Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
2.1 Pengertian
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit langka yang
menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat
sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil
nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre),
yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap
kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini
menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua
tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada
manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak
dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang
mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi
usus atau tenggorokan3.
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun neurologis
yang mana penyakit ini timbul dikarenakan sistem kekebalan tubuh menghasilkan
antibodi terhadap saraf, sehingga terjadi kerusakan pada saraf itu sendiri. Kasus
GBS dapat berkembang setelah infeksi (misalnya gangguan sistem pernapasan
atas atau penyakit system pencernaan). Hal ini terjadi ketika tubuh membuat
antibodi untuk melindungi diri melawan invasi bakteri atau virus. Namun, bakteri
dan virus tertentu memiliki penutup protein yang menyerupai beberapa protein
yang normal pada selubung yang membungkus saraf (selubung mielin) sehingga
dapat mengakibatkan sistem kekebalan tubuh menyerang saraf itu sendiri4.
Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya
tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial. Paling banyak pasien-
pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernafasan atau
gastointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan
neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus
menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. (Meilin
merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-akson saraf dan
berperan penting dalam transmisi infus saraf)5.
2.2 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap
bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara
bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling
tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic,
1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
Aprils/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau5.
2.3 Etiologi
Etiologi dari GBS (Guillain-Barre Syndrome menurut Kenici K, et all
penyakit Sindrom Guillain-Barre dapat dipicu oleh infeksi mikroorganisme
Compylobacter jejuni, Haemophilus influenza, dan Cytomegalovirus. SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal. Sindrom Guillain-Barre paling banyak ditimbulkan oleh
adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum
terjadi serangan penurunan neurologis. Pada bebearapa keadaan dapat terjadi
setelah vaksinasi atau pembedahan6.
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh Sindrom Guillain-Barre diantaranya
kelemahan, mati rasa, dansensasi kesemutan di kaki dan tangan yang dapat
menyebabkan kelumpuhan. Kadang-kadang juga dapat mempengaruhi otot
pernapasan5.
2.4 Klasifikasi
GBS diklasifikasikan menjadi dua subtipe utama yaitu demielinasi dan
aksonal. Bentuk demielinasi adalah inflamasi demielinasi polineuropati akut
(Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) yaitu peradangan
dimielinasi yang menyebabkan penyakit pada persarafan. AIDP adalah bentuk
paling umum GBS di Negara-negara Barat dan ditandai oleh demielinasi
segmental saraf perifer. Subtipe lainnya dari GBS adalah degenerasi aksonal
primer, keadaan ini dikenal sebagai neuropati motor aksonal akut (Acute Motor
Axonal Neuropathy (AMAN).AMAN jarang ditemukan di Amerika Utara dan
Eropa, akuntansi hanya sekitar 5% dari total kasus GBS, daripada demielinasi
GBS, tetapi AMAN lebih umum ditemuka di Negara Cina dan Jepang. GBS
aksonal hampir jarang menyebabkan defisit sensorik. Primer aksonal GBS
yangmenyebabkan defisit sensorik disebut Acute motor And Sensory
Axonalneuropathy (AMSAN)6.
2.5 Patofisiologi
Adapun patofisiologi dapat digambarkan pada bagan berikut5:
Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi adanya ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf
Selaput mielin hilang akibat dari respon alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik
kimia, dan insufisiensi vaskular
Proses demielinisasi
Gangguan fungsi saraf Gangguan saraf perifer dan neuromuskular Disfungsi otonom
kranial: III, IV, V, VI,
VII, IX dan X
Parastesia (kesemutan kebas) Paralisis lengkap, otot Kurang bereaksinya
dan kelemahan otot kaki, pernapasan terkena, sistem saraf simpatis dan
Paralisis pada ocular, yang dapat berkembang ke mengakibatkan insufisiensi parasimpatis, perubahan
wajah dan otot orofaring, ekstremitas atas, batang pernapasan sensori
kesulitan berbicara, tubuh, dan otot wajah
mengunyah dan menelan
2.6 Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah7:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.
Perjalanan penyakit dalam Guillain-Barre Syndrome (GBS) terdapat
dalam 3 fase, antara lain5:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat.
Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi
ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat
akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.
Peran Imunitas Seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid danperedaran8.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit
T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF8.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen8.
b. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa utama pasien terdiri dari5:
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernafasan dan ancaman gagal pernafasan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
Resiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan gangguan pemenuhan
nutrisi dan cairan
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik dan integrasi sensori
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada
harapan
Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis
penyakit yang buruk.
c. Intervensi Keperawatan
Mempertahankan Fungsi Pernapasan. Pasien Sindrom Guillain-Barre
bergantung pada perawat yang mempertahankan dan merawatnya menuju
pemulihan. Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital,
pasien memperlihatkan perkembangan ke arah kemunduran, yang
mengindikasikan ke arah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan. Pasien
berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat
menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut. Terapi fisik dada
dan peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan dan meningkatkan
batu lebih efektif. Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan
bersihan jalan napas7.
Memantau dan Mengatasi Komplikasi Potensial. Pengkajian fungsi
pernapassan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang
tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisispada
otot-otot interkostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat. Gagal naps
adalah masalah besar yang menyevbabkan kematian, dimana tercatat cukup tinggi
sekitar 10-25% dari pasien ini. Kapasitas vital pasien dipantau lebih sering dan
dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat diatasi.
Penurunan kapasitats vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan, sehingga hal ini menimbulkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan. Tanda dan gejala
meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardia dan perubahan pola napas7.
Parameter untuk menentukan serangan gagal napas adalah berkembangnya
pengakuan pasien. Intubasi dan penentuan penggunaan mesin ventilasi dapat
dipertimbangkan pada keadaan tidak darurat. Persiapan pasien untuk prosedur ini
dimungkinkan pada situasi ini dan prosedur itu sendiri dapat dilakukan dalam cara
terkontrolyang mengurangi ansietas dan komplikasi. Komplikasi lain yang harus
dikaji dan dipantau pada pasien meliputi disritmia jantung, yang memerlukan
pemantauan EKG, trombosis vena profunda dan emboli paru, adanya ancaman
pada pasien imobilisasi dan paralisis7.
Mengurangi efek imobilitas. Ekstremitas paralisis disokongdengn posisi
fungsional dan memberikan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali
sehari. Perawat melakukan kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah
deformitas kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan
latihan rentang gerak. Trombosis vena profunda dan emboli paru merupakan
ancaman pasien paralisis, yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas.
Intervensi keperawatan meliputi memberikan hidrasi yang adekuat, membantu
terapi fisik, menggunakan stoking antiembolisme, dan pemberian obat-obat
antikoagulan yang ditentukan oleh dokter7.
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi
neuropati, paling sering saraf ulnar dan peroneal. Bantalan dapat ditempatkan di
siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini. Pencegahan
dekubitus adalah tantangan besar bagi perawat. Untuk pasien paralisis, prinsip-
prinsip penatalaksanaan keperawatan pada pasien tidak sadar dapat diberikan
walaupun fungsi kognitif tidak terkena. Bila pemulihan mulai untuk dilakukan,
pasien-pasien ini dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari disfungsi autonom)
dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka
mengambil posisi tegak7.
Memberikan Nutrisi Adekuat. Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan. Ilius
paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian
ini, makanan intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat
memantau bising usus sampai terdengar. Jika pasien tidak mampu menelan,
makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati7.
Meningkatkan Komunikasi. Karena paralisis, trakeostomi dan intubasi,
maka pasien tidak mamou berbicara, tertawa atau menangis dan juga tidak dapat
mengekspresikan emosinya. Masalah-masalah ini dipersulit dengan adanya
kebosanan, ketergantungan, isolasi, dan frustasi. Untuk mengmbangkan beberapa
bentuk komunikasi, berupa memahami kata-kata orang lain dengan gerakan bibir
dan menggunakan kartu-kartu gambar, dikombinasikan dengan sistem
mengedipkan mata untuk mengidentifikasi ya atau tidak, dapat dicoba pada pasien
ini. Jika pasien tetap dalam ventilator untuk waktu yang lama, maka dirujuk
kepada ahli terapi bicara-bahasa. Terapi yang mungkin diberikan (televisi, tape
kaset, dan kunjungan keluarga) dapat mengurangi frustasi yang dihadapi7.
Mengurangi Rasa Takut dan Ansietas. Adanya keluarga dan teman-
teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan pengalihan (mis. membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi. Intervensi keperawatan yang dapat membantu
meningkatkan kontrol sensasi pasien (dan dalam menurukan ketakutan pasien)
dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien, menekankan
penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif,
membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan
respons balik yang positif. Perilaku lingkungan yang diciptakan perawat, terapi
fisik dan okupasi adalah penting. Dengan memberikan asuhan keperawatan ahli,
penjelasan dan keyakinan membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap
situasi7.
Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah. Banyak
pasien sindroma Gillain-Barre mengalami pemulihan yang sempurna dalam
beberapa minggu atau bulan. Pasien-pasien yang pernah mengalami paralisis total
atau lama mungkin membutuhkan beberapa tipe rehabilitasi yang dilakukan terus
setelah keluar dari rumah sakit. Program yang luas akan bergantung padaa
pengkajian yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif
program yang komprehensif bagi pasien jika dikurangi adalah penting dan
dukungan sosial dibatasi untuk program di rumah terhadap terapi fisik dan
okupasi. Fase pemulihan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran serta
keterlibatan pihak pasien dan keluarga untuk mengembalikan kemampuan
sebelumnya7.
d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi7:
1. Mempertahankan pernapasan efektif dan kebersihan jalan napas:
a. Bunyi napas normal pada auskultasi
b. Memperlihatkan peningkatan fungsi respiratori bertahap
2. Memperlihatkan peningkatan mobilisasi
a. Mampu menggunakan ekstremitas kembali
b. Berpartisipasi dalam program rehabilitasi
3. Memperlihatkan kemampuan menelan
4. Memperlihatkan pemulihan berbicara
5. Meredanya ansietas dan rasa takut
6. Bebas dari komplikasi
a. Bernapas spontan
b. Mengalami kapasitas vital dalam batas normal
c. Menunjukkan gas darah arteri dan oksimetri normal
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Guillain Barre syndrome adalah gangguan yang jarang terjadi karena
sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Gejala pertama yang dirasakan
adalah kelemahan yang ekstrim dan disertai dengan mati rasa. Sensasi ini dengan
cepat menyebar dan bisa mengakibatkan kelumpuhan seluruh tubuh. Dalam
sindrom Guillain Barre, sistem kekebalan tubuh yang biasanya hanya menyerang
benda asing atau mikroorganisme mulai menyerang saraf-saraf yang membawa
sinyal antara tubuh dan otak.
Perjalanan penyakit dalam Guillain-Barre Syndrome (GBS) terdapat
dalam 3 fase, antara lain fase progresif, fase plateau dan fase penyembuhan.
Manifestasi klinis dari Sindroma Guillain-Barre (SGB) yaitu :Gejala diawali
dengan parestasia dan kelemahan otot kaki. Berkembang ke ekstremitas atas,
batang tubuh dan otot wajah. Terserangnya saraf kranial dengan adanya paralisi
pada okular, wajah, otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan.
Disfungsi autonom merupakan komplikasi diantaranya dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi
transien, hipotensi ortostatik), disfungsi gastrointestinal, kelainan usus dan
gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Terjadinya nyeri berat dan menetap
pada punggung dan daerah kaki. Kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh.
Terjadinya gejala neurologik yaitu kadang-kadang tampak seperti penyakit flu
ringan dan penyakit ini dikenal sebagai polyneuritis infeksi akut, sekarang nama
ini secara umum telah dikenal dan di duga sebagai reaksi imun yang salah.
Terjadinya gejala motorik yaitu biasanya timbul lebih awal daripada gangguan
sensorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer. Otot-otot proksimal dan
distal terganggu dan reflex tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung
biasanya ditemukan. Otot fasial dan otot okuler kadang-kadang terganggu.
Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh menuju thoraks akan
mengganggu pernafasan.
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul dari penyakit Guillain Barre
syndrome antara lain:
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernafasan dan ancaman gagal pernafasan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
dan konduksi listrik jantung
Resiko tinggi defisit cairan tubuh berhubungan dengan gangguan pemenuhan
nutrisi dan cairan
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Gangguan persepsi sensorik berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik dan integrasi sensori
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada
harapan
Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis
penyakit yang buruk.
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah:
1. Mahasiswa/mahasiswi dapat menambahkan pengetahuan mengenai Guillain
Barre syndrome dengan membaca literatur yang relevan.
2. Mahasiswa/mahasiswi keperawatan dapat menerapkan asuhan keperawatan
untuk mengatasi Guillain Barre syndrome dalam tatanan praktek
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA