You are on page 1of 15

PEMANFAATAN KITOSAN SEBAGAI ADSORBEN

UNTUK MENURUNKAN KADAR LOGAM BESI


PADA LIMBAH INDUSTRI BATU BARA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:

NOVIANTO NUGROHO
NIM. 16 644 043

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA
JURUSAN TEKNIK KIMIA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI
SAMARINDA
2018
BAB 1
PRNDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pencemaran lingkungan perairan yang disebabkan oleh logam-logam berat
seperti kadmium, timbal dan tembaga yang berasal dari limbah industri udah lama
diketahui. Untuk menghilang kanbahan pencemar perairan tersebut hingga kini
masih terus dikembangkan. Sebagaimana yang kita ketahui limbah dari hewan
crustaceaese seperti udang, kepiting dan belangkas di Indonesia hanya
dimanfaatkan untuk pakan ternak, hidrolisat protein, silase, bahan baku terasi, petis
dan lain–lain, sementara itu, limbah seperti ini di negara–negara maju seperti
Jepang dan Amerika Serikat telah diisolasi kitinnya. Kitin juga dapat diubah
menjadi kitosan setelah lebih dari 70% gugus asetilnya dihilangkan (Arif, 2013).

Keberadaan logam berat di air atau air limbah dengan konsentrasi melebihi
ambang batas dapat memberikan dampak negatif bagi siklus biologi yang normal
di lingkungan. Diantara ion logam pencemar lingkungan yang berbahaya adalah
cadmium, timbal, seng, merkuri, tembaga, dan besi (Connel dkk,1996 dalam sry
dkk, 2013 ). Berbagai teknik pengambilan logam berat dari air telah dikembangkan,
misalnya filtrasi, pengendapan secara kimia, adsorpsi pertukaran ion, electro-
deposition, dan sistem membran (Pradhan dkk,2005 dalam Arif , 2013). Salah satu
teknik yang banyak dikembangkan adalah prinsip ekstraksi fasa padat (solid phase
extraction) dengan menggunakan adsorben tertentu karena tidak membutuhkan
pelarut yang berbahaya. Usaha-usaha pengendalian limbah ion logam belakangan
ini semakin berkembang yang mengarah pada upaya pencarian metode-metode baru
yang murah, efektif dan efisien

Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu


dari suatu fase fluida (Saragih, 2008 dalam Arif, 2013). Kebanyakan adsorben
adalah bahan- bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada
dinding pori- pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu. Oleh karena
pori-pori biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde
besaran lebih besar daripada permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g.
Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena perbedaan polaritas
yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut lebih erat
daripada molekul lainnya (Purwanti, 2014).
Kitosan merupakan suatu polimer yang terdiri dari monomer glukosamin
dengan ikatan β-(1-4). Kitosan terbentuk ketika gugus asetil pada kitin tersubstitusi
oleh hidrogen menjadi gugus amina. Laboratorium Protan menyatakan bahwa
standar mutu kitosan adalah ukuran partikel berupa butiran / serbuk, kadar air ≤
10%, kadar abu ≤ 2%, DD ≥ 70% (Arif, 2013).

Penelitian kitosan sampai saat ini terus dikembangkan, dengan dilakukan


percobaan metode yang efektif dan sederhana untuk membuat kitosan dengan
tingkat keseragaman ukuran dan stabilitas yang tinggi.Pembuatan kitosan yang
telah banyak dilakukan yaitu dengan cara mengolah limbah kulit udang kering
melalui proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH, proses demineralisasi
menggunakan larutan HCl, dan dilanjutkan dengan proses deasetilasi menggunakan
larutan NaOH. Hasil reaksi yang berupa kitosan dinetralkan dan dikeringkan yang
selanjutnya dilakukan analisa untuk menentukan karakter kitosan yang dihasilkan.
Untuk mengetahui mutu kitosan selanjutnya dianalisis rendemen yang dihasilkan.
Rendemen hasil didefinisikan sebagai banyaknya kitosan kering (massa, g) yang
diperoleh dari kulit udang kering yang diproses (Purwanti, 2014).

Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini diaplikasikan untuk


mengadsorpsi ion logam serta mencari kapasitas adsorpsinya. Berdasarkan hasil
penelitian bahwa kitosan mampu mengadsorpsi ion logam Ni2+ (Erdawati, 2008
dalam sry dkk, 2013), mengadsorpsi ion Hg2+ (Rahayu, 2007 dalam sry dkk, 2013),
mengadsorpsi ion Pb2+ (Sanjaya, 2007 dalam sry dkk, 2013), mengadsorpsi ion
Cr3+ dan Cu2+ (Apsari, 2010 dalam sry dkk, 2013). Berdasarkan teori HSAB (Hard
Soft Acid and Base) bahwa amina termaksud basa keras sedangkan logam Cu2+
merupakan asam perbatasan (keraslunak) sehingga akan terjadi ikatan antara ligan
amina dan ion logam Cu2+ membentuk asam basa keras (Saito, 1996 dalam sry
dkk, 2013). Kitosan yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat
mengadsorpsi ion logam Cu dalam larutan air

Beberapa tahun terakhir telah dilakukan penelitian tentang polimer alam


(biopolimer) yang mampu mengikat logam berat limbah. Mekanisme pengikatan
tersebut melalui pembentukan senyawa kompleks sehingga biopolimer dapat
berfungsi sebagai adsorben. Biopolimer mempunyai kemampuan memisahkan
logam berat dari air meskipun konsentrasinya sangat rendah. Salah satu biopolimer
yang saat ini banyak diteliti sebagai adsorben logam berat dalam air limbah adalah
kitosan (Yunianti & Maharani 2012).

Penggunaan kitosan sebagai adsorben masih terbatas karena kelarutannya


dalam pH asam, kemampuan kitosan untuk mengadsorpsi sudah cukup baik, namun
selektivitas dan aplikasi kitosan dapat ditingkatkan lagi dengan cara
memodifikasinya secara fisika ataupun kimia. Modifikasi kitosan tersebut banyak
dilakukan melalui perpaduan kitosan dengan polimer lain, baik polimer alam
maupun polimer sintetik (Syahriza, 2009 dalam Sanie dkk, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian tentang adsorpsi limbah bentonite dengan sistem kontinyu kolom

tetap juga telah dilakukan oleh futalan (2011) menggunakan kitosan sebagai

adsorben besi (II) dengan menggunakan metode fix bed sorbtion. Sistem proses

dijalankan secara kontinyu dengan variasi konsentrasi adsorbat (500) mg/L, laju alir

inlet (0,2) mL/menit, serta tinggi bed (1,3; 2,3; 4,3 ) cm.. Hasil menunjukkan

kapasitas maksimum adsorpsi (mg/g) pada tinggi bed 1,3 cm sebesar 21,22 mg/g,

pada tinggi bed 2,3 cm sebesar 21,73 mg/g, pada tinggi bed 4,3 cm sebesar 22,27

mg/g .

Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Radnia et al (2013) pada

penelitian tentang adsorbsi limbah cair menggunakan kitosan sebagai adsorben


tembaga (II) dengan menggunakan metode artificial neural network (ANN). Sistem

dilakukan secara kontinyu dengan variasi konsentrasi adsorbat (30 mg/L), laju alir

masuk (4, 6 dan 4 mL/menit) serta tinggi bed (4, 8 dan 12 cm). .. Hasil menunjukkan

kapasitas maksimum adsorpsi (mg/g) pada tinggi bed 4 cm sebesar 52,5 mg/g, pada

tinggi bed 8 cm sebesar 34,8 mg/g, pada tinggi bed 12 cm sebesar 59,6 mg/g .

Pada penelitian ini akan menggunakan adsorben komposit karbon aktif-

kitosan, sebagai adsorben besi (II) pada limbah batubara dengan menggunakan fix-

bed continuous sorbtion.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh waktu adsorpsi

terhadap penurunan konsentrasi logam Fe.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar diperoleh adsorben baru

untuk menurunkan konsentrasi logam Fe sehingga dapat diaplikasikan pada

pengolahan limbah dari industry batu bara agar aman untuk dibuang ke lingkungan

dan juga tidak mencemari sistem air tanah sekitarnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam Besi (Fe)

Dalam tabel periodik, besi mempunyai simbol Fe dan nomor atom 26. Besi

juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Besi telah ditemukan sejak zaman

dahulu dan tidak diketahui siapa penemu sebenarnya dari unsur ini. Besi merupakan

unsur keempat terbanyak di bumi dan merupakan logam yang terpenting dalam

industri. Namun keberadaan konsentrasi logam besi yang berlebihan dalam limbah

cair batubara dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Satria, 2015). Logam

tersebut diketahui dapat mengumpul di dalam tubuh suatu organisme dan tetap

tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu lama sebagai racun yang terakumulasi

(Fardiaz, 1992).

2.1.1 Tingkat Bahaya Besi

Adapun besi terlarut dalam air melebihi batas akan menyebabkan berbagai

masalah, diantaranya : (Satria, 2015)

1. Timbulnya warna, bau dan rasa. Air akan terasa tidak enak bila konsentrasi

besi terlarut > 1,0 mg/L.


Senyawa besi dalam jumlah kecil didalam tubuh manusia berfungsi sebagai

pembentuk sel-sel darah merah, dimana tubuh memerlukan 7-35 mg/hari yang

sebagian besar diperoleh dari air, tetapi zat Fe yang melebihi dosis yang

diperlukan oleh tubuh dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan

tubuh manusia tidak dapat mengekresi Fe. Air minum yang mengandung besi

cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Selain itu dalam dosis

besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering kali disebabkan oleh rusaknya

dinding usus. Kadar Fe ang lebih dari 1 mg/L akan menyebabkan terjadinya iritasi

pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/L akan

menyebabkan air berbau seperti telur busuk.

2.1.2 Baku Mutu Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air

Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup

orang banyak, sehingga perlu dilestarikan fungsinya agar tetap bermanfaat bagi

kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pemerintah daerah telah

menetapkan baku mutu dari batas maksimum logam Fe dalam Peraturan Daerah

Provinsi Kalimantan Timur Nomor 02 Tahun 2011. Adapun parameter yang

diamati adalah Total Suspended Solid (TSS), kadar total besi, mangan, dan pH.

Tabel 2.1 Baku mutu air limbah kegiatan penambangan batubara

Parameter Satuan Kadar Maksimum

TSS mg/L 200

Besi (Fe) Total mg/L 7

Mangan (Mn) Total mg/L 4

pH - 6-9
Sumber: Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 02 Tahun 2011
2.... Limbah Batu Bara

2.2 Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan

rumus molekul (C6H11NO4)n yang diperoleh dengan deasetilasi sebagian alkalin

pada kitin. Ini adalah polisakarida alami paling melimpah kedua dan berasal dari

cangkang krustasea. (Jayakumar et al, 2011).

Gambar 2.1 Struktur Polimer Kitosan


Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan.

Kitosan dapat larut pada larutan asam organik pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut

pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol dan aseton.

Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan dapat larut pada

konsentrasi 0,15-1,1 %, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10 %. Kitosan tidak larut

dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak larut

pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut. Kelarutan

kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifiknya

yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya.

Kitosan merupakan polimer alami yang melimpah dan terbarukan dan

memiliki sifat yang sangat baik seperti biodegradasi, biokompatibilitas, tidak

beracun, dan adsorpsi yang baik. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk
membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan

solubilitasnya dalam larutan asam encer (Hirano et al, 1999). Salah satu modifikasi

kitosan yaitu berupa butiran atau disebut juga kitosan manik (Chitosan Bead).

Pembuatan kitosan dalam bentuk butiran dilakukan dengan cara melarutkan

3 gram kitosan berbentuk serpihan ke dalam 100 mL larutan asam asetat 1%.

Larutan kitosan yang terbentuk diteteskan pada larutan basa NaOH 4%, sehingga

diperoleh butiran berbentuk bola dengan diameter rata-rata 2,5 mm. Kitosan butiran

yang terbentuk dikumpulkan dan dicuci dengan aquades sampai pH netral (Sugita

dkk, 2009). Tahap awal kitosan dilarutkan dalam 1 % asam asetat kemudian

dilakukan penyemprotan ke dalam larutan NaOH 5 % untuk membentuk manik-

manik kitosan (Hastuti dkk, 2011).

2.3 Komposit

Komposit adalah suatu jenis bahan baru hasil rekayasa yang terdiri dari dua

atau lebih bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya baik

itu sifat kimia maupun sifat fisiknya (Nayiroh, 2013).

2.4 Adsorpsi

Adsorpsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses

atau kemampuan suatu bahan untuk memegang atau mengonsentrasikan gas, cairan,

atau zat terlarut pada permukaannya secara adhesi. Sedangkan menurut Thomas

dan Crittenden, adsorpsi didefinisikan sebagai proses akumulasi konsentrasi dari

molekulsolut (gas atau cair) ke permukaan padatan akibat adanya gaya tarik

(afinitas) antara solut dan adsorben.


Berdasarkan jumlah komponen yang dijerap, adsorpsi dibagi dua, yaitu:

adsorpsi single-component dan adsorpsi multi-component. Berdasarkan afinitasnya,

adsorpsi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu adsorpsi karena gaya tarik elektrik

(electrical attraction) antara solut dan adsorben, adsorpsi karena gaya tarik van der

Waals atau biasanya disebut physical adsorption, dan adsorpsi karena reaksi kimia

(chemical adsorption). Sedangkan berdasarkan fasa sistemnya, umumnya adsorpsi

dilakukan pada sistem gas-padat dan cair-padat (Aryananda, 2017).

Mekanisme penjerapan dapat dibedakan menjadi dua yaitu, jerapan secara

fisika (fisiosorpsi) dan jerapan secara kimia (kemisorpsi). Pada proses fisiosorpsi

gaya yang mengikat adsorbat oleh adsorben adalah gaya Van der Waals. Dalam

adsorpsi kimia partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia

(biasanya ikatan kovalen) dan cenderung mencari tempat yang memaksimumkan

bilangan koordinasi dengan substrat (Atkins, 1999 dalam Syauqiah dkk, 2011).

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain (Chi et.al.,

1978):

1. Suhu

Adsorber pada umumnya bekerja secara adiabatis, sedangkan adsorpsi bersifat

eksotermis, sehingga kenaikan suhu akibat panas adsorpsi yang dihasilkan

akan menurunkan unjuk kerja adsorpsi.

2. Kecepatan fluida

Kecepatan aliran fluida yang lebih besar memerlukan zona kontak yang lebih

panjang supaya menghasilkan waktu kontak yang sama.


3. Konsentrasi zat yang dijerap

Driving force yang menyebabkan zat terjerap berpindah ke permukaan padatan

adalah gradien konsentrasi pada fase fluida dengan yang di permukaan

padatan. Adsorpsi dari sistem yang mengandung zat yang akan dijerap

berkonsentrasi tinggi akan lebih cepat dibanding sistem yang sangat encer.

4. Fase

Kecepatan adsorpsi pada fase cair lebih lambat 10 kali atau lebih daripada fase

gas. Ini berarti bahwa panjang zona perpindahan massa sangat dipengaruhi

oleh fase operasinya.

5. Ukuran adsorben

Ukuran adsorben yang lebih kecil akan memperbesar luas permukaan per

satuan volum, akibatnya zat yang terjerap akan semakin banyak.

2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Adsorbat yang Dijerap

Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah adsorbat yang

diadsorpsi oleh adsorben adalah:

1. Jenis adsorbat

a. Ukuran adsorbat

Makin kecil ukuran partikel yang digunakan maka semakin besar

kecepatan adsorpsinya.

b. Kepolaran zat

Apabila diameter molekul adsorbat sama, dengan diameter pori adsorben

maka molekul-molekul non polar yang lebih kuat diadsorpsi oleh adsorben

daripada molekul-molekul yang polar. Molekul-molekul yang non polar


dapat menggantikan molekul-molekul yang polar yang telah lebih dulu

teradsorpsi.

2. Karakteristik adsorben

a. Kemurnian adsorben

Adsorben yang memiliki kemurnian lebih tinggi akan memiliki

kemampuan adsorpsi yang lebih baik.

b. Luas permukaan dan volume pori adsorben

Jumlah molekul adsorbat yang dijerap oleh adsorben akan meningkat

dengan bertambahnya luas permukaan dan volume pori dari adsorben.

Sehingga seringkali adsorben diberi perlakuan awal seperti karbonisasi

dan aktivasi untuk meningkatkan luas permukaan dan volume porinya.

3. Temperatur

Proses adsorpsi merupakan proses eksotermis. Dengan demikian peningkatan

temperatur pada tekanan yang tetap akan mengurangi jumlah senyawa yang

teradsorpsi sama pada prinsip Chatelier pada reaksi kimia peningkatan

temperatur pada tekanan yang tetap akan menyebabkan hasil reaksi kembali

menjasi reaktan.

4. Waktu kontak

Waktu kontak merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses

adsorpsi. Waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses difusi dan

penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat

organik akan turun apabila waktu kontaknya cukup dan waktu kontak berkisar

10-15 menit.
2.7 Adsorpsi Secara Kontinyu

Pada sistem kolom, larutan selalu dikontakkan dengan adsorben sehingga

adsorben dapat mengadsorp dengan optimal sampai kondisi jenuh yaitu pada saat

konsentrasi effluen (larutan yang keluar) mendekati konsentrasi influen (larutan

awal). Adsorben selalu berkontak sehingga proses kontak yang terjadi relatif

lebih konstan (Metcalf & Eddy, 2003 dalam Hardyanti & Rahayu, 2007). Pada

umumnya sistem kolom memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan dengan

sistem batch, sehingga lebih sesuai untuk aplikasi dalam skala besar (Setiaka dkk,

2011).

Sistem kolom dapat dilakukan dengan dua cara aliran yaitu aliran dari atas

ke bawah (down flow) atau aliran dari bawah ke atas (up flow). Keberhasilan

adsorpsi dengan sistem kolom dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain laju alir,

konsentrasi awal larutan, jumlah adsorben dan lainnya (Setiaka dkk, 2011).

2.8 Spektrofotometer Serapan Atom (AAS)

Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) adalah bagian teknik analisa

spektroskopi yang didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral

dan sinar yang diserap biasanya berupa sinar tampak atau ultraviolet. Setiap atom

akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat

unsurnya (Sudjadi, 2007).

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahawa prinsip analisa dalam

AAS yaitu penyerapan cahaya oleh atom dimana banyaknya cahaya yang diserap
sebanding dengan konsentrasi dalam sampel. Hal tersebut dibuktikan dengan

larutan sampel yang memiliki konsentrasi tertinggi akan memiliki nilai absorbansi

yang tinggi dimana sesuai dengan hukum Lambert Beer.

Hukum Lambert: Bila suatu sumber cahaya monokromatik melewati

medium transparan, laju berkurangnya intensitas oleh bertambahnya ketebalan

berbanding lurus dengan intensitas cahaya.

Hukum Beer: Intensitas cahaya yang diteruskan berkurang secara

eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara linear. Dari dua

hukum tersebut diperoleh suatu persamaan:

A = ε .b .c ........................................................................... (2.1)

Dimana :

A = Absorbansi

ε = Absorptivitas (cm-1ppm-1)

b = Jarak cahaya berinteraksi dengan sampel (cm)

c = Konsentrasi (ppm)

(Day dan Underwood, 2002)

Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kurva

kalibrasi standar. Dalam metode ini dibuat minimal tiga larutan standar dengan

konsentrasi berbeda, tetapi harus ada blangko agar didapat persamaan garis

lurusnya.

Setelah pengukuran absorbansi, didapat data:

Konsentrasi C1 C2 C 3 C4 Blangko

A1 A2 A3 A4 Ao
Absorbansi
Kemudian dibuat grafiknya, dengan konsentrasi (sebagai absis) lawan absorbansi.

Absorbansi
Konsentrasi

Gambar 2.2 Kurva kalibrasi

Konsentrasi sampel tidak boleh lebih besar dari konsentrasi standar dan

tidak boleh lebih kecil dari detection limit (Cm). Ax di interpolasikan ke dalam

grafik untuk mendapatkan Cx (menggunakan regresi linier) (Sudjadi, 2007).

You might also like