You are on page 1of 18

Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok

selama berabad-abad, Mereka telah menghuni


wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa orang Sasak
berasal dari percampuran antara penduduk
asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa.
Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak
adalah orang Jawa.

Oleh: Soesandireja
JULI 17, 2010

Pulau Lombok merupakan kampung halaman Suku


Sasak, terletak di sebelah timur Pulau Bali, dipisahkan
oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan
dengan Selat Atas yang memisahkan pulau ini dengan
Pulau Sumbawa. Luas wilayah pulau yang termasuk ke
dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang lebih
5435 km2.

Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima


Kabupaten dan Kota yakni Kabupaten Lombok Barat,
Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur,
Kabupaten Lombok Tengah, dan Kota Mataram. Kurang
lebih ada sekitar 3 juta jiwa yang mendiami pulau
lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.

Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari


kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti
“leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan
bahwa sasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari
pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu
adalah orang Jawa.
Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang
menyelidiki asal-usul serta perubahan kata dalam
bentuk dan makna.

Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang


digunakan oleh orang Sasak disebut
sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari
tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini diresepsi
dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan
tradisi kesusasteraan Sasak.

Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan


bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak yang dalam
bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan
dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan
menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lain yang
sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab
Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan
Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.

Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan


“lombok sasak mirah adi” yangkurang lebih dapat
diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang
utama”. Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-
sak) yang diartikan sebagai satu atau utama; Lombok
(Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai
jujur atau lurus; mirah diartikan sebagai permata
dan adi bermakna baik.

Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan

Sejarah Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari


silih bergantinya kekuasaan dan peperangan pada masa
itu. Baik itu peperangan antar kerajaan di Lombok
sendiri, maupun peperangan yang ditimbulkan oleh
perluasan kekuasaan dari wilayah lain.
Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di
Medang (Mataram Kuno), telah banyak pendatang dari
Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka
kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat
sehingga keturunan-keturunan selanjutnya dikenal
sebagai suku sasak.

Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi,


Pulau Lombok ini kemudian berada di bawah pengaruh
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan kabarnya Maha
Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau
Lombok untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada
di Pulau itu.

Melemahnya pengaruh Majapahit membuka jalan bagi


perkembangan Islam ke daerah Lombok. Islam mungkin
sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya, tapi
penyebaran yang signifikan muncul karena bantuan para
wali beserta kekuasaan Islam di tanah Jawa dan wilayah
Makassar.

Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah


berhasil menguasai Kerajaan Selaparang, salah satu
kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam
kemudian menyebar di Lombok, meski masih tetap
tercampur dengan kebudayaan lokal.

Kerajaan Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah


Lombok menjadi kekuasaannya, berhasil menduduki
Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7 Masehi, kemudian
melebarkan kekuasaannya terhadap hampir seluruh
wilayah Lombok setelah berhasil menaklukan Selaprang
dan memukul mundur pengaruh Makassar.

Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa


dibukakan jalan oleh bangsawan Sasak untuk berkuasa di
Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak
meminta campur tangan dari militer Belanda agar
memerangi dinasti Bali di Lombok.

Ketika akhirnya Belanda berhasil mengambil penguasaan


Lombok dari Kerajaan Bali, alih-alih mengembalikan
Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka justru
menjadi penjajah baru di wilayah itu. Menurut Kraan
(1976) menyebutkan bahwa Belanda telah berhasil
mengambil wilayah yang sebelumnya berada di bawah
Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak yang sangat
tinggi pada penduduknya.

Antara Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa


kesamaan budaya, selain karena faktor perluasan
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti,
kedekatan wilayah yang memungkinkan penduduknya
dengan mudah berpindah dan terjadi akulturasi
budayanya.

Bahasa Orang Sasak

Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem


aksaranya, memiliki kedekatan dengan sistem aksara
Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-
Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak
ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa Bali.

Etnologi: Cabang dari antropologi, yang mempelajari


berbagai suku bangsa beserta aspek kebudayaannya,
dan hubungan antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya. Etnis: Suku bangsa. Etnolog: Adalah orang
yang ahli etnologi.

Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan


hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa
Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-
Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun
bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.

Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek


dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan kedalam
beberapa bahasa sesuai dengan wilayah
penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-
Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-
Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok
Utara).

Struktur dan Sistem Masyarakat Sasak

Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik,


digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu
golongan bangsawan yang
disebut perwangsa dan bangsa Amaatau jajar
karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.

Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan,


yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan
bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa
(perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain
itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki
dan Denda untuk perempuan.

Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak


memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan
seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan
melalui serangkaian upacara kerajaan.

Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya


menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya
dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir
disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan
untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini
adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa dan
triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini
biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga
tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa
di Pulau Lombok, mereka yang
disebut permenak kehilangan haknya dan hanya
menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu
kerajaan).

Masyarakat Sasak sangat menghormati


golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan
atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa,
seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak
tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas
dari kewajiban pajak).

Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu


kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta
dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa,
Kerajaan akan memberikan beberapa imbalan, salah
satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.

Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan


suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari
pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa
kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral
atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari
kedua belah pihak; ayah dan ibu).

Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak


disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban
anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini
meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah),
Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak
mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka
terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan,
masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta
warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah,
dan juga benda-benda lainnya yang merupakan
peninggalan leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola
kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan
harta waris yang disebut pusaka.

Kepercayaan Masayarakat Sasak

Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak,


beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada
kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki
kesamaan dan hubungan dengan Buddhisme.

Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak


mengenal dan mengakui Sidharta Gautama (Sang
Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak
ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur
mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.

Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa


serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun
kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16
hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam
menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran
Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan
Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi
penganut Islam.

Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-


masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga
kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu
Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di
wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah
pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini
konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan,
budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka
menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari
islamisasi di Lombok.

Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama


dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur
umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan
pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang
kehidupan senantiasa mengalir.

“Masjid Suku Sasak” Gambar oleh Wacana Nusantara


Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat
dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua desa suku
Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan
meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara
sinkretisme Islam-Wetu telukini berkembang terbatas di
beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok.
Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di
Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di
Lombok Barat.

Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut


kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu
waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan
puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu
melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau
Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah
lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama
mereka; para kiai dan penghulu.

Para penganut Islam-Wetu telu membangun Masjid


(tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas
Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian
atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari
bambu.

Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap


seperti piramid bertumpang yang disangga dengan tiang-
tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip
dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.

Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak

Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali


pada umumnya. Di dataran, perkampungan suku Sasak
cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku Sasak di
wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan
yang pasti.
Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku
Sasak terdapat dua baris rumah tipe bale, dengan
sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan
lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak
adalah rumah besar (bale bele).

Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang


bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan. Balai
terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-
hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini
juga digunakan untuk urusan keagamaan misalnya
upacara penghormatan jenazah sebelum dikuburkan.
Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-
rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bagian
atas dari perkampungan.

“Lumbung Padi Suku Sasak”.


Gambar oleh Wacana Nusantara
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan
ukuran yang berbeda-beda. Semua lumbung, kecuali jenis
lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki panggung
di bawah.

Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang


berada di bagian bawah lumbung padi berperan
sebagai balai. Di Lombok bagian utara, tidak semua desa
memiliki lumbung padi.

Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik


dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan Lumbung itu
didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang
mirip bangunan-bangunan Austronesia.

Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang


ditutup ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang-tiang
melintang di bagian atas tempat kerangka utama
dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian
menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua
bagiannya ditutupi ilalang.

Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah


lubang persegi kecil yang terletak tinggi di bagian ujung
berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk
mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar
yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas
puncak tiang dasarnya.

Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak


berjendela dan hanya memiliki satu pintu dengan pintu
ganda yang telah diukir halus. Di bagian dalam, tidak
terdapat tiang-tiang penyangga atap.

Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang


memiliki ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap itu
sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar
yang hampir menutupi bagian dinding.
Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang
menyatu dengan atap dibuat dari bambu, bagian bawah
dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang
permukaannya telah dipelitur halus.

“Rumah Adat Suku Sasak”.


Gambar oleh Wacana Nusantara
Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan
memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu
di dalam rumah sepanjang hari.

Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota


keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk
menyimpan pusaka dan benda berharga.

Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak


perempuan tidur di atas bagian dalam panggung.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi
tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi
rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung.
Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga
disimpan di bawah panggung.

Tradisi dan Seni

Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja


diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak mendapat
pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya
demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak
memiliki corak dan ciri budaya yang khas, asli dan sangat
mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya
di Nusantara.

Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai


kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas
budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa
Indonesia di mata dunia.

Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal


dari suku Sasak:

Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang


laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang
biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku
Sasak, Nyalebukan sekedar binatang, beberapa legenda
dari Suku ini yang menceritakan tentang putri yang
menjelma menjadi Nyale.

Lainnya menyatakan bahwa Nyale adalah binatang


anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan
kesuburan dan keselamatan.

Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun


sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10
atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku Sasak,
kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.

Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo


Bontong merupakan hari puncak terjadi bencana dan
atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang
tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo
Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih
artinya “putus” atau “pemutus”.

Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk dapat


menghindari bencana atau penyakit. Upacara ini digelar
setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu terakhir
bulan Safar dalam kalender Hijriah.

Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan


obat berbahan dasar beras yang dicampur berbagai jenis
tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu
tempat melaksanakan upacara.

Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk


meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini
dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu
(pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat
ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta
membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.

Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk


yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25
meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang
berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara
pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah.

Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan


mengusung Sabuk Beleqmengelilingi kampung diiringi
dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara
kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja
mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai
jenis makhluk.

Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan


persaudaraan, persatuan dan gotong royong antar
masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.

Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya


membaca dan orang yang membaca di
sebut pepaos. Lomba memaos adalah lomba untuk
membaca lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur
mereka.

Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar generasi


selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan sejarah
masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi
sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi
pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos
biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan
pendukung vokal.

Tandang Mendet. Tandang Mendet adalah tarian


perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada sejak
zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang
menggambarkan keperkasaan dan perjuangan ini
dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan
membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang
(pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan
hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair
perjuangan.

Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian


dan atau Presean adalah seni bela diri yang dulu
digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya
adalah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit.
Pada perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan
rakyat untuk menguji ketangkasan dan “keberanian”.

“Tarung Peresean Tempo Doeloe”. Foto dari Tropenmuseum


Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi
pecahan kaca. Dan untuk menangkis
serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah
perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu
atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan
mengenakan kain panjang.

Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di


Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti
oleh pepadu dari seluruh Pulau Lombok.

Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur


seni dan olahraga, bahkan termasuk permainan
tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak.
Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa
wilayah lain di Indonesia.

Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk


maupun aturan permainannya. Gasing besar, mereka
namai pemantok, digunakan untuk menghantam
gasing pengorong atau pelepas yang ukurannya lebih
kecil.

Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”,


dan dari kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional
ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di
mana saja.

Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua,


unik, dan bersahaja. Slober dibuat dari pelepah enau dan
ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung
dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus,
seruling, dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan
hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika malam
bulan purnama.

Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang


mendunia. Gendang Beleqmerupakan pertunjukan
dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq)
sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat
dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan
untuk mengarak iring-iringan.

Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi sebagai


pembawa dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang
mama dan gendang nina atau gendang perempuan).

Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau


gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis adalah dua
buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk,
sebuah gong besar, sebuah gong penyentak , sebuah
gong oncer, dan dua buah lelontek.

Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila


ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak
kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi
sebagai penyemangat prajurit yang ikut berperang.

You might also like