Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing:
Disusun oleh:
A. IdentitasPasien
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 28 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda
Alamat : Cimampag RT 03/RW01
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status pernikahan: Janda
No. RM : 00088204
Tanggal masuk : 16 Januari 2017
B. Riwayat Psikiatri
Berdasarkan
Autoanamnesis : dilakukan pada tanggal 27 Januari 2018 di Bangsal Kemuning
Alloanamnesis : dilakukan pada tanggal 29 Januari 2018 dengan ibu pasien
1. KeluhanUtama
Pasien suka berbicara sendiri sejak 1 minggu SMRS
b. Gangguan Medik
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat penyakit infeksi : disangkal.
Riwayat epilepsi : disangkal.
Riwayat gangguan kesadaran : disangkal.
f. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak tunggal. Pasien dirawat sejak kecil hanya oleh ibu ayah
kandungnya sampai usia 5 tahun. Setelah itu pasien tinggal bersama pamannya
dan saudara sepupunya. Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat gangguan jiwa.
5. Pohon Keluarga
Keterangan Gambar:
: tanda gambar untuk jenis kelamin perempuan
: tanda gambar untuk jenis kelamin laki-laki.
: blok hitam menunjukkan memiliki gangguan jiwa (Pasien)
C. STATUS FISIK
1. Status Internus
Keadaan Umum : Tampak sehat
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
b. Suhu : 36,5ºC
c. Nadi : 86 kali/menit
d. Pernafasan : 20 kali/menit
2. Status Neurologi
Gangguan Rangsang Meningeal : (-)
Mata
a. Gerakan : Baik ke segala arah
b. Bentuk Pupil : Bulat isokor
c. Reflek Cahaya : +/+ (langsung & tidak langsung)
Motorik
a. Tonus : Baik
b. Turgor : Baik
c. Kekuatan : Baik
d. Koordinasi : Baik
Refleks : Normorefleks di semua ekstremitas
D. STATUS MENTAL
1. Deskripsi Umum : Kooperatif, bila ditanya selalu menjawab
a. Raut wajah : Tampak bingung
2. Pola Pikir
a. Bentuk : Autistik
b. Jalan : Asosiasi longgar, Flight of idea,
c. Isi : Waham kejar
(Pasien merasa ada orang yang ingin memukuli dan mencelakakannya)
3. Gangguan Emosi
a. Mood : Labil (kadang takut, kadang sedih, kadang
bersemangat)
b. Afek : Inapropriate
4. Gangguan Persepsi : Halusinasi visual dan auditorik
5. Gangguan Perhatian : Aproseksia
6. Gangguan Tingkah Laku : Normoaktif
7. Decorum
a. Penampilan : Kurang rapih / acak-acakan
b. Kebersihan : Bersih
c. Sopan santun : Baik dan sopan
8. Tilikan : Derajat 2
9. Taraf dapat dipercaya : Tidak Dapat dipercaya
E. PEMERIKSAAN MULTIAKSIS
Aksis I
F20.1 Skizofrenia hebefrenik
Aksis II
Gangguan kepribadian belum bisa dinilai
Aksis III
Tidak ada gangguan
Aksis IV
Ditemukan adanya masalah teman dan keluarga
Aksis V
GAF saat ini 60-51 = gejala sedang (moderate), disabilitas sedang
F. DIAGNOSIS
Skizofrenia Hebefrenik
G. RENCANA TERAPI
A. Farmakologi
Haloperidol 5 mg 3x1
Trihexyphenidyl 2 mg 3x1
Chlorpromazine 100 mg 1x1
B. Psikoterapi
1. Pengenalan terhadap penyakitnya, manfaat pengobatan, cara pengobatan, efek
samping pengobatan.
2. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur dan rajin kontrol setelah pulang
dari perawatan.
3. Membantu pasien untuk menerima realita dan menghadapinya.
4. Membantu pasien agar dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara
bertahap.
5. Menambah kegiatan dengan ketrampilan yang dimiliki.
C. Psikoedukasi
Kepada keluarga :
1. Memberikan pengertian kepada keluarga pasien tentang gangguan yang dialami
pasien.
2. Menyarankan kepada keluarga pasien agar memberikan suasana/lingkungan yang
kondusif bagi penyembuhan dan pemeliharaan pasien.
3. Menyarankan kepada keluarga agar lebih berpartisipasi dalam pengobatan pasien
yaitu membawa pasien kontrol secara teratur
H. PROGNOSIS
Pasien ada keinginan diri untuk sembuh
Keluarga mendukung pasien untuk sembuh
Pasien masih memiliki keinginan untuk kembali beraktifitas.
Pasien masih merasa takut
Sehingga kesimpulan prognosis pada pasien berdasarkan wawancara diatas sebagai
berikut:
ad vitam : ad bonam
ad sanationam : dubia ad malam
ad fungsionam: dubia ad malam
Faktor biokimia:
1. Hiperaktivitas
Sosial:
dopaminergik.
Pasien merasa mendapatkan
2. Kelebihan serotonin.
3. Inhibisi dari GABA yang ancaman dari temannya.
berperan dalam regulasi
dopamine
Gejala Preokupasi pada satu atau Pada pasien:
lebih waham (biasanya - Waham kebesaran
waham kejar atau waham - Halusinasi visual dan auditorik
kebesaran) atau halusinasi
auditorik.
Memenuhi kriteria skizofrenia :
Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab ( banyak belum diketahui ) dan
perjalanan penyakit ( tak selalu bersifat kronis atau “deterioting” ) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan
social budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih ( clear consciousness
) dan kemampuan intelektual yang tetap terpelihara, walaupun kemunduran
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Menurut DSM IV
Skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif;
ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hubungan antar pribadi
dan menunjukan terus gejala-gejala ini selama paling tidak 6 bulan. Sebagai
tambahan, gangguan skizoafektif dan gangguan afek dengan gejala psikotik tidak
didefinisikan sebagai skizofrenia dan juga skizofrenia tidak disebabkan oleh
karena efek langsung karena psikologi dari zat atau kondisi medis.
Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu
dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau
sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga
dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700
ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia.
Tiga perempat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16
sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai
diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di
antara anggota keluarga sedarah.
Klasifikasi Skizofrenia
1. Skizofrenia paranoid
Pada tipe ini, halusinasi dan waham harus menonjol. Disertai juga dengan gangguan
afektif.
2. Skizofrenia disorganized/hebefrenik
Pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun).
Kepribadian premorbid biasanya pemalu dan cenderung menyendiri. Gejala yang tampak
antara lain: perilaku tidak bertanggung jawab atau tidak dapat diramalkan, perilaku tanpa
tujuan, afek dangkal dan tidak wajar, tersenyum sendiri, disorganisasi proses pikir,
pembicaraan tidak menentu dan gangguan afektif. Halusinasi dan waham ada namun
tidak menonjol.
3. Skizofrenia katatonik
Yang khas disini ialah adanya stupor, negativisme, rigiditas atau fleksibilitas cerea.
4. Skizofrenia residual
Berupa gejala negatif dari skizofren yang menonjol setelah sedikitnya ada riwayat satu
episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria skizofrenia dan
sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas waham dan
halusinasi sudah berkurang.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV :
A. Gejala karakteristik: Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk
bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati
dengan berhasil):
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
(5) Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition)
Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau
atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau
pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
(e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibiltas serea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat apatis, pembicaraan terhenti,
dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptik;
(i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
Etiologi
1. Model Diatesis-stres
2. Faktor Neurobiologi
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat
seseorang menjadi patologis, yaitu sistem limbik, korteks frontal, cerebellum dan
ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi
pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain.
Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan
stressor lingkungan dan sosial.
Hipotesa Dopamin
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
3. Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan
merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren.
Resiko seseorang menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat
anggota keluarga lainnya yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan
keluarga dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan
pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan
kembar satu telur memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
skizofrenia.
4. Faktor Psikososial
a. Teori Psikoanalitik
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang
buruk-turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud
tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon
terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.
b. Teori Psikodinamik
Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa
kanak-kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan
cara pikir yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang
sebenarnya juga memiliki masalah emosional.
a. Double Bind
d. Ekspresi Emosi
Teori Sosial
Kriteria Diagnosis
A. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi auditorik yang sering.
B. Tidak ada dari yang berikut ini yang menonjol: pembicaraan terdisorganisasi,
perilaku terdisorganisasi atau katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
Diagnosis Banding
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan
medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika psikosis atau
katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau diakibatkan oleh suatu zat,
diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan psikotik akibat kondisi medis umum,
atau gangguan katatonia akibat zat. Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis
nonpsikiatrik dapat terjadi awal dalam perjalanan penyakit, seringkali sebelum
perkembangan gejala lain.
Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga pedoman
umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi harus cukup
agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien menunjukkan adanya
gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi dalam tingkat kesadara.
Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan riwayat keluarga yang lemgkap,
termasuk riwayat gangguan medis, neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus
mempertimbangkan kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada
pasien dengan diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia
mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan
gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien skizofrenik.
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan yang
terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan
skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama
(durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi kurang daripada enam bulan.
Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurangnya satu hari tetapi kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak
kembali ke tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis
yang tepat jika sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan
gejala utama skizofrenia.
Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang tidak aneh
(nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya gejala skizofrenia
lainnya atau suatu gangguan mood.
Gangguan Mood
Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi penting
karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania dan depresi.
Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat terhadap lama gejala
primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus
menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya gangguan mood, bukannya
membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
Gangguan Kepribadian
Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
1. Phenotiazine:
a. Rantai Aliphatic:
i. Chlorpromazine (Largactil)
ii. Levomepromazine (Nozinan)
b. Rantai Piperazine:
i. Perphenazine (Trilafon)
ii. Trifluoperazine (Stelazine)
iii. Fluphenazine (Antensol)
c. Rantai Piperidine
i. Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone: Haloperidol (Haldol, Serenace, dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide (Orap)
Mekanisme Kerja
Efek Samping
Pemilihan Obat
- Pemilihan jenis obat mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat.
- Apabila ada obat yang tidak memberi respons klinis dalam dosis optimal setelah
jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat lain dengan golongan
berbeda, dengan dosis ekivalen-nya.
- Apabila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif maka pilihan obat anti-
psikosis atipikal perlu dipertimbangkan, khususnya bagi yang tidak dapat
mentolerir efek samping ekstrapiramidal.
Pengaturan Dosis
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif maka dievaluasi tiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
sampai dosis optimal dan dipertahankan sekitar 8-12 minggu. Setelah itu diturunkan
setiap 2 minggu hingga mencapai dosis maintenance yang dipertahankan 6 bulan
sampai 2 tahun diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu lalu dilakukan tapering off tiap
2-4 minggu sampai stop.
Lama Pemberian
B. Terapi Psikososial
Obat anti-psikosis saja tidak efektif jika tidak digabung dengan intervensi
psikososial. Pengobatan psikososial digambarkan sebagai layanan yang bertujuan
untuk mengembalikan kemampuan pasien agar berfungsi dalam komunitas.
Pengobatan ini mungkin melibatkan pengobatan medis dan psikososial untuk
menambahkan interaksi sosial, meningkatkan kemampuan hidup sendiri, dan
mendorong penampilan yang layak. Pasien didorong untuk lebih terlibat dalam
perkembangan dan keikutsertaan dalam rencana rehabilitasi yang berfokus
menambahkan keahlian dan kemampuan pasien. Tujuan dari pengobatan psikososial
untuk menyatukan pasien kembali kepada komunitasnya.
C. Terapi Perilaku
D. Terapi Kelompok
E. Terapi Keluarga
Dengan terapi ini dapat mengurangi angka relaps dan diberikan untuk anggota
keluarga skizofrenik. Interaksi keluarga yang berekspresi emosi tinggi dapat dikurangi
melalui terapi keluarga. Kelompok anggota penderita skizofrenia dapat berdiskusi
berbagai hal, terutama pengalamannya.
Meski mekanisme pasti dari perkembangan dalam terapi keluarga tidak diketahui,
namun masih dapat direkomendasikan untuk beberapa pasien. Pertama, keluarga
mendapat keuntungan dengan mengetahui tentang skizofrenia itu sendiri.
Pengetahuan ini dapat meningkatkan kerjasama dan penerimaan baik dari keluarga
maupun pasien itu sendiri. Namun demikian, pengetahuan ini harus digabungkan
dengan intervensi keluarga lainya yang bertujuan pada peningkatan komunikasi yang
pada akhirnya dapat menurunkan tingkat stress dari pasien skizofrenia dan
menurunkan resiko relaps.
F. Psikoterapi Suportif
Merupakan bentuk psikoterapi yang sangat sederhana dan tidak mengungkit masa
silam maupun alam tak sadar dari penderita. Terapist berusaha untuk ikut mencarikan
jalan keluar yang logis sesuai dengan kemampuan pasien dalam mengenal gangguan
yang dihadapi, serta mencari mekanisme pertahanan yang lebih baik dalam
menghadapi penyelesaian masalah.
Prognosis
1. Onset akut
2. Faktor pencetusnya jelas
3. Riwayat sosial dan pekerjaan premorbid yang baik (termasuk kemunculan di usia
lanjut)
4. Subtipe paranoid
5. Menikah
6. Riwayat keluarga dengan gangguan alam perasaan
7. Predominasi gejala positif
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan. Harold I, Sadock.benyamin J. Skizofrenia. Dalam: Sinopsis Psikiatri.
Jakarta. Binarupa Aksara. Edisi VIII.2005. Halaman 1329.
2. Maslim, dr.R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika atma Jaya. Jakarta. PT.Nuh Jaya. 2003.
3. American Psychiatric Associates. Diagnostic Criteria from DSM-IV. Schizophrenia
and Other Psychiatric Disorders. Washington: 2000. Hal 153-154.
4. Ibrahim, Prof. Dr. A Sani. Skizofrenia. Jakarta. PT.Dian Ariesta. Cetakan kedua.
2002.
5. Maslim, dr.R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika atma Jaya. Jakarta. PT Nuh Jaya. 1999.