You are on page 1of 11

KOMPARASI ANTARA SISTEM PASAR MODAL KONVENSIONAL DENGAN

SISTEM PASAR MODAL SYARIAH

Persamaan sistem pasar modal konvensional dengan sistem pasar modal syariah
antara lain :

1. Asas Kebebasan Berkontrak.

Pada pasar modal konvensional, pelaksanaan kontrak berdasar pada asas kebebasan berkontrak
sesuai dengan Pasal 1338 dan kesepakatan sesuai Pasal 1320 KUHPerdata.

Pada pasar modal syariah, semua kontrak diperbolehkan kecuali yang dilarang menurut syariah
Islam dan dilakukan atas dasar ridho sama ridho.

2. Pembatasan

Pada pasar modal konvensional pembatasannya antara lain :

 Sebab yang halal (Pasal1320 KUHPerdata)


 Hal tertentu (Pasal1320 KUHPerdata)
 Tidak khilaf (Pasal 1322 KUHPerdata)
 Tidak berat sebelah (misbruik van omstandigheden).
 Judi merupakan suatu pidana (KUHPidana), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
 Kehati-hatian (dalam perbankan dinamakan prudential banking yang diatur dalam
SKDirBI/SEBI No.30 tgl 27/2/98)
 Penipuan, Manipulasi pasar, transaksi dua efek atau lebih (Pasal 90-93 UU Pasar Modal)

a. Pasal 90 UUPM

Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:

 menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
 turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
 membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak
mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan
mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk
menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau
dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek

b) Pasal 91 UUPM

Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan
untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan
pasar, atau harga Efek di Bursa Efek.

c) Pasal 92 UUPM
Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan
2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan
harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk
membeli, menjual, atau menahan Efek.

d) Pasal 93 UUPM

 Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau
keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau
 Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material
dari pernyataan atau keterangan tersebut.

Sedangkan pada pasar modal syariah pembatasannya antara lain :

 halal
 tidak gharar (tidak jelas)
 tidak menzholimi dan tidak dizholimi
 harus adil
 tidak maysir (judi)
 prinsip ihtiyath
 tidak najsy (Fatwa DSN No.20/DSN-MUI/IX/2000 juncto Fatwa DSN No.40/DSN-
MUI/X/2003)

Dalam Fatwa DSN No.20/DSN-MUI/XI/2000, Pemilihan dan pelaksanaan transaksi investasi


harus dilaksanakan menurut prinsip kehati-hatian (ihtiyath/prudential management), serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar. Tindakan yang
dimaksud meliputi najsy yaitu melakukan penawaran palsu.

Dalam Pasal 5 Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/X/2003 mengenai transaksi yang dilarang,


Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur
dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman. Transaksi yang mengandung unsur
dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman tersebut termasuk di dalamnya
najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.

3. Instrumen Efek.

a. Obligasi.

Pada pasar modal konvensional, pokok obligasi dikembalikan kepada pada pihak yang
berpiutang. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 4 Tahun 1998.

Pasal 3 menjelaskan bahwa :

 Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak setelah
14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang penjualannya dikecualikan dari
penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Pejabat segera menjual,
menggunakan dan atau memindahbukukan barang sitaan untuk pelunasan biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
 Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk
menggunakan barang sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipergsamakan dengan itu untuk
pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak.

Pasal 4, menjelaskan bahwa :

 Penjualan, penggunaan, dan atau pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


ayat (1), dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a) uang tunai disetor ke Kas Negara atau ke Kas Daerah;

b) deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu dipindahbukukan ke rekening Kas Negara atau Kas Daerah atas
permintaan Pejabat kepada bank yang bersangkutan;

c) obligasi, saham atau surat berharga lainnya:

(1) yang diperdagangkan di bursa efek, dijual oleh Pejabat melalui bursa efek sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan

(2) yang tidak diperdagangkan di bursa efek langsung dijual oleh Pejabat kepada pembeli;

Sedangkan pada pasar modal syariah, dana obligasi dibayar kembali. Hal ini diatur dalam
ketentuan khusus Fatwa DSN No. 33/DSN-MUI/X/2002 yang isinya :

1) Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui
batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudha-rabah, dan Shahibul Mal
dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;

2) Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau
melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal)
dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;

b. Reksa Dana.

Pada pasar modal konvensional, Hubungan Kuasa antara Manajer Investasi dan pemodal
(KUHPer. Bab XVI Bk.III).

Sedangkan pada pasar modal syariah, reksa dana berdasarkan prinsip wakalah (Fatwa DSN
No.10/DSN-MUI/IV/2000). Ketentuan tentang Wakalah ialah:
 Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
 Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

4. Bunga.

Pada pasar modal konvensional bunga tetap (fixed interest rate) diperbolehkan.

Pada pasar modal syariah keuntungan ditentukan dimuka (fixed profit) dalam Murabahah/Ba-i
Bitsaman Ajil diperbolehkan.

5. Upah atas jasa pekerjaan.

Pada pasar modal konvensional upah atas jasa pekerjaan ditentukan berdasarkan persetujuan-
persetujuan untuk melakukan pekerjaan (KUHPer. Bab VIII Bk.III).

Pada pasar modal syariah, upah atas jasa pekerjaan ditentukan berdasarkan prinsip Ijaroh (Fatwa
DSN No.09/DSN-MUI/IV/2000) yaitu :

 Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama
dengan obyek kontrak.
 Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak.

6. Jual Beli.

Pada pasar modal konvensional, jual beli dilakukan berdasar KUH Per. BAB V Bk. III

Pada pasar modal syariah, jual beli yang dilakukan ialah jual beli Salam (Fatwa DSN
No.05/DSN-MUI/IV/2000) dan Istishna (Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000).

Ketentuan mengenai jual beli salam yaitu :

a. Ketentuan tentang Pembayaran:

 Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
 Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
 Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

b. Ketentuan tentang Barang:

 Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.


 Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
 Penyerahannya dilakukan kemudian.
 Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
 Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
 Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

c. Ketentuan tentang Salam Paralel:

Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak
berkaitan dengan akad pertama.

d. Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:

 Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang
telah disepakati.
 Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh
meminta tambahan harga.
 Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela
menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
 Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan
syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh
menuntut tambahan harga.
 Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya
lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu sampai barang
tersedia.

e. Pembatalan Kontrak:

Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak

Sedangkan ketentuan mengenai jual beli Istishna adalah sebagai berikut:

a. Ketentuan tentang Pembayaran:

 Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
 Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
 Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

b. Ketentuan tentang Barang:

 Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.


 Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
 Penyerahannya dilakukan kemudian.
 Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
 Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
 Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
 Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

c. Ketentuan lain :

 Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
 Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada
jual beli istishna’.
 Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

7. Sewa Barang.

Pada pasar modal konvensional, sewa menyewa berdasar (KUHPer. Bab VII Bk.III)

Pada pasar modal syariah, sewa menyewa yang dilakukan ialah sewa menyewa Ijaroh dalam
Fatwa DSN No.09/DSN-MUI/IV/2000 yaitu :

a. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai
pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan
sewa atau upah dalam Ijarah.

b. Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah

1) Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:

 Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan


 Menanggung biaya pemeliharaan barang.
 Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

2) Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:

 Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang
serta menggunakannya sesuai kontrak.
 Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
 Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam
menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

8. Leasing (sewa dengan opsi beli).

Pada pasar modal konvensional, leasing diatur dalam SKB Menkeu, Menperindag 7 Februari
1974
Pada pasar modal syariah, leasing berdasar pada prinsip Ijaroh Muntahiya Bi-Tamlik (Fatwa
DSN No.27/DSN-MUI/III/2002). Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000)
berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

b. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika
akad Ijarah ditandatangani.

c. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.

Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik amtara lain:

 Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad


Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
 Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa’d, yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

9. Penjamin / Garansi.

Pada pasar modal konvensional, diatur dalam KUHPer Bab XVII Bk.III , Pemberian Garansi
Bank oleh Bank (Surat Kep.Dir BI No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991)

Pada pasar modal syariah, penjamin berdasar prinsip Kafalah (Fatwa DSN No.11/DSN-
MUI/IV/2000). Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 11/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Kafalah ini adalah sebagai berikut :

a. Ketentuan Umum Kafalah

1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2) Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.

3) Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

b. Rukun dan Syarat Kafalah

1) Pihak Penjamin (Kafiil)

 Baligh (dewasa) dan berakal sehat.


 Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
2) Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)

 Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.


 Dikenal oleh penjamin.

3) Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)

 Diketahui identitasnya.
 Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
 Berakal sehat.

4) Obyek Penjaminan (Makful Bihi)

 Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
 Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
 Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan.
 Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
 Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

10. Pengalihan Utang (Ganti Debitur).

Pada pasar modal konvensional, Novasi (KUHPer. Bab IV Bagian ke-3 Bk.III)

Pada pasar modal syariah berdasar pada prinsip Hawalah (Fatwa DSN No.12/DSN-
MUI/IV/2000). Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang
yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang
muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).

Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara


komunikasi modern. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan
muhal ‘alaih. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal
‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

11. Penyelesaian Sengketa.

Pada pasar modal konvensional penyelesaian sengketa dilakukan dengan Mediasi (pasal UU
No.30/1999)

Pada pasar modal syariah, penyelesaian sengketa dilakukan dengan prinsip Islah (QS
49:10)/Suluh (QS 4:29,128 dan hadits)

12. Sanksi.
Pada pasar modal konvensional, Ganti biaya, rugi (ps. 1243, 1267 KUHPer); Denda (ps. 103-109
UUPM)

Pada pasar modal syariah, sanksi dikenakan berdasar Prinsip Ta’zir (Fatwa DSN No.17/DSN-
MUI/XI/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran.
Ketentuan ta’dzir adalah:

a. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang
mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.

b. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan
sanksi.

c. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan
itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

d. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam
melaksanakan kewajibannya.

e. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan
dan dibuat saat akad ditandatangani.

f. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial

13. Spot dan Forward/Swap (dalam rangka hedging, bukan spekulasi).

Pada pasar modal konvensional, SKDir BI No.22/45/KEP/DIR

tgl. 16 September 1989

Pada pasar modal syariah, Sharf (Fatwa DSN No.28/DSN-MUI/III/2002). Transaksi jual beli
mata uang pada prinsipnya boleh

dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)

b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)

c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).

d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada
saat transaksi dilakukan dan secara tunai

14. Bagi hasil/keuntungan tanpa mendirikan perusahaan.


Pada pasar modal konvensional, Perserikatan Perdata (KUHPer. Bab VIII, tapi tidak berlaku
kewajiban sekutu kepada pihak ketiga)

Pada pasar modal syariah, bagi hasil keuntungan berdasarkan Mudharabah/Qiradh (Fatwa DSN
No.07/DSN-MUI/IV/2002) dan Musyarakah (Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2002).

Mudharabah/qiradh adalah suatu akad atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya
kepada orang lain untuk dikelola dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil
pengelolaan tersebut) dibagi antara kedua pihak, sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati
oleh kedua belah pihak, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al-mal sepanjang tidak ada
kelalaian dari mudharib.

Karakteristik sistem mudharabah adalah:

 Pembagian keuntungan antara pemodal (shahibul maal) yang diwakili oleh Manajer
investasi dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua
belah pihak melalui manajer invetasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil
invetasi tertentu kepada pemodal.
 Pemodal hanya menanggung resiko sebesar dana yang telah diberikan.
 Manajer investasi sebagai wakil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi yang
dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya (gross negligence/tafrith).

Perbedaan sistem pasar modal konvensional dengan sistem pasar modal syariah antara lain :

1. Bunga.

Pada pasar modal konvensional, bunga diperbolehkan, sedangkan pada pasar modal syariah riba
dilarang.

2. Transaksi warkat dari Emiten yang produk usahanya haram dikonsumsi umat Muslim

Pada pasar modal konvensional diperbolehkan, sedangkan pada pasar modal syariah diharamkan.
Ketentuan haram berdasar pada (Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/X/2003).

3. Menjual barang yang belum dimiliki

Pada pasar modal konvensional, menjual barang yang belum dimiliki pada dasarnya dilarang (Ps.
1471 KUHPer.) kecuali Short selling dan index diperbolehkan.

Sedangkan pada pasar modal syariah, menjual barang yang belum dimiliki adalah dilarang,
berdasarkan prinsip Ba’i al-ma’dum (Fatwa DSN No.20/DSN-MUI/IX/2000 juncto Fatwa DSN
No.40/DSN-MUI/X/2003). Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang yang belum
dimiliki (short selling). Bai’al-ma’dum diatur dalam Pasal 9 fatwa DSN No.2/DSN-
MUI/IX/2000.
4. Instrumen Efek

Pasar modal konvensioanl mengenai derivative atau turunan dari saham dan obligasi seperti right
dan warran, sedangkan pada pasar modal syariah derivative efek tersebut tidak diperbolehkan.

You might also like