You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari
kita lakukan sebagai dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang kita
temukan komplikasi dari tindakan ekstraksi gigi yang kita lakukan.
Karenanya kita perlu waspada dan diharapkan mampu mengatasi
kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
Tindakan pencabutan gigi merupakan tindakan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi penderita, dasar pembedahan harus dipahami,
walaupun sebagian besar tindakan pencabutan gigi dapat dilakukan ditempat
praktek. Beberapa kasus perlu penanganan di rumah sakit oleh karena ada
pertimbangan kondisi sistemetik penderita.
Pencabutan gigi dapat dilakukan bilamana keadaan lokal maupun
keadaan umum penderita (physical status) dalam keadaan yang sehat.
Kemungkinan terjadi suatu komplikasi yang serius setelah pencabutan,
mungkin saja dapat terjadi walaupun hanya dilakukan pencabutan pada satu
gigi.
Sebagian besar perawatan gigi dilakukan di bawah anestesi lokal
dan ini juga diketahui bahwa operasi gigi menyebabkan peningkatan
tekanan darah, bahkan pada pasien normotensif .
Faktor yang mempengaruhi peningkatan ini belum sepenuhnya
dipahami. Hal ini penting untuk menentukan faktor penyebab respon
tekanan darah selama operasi gigi karena perdarahan subarachnoid fatal dan
perdarahan masif yang berhubungan dengan operasi gigi dan tekanan darah
tinggi telah dilaporkan.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa peningkatan
tekanan darah selama pencabutan gigi terkait dengan kesulitan dalam
pencabutan gigi dan volume penggunaan bius lokal.

1
Peran sistem saraf otonom dalam respon tekanan darah yang
disebabkan oleh operasi gigi belum diselesaikan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah selama operasi gigi
tampaknya dimediasi terutama oleh aktivasi sistem saraf simpatik.
Hal ini juga diketahui bahwa tekanan darah dan denyut nadi
meningkat selama ekstraksi gigi. Kontribusi dari sistem saraf simpatik pada
peningkatan ini belum dipahami dengan baik.
Banyak faktor seperti usia pasien, jenis kelamin, pendidikan,
volume anestesi lokal, lama pengobatan dan sulitnya prosedur mungkin
penentu kuat dari tingkat peningkatan tekanan darah. Semua parameter yang
menunjukkan perubahan yang signifikan secara statistik hanya dapat
meningkat lebih pada pasien medis yang dikompromikan dan pasien
tersebut mungkin memerlukan tindakan pencegahan lebih dan pemantauan
rutin selama operasi.
Selain itu, kontrol dari perdarahan lokal bisa sangat
menguntungkan. Meskipun manfaat tersebut, penggunaannya telah dibatasi
oleh rasa takut terhadap absorbsi sistemik dan efek induksi yang merugikan
jantung terutama pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Hipertensi merupakan salah satu sejarah medis yang paling umum
diperoleh dari pasien yang mengunjungi klinik gigi, maka pasien hipertensi
merupakan suatu kelompok risiko penting dalam perawatan gigi.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah hubungan antara anastesi lokal dengan hipertensi dan
kelainan jantung?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara anastesi lokal dengan
hipertensi dan kelainan jantung.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tekanan Darah


2.1.1 Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh sirkulasi
darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan salah satu tanda-
tanda vital utama. Pada setiap detak jantung, tekanan darah bervariasi
antara tekanan maksimum (sistolik) dan minimum (diastolik). Tekanan
darah dikarenakan oleh pemompaan jantung dan resistensi pembuluh
darah, berkurang sebagai sirkulasi darah menjauh dari jantung melalui
arteri. Tekanan darah memiliki penurunan terbesar dalam arteri kecil
dan arteriol, dan terus menurun ketika bergerak melalui darah kapiler
dan kembali ke jantung melalui pembuluh darah. Gravitasi, katup dalam
pembuluh darah, dan memompa dari rangka kontraksi otot merupakan
beberapa pengaruh lain pada tekanan darah di berbagai tempat di dalam
tubuh. Tekanan darah dinilai dalam dua hal, sebuah tekanan tinggi yaitu
sistolik yang menandakan kontraksi maksimal jantung dan tekanan
rendah yaitu diastolik.
2.1.2 Jenis Tekanan Darah
Jenis tekanan darah ada 2 macam, yaitu:
a. Tekanan Sistole
Merupakan tekanan darah tertinggi selama 1 siklus jantung,
tekanan yang dialami pembuluh darah saat jantung berdenyut atau
memompakan darah keluar dari jantung. Pada orang dewasa normal
tekanan sistole berkisar 120 mmHg.
b. Tekanan Diastole
Merupakan tekanan darah terendah selama 1 siklus jantung.
Suatu tekanan di dalam pembuluh darah saat jantung beristirahat.
Pada orang dewasa tekanan diastole berkisar 80 mmHg.

3
c. Tekanan Nadi
Merupakan selisih antara tekanan sistole dan diastole.

2.2 Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah dan menetap di atas
dari batasan tekanan darah normal, yaitu apabila tekanan darah sistolik lebih
dari 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai normal yang ditentukan merupakan
salah satu faktor resiko dalam proses terjadinya penyakit pembuluh darah
seperti stroke, infark miokard, kematian kardiovaskular, dan semua
penyebab kematian yang berhubungan dengan naiknya tekanan darah.
2.2.1 Klasifikasi Hipertensi
Berikut klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-7:
- Normal : Sistolik < 120 mmHg, Diastolik < 80 mmHg.
- Prehipertensi : Sistolik 120-139 mmHg, Diastolik 80-90 mmHg.
- Hipertensi stadium 1 : Sistolik 140-159 mmHg, Diastolik 90- 99
mmHg.
- Hipertensi stadium 2 : Sistolik ≥ 160 mmHg, Diastolik ≥ 100
mmHg.
- Isolated Systolic Hypertension : Sistolik ≥ 140 mmHg, Diastolik <
90 mmHg.
2.2.2 Etiologi
1. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini
masih belum dapat diketahui. Namun, berbagai faktor diduga turut
berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti
bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan).
Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi primer
sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.

4
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya
dapat diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal,
gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme), dan lain-lain. Karena golongan terbesar
dari penderita hipertensi adalah hipertensia esensial, maka
penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan kepada
penderita hipertensi esensial.
2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi
di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan
diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah
yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui
dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon
antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus
(kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas
dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin
yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume
cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari
bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada
akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki
peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

5
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume
cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume
dan tekanan darah.
2.2.4 Gejala Hipertensi
Manifestasi klinis pada pasien dengan hipertensi adalah :
- Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg
- Sakit kepala
- Epistaksis
- Pusing / migraine
- Rasa berat ditengkuk
- Sukar tidur
- Mata berkunang kunang
- Lemah dan lelah
- Muka pucat
- Suhu tubuh rendah

2.3 Anastesi Lokal


2.3.1 Definisi Anastesi Lokal
Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area
tertentu yang dipersarafi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi
eksitasi pada serabut saraf maupun akibat inhibisi pada proses konduksi
nervus perifer.
Sedangkan Anestesiologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mendasar usaha dalam hal-hal pemberian anestesi dan analgesik serta
menjaga keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau
tindakan, melakukan tindakan resusitasi pada penderita gawat,
mengelola unit perawatan intensif, memberi pelayanan terapi,
penanggulangan nyeri menahun bersama cabang ilmu kedokteran
lainnya dan dengan peran serta masyarakat secara aktif mengelola
kedokteran gawat darurat.

6
Semua anestesi umumnya terbentuk dari kombinasi basa lemah dan
asam kuat. Agen-agen ini dapat dengan mudah terhidrolisa pada
jaringan yang bersifat alkali ( PH 7,4 ). Untuk mengeluarkan basa
alkaloid yang akan diikat oleh lemak pada serabut saraf. Basa ini dapat
mencegah bertambahnya permeabilitas membran saraf. Stabilitasi
membran pembatas aksonal akan mencegah aliran ke dalam dan ion
Na+ dan depolarisasi, oleh karena itu tidak akan ada konduksi impuls.
Anestesi lokal mencegah pembentukan & konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya di membran sel. Potensial aksi saraf terjadi karena
adanya peningkatan sesaat (sekilas) permeabilitas membran terhadap
ion Na+ akibat depolarisasi ringan pada membran. Jadi terjadi interaksi
antara anestesi lokal dengan kanal Na+. Dengan semakin bertambahnya
efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran
akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi
menurun, konduksi impuls melambat & faktor pengaman konduksi
saraf juga berkurang. Faktor ini akan mengakibatkan penurunan
kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
kegagalan konduksi saraf.
Penambahan epinefrin pada anestesi lokal selain sebagai
vasokonstriktor juga mengurangi kecepatan absorpsi anestesi
lokal sehingga akan mengurangi juga toksisitas sistemiknya.
2.3.2 Mekanisme Kerja Anestesi Lokal
 Anestesi Lokal mencegah timbulnya konduksi impuls saraf
 Meningkatkan ambang membran, eksitabilitas berkurang dan
kelancaran hantaran terhambat
 Anestesi Lokal juga mengurangi permeabilitas membran bagi ion Na
& K dalam keadaan istirahat
 Meningkatkan tegangan permukaan selaput lipid molekuler
2.3.3 Kefeektifan Anestesi Lokal
Kefeektifan anestesi lokal tergantung pada :
 Potensi analgesik dari agen anestesi yang digunakan

7
 Konsentrasi agen anestesi local
 Kelarutan agen anestesi lokal dalam : air ( misalnya : cairan
ekstraseluler ) dan lipoid ( misalnya : selubung mielin lipoid )
 Persistensi agen pada daerah suntikan tergantung baik pada
konsentrasi agen anestesi lokal maupun keefektifan
vasokonstriktor yang ditambahkan.
 Kecepatan metabolisme agen pada daerah suntikan.
 Tergantung pula pada keterampilan operator dan variasi anatomi
2.3.4 Sifat Anestesi Lokal
Sifat anestesi lokal yang ideal :
 Tidak mengiritasi / merusak jaringan saraf secara permanen
 Batas keamanan harus lebar
 Mula kerja harus sesingkat mungkin
 Durasi kerja harus cukup lama
 Larut dalam air
 Stabil dalam larutan
 Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
 Indikasi & Keuntungan anastesi local
 Penderita dalam keadaan sadar serta kooperatif.
 Tekniknya relatif sederhana dan persentase kegagalan dalam
penggunaanya relatif kecil.
 Pada daerah yang diinjeksi tidak terdapat pembengkakan.
 Peralatan yang digunakan sedikit sekali dan sederhana serta obat
yang digunakan relatif murah.
 Dapat digunakan sesuai dengan yang dikehendaki pada daerah
anatomi tertentu.
 Dapat diberikan pada penderita yang keadaan umumnya kurang
baik, sebab adanya pemberian obat anastesi terjadi penyimpangan
fisiologis dari keadaan normal penderita sedikit sekali.

8
2.3.5 Kontra Indikasi Anastesi Lokal
 Operator merasa kesulitan bekerja sama dengan penderita,
misalnya penderita menolak disuntik karena takut
 Terdapat suatu infeksi/ peradangan
 Usia penderita terlalu tua atau dibawah umur
 Alergi terhadap semua anastetikum
 Anomali rahang
 Letak jaringan anastesi terlalu dalam
2.3.6 Pemilihan Jenis Anastesi
Penyakit sistemik mungkin merupakan faktor penentu yang
mempengaruhi pemilihan anastesi. Setiap penyakit yang mengganggu
efisiensi pernapasan atau jalan napas merupakan kontra indikasi
terhadap anastesi umum pada kursi dental.
Sementara beberapa penulis menyarankan untuk tidak
memakai adrenalin dalam larutan anastesi lokal yang digunakan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler. Namun
pendapat yang lazim adalah bahwa adrenalin dalam jumlah kecil yang
diberikan untuk penggunaan di bidang gigi dalam kenyataannya
menguntungkan, oleh karena adrenalin ini menyebabkan lebih
terjamin, lebih lama, dan lebih dalam anastesinya, sehingga
mengurangi jumlah adrenalin yang disekresikan oleh pasien itu sendiri
sebagai reaksinya terhadap rasa sakit dan rasa takut.
Penting bahwa setiap pencabutan atau skeling yang dilakukan
pada pasien penderita katup jantung kongenital atau penyakit katup
jantung karena reumatik harus dilakukan hanya dengan perlindungan
antibiotik yang memadai. Pencabutan gigi pada pasien-pasien dengan
penyakit jantung yang berat harus dilakukan di rumah sakit, apapun
bentuk anastesi yang digunakan. Jika tendensi untuk terjadinya
perdarahan disebabkan oleh adanya abnormalitas setempat seperti
haemangioma, maka anastesi lokal harus dihindarkan dan pencabutan

9
hanya dilakukan dirumah sakit dengan fasilitas-fasilitas hematologik
yang lengkap.
Dalam hal ini, pemilihan anastesi lokal juga perlu
dipertimbangkan. Lignocaine dan derivate amide aman dan efektif.
Efek keracunan dan alergi sangat jarang terjadi dan hampir tidak ada.
Walaupun demikian, lignocaine relatif tidak efektif tanpa penambahan
vasokonstriktor, sementara yang lain seperti Prilokain dapat menahan
rasa sakit dalam jangka waktu yang pendek tanpa bantuan apa-apa.
Vasokonstriktor seperti adrenalin dan noradrenalin, memberikan
pengaruh pada sistem jantung, yang lebih beracun dari anastesi lokal
itu sendiri. Noradrenalin dapat meyebabkan hipertensi yang
berbahaya, tidak memiliki keuntungan dan tidak seharusnya
digunakan. Oleh karena itu kita harus menghindari anastesi lokal yang
mengandung vasokonstriktor pada pasien penderita jantung dan
hipertensi. Karena adanya bahaya utama dari adrenalin yang jika
masuk ke sirkulasi bagian-bagian penting, dapat menyebabkan
meningkatnya rangsangan jantung dan detakan jantung.
Sekalipun saat ini prokain jarang digunakan dalam kedokteran
gigi, namun patut dicatat bahwa bahan anastesi lokal ini tidak boleh
digunakan pada pasien-pasien yang mendapat sulfonamide untuk
perawatan terhadap penyakit sistemiknya. Oleh karena obat-obatan
kelompok antibakterial ini mengandung cincin asam para
aminobenzoat yang sama seperti pada prokain, yang secara teoritis
bahwa dapat menetralisir sebagian efek-efek dari yang satu terhadap
yang lainnya jika diberikan bersamaan. Sekalipun fenomena ini tidak
pernah terbukti secara klinik namun kombinasi ini sebaiknya
dihindarkan. Pasien-pasien yang memiliki riwayat hipersensitif
terhadap sulfonamide tidak boleh diberi bahan anastesi lokal yang
mengandung cincin asam paraminobenzoat.

10
2.3.7 Komplikasi Anestesi Lokal
Pada pemberian anestesi lokal, terdapat komplikasi yang
mungkin saja terjadi. Komplikasi yang disebabkan pemberian anestesi
lokal dibagi menjadi dua, komplikasi lokal, dan komplikasi sistemik.
Komplikasi lokal merupakan komplikasi yang terjadi pada sekitar area
injeksi, sedangkan komplikasi sistemik merupakan komplikasi yang
melibatkan respon sistemik tubuh terhadap pemberian anestesi lokal.
Komplikasi Lokal dari Anastesi Lokal, antara lain :
a. Jarum Patah
Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang
fatig akibat dibengkokkan. Jarum patah dapat pula disebabkan
oleh kesalahan teknik saat administrasi, kelainan anatomi pasien,
serta jarum yang disterilkan berulang. Apabila kondisi ini terjadi,
pasien diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan operator
jangan dilepaskan dari mulut pasien dan pasang bite block bila
perlu. Jika patahan dapat terlihat, patahan dapat dicoba diambil
dengan arteri klem kecil. Namun, apabila jarum tidak terlihat,
insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan segera konsultasikan
ke spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical.
b. Rasa sakit
Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh
penggunaan jarum yang tumpul, pengeluaran anestetikum dengan
terlalu cepat, serta tidak menguasai teknik anestesi lokal. Hal ini
dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal sebelum
insersi jarum dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta
anestetikum yang digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan
suhu tubuh.
c. Parestesi atau Anestesi Berkepanjangan
Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi
akibat trauma saraf, anestetikum bercampur alkohol, serta adanya
perdarahan pada sekitar saraf. Parestesi berkepanjangan dapat

11
menyebabkan trauma pada bibir yang tergigit dan apabila
mengenai N. Lingualis dapat menyebabkan mati rasa kecap.
Sebagai upaya pencegahan, operator harus berhati-hati saat
administrasi dan menggunakan spuit sekali pakai sehingga tidak
perlu mensterilkan dengan larutan alkohol. Penanggulangan
parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan penjelasan
pada pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama,
kontrol setiap dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu
tahun maka konsultasi neurologis diperlukan.
d. Paralisis Fasial
Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu
dalam saat blok N. Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar
parotis dan mengenai cabang saraf wajah, biasanya N. Orbicularis
oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan dengan memberitahu
pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama beberapa jam
dan mata pasien harus dilindungi selama refleks berkedip belum
kembali.
e. Trismus
Trismus merupakan salah satu komplikasi pemberian
anestesi akibat adanya trauma pada M. Mastikatorius atau
pembuluh darah pada intra temporal fossa. Trismus dapat pula
disebabkan oleh anestesi lokal yang bercampur alkohol dan
berdifusi ke jaringan sehingga mengiritasi M. Mastikatorius.
Penangulangan trismus dilakukan dengan cara pemberian
analgetik, kompes air panas selama 20 menit, latihan buka tutup
mulut selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula diberikan permen
karet untuk melatih gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih
dari 7 hari, maka konsulkan pada spesialis bedah mulut.
f. Hematom
Hematom sering terjadi pada komplikasi blok N. Alveolaris
Inferior, N. Alveolaris Superior Posterior, dan N. Mentalis/ Insisif.

12
Pencegahan hematom dapat dilakukan dengan mengetahui
anatomi sehingga tidak terjadi penyebaran darah ke ronga
ekstravaskuler. Penggunaan jarum pendek pada anestesi N.
Alveolaris superior posterior juga dapat dilakukan sebagai upaya
meminimalisasi hematom. Penanggulangan hematom akibat
administrasi anestesi lokal adalah dengan menekan perdarahan dan
jangan mengompres panas selama 4-6 jam setelah kejadian, namun
setelah satu hari dapat dikompres hangat 20 menit per jam.
Kompres dingin dapat dilakukan segera setelah terjadi hematom
untuk mengurangi perdarahan dan rasa sakit.
g. Infeksi
Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat
menyebabkan trismus. Bila infeksi berlanjut sampai lebih dari hari
ketiga, maka antibiotik diindikasikan untuk pasien tersebut.
h. Edema
Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal,
infeksi, alergi, perdarahan, dan penyuntikan anestetikum yang
terkontaminasi alkohol. Penanggulangan edema dilakukan dengan
observasi bila edema disebabkan oleh trauma injeksi atau iritasi
larutan, biasanya akan hilang 1- 3 hari tanpa terapi. Sedangkan
bila lebih dari 3 hari dan disertai rasa sakit atau disfungsi
mandibula, antibiotik sebaiknya diberikan untuk pasien tersebut.
i. Trauma jaringan lunak
Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental,
rasa baal setelah pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan
pasien tersebut mengigit bibir maupun jaringan lunak lainnya.
Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar area yang
dianestesi dilakukan dengan pemberian salep untuk mengurangi
iritasi, analgesik, serta antibiotik jika diperlukan.

13
j. Lesi intraoral
Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada
jaringan saat insersi. Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan
pemberian topikal anestesi praanestesi, pemberian obat kumur, dan
pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.
2.3.8 Teknik Anastesi Gigi

Terdapat beberapa teknik anastesi gigi, antara lain :


1. Injeksi Supraperiosteal
 Keringkan membran mukosa dan olesi dengan antiseptik.
Pasien dilarang menutup mulut sebelum injeksi dilakukan.
Dengan menggunakan kassa atau kapas yang diletakkan di
antara jari dan membran mukosa mulut, tariklah pipi atau bibir
serta membran mukosa yang bergerak ke arah bawah untuk
rahang atas dan ke arah atas untuk rahang bawah, untuk
memperjelas daerah lipatan mukobukal atau mukolabial.
 Untuk memperjelas dapat diulaskan yodium pada jaringan
tersebut. Membran mukosa akan berwarna lebih gelap,
suntiklah jaringan pada lipatan mukosa dengan jarum mengarah

14
ke tulang dengan mempertahankan jarum sejajar bidang tulang.
Lanjutkan tusukan jarum menyelusuri periosteum sampai
ujungnya mencapai setinggi akar gigi. Untuk menghindari
gembungan pada jaringan dan mengurangi rasa sakit, obat
dikeluarkan secara perlahan. Anestesi akan terjadi dalam waktu
5 menit.
2. Nervus Alveolaris Superior Posterior
 Untuk molar ketiga, kedua dan akar distal dan palatal molar
pertama. Titik suntikan terletak pada lipatan mukobukal di atas
gigi molar kedua atas, gerakkan jarum ke arah distal dan
superior kemudian suntikkan obat anestesi 1-2 ml di atas apeks
akar gigi molar ketiga.
 Untuk melengkapi anestesi pada gigi molar pertama, dapat
diberikan injeksi supraperiosteal di atas apeks akar premolar
kedua.
 Injeksi ini cukup untuk prosedur operatif, sedangkan untuk
ekstraksi atau bedah periodontal, dilakukan penyuntikan pada
nervi palatini minor sebagai tambahan.
3. Nervus Alveolaris Superior Medius
 Untuk premolar pertama dan kedua, serta akar mesial gigi
molar pertama.
 Titik suntikan adalah lipatan mukobukal di atas gigi premolar
pertama. Jarum diarahkan ke suatu titik sedikit di atas apeks
akar, kemudian suntikkan obat anestesi perlahan-lahan. Agar
akurat, raba kontur tulang dengan hati-hati
 Injeksi ini cukup untuk prosedur operatif, sedangkan untuk
ekstraksi atau bedah periodontal, dilakukan injeksi palatinal.
4. Nervus Alveolaris Superior Anterior
 Untuk keenam gigi anterior. Titik suntikan terletak pada
lipatan mukolabial sedikit mesial dari gigi kaninus. Jarum

15
diarahkan ke apeks kaninus, suntikkan obat di atas apeks akar
gigi tersebut.
 Injeksi ini sudah cukup untuk prosedur operatif. Untuk
ekstraksi atau bedah, harus ditambahkan injeksi palatinal pada
regio kaninus atau foramen insisivus.
5. Teknik Anestesi Blok Mandibula
 Obat anestesi disuntikkan pada suatu titik di antara otak dan
daerah yang dioperasi, menembus batang saraf atau serabut
saraf pada titik tempat anestesi disuntikkan sehingga memblok
sensasi yang datang dari distal.
 Keuntungannya adalah hanya dengan sedikit titik suntikan
dapat diperoleh daerah anestesi yang luas dan dapat
menganestesi tempat-tempat yang merupakan kontraindikasi
injeksi supraperiosteal.
 Blok anestesi biasanya paling efektif pada molar kedua bawah.
 Jika blok menyeluruh pada salah satu sisi mandibular tidak
diperlukan, atau bila karena alasan tertentu injeksi mandibular
menjadi kontraindikasi, blok sebagian bisa dilakukan dengan
injeksi mentalis.
 Jika sulit melakukan anestesi terhadap gigi atas dengan
menggunakan injeksi supraperiosteal atau jika diperlukan
anestesi untuk beberapa gigi sekaligus, akan lebih efektif bila
digunakan injeksi infraorbital atau zigomatik.
6. Injeksi Mandibular
 Dilakukan palpasi fossa retromolaris dengan jari telunjuk
sehingga kuku jari menempel pada linea oblikua. Dengan
bagian belakang jarum suntik terletak di antara kedua premolar
pada sisi yang berlawanan jarum diarahkan sejajar dengan
dataran oklusal gigi-gigi mandibula ke arah ramus dan jari.
Jarum ditusukkan pada apeks trigonum pterygomandibular dan
gerakan jarum di antara ramus dan ligamentum serta otot yang

16
menutupi fasies interna ramus diteruskan sampai ujungnya
kontak dengan dinding posterior sulkus mandibularis.
Keluarkan 1,5 ml obat anestesi di sini (rata-rata kedalaman
insersi jarum adalah 15 mm, tapi bervariasi tergantung ukuran
mandibula dan proporsinya berubah sejalan dengan
pertambahan umur). Dapat juga menganestesi nervus lingualis
dengan cara mengeluarkan obat anestesi pada pertengahan
perjalanan masuknya jarum.
7. Injeksi Mentalis
 Untuk menganestesi gigi premolar dan kaninus untuk prosedur
operatif. Untuk menganestesi gigi insisivus, serabut saraf yang
bersimpangan dari sisi yang lain juga harus diblok. Tentukan
letak apeks gigi-gigi premolar bawah. Foramen biasanya
terletak di salah satu apeks akar gigi premolar tersebut. Pipi
ditarik ke arah bukal dari gigi premolar.
 Jarum dimasukkan ke dalam membran mukosa di antara kedua
gigi premolar dengan jarak 10 mm eksternal dari permukaan
bukal mandibula. Posisi jarum suntik membentuk sudut 45°
terhadap permukaan bukal mandibula, mengarah ke apeks akar
premolar kedua. Tusukkan jarum tersebut sampai menyentuh
tulang. Masukkan 0,5 ml obat anestesi, tunggu sebentar.
kemudian gerakkan ujung jarum tanpa menarik jarum keluar,
sampai terasa masuk ke dalam foramen (jaga agar tetap
membentuk sudut 45° agar jarum tidak terpeleset ke balik
periosteum dan memperbesar kemungkinan masuknya jarum
ke foramen), dan masukkan kembali 0,5 ml obat anestesi
dengan hati-hati

Untuk ekstraksi harus dilakukan injeksi lingual

17
8. Injeksi Lingual
 Untuk gigi premolar dan gigi anterior, karena jaringan lunak
pada permukaan lingual mandibula tidak teranestesi dengan
injeksi foramen mental dan injeksi mandibular.
 Jarum disuntikkan pada mukoperiosteum lingual setinggi
setengah panjang akar gigi yang dianestesi. Karena posisi dari
gigi insisivus, daerah ini sulit dicapai dengan jarum lurus. Jadi
jarum sebaiknya dibengkokkan dengan cara menekannya di
antara ibu jari dan jari lain.
9. Injeksi Nervus Nasopalatinus
 Untuk ekstraksi gigi atau anestesi mukoperiosteum sepertiga
anterior palatum, yaitu dari kaninus satu ke kaninus yang lain.
 Titik suntikan terletak sepanjang papil insisivus yang berlokasi
pada garis tengah rahang, di posterior gigi insisivus sentral.
Ujung jarum diarahkan ke atas pada garis tengah menuju
kanalis palatina anterior. Walau anestesi topikal bisa
digunakan untuk membantu mengurangi rasa sakit pada daerah
titik suntikan, anestesi ini mutlak harus dipakai untuk injeksi
nasopalatinus. Sebaiknya dilakukan anestesi permulaan pada
jaringan yang akan dilalui jarum.
10. Injeksi Nervus Palatinus Mayor
 Untuk ekstraksi gigi atau anestesi mukoperiosteum palatum
dari tuber maksila sampai ke regio kaninus dan dari garis
tengah ke krista gingiva pada sisi bersangkutan.
 Tentukan titik tengah garis khayal yang ditarik antara tepi
gingiva molar ketiga atas di sepanjang akar palatalnya terhadap
garis tengah rahang. Injeksikan obat anestesi sedikit mesial
dari titik tersebut dari sisi kontralateral.
 Karena hanya bagian dari nervus palatinus mayor yang keluar
dari foramen palatinum posterior yang akan dianestesi, jarum
tidak perlu diteruskan sampai masuk ke foramen. Injeksi ke

18
foramen atau penyuntikkan obat anestesi dalam jumlah besar
pada orifisium foramen akan menyebabkan teranestesinya
nervus palatinus medius sehingga palatum molle menjadi
kebal. Akibatnya akan timbul gagging.

19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Tindakan pencabutan gigi merupakan tindakan yang invasif, sehingga
dasar pembedahan harus dipahami. Kemungkinan terjadi suatu komplikasi
yang serius setelah pencabutan dapat terjadi, oleh karena itu keadaan umum
penderita (physical status) harus dalam keadaan baik. Operasi gigi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah sehingga terjadi kesulitan dalam
pencabutan gigi dan volume penggunaan bius lokal.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang paling umum diperoleh
dari pasien yang mengunjungi klinik gigi, maka pasien hipertensi merupakan
suatu kelompok resiko penting dalam perawatan gigi.

3.2 Saran
 Pemilihan jenis dan dosis anastesi lokal harus tepat untuk meminimalisir
terjadinya komplikasi sistemik maupun komplikasi lokal dari obat anastesi
lokal
 Menggunakan teknik anastesi yang tepat sesuai dengan keadaan umum
pasien
 Memberikan edukasi kepada pasien hipertensi untuk memperhatikan gaya
hidup, dengan cara menjaga pola makan, tidak mengkonsumsi garam yang
berlebihan, dll.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://www.bit.lipi.go.id/pangankesehatan/documents/artikel_hipertensi/hipertensi
.pf (diakses pada 3 Desember 2013)
Hidayati Arina. Penatalaksanaan Pasien Hipertensi Dalam Kasus Pencabutan
Gigi. http://www.scribd.com/doc/102326662/Penatalaksanaan-Pasien-Hipertensi-
pada-Pencabutan-Gigi. (2 Desember 2013)
P, Julianty. 2010. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Hipertensi Di
Daerah Perkotaan. (Jurnal Gizi Indonesia Vol. 33 No. 1)
http://jurnal.fk.unand.ac.id/articles/vol_1no_2/75-79.pdf (diakses pada 3
Desember 2013)
http://mediskus.com/penyakit/tekanan darah.html#ixzz2mPfGcmKE (diakses pada
3 Desember 2013)

21

You might also like