan berkooperasi. Dalam praktiknya “masyarakat belajar” terwujud dalam
pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar,
mendatangkan ahli kekelas, bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja
kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama dengan masyarakat.
5. Pemodelan
Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pendemonstrasian
terhadap hal yang dipelajari oeserta didik. Pemodelan memusatkan pada
arti penting pengetahuan prosedural. Melalui pemodelan peserta didik
dapat meniru terhadap hal yang dimodelkan. Model bisa berupa cara
mengoprasikan sesuatu, contoh kaya tulis, melafalkan bahasa dan
sebagainya.
6. Refleksi
Refleksi adalah bagian penting dari pembelajaran kontekstual. Refleksi
merupakan cara untuk melihat kembali, mengorganisir kembali,
menganalisis kembali, mengklarifikasi kembali, dan mengevaluasi hal-hal
yang telah dipelajari.
7. Penilaian Autentik
Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Data
dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan peserta didik pada saat
melakukan pembelajaran.
Sebuah sel saraf hanya memiliki sebuah akson yang terbentuk serat
panjang kuat yang memanjang dari badan sel dan membawa sinyal
elektrokimia keluar menuju dendrit sel yang lain bertugas menghubungkan
bagian otak.”Terlihat sangat tangguh, tetapi rentan kembang gula,
bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, sementara pada saat yang
sama mampu merasakan jalan yang ditempuhnya dengan menggunakan
ujung beralurnya yang berombak-ombak dan berputar ketika mereka
membuat kemajuan yang tak terbendung” (Greenfield,1997), akson
bergerak menuju sel saraf yang ditujunya. Seperti halnya kabel listrik yang
mampu bekerja maksimal jika dilapisi dengan plastik isolasi, demikian
juga akson memerlukan lapisan myelin, yaitu sebuah substansi lemak, agar
dapat bekerja secara efisien.
Jika sebuah rangsangan elektrik berjalan menyusuri akson, akan mencapai
sebuah celah yang bernama sinapsis. Celah sinapsis memisahkan ujung
akson suatu sel saraf dengan dendrit sel saraf yang lain. Sinyal harus
menyeberangi celah ini. Hal itu akan terjadi jika rangsangan listrik di
dalam sebuah akson menyebabkan terbentuknya paket-paket yang terletak
di titik-titik ujung akson yang berbentuk seperti bantal. Paket-paket
tersebut membuka untuk melepaskan molekul-molekul kimia yang dikenal
sebagai neurotransmiter ke dalam cairan encer di dalam celah.
Neurotransmiter kemudian menyebrangi celah tersebut dan mengantarkan
sinyal dari sel saraf menuju dendrit yang menunggu. Lingkungan kelas
harus membantu otak membuat hubungan sinapsis. Ketika hubungan
sinapsis terjadi, jalan-jalan saraf yang kompleks akan terbentuk dan
meningkatkan kekuatan, kecepatan, dan kecerdasan otak (IQ). Karena
lingkungan yang cocok dengan otak menghasilkan hubungan-hubungan
sinapsis, anak-anak akan berhasil belaja dalam lingkungan itu.