You are on page 1of 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
1. Defnisi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh
darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah,
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani, 2006). Hipertensi
atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah. (Marliani, 2007). Hipertensi dapat didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan
diastolik di atas 90 mmHg. (Rohaendi, 2008).

2. Klasifikasi hipertensi
Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada januari 2007 meluncurkan pedoman
penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari pedoman Negara maju dan Negara
tetangga. Dan klasifikasi hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik
dan diastolic dengan merujuk hasil JNC 7 dan WHO yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Tekanan darah Sistol Tekanan darah
Kategori tekanan darah
(mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80-89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90-99
Hipertensi stadium 2 > 160 Atau > 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
(Sumber: Crea, 2008:9)

3. Faktor yang mempengaruhi hipertensi


Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat
atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol :
1) Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang
belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Pada premenopause
wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana
hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara
alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun. Dari hasil
penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin
wanita sekitar 56,5%. (Anggraini dkk, 2009).
2) Umur
Hanns Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan
usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama,
terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya
arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri.
3) Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga
itu mempunyai risiko menderita hipertensi (Marliani, 2007). Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium
terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko
dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%
kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk,
2009).
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1) Obesitas
Pada usia pertengahan ( + 50 tahun ) dan dewasa lanjut asupan kalori
sehingga mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas,
itu sebabnya berat badan meningkat. Untuk mengetahui seseorang mengalami
obesitas atau tidak, dapat dilakukan dengan mengukur berat badan dengan tinggi
badan, yang kemudian disebut dengan Indeks Massa Tubuh (IMT).
2) Kurang olahraga
Olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat
karena adanya kondisi tertentu (Rohaendi, 2008).
3) Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya
stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Subyek terus diteliti dan dalam
median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi
terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang
perhari (Rahyani, 2007).
4) Mengkonsumsi garam berlebih
Mengkonsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler
ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya
volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. (Wolff, 2008).
5) Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan
termasuk salah satu faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007).
6) Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung
75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan
tekanan darah 5 -10 mmHg.
7) Stress
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Rohaendi, 2003). Menurut Anggraini
dkk, (2009) menagatakan Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.

2.2 Gaya Hidup


Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas,
minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang
berinteraksi dengan lingkungannya (Sakinah, 2002). Menurut Lisnawati (2006) gaya hidup
sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara
kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi
kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman
beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang dialami.
Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa perilaku
sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan gaya
hidup adalah pola perilaku individu sehari-hari yang diekspresikan dalam aktifitas, minat
dan opininya untuk mempertahankan hidup sedangkan gaya hidup sehat dapat disimpulkan
sebagai serangkaian pola perilaku atau kebiasaan hidup sehari-hari untuk memelihara dan
menghasilkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit serta melindungi diri untuk
sehat secara utuh.

2.3 Kepribadian
Kepribadian merupakan sejumlah pola tingkah laku yang aktual dan potensial yang
ditentukan oleh bawaan dan lingkungan yang dihubungkan melalui interaksi fungsional dari
aspek kognitif dan afektif ke dalam pola tingkah laku. Sadli (2004) mengemukakan bahwa
kepribadian adalah proses be coming, yaitu suatu proses dinamis yang berkelanjutan dimulai
sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal.
Kepribadian merupakan pola khas seseorang dalam berpikir, merasakandan
berperilaku yang relatif stabil dan dapat diperkirakan (Dorland, 2002). Kepribadian juga
merupakan jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh
dari lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi kejiwaan seseorang dan
mempengaruhi sikapnya terhadap kehidupan (Weller, 2005).
Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi
perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin, 2010). Banyak teorikepribadian yang
ditinggalkan oleh para ilmuwan psikologi dunia. Baikyang secara khusus bicara tentang
struktur kepribadian, atau yangmembahas panjang lebar tentang tahap perkembangan
manusia. Seiring berkembang waktu teori-teori itupun mengalami perkembangan, sampai
pada masa bermunculan ilmuwan psikologi yang berbicara tentang pembagian tipe
kepribadian manusia dengan penetapan dimensi-dimensi sebagai talok ukur.
Pembagian tipe kepribadian manusia dalam sifat introvert dan ekstrovert merupakan
teori Jung yang sangat populer. Jung menyatakan bahwa kepribadian introvert dan ekstrovert
terbentuk berdasarkan sikap. Menurut Eysenck dalam Ahmadi (2005) bahwa orang introvert
cenderung mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi yang ditandai dengan
kecenderungan obsesi, mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom mereka labil, gampang
terluka, mudah gugup, rendah diri, mudah melamun, sukar tidur. Sementara ekstrovert
menurut Parkinson (2004) diartikan sebagai keramahan, terus terang, cepat akrab,
berakomodasi secara natural dan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai situasi.
Berdasarkan hal tersebut maka tipe kepribadian ekstrovert dalam kehidupan keseharian perlu
dikembangkan agar perilaku masyarakat dalam menyikap peran sakit lebih siap
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepribadian meliputi
segala corak perilaku dan sifat yang khas dan dapat diperkirakan pada diri seseorang, yang
digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap rangsangan, sehingga corak
tingkah lakunya itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas bagi individu itu sendiri.

You might also like