You are on page 1of 3

Selamat malam, Ayah.

Semoga seluruh rahmat Tuhan di dunia berembus


padamu, melimpahlah kesehatan padamu. Amin. Di manapun aku berdiri
menghadang, angin selalu begini, dingin dan syahdu, seperti katamu waktu itu
di belakang rumah. Kita tak pernah akrab dalam lisan, aku dan kau sama-
sama sepakat berbicara dengan sikap, dan tulisan. Maka, kukirimkan tulisan
ini, anggap saja sebuah surat. Aku rindu, bertahun-tahun di perantauan ini,
aku jadi semakin ngerti kelelahanmu. Membimbingku, sudah pasti perkara
yang tak mudah. Maafkan aku yang kadang terlalu nakal, tapi kata orang
lelaki selalu seperti itu di manapun. Seperti anginmu….

Ayah, lewat surat ini akan kutuliskan semua keresahan, semua benalu yang
kurajut pada diriku sendiri. Aku kesulitan dan hampir putus asa. Dunia ini
kadang begitu kejam, sekaligus lembut dan melenakan. Aku takut terlempar
jauh, dan melupakanmu. Pergaulan di kota ini, kalau sedikit saja salah
langkah, habis sudah aku dikucilkan. Orang biasa
menyebutnya bullying,kejam dan buta, Yah. Semoga dengan kutuliskan
kegelisahanku ini, rinduku lunas padamu dan menyembuhkanku dari luka
batin.

Bagaimana kabar Ibu? Dia harus selalu sehat sepertimu, Yah. Kadang
Ibu kepalang rajin, kesehatan dilupakannya padahal umur tak lagi muda

Di sini hidup sehat tak perlu mahal, seperti katamu asal bersahabat dengan
angin malam semua penyakit enggan datang. Tapi suatu saat angin tak
bersahabat, aku pun ngeringkuk menahan dingin di perut dan punggung.
Kalau ada kamu, Yah… pasti sudah kau buatkan segelas jahe panas. Entah
ada apa saja di dalamnya, aku selalu bisa sembuh.

Di sini tak berlaku hemat pangkal kaya, Yah. Sepertinya orang-orang


sudah kaya, tak seperti aku yang harus tetap berhemat agar tak sering
merepotkanmu juga

api, Ayah tak perlu takut. Entah kenapa, perutku selalu mau kompromi, tak
masalah makan dua kali sehari. Masih terngiang dalam kepala, suatu siang di
bulan puasa, kau bilang padaku bahwa jalan satu-satunya menahan lapar
adalah melupakannya. Lakukan pekerjaan yang disukai, rasa lapar sudah tak
ada artinya. Aku bisa kaya, tapi untuk apa? Tapi yang jelas aku berhemat
karena aku tahu engakau di sana banting tulang untuk mencukupi
kemauanku, kemauan anak-anakmu.
Ayah, akhirnya aku tahu kenapa harus mencari ilmu di kota baru, sebab
di sini kamu harus belajar lagi supaya tak dibodohi

Bayangkan, Yah. Aku belajar, aku membaca, aku menulis tapi masih saja aku
nampak bodoh, sepertinya sampai 50 tahun ke depan aku tak akan pernah
bisa jadi orang pintar. Sebenarnya apakah aku sudah pintar? Aku sudah lelah
dengan kebodohan, Yah… maafkan aku jika mengecewakanmu. Tapi, walau
tak ada prestasi sama sekali, aku kira tak ada salahnya jika aku terus
mencoba–seperti katamu saat memasukan benang ke lubang jarum di suatu
malam.

Hidup di sini di tempat orang ternyata butuh tenaga lebih. Bolehkah


barang sebentar aku bermanja di pundakmu, Yah?

Dengan seluruh kelelahan dari perjuanganku ini, aku tak peduli lagi, Yah.
Menangis di pundakmu, hibur aku dengan harum tubuhmu itu. Wangimu
basah, bagai pohon pinus selepas diterpa hujan, basah dan manis. Ayah,
semua sudah kulakukan, apa yang sesungguhnya kuyakini akan berhasil,
sekarang berbalik menyerang. Aku tak mau hilang arah, hanya pundakmu itu
tempat segala berarah. Ke sini, Yah?

Aku menyesal, Yah. Di umurmu yang renta, masih saja kamu harus
bergelut dengan waktu, mencari sedikit rejeki untuk orang lain

ak ada yang bisa sepertimu, tak ada! Apalagi menggantikanmu, aku yakin jika
setiap ayah di dunia dikumpulkan, kamu tak akan pernah sama dengan yang
lain. Aku tahu di antara serumpunan orang itu, siapa yang paling basah
karena keringat, aku bisa tebak: kau lah itu! Bahkan aku sepertinya tak akan
bisa sepertimu, Yah… Maafkan aku, di umurmu yang sudah senja aku jarang
berada di sampingmu, memijat punggungmu yang kaku.

Terima kasih. Ayah, tahun ini aku lulus dan diwisuda… bagaimana, Yah?
Tersenyumlah aku mau kau bangga dan lega

Jerih payahmu terbayarkan sudah, aku sarjana tahun ini. Ayah, aku
berterimakasih atas segala yang telah kau berikan, seluruhnya. Aku tak bakal
mampu membalas semua ini. Kecuali dengan doa dan menuruti perkataanmu,
aku tak bisa berikan hal yang lebih, aku tak bisa berjanji. Tapi aku harap kau
bisa bangga dan lega. Sebab setelah ini aku ingin berusaha membantumu
sekuat tenaga, demi hari tuamu yang tenang dan nyaman.
Demikian, semoga Ayah membaca suratku ini di pagi hari dengan kopi.
Lebaran depan aku mudik naik kereta, jarak ke stasiun lumayan jauh, baiknya
tak usah kau jemput, ada banyak angkutan kota dan pangkalan ojek. Biarlah
nanti akan kusiapkan padamu sebuah hadiah paling menarik yang sangat kau
idamkan. Sejumlah potret lawas kartu pos bergambar gedung-gedung
Belanda. Katamu cara mengenang paling istimewa adalah menciptakan
imajinasi dalam sebuah foto. Aku berterima kasih, Yah… semua yang kutulis
hari ini kepadamu, seluruhnya berkat bimbinganmu. Sebut saja ini surat cinta,
karena ini benar-benar tentang cinta seorang anak lelaki pada kebaikan
Ayahnya. Yah, aku masih rindu…

You might also like