You are on page 1of 3

1.

Uji Kompetensi Apoteker Indonesia adalah cara terbaik untuk melhat dan
mengukur mutu dan kompetensi para apoteker Indonesia.

Apoteker yang akan menjalankan Pekerjaan Kefarmasiaan harus memiliki Sertifikat


Kompetensi Profesi yang dikeluarkan oleh organisasi Profesi setelah lulus Uji
Kompetensi. Sertifikat Kompetensi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap
5 (lima) tahun melalui mekanisme resertifikasi. Sejak tahun 2011 semua apoteker yang
akan melakukan praktek kefarmasian diwajibkan memiliki Surat Tanda Registrasi
Apoteker STRA dan sertifikat kompetensi profesi apoteker. Namun, saat ini masih ada
apoteker yang telah lama lulus tetapi belum memiliki sertifikat kompetensi profesi
apoteker dan STRA, sehingga perlu dipikirkan cara agar apoteker tersebut dapat tetap
melakukan praktek kefarmasian. Bagi Apoteker yang lulus sebelum tahun 2011 dan
belum pernah memiliki Sertifikat Kompetensi Profesi, maka Apoteker tersebut harus
mengikuti Uji Kompetensi Profesi Apoteker apabila Apoteker tetap akan menjalankan
Praktek Kefarmasian. Beberapa orang menganggap bahwa uji kompetensi ini sangat
penting dalam upaya mendapatkan apoteker yang berkompeten,cerdas serta memiliki
ilmu mengenai obat secara luas, tetapi sebagian orang berpendapat bahwa UKAI saja
tidak cukup untuk menilai bahwa seorang apoteker yang bersangkutan memiliki mutu
yang baik. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa ada factor lain yang dapat
diajadikan acuan untuk menilai mutu kerja seorang apoteker karena apoteker adalah
sebuah profesi yang harus melayani masyarakat dan memiliki banyak poin penilaian
untuk mengatakan mutunya baik ataupun buruk.

2. Obat hanya boleh dijual di apotek yang memiliki ijin resmi dari pemerintah.
Peredaran obat ilegal sebenarnya telah terjadi semenjak beberapa tahun terakhir ini.
Salah satu kasus yang parah terjadi di Balaraja, Banten yang baru terungkap pada tahun
2016. Disana terdapat lima gudang produksi obat palsu, pemerintah mengamankan lebih
dari 42 juta butir obat palsu. Obat obatan ini akan diedarkan ke took toko obat terutama
di daerah Kalimantan Selatan, pabrik ini tidak hanya memproduksi obat secara ilega,
tetapi juga mengedarkannya tanpa ijin resmi serta dengan penyelundupan sehingga
pemerintah baru mengetahuinya. Melihat fenomena ini, hendaknya pemerintah berkaca
melalui kasus vaksin palsu yang sempat membahayakan nyawa banyak bayi di
Indonesia. Obat illegal terkadang disidtribusikan ke penerima yakni toko obat ataupun
supermarket yang tidak memiliki apoteker sebagai pengawasnya. Sehingga, masyarakat
awam yang tidak memiliki pengetahuan yang luas mengenai obat akan membeli obat
yang salah. Obat yang seharusnya membawa efek penyembuhan akan menjadi
memperparah penyakit pasien. Maka dari itu, akan lebih baik jika yang menjual obat
hanyalah apotek yang telah jelas ijin semua surat suratnya. Tetapi, beberapa orang
mungkin berpikir bahwa jika pemerintah melakukan hal ini, maka jangkuan obat oleh
masyrakat akan lebih susah karena beberapa obat memang dijual di supermarket dan
toko obat tertentu, masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih untuk pergi ke apotek
hanya untuk membeli obat yang masuk dalam kategori “bebas” yang sebenarnya bisa
mereka dapatkan di apotek.
3. Apoteker memilik otoritas mutlak dalam pelayanan obat di masyarakat.
Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta keterampilan di
bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab untuk melaksanakan
pekerjaan kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian). Pendidikan apoteker
dimulai dari pendidikan sarjana (S-1), yang umumnya ditempuh selama empat tahun,
ditambah satu tahun untuk pendidikan profesi apoteker. Secara umum, pekerjaan
kefarmasian yang dilakukan oleh seorang apoteker adalah di bidang pengadaan,
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi. Sesuai dengan kewenangaannya,
beberapa orang berpendapat bahwa seorang apoteker adalah profesi yang memiliki
tanggung jawab sepenuhnya pada obat mulai dari produksi, distribusi, hingga
penyerahan obat ke pasien. Apoteker juga dianggap sebagai profesi yang bertanggung
jawab atas kelayakan obat yang diberikan ke pasien serta pemberian konseling dan
homecare untuk pasien. Namun, beberapa orang yang masih awam, menganggap bahwa
penyerahan obat bisa saja dilakukan oleh tenaga kesehatan lain seperti dokter, hal ini
merupakan fenomena yang sering terjadi ketika seorang pasien pergi ke dokter dan
setelahnya dokter pula yang memberikan obatnya bahkan meracik sendiri obatnya. Hal
inilah yang terkadang membuat profesi seorang apoteker jarang diketahui orang.
4. Jika apoteker sedang tidak ada di tempat, resep tidak bisa dilayani di apotek.

Menurut Permenkes No 9 Tentang Apotek dijelaskan bahwa Resep adalah permintaan


tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk
kertas maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan bagi pasien. Disebutkan pula dalam pasal 21 bahwa, seorang apoteker
wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat. Berdasarkan uraian ini, maka jelas bahwa tugas
seorang apoteker ialah memastikan bahwa resep itu bisa dilayani dan legal. Apoteker
harus mampu memastikan bahwa pasien mendapatkan obat dengan dosis yang benar
disertai dengan pemahaman yang baik terkait obat yang diterima. Maka dari itu,
hendaknya seorang apoteker tidak melimpahkan tugasnya kepada petugas lain atau
penjaga apotek yang tidak memiliki ilmu yang cukup apalagi wewenang untuk itu.
Tetapi, beberapa orang berpendapa bahwa tenaga kefarmasian lain juga bisa memiliki
ilmu tentang resep seperti seorang sarjana farmasi walaupun ia belum menjadi seorang
apoteker. Mereka bisa saja melayani resep, tetapi memang untuk pengawasan dan
tanggung jawab atas jaminan obat yang diberikan ke pasien tetap dipegang oleh apoteker.
Jika saja resep harus dilayani hanya oleh seorang apoteker, maka ini akan mempersempit
ruang masyarakat dalam memperoleh obatnya karena kompetensi yang sebenarnya juga
dimiliki oleh tenaga teknis kefarmasian lain tidak dimanfaatkan.
5. Homecare harus dilakukan oleh dokter bersama dengan apoteker

Homecare yang dilakukan oleh apoteker biasa disebut sebagai Home Pharmacy Care dan
merupakan tugas penting seorang apoteker dalam farmasi klinik (berdasarkan Permenkes
No 76 Tahun 2016). Home Pharmacy Care atau Pelayanan kefarmasian di rumah
merupakan suatu pelayanan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk
kelompok pasien lanjut usia dan pasien yang menggunakan obat dalam jangka waktu
lama seperti penggunaan obat-obat kardiovascular, diabetes, TB, asma dan penyakit
kronis lainnya, dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien
dalam penggunaan obat. Dengan adanya pelayanan ini, diharapkan dapat meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian baik di rumah sakit maupun apotek terutama dalam rangka
menjamin bahkan meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat yang pada
akhirnya dapat meningkatkan keberhasilan terapi. Terkadang adanya dokter ikut dalam
membantu apoteker dalam pelaksanaan homecare dianggap perlu karena dokter memiliki
ilmu dalam diagnosis penyakit sedangkan apoteker akan membantu dalam ilmu terapi
obat serta konseling mengenai pengobatannya. Tetapi, sebagian orang menganggap
bahwa dokter tidak perlu ikut campur dalam tugas apoteker karena setiap tenaga
kesehatan telah memiliki ruang lingkup kerja dan kewajiban masing masing. Sehingga,
dirasa cukup hanya apoteker saja yang melaksanakan homecare.

You might also like