You are on page 1of 66

ANALISIS KUALITAS AIR SUMUR

SEKITAR WILAYAH TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR


SAMPAH
(Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang Bogor)

Oleh
BAMBANG KURNIAWAN
F34101004

2006
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANALISIS KUALITAS AIR SUMUR
SEKITAR WILAYAH TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR
SAMPAH
(Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
BAMBANG KURNIAWAN
F34101004

2006
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

16
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

ANALISIS KUALITAS AIR SUMUR


SEKITAR WILAYAH TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR
SAMPAH
(Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang Bogor)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
BAMBANG KURNIAWAN
F34101004

Dilahirkan pada tanggal 05 Nopember 1982


Di Bogor

Tanggal Kelulusan : Maret 2006

Menyetujui
Bogor, Maret 2006

Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti


Pembimbing Akademik

17
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang


berjudul :
“ Analisis Kualitas Air Sumur
Sekitar Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah
(Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang Bogor) ”

adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik,
kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.

Bogor, Maret 2006

Bambang Kurniawan
F34101004

18
Bambang Kurniawan. F34101004. Analisis Kualitas Air Sumur Sekitar Wilayah
Tempat Pembuangan Akhir Sampah : Studi Kasus di TPA Galuga Cibungbulang
Bogor. Di bawah bimbingan : Nastiti Siswi Indrasti

RINGKASAN

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga berbatasan langsung


dengan areal pemukiman masyarakat, dengan luas areal 9,6 Ha. TPA ini
menampung sampah Kota Bogor mencapai 2.208 m3 per hari. Komposisi sampah
terdiri dari sekitar 75 % sampah organik dan sisanya sampah anorganik dengan
kondisi tercampur atau belum ada pemilahan dari sumber timbulan sampah.
Pengelolaan TPA dilakukan dengan sistem landfill terkontrol dan pengomposan.
Sistem ini menghasilkan air buangan yang disebut lindi (leachate) yang kemudian
dibuang melalui saluran terbuka ke sungai. Hal ini memudahkan penyebaran lindi
oleh air hujan sehingga mengakibatkan pencemaran air tanah dan air sumur di
sekitarnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kualitas air sumur gali
milik penduduk yang tinggal di sekitar TPA sampah Galuga dengan melihat
Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPA.
Sampel air sumur diambil pada empat lokasi yaitu dengan jarak 5, 400,
600, dan 700 m dari TPA. Analisis air dilakukan secara langsung di lapangan (in
situ) dan di laboratorium. Standar kualitas air minum (fisika, kimia, dan
mikrobiologi) ditentukan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Indeks Kualitas Air sumur ditentukan dengan Metode Delphi
yang dikembangkan oleh US National Sanitation Foundation, dengan kriteria :
sangat buruk (0 – 25), buruk (26 – 50), sedang (51 – 70), baik (71 – 90), dan
sangat baik (91 – 100) (Suprihatin, 1992).
Hasil pengukuran parameter fisik, kima, dan mikrobiologi air sumur di
wilayah sekitar TPA Galuga menunjukkan ada 11 parameter yang telah
melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut persyaratan
Baku Mutu air kelas I, yaitu bau, rasa, pH, DO, BOD5, COD, amonia, nitrit, seng,
bakteri coliform dan fecal coli (E. coli). Indeks Kualitas Air sumur pada jarak 5
m tergolong sedang (57,98), sementara air sumur pada jarak 400, 600 dan 700 m
tergolong buruk dengan kisaran indeks 41,03 – 48,36. Nilai indeks kualitas air
rata-rata untuk seluruh lokasi pengamatan adalah 48,65 (buruk).
Hasil penelitian menemukan fenomena yang menarik dimana air sumur
dengan jarak yang paling dekat dengan sumber pencemar (TPA) ternyata
memiliki kualitas air yang lebih baik berdasarkan nilai Indeks Kualitas Air
daripada air sumur yang jaraknya lebih jauh pada wilayah penelitian. Kondisi ini
diduga disebabkan oleh faktor geologis, geografis, dan juga faktor konstruksi
pembatas TPA, saluran air lindi dan sumur itu sendiri dan juga perilaku
masyarakat.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa secara umum kualitas air
sumur wilayah sekitar TPA tergolong buruk dan tidak layak dikonsumsi untuk air
minum namun masih bisa digunakan untuk keperluan perikanan dan pertanian.

19
Bambang Kurniawan. F34101004. The Analysis of the Well Water Quality
Around the Final Disposal Area of Garbage : Case Study at Final Disposal Area
(FDA) of Galuga Cibungbulang Bogor. Under supervising : Nastiti Siswi Indrasti

ABSTRACT

Final Disposal Area (FDA) at Galuga uses an controlled landfill and


composting system to collect garbage up to 2.208 m3 per day. The garbage
composition is 75,27 % organic garbage and 24,73 % inorganic garbage in mixed
condition from the garbage source. The system has a negative effect because of
leachate, the resulting substance of garbage decomposition is easily absorved in to
the groundwater. Thus polluting it including the well water in the nearby area.
This research’s aim is to assess the dug well water quality around FDA
because of the effect of garbage management, with checking Water Quality Index
(WQI).
The well water sample was taken at four location with far 5, 400, 600, and
700 m from FDA.Water analysis is doing in site and in the lab. The quality
standar of drinking water was used on the basis of water quality standar 1st level
according to the regulation of Indonesian goverment No. 82/2001 on the water
quality management and controlling of water pollution. The water quality index of
the well water was determined by the Delphi Method was developed by US
National Sanitation Foundation.
The result of the analysis of physics, chemical, and microbiology
parameters show that there are 11 parameters of the dug well water quality that
exceed the acceptable maximum limit : odor, taste, pH, disolved oxygen, BOD,
COD, ammonia, nitrite, zinc (Zn), coliform bacteria, and fecal coli bacteria. The
water quality index of the dug well water was found between poor and sufficient.
The average of water quality index of the dug well water around research area was
poor (WQI value 48,65).
The result of research was found interesting phenomena which nearest
well water from pollut resource had water quality index better than well water
which farer from FDA. This condition may be possible bevause of geological
factor, geographic, and factor of construction of FDA buffer, leachate water line,
well construction, and so public behaviour.
Based on the requirements of drinking water quality, the water quality
standar of 1st level, and the water quality index, it can be concluded that the
quality of the dug well water at Galuga is not acceptable for drinking water,
however it can be used for agricultur needed.

20
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT,


karena atas berkat rahmat dan hidayat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi
ini disusun sebagai laporan akhir dari penelitian yang berjudul “Analisis Kualitas
Air Sumur Sekitar Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah : Studi Kasus di
TPA Galuga Cibungbulang Bogor”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, sebagai Dosen Pembimbing Akademik,


2. Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng, Drs. Purwoko, sebagai Dosen Penguji.
3. Ir. Andes Ismayana, MT. atas bimbingan dan bantuannya dalam
penulisan skripsi,
4. Seluruh staf pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
5. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor,
6. Pemerintah Desa Galuga, Yayasan Tumaritis, serta seluruh staf dan
karyawan pabrik kompos,
7. Teman-teman Departemen Teknologi Industri Pertanian Angkatan
2001 khususnya Rasbin dan Wiguna Abdi, yang banyak membantu
dalam penelitian.
8. Istri tercinta Adinda Hesty Setiawaty, atas segala dukungan dan
do’anya.
9. Bapak dan Ibu yang telah memberikan segala-galanya, ananda
persembahkan terima kasih yang tulus dan juga untuk adik-adikku
tercinta.

21
Tidak ada orang yang tak luput dari kesalahan dan kekeliruan dan hanya
kepada-Nya kita mohon petunjuk dan perlindungan. Pada kesempatan ini penulis
juga memohon maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan yang telah
diperbuat oleh penulis.
Hanya Allah SWT yang Maha Sempurna dengan karya-Nya, segala
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kebaikan penulis dan karya ini,
sangat diharapkan. Akhir kata, semoga karya ini bermanfaat untuk semua yang
memerlukannya.

Bogor, Maret 2006


Penulis

22
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4


A. SAMPAH, PENGELOLAAN DAN PERMASALAHANNYA .......... 4
B. PENCEMARAN AIR ........................................................................... 9
C. BAKU MUTU AIR ............................................................................... 13

III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 15


A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN .............................................. 15
B. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN ................................................... 15
C. PENGUMPULAN DATA .................................................................... 18
1. Cara Pengambilan Air Sumur ......................................................... 18
2. Cara Pengambilan Air Sumur Untuk Analisis Sifat Fisik, Kimia
dan Mikrobiologi ............................................................................. 18
3. Penetapan Parameter dan Cara Pemeriksaan Sampel Air ............... 19
D. ANALISIS DATA ................................................................................ 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 22


KUALITAS AIR SUMUR GALI WILAYAH SEKITAR TPA
GALUGA .................................................................................................... 22
1. Sifat Fisik ........................................................................................ 25

23
2. Sifat Kimia ...................................................................................... 26
3. Sifat Mikrobiologi ........................................................................... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 43


A. KESIMPULAN ..................................................................................... 43
B. SARAN ................................................................................................. 44

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45


LAMPIRAN ...................................................................................................... 48

24
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Jumlah Timbulan Sampah Kota Bogor Berdasarkan Sumber
Sampahnya Tahun 2004 .............................................................. 5
Tabel 2. Penanganan Timbulan Sampah .................................................. 6
Tabel 3. Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill ........................... 7
Tabel 4. Hasil Analisis Karakteristik Lindi dari TPA Galuga ................. 7
Tabel 5. Komposisi Sampah Kota Bogor ................................................. 8
Tabel 6. Parameter Kualitas Air Yang Diukur, Metode Analisis, dan Alat-alat
Pengukuran ................................................................................. 16
Tabel 7. Kriteria Mutu Lingkungan Perairan ........................................... 21
Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali Wilayah Sekitar TPA
Galuga ........................................................................................ 23
Tabel 9. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali Wilayah
Sekitar TPA Galuga .................................................................... 24
Tabel 10. Indeks Kualitas Air Sumur Wilayah Sekitar TPA Galuga .......... 37
Tabel 11. Indeks Kualitas Air Sumur Rata-rata Wilayah Sekitar TPA
Galuga ........................................................................................ 37

25
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran tentang Status Kualitas Air sebagai
Pengaruh TPA Sampah Galuga ................................................... 2
Gambar 2. Skema Lokasi Pengambilan Sampel Air Sumur ......................... 17
Gambar 3. Kandungan Oksigen Terlarut Rata-rata ...................................... 27
Gambar 4. Nilai pH ........................................................................................ 29
Gambar 5. Kebutuhan Oksigen Biokimia ...................................................... 30
Gambar 6. Kandungan Nitrat .................................................................... 33
Gambar 7. Kandungan Senyawa Fosfat ......................................................... 34
Gambar 8. Kandungan Bakteri Fecal coli ...................................................... 35
Gambar 9. Konstruksi Dinding Pembatas Areal TPA dengan Wilayah
Sekitarnya..................................................................................... 40
Gambar 10. Konstruksi Sumur Gali Lokasi Pengamatan S1 ........................... 40
Gambar 11. Kondisi Saluran Pembuangan Air Lindi ...................................... 41
Gambar 12. Timbunan Sampah di Halaman/Belakang Rumah Penduduk ...... 42

26
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas, PP RI No. 82 Tahun
2001 ...................................................................................... 48
Lampiran 2. Nilai Bobot Parameter Kualitas Air Pada Sistem IKA–NSF 51
Lampiran 3. Indeks Kualitas Air Sumur Wilayah Sekitar TPA ............... 51
Lampiran 4. Kurva Sub-Indeks Oksigen Terlarut .................................... 52
Lampiran 5 Kurva Sub-Indeks Fecal coliform ........................................ 52
Lampiran 6 Kurva Sub-Indeks pH ........................................................... 53
Lampiran 7 Kurva Sub-Indeks BOD5 ...................................................... 53
Lampiran 8 Kurva Sub-Indeks Nitrat ...................................................... 54
Lampiran 9 Kurva Sub-Indeks Fosfat ..................................................... 54
Lampiran 10. Kurva Sub-Indeks Temperatur ............................................. 55
Lampiran 11. Kurva Sub-Indeks Kekeruhan .............................................. 55
Lampiran 12. Kurva Sub-Indeks Padatan Total ......................................... 56
Lampiran 13. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali Wilayah Sekitar
TPA Sampah Galuga ............................................................ 57

27
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kelestarian lingkungan dan pencemaran adalah dua istilah populer.
Keduanya selalu menjadi perhatian khusus setiap negara. Masalah kelestarian
lingkungan biasanya selalu dikaitkan dengan pencemaran, sebaliknya berbicara
mengenai masalah pencemaran tidak akan terlepas dari masalah kelestarian
lingkungan.
Kondisi lingkungan dan sumber daya alam Indonesia sekarang ini sudah
banyak yang mengalami kerusakan sehingga menjadi tidak nyaman bagi
kehidupan disekitarnya. Hal ini terjadi terutama di kota-kota besar yang terjadi
akibat adanya sampah yang menyebabkan pemandangan tidak sedap, bau busuk,
dan juga menjadi media perkembangan penyakit menular, dan lain-lain.
Masalah sampah bukan saja merupakan masalah regional dan nasional,
tetapi menyangkut masalah internasional karena terkait dengan masalah
pencemaran dan kelestarian lingkungan. Berkembangnya suatu kota yang diikuti
laju pertumbuhan penduduk yang pesat serta perubahan perilaku dan standar
hidup masyarakat, maka akan berakibat pula meningkatnya volume sampah
terutama sampah padat. Dengan meningkatnya volume sampah secara periodik,
akan menambah beban bagi TPA untuk melakukan sistem pengelolaannya secara
tepat sehingga dapat mengurangi tingkat pencemaran terhadap lingkungan
sekitarnya.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Galuga yang berlokasi di Desa
Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor memanfaatkan tanah seluas
9,6 Ha dikelola dengan sistem timbun terkendali (controlled landfill) dan
pengomposan (composting). Dengan sistem timbun terkendali sampah ditimbun
dalam keadaan terbuka namun dikendalikan penempatannya, agar merata
sehingga tidak menumpuk pada satu titik. Pengendalian dilakukan dengan alat
berat. Menurut EPA (1973), sampah yang terbuka lebih dari 24 jam, mulai terjadi
perombakan oleh mikroba, menghasilkan bahan-bahan organik berupa padatan
terlarut bersifat toksik yang disebut lindi (leachate). Lindi tersebut mudah
disebarkan melalui limpasan air hujan dan meresap mencemari air tanah termasuk

28
air sumur yang ada di sekitarnya. Air sumur yang terkontaminasi lindi berakibat
terjadinya penurunan kualitas air secara fisik, kimia, dan mikrobiologi.
Pengomposan dengan sistem open widrow juga menghasilkan leachate dari salah
satu tahapan prosesnya sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan
terutama terhadap air tanah. Secara skematis kerangka pemikiran tentang
pengelolaan TPA sampah dan dampak yang ditimbulkannya dapat dilihat pada
Gambar 1.

Sampah
Volume : 2.208 m3

Pengelolaan

Controlled Landfill Composting

Proses degradasi dan akumulasi

Leachate

Limpasan dan resapan

Air sumur penduduk

Kualitas air sumur


Fisik Kimia Mikrobiologi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tentang Status Kualitas Air sebagai Pengaruh


TPA Sampah Galuga

29
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kualitas air sumur gali
milik penduduk yang tinggal disekitar TPA sampah Galuga dengan melihat
Indeks Kualitas Air (IKA) sumur sebagai pengaruh pengelolaan TPA.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, terutama bagi
masyarakat di sekitar TPA Galuga yang memanfaatkan air sumur gali untuk
keperluan air minum, mandi, cuci, kakus (MCK) dan sebagainya. Data ini juga
diperlukan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam hal
pengelolaan dan pengendalian TPA sampah Galuga secara tepat, sehingga dapat
mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan sampai sekecil mungkin.

30
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAMPAH, PENGELOLAAN, DAN PERMASALAHANNYA


Kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang terjadi selama ini
berkaitan erat dengan tingkat pertambahan penduduk dan pola penyebarannya
yang kurang seimbang dengan penyebaran sumber daya alam dan daya dukung
lingkungan hidup yang ada. Kerusakan ini diperparah dengan tidak adanya
dukungan dari pemerintah berupa penerapan kebijakan yang kurang tepat dalam
pengaturan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kerusakan
lingkungan yang dimaksud berupa meningkatnya biaya sosial karena terjadinya
kemacetan, kebisingan, ketidakteraturan, kerawanan ekonomi dan keamanan, serta
kekumuhan.
Sampah merupakan segala bentuk buangan padat yang sebagian besar
berasal dari aktivitas manusia (domestik). Sampah domestik lebih banyak
didominasi oleh bahan organik, meskipun tipe dan komposisinya bervariasi dari
satu kota ke kota lainnya, bahkan dari hari ke hari ( Hadiwiyoto, 1983). Sampah
merupakan penyebab terjadinya pencemaran terhadap lingkungan. Pencemaran
karena sampah dapat membawa akibat-akibat negatif, baik terhadap kehidupan di
sekitarnya, maupun terhadap kehidupan manusia. Pencemaran tersebut mungkin
dapat berbentuk rusaknya tanah-tanah pertanian, perikanan, gangguan kehidupan
mikroorganisme dan organisme-organisme lainnya di sekitar lokasi sampah.
Limbah domestik merupakan campuran yang rumit dari zat-zat bahan
mineral dan organik dalam banyak bentuk, termasuk partikel-partikel besar dan
kecil benda padat, sisa bahan-bahan larutan dalam keadaan terapung dan dalam
bentuk koloid dan setengah koloid. Sampah mengandung zat-zat hidup,
khususnya bakteri, virus, dan protozoa, dan dengan demikian merupakan wadah
yang baik sekali untuk pembiakan jasad-jasad renik. Kebanyakan daripada bakteri
itu secara relatif tidak berbahaya namun sebagian dari mereka secara positif
berbahaya karena pathogenik (Mahida, 1997).
Kadar air sampah adalah sangat tinggi. Benda-benda padat dalam sampah
dapat berbentuk organik maupun anorganik. Zat organik dalam sampah terdiri dari
bahan-bahan nitrogen, karbohidrat, lemak, dan sabun. Mereka bersifat tidak tetap

31
dan menjadi busuk, mengeluarkan bau tidak sedap. Sifat-sifat khas sampah inilah
yang membuat perlunya pembenahan sampah dan menyebabkan kesulitan-
kesulitan yang maha besar dalam pembuangannya. Benda-benda padat anorganik
biasanya tidak merugikan (Mahida, 1997).
Peningkatan penggunaan bahan-bahan kimia dalam kegiatan rumah
tangga, seperti bahan pembersih, obat-obatan dan deterjen, sangat mempengaruhi
proses-proses yang terjadi pada sampah. Peningkatan berbagai jenis plastik telah
meningkatkan berbagai bahan padat yang tidak dapat terurai dalam sampah
(Torrey, 1979).
Jumlah sampah yang dihasilkan oleh Kota Bogor tahun 2004 mencapai
2.208 m3/hari. Sampah tersebut bersumber dari pemukiman (sampah rumah
tangga), pasar, pertokoan/restoran/hotel, fasilitas umum dan sosial, sapuan jalan,
dan kawasan industri (DLHK, 2005). Jumlah dan sumber sampah Kota Bogor
dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Timbulan Sampah Kota Bogor Berdasarkan Sumber Sampahnya


Tahun 2004

% timbulan per
Sumber Sampah Timbulan
sumber sampah
(m3)

Pemukiman 1.418 64,2%


Pasar 276 12,5%
Pertokoan, restoran, dan hotel 157 7,1%
Fasilitas umum dan sosial 93 4,2%
Sapuan jalan 161 7,3%
Kawasan industri 104 4,7%

Jumlah 2.208 100,0%

Sumber : Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor

Apriadji (2004) menjelaskan bahwa untuk melakukan penanganan masalah


sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya penimbunan tanah

32
(landfill), penimbunan tanah secara cepat (sanitary landfill), pembakaran
(inceneration), penghancuran (pulverisation), pengomposan (composting), untuk
makanan ternak (hogfeeding), pemanfaatan ulang (recycling), dan pembuatan
briket arang sampah. Ini menjadi alternatif untuk mengatasi masalah sampah dan
keterbatasan lahan untuk TPA (Tabel 2).

Tabel 2. Penanganan Timbulan Sampah

No. Cara Penanganan Persentase (%)

1. Diangkut ke TPA 40,09


2. Dibakar 35,49
3. Ditimbun 7,54
4. Diolah 1,61
5. Lainnya (dibuang ke sungai, jalan, taman, 15,27
dsb)
Sumber : Tan (2005)

Tujuan pengelolaan sampah adalah untuk mengubah sampah menjadi


bentuk yang tidak mengganggu, dan menekan volume sehingga mudah diatur.
Menurut Clark (1977) banyak cara dapat ditempuh dalam pengelolaan sampah
diantaranya yang dianggap terbaik hingga sekarang adalah sistem penimbunan
dan pemadatan secara berlapis (Sanitary Landfill), sehingga sampah tidak terbuka
lebih dari 24 jam. Apabila air permukaan terserap ke dalam lapisan tanah, melalui
lapisan sampah akan terbentuk cairan, yang disebut lindi (leachate), yang
mengandung padatan terlarut dan zat lain sebagai hasil perombakan bahan organik
oleh mikroba tanah. Lindi tersebut mengalir bersama-sama air hujan meresap ke
lapisan tanah atas dan akhirnya masuk ke dalam air tanah.
Lindi yang bersifat toksik perlu dikendalikan secara baik, untuk
menghindari kontaminasi air tanah serta efeknya terhadap menurunnya kualitaas
air sumur gali di sekitarnya. Kontaminasi sering terjadi lebih cepat jika TPA
sampah terletak di atas kantong air, porositas tanah tinggi dan teksturnya berpasir,
maka hal ini baik kontaminasi kimia maupun biologi akan cepat terjadi terhadap

33
kantong air tersebut. Bahan pencemar kimia umumnya mengalami proses
perpindahan lebih cepat daripada pencemar-pencemar lainnya. (Dept. of Public
Health USA, 1972). Hasil analisis lindi dapat dilihat pada Tabel 3 dan hasil
analisis karakteristik lindi dari TPA Galuga dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Hasil Analisis Lindi Sistem Sanitary Landfill (ppm)

Umur Lindi
Parameter
2 Tahun 6 Tahun 17 Tahun

BOD5 3968.0 8000.0 40.0


COD 54610.0 14080.0 225.0
Jumlah padatan 9144.0 6795.0 1198.0
Klor 1697.0 1330.0 135.0
Natrium 900.0 810.0 74.0
Besi 5500.0 6.3 0.6
Sulfat 680.0 2.0 2.0
Kesadahan 7830.0 2200.0 540.0
Logam-logam berat 15.8 1.6 5.4

Sumber : Department of Public Health USA (1972)

Tabel 4. Hasil Analisis Karakteristik Lindi TPA Sampah Galuga

Parameter Satuan Nilai

pH - 8.05
Kekeruhan NTU 730.00
TSS mg/l 343.00
COD mg/l 2,373.00
BOD5 mg/l 293.00
NH3–N mg/l 297.00
NO3 –N mg/l 21.17
NO2 –N mg/l 0.17
PO43- mg/l 0.39
Zn mg/l 0.07
Cu mg/l 0.01

Sumber : Romli (2004)

34
Handojo (1993) dalam Supardi (2001) menyatakan bahwa jumlah dan
komposisi sampah yang dihasilkan suatu kota ditentukan oleh faktor-faktor
berikut :
1. Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya
2. Tingkat pendapatan dan pola konsumsi masyarakat
3. Pola penyediaan kebutuhan hidup penduduknya
4. Iklim dan musim
Komposisi umum sampah kota dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi sampah kota Bogor (1999)

No Komposisi Sampah Nilai (%)

1. Organik 82.6
2. Kertas 5.2
3. Kayu 2.4
4. Tekstil 0.9
5. Plastik 6.5
6. Logam 1.1
7. Kaca 1.2
8. Batu <1
9. Lain-lain 0.1
10. Jumlah (1-9) 100.0
11. Fraksi yang dapat difermentasi (1) 82.6
12. Fraksi yang dapat dikomposkan (1 + 2 + 3) 90.1
13. Bahan Daur Ulang (4 + 5 + 6 + 7) 9.6
3
14. Densitas (t/m ) 0.25 (t/m3)
Sumber : Indrasti (2003)

Pembuangan sampah secara rutin setiap hari ke TPA merupakan bentuk


pengisian kembali (recharge), baik secara infiltrasi maupun perlokasi, sehingga
peluang untuk terjadi kontaminasi air, terutama air tanah dangkal maupun air
sumur gali menjadi gejala yang wajar. Penambahan sampah ke TPA secara
kontinyu, mengakibatkan proses degradasi juga berlangsung secara kumulatif. Hal
tersebut mengakibatkan berbagai tingkat degradasi sampah dapat terjadi secara

35
bersamaan. Menurut Mason (1981) dalam Sundra (1997), umur sampah akan
menentukan tingkat penguraian yang terjadi hingga tercapai kestabilan. Pada
penguraian sampah organik dapat menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia
bersifat toksik dan bahan-bahan organik terlarut. Semua zat tersebut akan
mempengaruhi kualitas air, baik air permukaan maupun air tanah, dan perubahan
tersebut berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan mikrobiologinya.
Pengaruh sampah terhadap kesehatan lingkungan dapat terjadi melalui
pengaruh langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung terjadi akibat
kontak langsung dengan sampah, dimana sampah tersebut ada yang bersifat racun
(sampah B3), korosif terhadap tubuh, karsinogenik, teratogenik dan ada juga yang
mengandung kuman patogen yang langsung dapat menularkan penyakit. Pengaruh
tidak langsung dapat dirasakan oleh manusia terutama akibat pembusukan,
pembakaran dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah biasanya terjadi
secara aerobik, dilanjutkan secara fakultatif, bahkan terjadi secara anaerobik jika
kehabisan O2. Dekomposisi secara aerobik menghasilkan lindi dan gas. Lindi
merupakan cairan yang mengandung zat padat terlarut sangat halus terdiri atas
Ca2+, Mg2+, Na+, K+, Fe2+, Cl-, SO42-, PO43- terlarut, Zn, Ni, dan gas H2S yang
berbau busuk. Semua unsur, senyawa dan gas tersebut secara tidak langsung
terakumulasi dan tercampur dengan air hujan dan masuk ke lapisan tanah,
sehingga dapat mencemari air permukaan maupun air tanah di sekitarnya (Slamet,
1994).

B. PENCEMARAN AIR
Pencemaran perairan didefinisikan sebagai segala proses yang
menyebabkan atau mempengaruhi kondisi perairan, sehingga dapat merusak
lingkungan dan nilai guna airnya (Zajic, 1971 dalam Syahmin, 1994). Secara
umum air yang tercemar dapat dicirikan berdasarkan penampakannya, misalnya
kekeruhan, buih, bau busuk, dan sebagainya.
Pembuangan sampah secara rutin setiap hari ke TPA merupakan bentuk
pengisian kembali (recharge), baik secara infiltrasi maupun perlokasi, sehingga
peluang untuk terjadi kontaminasi air, terutama air tanah dangkal maupun air
sumur gali menjadi gejala yang wajar.

36
Air lindi yang berasal akibat proses degradasi sampah dari TPA,
merupakan sumber utama yang mempengaruhi perubahan sifat-sifat fisik air,
terutama suhu, rasa bau, dan kekeruhan. Suhu limbah yang berasal dari lindi
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air penerima. Hal ini dapat
mempercepat reaksi-reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan gas dalam air,
mempercepat pengaruh rasa dan bau (Husin dan Kustaman, 1992).
Sampah yang baru hanya sedikit berwarna keruh tetapi kemudian menjadi
semakin kelam dan tidak terlampau tidak menyenangkan meskipun agak tajam.
Sampah yang baru berisi sedikit oksigen larut dan kadang-kadang sejumlah kecil
nitrit dan nitrat, khususnya setelah hujan. Sampah yang basi menyebarkan bau-
bauan yang memuakkan yang bersumber pada hidrogen sulfida dan gas-gas
lainnya. Biasanya ini tidak mengandung oksigen yang telah terurai. Apabila
sampah membusuk, gelembung-gelembung gas dapat terlihat memancar keluar
dari permukaan (Mahida, 1997).
Rasa dan bau timbul akibat penguraian bahan-bahan organik dan
anorganik. Penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri akan memerlukan
banyak oksigen (O2), sehingga oksigen terlarut dalam air bisa habis sampai 0
ppm. Situasi seperti ini dapat menimbulkan bau busuk, mengakibatkan terjadinya
perubahan warna air menjadi kehitam-hitaman (Saeni, 1989). Mahida (1997)
menambahkan bahwa banyak dari bau yang tidak sedap itu disebabkan karena
adanya campuran dari nitrogen, sulfur, fosfor, dan juga berasal dari pembusukan
protein dan bahan-bahan organik lain yang terdapat dalam limbah, bau yang
paling menyerang adalah bau yang berasal dari hidrogen sulfida.
Untuk air normal tidak berasa dan berbau. Air yang berbeda dari keadaan
normal (asin, pahit, dan lain-lain) dapat menimbulkan bau (busuk, tengik). Air
berbau logam karena air mengandung logam besi (Fe2+), sehingga air tampak
keruh (Fardiaz, 1992).
Sifat-sifat kimia air yang penting berkaitan dengan air minum adalah :
oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), kebutuhan oksigen
kimiawi (COD), pH, senyawa-senyawa nitrogen (amonia bebas, nitrit, nitrat),
sulfida, fenol, minyak nabati, logam dan logam-logam transisi yaitu ; Fe, Cd, Cu,
Zn, Pb, Cr, Hg, Ni, As, Sn (Slamet, 1994). Unsur-unsur dan senyawa-senyawa

37
tersebut di dalam air sangat kompleks, dapat bereaksi satu dengan yang lainnya.
Air tanah yang kena limpasan air lindi sampah akan dipengaruhi sifat-sifat toksik
dari senyawa-senyawa, baik organik maupun anorganik.
Indikator pencemaran air tanah oleh sampah organik ditandai dengan
tingginya kadar zat organik (BOD, COD), nitrat, deterjen, dan terdapatnya bakteri
coli tinja. Tingginya bahan organik dalam air tanah memerlukan oksigen untuk
membantu mikroorganisme dalam proses oksidasi, melalui proses :

mikroorganisme
CHO2 + O2 CO2 + H2O
Jika kekurangan oksigen, maka air perlu diaerasi agar kadar oksigen dapat
mendukung kembali untuk keperluan air minum atau untuk kebutuhan hidup suatu
organisme air. Oksigen sangat diperlukan pula di dalam proses biooksidasi bahan-
bahan bernitrogen :

NH4+ + 2O2 2H+ + NO3- + H2O


Oksigen juga dapat mengoksidasi secara kimia dan biokimia zat-zat pereduksi :

4Fe2+ + O2 + 4H+ 4 Fe3+ + 2H2O


2SO32- + O2 2SO42-

Semua proses tersebut mengakibatkan deoksigenasi dalam perairan.


Derajat konsumsi oksigen kontaminan yang dikatalis secara mikrobial di dalam
air, disebut kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand = BOD).
Parameter ini diukur oleh jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme
perairan yang cocok untuk periode waktu lima hari pada suhu 20 oC, yang dalam
pengukuran kualitas air dikenal dengan BOD5. Meskipun pengukuran sangat
realistis, tetapi dianggap kurang praktis, karena harus menunggu waktu lima hari,
oleh karena itu COD (Chemical Oxygen Demand) lebih praktis dilakukan.
Uji COD merupakan analisis kimia yang dapat digunakan untuk mengukur
jumlah bahan organik yang sukar dipecah secara biologi seperti yang terukur pada
BOD5 ( Jenie dan Rahayu, 1990). Saeni (1989) , memambahkan bahwa nilai COD

38
umumnya lebih besar dari nilai BOD5, karena jumlah senyawa kimia yang dapat
dioksidasi secara kimiawi lebih besar dari oksidasi secara biologi.
Pencemaran air tanah sekunder dapat berasal dari sampah-sampah industri,
dengan indikator meningkatnya kadar logam berat (Hg, Pb, Cd) di dalam air.
Unsur-unsur tersebut termasuk unsur hara mikro, yang dibutuhkan oleh manusia
atau organisme air dalam jumlah sangat sedikit ( < 0,05 ppm ), dan bila melebihi
kadar tersebut merupakan racun yang sangat berbahaya, dapat menyerang ikatan-
ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim-enzim tersebut bersifat terikat dan
tidak aktif (Clark, 1977).
Limbah pertanian padat maupun cair yang berasal dari perembesan saluran
drainase, dapat mencemari air tanah melalui infiltrasi dan perkolasi. Pencemaran
oleh limbah pertanian ini ditandai oleh tingginya kadar nitrat, fosfat, dan
terdapatnya pestisida dalam air tanah (Nana dan Ratna, 1991)
Kualitas air sumur juga dipengaruhi secara langsung ataupun tidak
langsung oleh proses mikrobiologi, yang mentransformasikan zat-zat anorganik
dan organik dalam air. Transformasi biologis ini biasanya mempengaruhi proses
kimia tanah (Chapelle, 1993). Matthess (1982) menambahkan bahwa
mikroorganisme menggunakan material terlarut atau yang tersuspensi dalam air
untuk proses metabolismenya, dan kemudian mereka melepas kembali produk
metaboliknya ke dalam air.
Semua senyawa organik merupakan sumber energi potensial untuk
organisme. Sebagian besar organisme membutuhkan oksigen untuk respirasi
(respirasi aerobik) dan pemecahan zat organik, tetapi ketika konsentrasi oksigen
tidak memadai beberapa bakteri dapat menggunakan beberapa alternatif seperti
nitrat, sulfat, dan karbon dioksida (respirasi anaerobik) (Chapman, 2000).
Golongan mikroorganisme penting di air permukaan maupun air buangan
yaitu ; bakteri, cendawan (fungi), protozoa, ganggang dan virus (Saeni, 1989).
Secara umum mikroorganisme patogen berperan sebagai indikator untuk
mengetahui kualitas perairan (air permukaan maupun air tanah), terutama virus
dan bakteri. Jenis virus yang tergolong patogen yaitu dari genus Rotavirus,
Hepatitis A, Poliomyelitis dan Trachoma (Slamet, 1994).

39
Secara umum sumber pencemaran air tanah berasal dari tempat-tempat
pembuangan sampah, mudah meresap ke dalam tanah, sehingga sampah organik
merupakan sumber primer pencemaran bakteriologik (Wuryadi, 1990). Bakteri
patogen yang biasanya disebarkan melalui air adalah bakteri disentri, kholera dan
tipus. Jumlah bakteri patogen dalam air umumnya sedikit dibandingkan dengan
bakteri coli (coliform), sehingga bakteri ini dipakai sebagai bakteri indikator
terhadap kualitas perairan karena jumlahnya banyak dan mudah diukur (Diana,
1992).

C. BAKU MUTU AIR


Air merupakan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak,
sehingga perlu dipelihara kualitasnya agar tetap bermanfaat untuk manusia serta
mahluk hidup lainnya. Agar air dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan
tingkat mutu yang diinginkan, terutama untuk keperluan air minum dan rumah
tangga lainnya, maka kita perlu memelihara dan meningkatkan kualitasnya.
Penetapan baku mutu air didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor : 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
Sesuai PP RI Nomor 82 Tahun 2001 disebutkan bahwa Baku Mutu Air
adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang ada
atau harus ada dan atau macam unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Sesuai peraturan
ini, air yang dimaksud adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal
dari sumber air, dan terdapat di atas permukaan tanah, tidak termasuk air laut dan
air bawah tanah. Dalam PP RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pasal 8 ayat 1 ditetapkan
pengkelasan air sesuai dengan peruntukannya, yaitu :
1. Kelas I : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan atau peruntukkan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut

40
2. Kelas II : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
3. Kelas III : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
4. Kelas IV : Air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
Beberapa hasil penelitian terhadap kualitas air yang mengacu pada dasar
ketetapan yang ada, bahwa kualitas air minum di Indonesia lebih banyak masuk
sebagai air baku air minum, yaitu air yang perlu melalui pengolahan sebelum
dimanfaatkan sebagai air minum maupun keperluan rumah tangga lainnya. Air
yang dapat langsung dikonsumsi sebagai air minum adalah relatif sedikit, karena
banyak kualitas air menurun akibat pencemaran yang sebagian besar akibat
aktivitas manusia, baik akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan juga industri.
Dasar yang digunakan untuk penetapan parameter kualitas air, khususnya
untuk keperluan air minum adalah :
1. Parameter-parameter yang berhubungan dengan sifat-sifat keamanan
bagi suatu peruntukan domestik (rumah tangga).
2. Parameter-parameter yang dapat dijadikan indikator terjadinya
pencemaran sampah domestik yang berhubungan dengan kesehatan
manusia.

41
III. METODE PENELITIAN

A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian dilakukan pada sumur gali penduduk di sekitar wilayah TPA
sampah Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Lokasi ini
jaraknya ± 25 km dari pusat kota Bogor dan berjarak 3 km dari ibukota
kecamatan dengan luas area ± 9,6 Ha. Kawasan TPA Galuga terletak antara
tiga dusun yaitu Dusun Lalamping, Dusun Moyan, dan Dusun Cimangir.
Topografi wilayah penelitian sebagian besar berada pada bentang
wilayah pegunungan, dengan ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl),
sehingga beriklim sejuk. Desa Galuga memiliki curah hujan yang cukup
banyak sekitar 2.000 mm/tahun, dengan jumlah bulan hujan sebanyak 4 bulan.
Suhu rata-rata harian Desa Galuga sekitar 230 – 320 C (Potensi Galuga, 2004).
Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Pebruari sampai
April 2005. Pengambilan sampel air dilakukan pada bulan Maret 2005.

B. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN


Alat pengambilan sampel air sumur untuk empat titik pengambilan
sampel menggunakan 4 buah jerigen plastik ukuran 2 liter. Untuk
pengambilan sampel air keperluan pemeriksaan bakteri, digunakan botol steril
berukuran 250 ml. Peralatan lain yang digunakan untuk mengukur parameter
kualitas air secara langsung di lokasi penelitian (in situ) digunakan DO meter
untuk mengukur kandungan oksigen terlarut. Peralatan untuk analisis sifat
fisik, kimia, dan mikrobiologi air yang dilakukan di laboratorium disajikan
pada Tabel 6.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air
sumur dari sumur penduduk yang bermukim di sekitar TPA (jarak 5 m, 400 m,
600 m dan 700 m dari TPA) seperti terlihat pada Gambar 2.

42
Tabel 6. Parameter Kualitas Air yang Diukur, Metode Analisis dan Alat-alat
Pengukuran

No. Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan

FISIKA
o
1 Suhu C APHA ed 20th, 1998 Termometer
2 Bau - -
3 Rasa - -
4 Zat Padat Terlarut mg/l APHA ed 20th, 1998 Timbangan
5 Zat Padat Tersuspensi mg/l APHA ed 20th, 1998 analitik

KIMIA

6 pH - APHA ed 20th, 1998 pH-meter


7 DO mg/l APHA ed 20th, 1998 DO-meter
8 BOD5 mg/l APHA ed 20th, 1998 Buret
9 COD mg/l APHA ed 20th, 1998 Buret
10 Amonia (N-NH3) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektrofotometer
11 Nitrit (N-NO2) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektrofotometer
12 Nitrat (N-NO3) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektrofotometer
13 Fosfat (PO4 3-) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
14 Besi (Fe) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
15 Timbal (Pb) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
16 Tembaga (Cu) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
17 Krom (Cr) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
18 Kadnium (Cd) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer
19 Seng (Zn) mg/l APHA ed 20th, 1998 Spektofotometer

MIKROBIOLOGI

20 Fecal Coli (E. Coli) MPN/ MPN Tabel MPN


100 ml
21 Coliform MPN/ MPN Tabel MPN
100 ml

43
Gambar 2. Skema Lokasi Pengambilan Sampel Air Sumur
(Sumber : Potensi Galuga, 2004)

44
C. PENGUMPULAN DATA
1. Cara Pengambilan Sampel Air Sumur
Pengambilan sampel air dilakukan pada sumur gali penduduk yang
bermukim di sekitar TPA sampah Galuga dengan kedalaman sumur
bervariasi dari 2 sampai 12 meter. Tempat dan jarak sumur dengan TPA
telah ditentukan, seperti tercantum pada Gambar 2. Metode pengambilan
sampel dilakukan dengan pengambilan sampel sesaat (grab sample),
dengan perincian sebagai berikut :
a. Pengambilan sampel air sumur gali pada jarak 5 m (S-1) di luar
TPA
b. Pengambilan air sumur gali penduduk sepanjang aliran saluran
pembuangan lindi dengan ketentuan :
1. Dua buah sumur gali penduduk, diambil pada jarak rata-rata
400 m dari TPA dengan jarak sumur ke saluran air lindi
sekitar 50 m
2. Dua buah sumur gali penduduk, diambil pada jarak rata-rata
700 m dari TPA dengan jarak sumur ke saluran air lindi
sekitar 10 m
c. Pengambilan air sumur gali penduduk yang tidak dilewati aliran
saluran pembuangan lindi dengan jarak 600 m dari TPA.

2. Cara Pengambilan Sampel Air Sumur Untuk Analisis Sifat Fisik,


Kimia dan Mikrobiologi
Cara pengambilan sampel air untuk analisis sifat fisik, kimia dan
mikrobiologi dilakukan dengan proses yang sama yaitu dengan
menurunkan timba ke dalam sumur. Sampel air diambil pada empat titik
pada jarak yang berbeda. Pada masing-masing titik diambil dua sumur,
kemudian airnya dicampur dalam satu jerigen untuk mengetahui tingkat
rata-rata kualitas airnya. Analisis sampel air dilakukan langsung di lokasi
(in situ) untuk parameter air yang tidak bisa diawetkan (pH, suhu, bau,
rasa), dan dianalisis di laboratorium untuk parameter yang dapat
diawetkan.

45
Pengambilan sampel air untuk pemeriksaan bakteri dilakukan
secara khusus dengan menggunakan botol steril berukuran 250 ml. Setelah
pengambilan sampel air, mulut botol segera disterilkan dan ditutup dengan
tutup steril untuk kemudian segera dikirim ke laboratorium. Analisis
kualitas air untuk parameter yang diawetkan dilakukan di laboratorium
Teknik dan Manajemen Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
Bogor.

3. Penetapan Parameter dan Cara Pemeriksaan Sampel Air


Fair, et al. (1966) menyatakan bahwa pada suatu penelitian
terhadap kualitas air, tidak semua parameter dan sifat-sifat air harus
diteliti. Hal ini sangat bergantung dari tujuan penelitian tersebut. Tetapi
lebih ditekankan terhadap parameter yang berhubungan dengan keamanan,
penerimaan dan fungsi perairan tersebut. Untuk analisis kualitas air dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung di lokasi (in situ) dan
cara pengawetan yang dilakukan di Laboratorium, terutama untuk sifat-
sifat air yang dapat bertahan lama dalam kondisi yang sudah diawetkan.
Parameter pengukuran secara in situ dan laboratorium ditentukan sesuai
pada Tabel 6.
Sementara untuk pengumpulan data sekunder yaitu data yang dapat
menunjang dan melengkapi penelitian antara lain : jumlah sampah
kumulatif, luas areal TPA yang dipakai, lama penggunaan TPA, semuanya
diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota
Bogor.

D. ANALISIS DATA
Untuk menetapkan kelayakan air sumur sebagai bahan baku air minum,
maka hasil analisis di laboratorium dan secara in situ dapat ditetapkan
berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 82/2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 1). Ketetapan tersebut mengacu pada kadar maksimum
parameter kualitas air yang diperbolehkan.

46
Mutu lingkungan khususnya lingkungan perairan, secara umum dapat
ditentukan dengan Indeks Kualitas Air (IKA). Indeks ini secara umum
ditentukan berdasarkan Metode Delphi yang dikembangkan oleh US National
Sanitation Foundation - Water Quality Index (NSF – WQI) (Suprihatin, 1992)
Menurut Suprihatin (1992), IKA didasarkan atas bobot (wi) dan sub
indeks (Ii) dari 9 parameter penting kualitas air, yaitu : oksigen terlarut (DO),
koliform tinja (E. coli), pH, BOD5, NO3-, PO43-, suhu, kekeruhan dan padatan
total. Selain itu terdapat dua kelompok parameter yang digunakan untuk
penentuan status kualitas air yaitu kelompok senyawa-senyawa toksik dan
pestisida. Pembobotan untuk setiap parameter tersebut dapat dilihat
selengkapnya pada Lampiran 2.
Dua kelompok parameter kualitas air yaitu kelompok senyawa-senyawa
toksik dan kelompok pestisida tidak diberi nilai bobot, tetapi ditetapkan secara
khusus yaitu jika konsentrasi pestisida (untuk semua jenis pestisida) yang
melebihi 0,1 mg/l maka nilai indeks kualitas perairan adalah nol. Demikian
juga apabila di dalam suatu air terdapat salah satu jenis senyawa toksik dengan
konsentrasi melampaui nilai ambang batas nilai baku (nilai standar) maka nilai
indeks kualitas air adalah nol (Suprihatin, 1992). Untuk penelitian ini
diasumsikan bahwa lingkungan perairan yang diteliti tidak memiliki
kandungan senyawa toksik dan pestisida yang melebihi nilai ambang batas.
Tata cara penghitungan nilai indeks kualitas air, IKA adalah sebagai
berikut :
1. Penentuan nilai sub indeks Ii dari kurva parameter ke-i. Nilai sub
indeks Ii tergantung pada nilai parameter ke-I (Lampiran 3)
2. Pengalian nilai sub indeks Ii dengan nilai bobot parameter ke-I (wi)
3. Penjumlahan nilai hasil perkalian untuk semua parameter.
Hasil penjumlahan ini merupakan Indeks Kualitas Air.

47
Indeks Kualitas Air ditentukan berdasarkan rumus :

n
IKA = ∑ ( wi x Ii )
i:1

Keterangan :
n : jumlah parameter (=9)
IKA : indeks kualitas air, berskala 0 – 100
wi : nilai bobot untuk parameter ke-i, untuk skala 0 – 1,0
Ii : nilai dari kurva baku sub indeks untuk parameter ke-i,
pada skala 0 – 100 (Lampiran 4 - 12)

Hasil yang diperoleh dari perhitungan IKA, kemudian dibandingkan


dengan kriteria mutu lingkungan perairan menurut NSF-WQI (Suprihatin,
1992) seperti tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Kriteria Mutu Lingkungan Perairan (NSF-WQI; Suprihatin 1992)

Indeks Kualitas Air Keterangan

0 - 25 Sangat buruk
26 - 50 Buruk
51 - 70 Sedang
71 - 90 Baik
91 - 100 Sangat baik

48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS AIR SUMUR GALI WILAYAH SEKITAR TPA GALUGA


Kualitas air khususnya untuk air minum dan keperluan rumah tangga
lainnya (mandi, cuci dan kakus), secara ideal harus memenuhi standar, baik sifat
fisik, kimia maupun mikrobiologinya. Jika kualitas air melampaui ambang batas
maksimum yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan maupun Keputusan
Pemerintah, maka kualitas air tersebut menurun sesuai peruntukkannya, sehingga
digolongkan sebagai air tercemar (Fardiaz, 1992).
Wilayah Desa Galuga sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah,
terletak di Kabupaten Bogor bagian barat. Sekitar wilayah ini merupakan
pemukiman dengan penduduknya sebagian besar memanfaatkan air sumur gali
untuk keperluan minum, masak, mandi, cuci, kakus (MCK) dan juga keperluan
rumah tangga lainnya. Oleh karena itu kualitas airnya ditetapkan berdasarkan
Baku Mutu Lingkungan air minum. Baku Mutu air minum ditetapkan menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001.
Limpasan air hujan (run off) yang masuk ke TPA sampah dapat melarutkan
zat organik dan anorganik dengan konsentrasi tinggi yang disebut sebagai lindi
(leachate). Lindi tersebut timbul akibat adanya perombakan sampah oleh
mikroorganisme secara aerob. Lindi akan mudah terangkut bersama-sama
limpasan air hujan dan dapat merembes masuk ke sumur-sumur penduduk yang
di sekitarnya. Perembesan lindi yang bersifat toksik, mengakibatkan menurunnya
kualitas air sumur sesuai dengan peruntukannya.
Hasil penelitian kualitas air sumur gali di wilayah sekitar TPA Galuga baik
sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9. Data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.

49
Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali, Wilayah Sekitar TPA
Sampah Galuga

Titik Sampling Kriteria Mutu


No Parameter Satuan Air Kelas I PP
S1 S2 S3 S4 No. 82/2001

I FISIKA
o
1 Suhu C 27,6 27,8 27,3 27,6 Suhu air
normal
2 Bau - - - busuk - -
3 Rasa - Agak - Agak - -
asam pahit
4 Zat Padat Terlarut mg/l 183,33 116,67 270 586,67 1000
5 Zat Padat Tersuspensi mg/l 1 1,8 6 2,67 50

II KIMIA

6 pH - 4,74 5,11 6,24 5,13 6-9


7 DO mg/l 1,96 2,35 0,98 2,00 ≥6
8 BOD5 mg/l 317 83,2 214 29,7 2
9 COD mg/l 952 208,25 646 119 10
10 Amonia (N-NH3) mg/l 1,13 4,08 6,88 4,15 0,5
11 Nitrit (N-NO2) mg/l 0,001 0,009 0,014 0,375 0,06
12 Nitrat (N-NO3) mg/l 0,21 0,001 0,001 0,042 10
13 Fosfat (PO4 3-) mg/l 0,0005 0,0005 0,503 0,0005 0,2
14 Besi (Fe) mg/l ttd ttd ttd ttd 0,3
15 Timbal (Pb) mg/l ttd ttd ttd ttd 0,03
16 Tembaga (Cu) mg/l 0,014 0,012 0,018 ttd 0,02
17 Krom (Cr) mg/l ttd ttd ttd ttd 0,05
18 Kadnium (Cd) mg/l ttd ttd ttd ttd 0,01
19 Seng (Zn) mg/l ttd 0,002 0,129 ttd 0,05

III MIKROBIOLOGI

20 Fecal Coli (E. Coli) MPN/ - 1500 3500 120 100


100 ml
21 Coliform MPN/ - 7000 10000 300 1000
100 ml

Keterangan :
S1 : Pengambilan sample air sumur jarak 5 m dari TPA
S2 : Pengambilan sample air sumur jarak 400 m dari TPA
S3 : Pengambilan sample air sumur jarak 700 m dari TPA
S4 : Pengambilan sample air sumur jarak 600 m dari TPA
ttd : tidak terdeteksi

50
Tabel 9. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Wilayah Sekitar TPA
Sampah Galuga

Kriteria Mutu Air


No Parameter Satuan Nilai Rata-rata Kelas I PP No.
82/2001

I FISIKA
o
1 Suhu C 27,58 Suhu air normal
2 Bau - - -
3 Rasa - - -

4 Zat Padat Terlarut mg/l 289,17 1000


5 Zat Padat Tersuspensi mg/l 2,87 50

II KIMIA

6 pH - 5,31* 6-9
7 DO mg/l 1,82* ≥6
8 BOD5 mg/l 160,98* 2
9 COD mg/l 481,31* 10
10 Amonia (N-NH3) mg/l 4,06* 0,5
11 Nitrit (N-NO2) mg/l 0,10* 0,06
12 Nitrat (N-NO3) mg/l 0,06 10
13 Fosfat (PO4 3-) mg/l 0,13 0,2
14 Besi (Fe) mg/l - 0,3
15 Timbal (Pb) mg/l - 0,03
16 Tembaga (Cu) mg/l 0,01 0,02
17 Krom (Cr) mg/l - 0,05
18 Kadnium (Cd) mg/l - 0,01
19 Seng (Zn) mg/l 0,07* 0,05

III MIKROBIOLOGI

20 Fecal coli (E. coli) MPN/ 100 ml 1706* 100

21 Coliform MPN/ 100 ml 5766* 1000

Keterangan :
* : Nilai yang melampaui ambang batas Baku Mutu Air Baku

51
1. Sifat Fisik
1.1. Suhu
Suhu mempengaruhi reaksi kimia perairan dan juga kelarutan dari
berbagai zat di dalam air, oleh karena itu pengukuran suhu diperlukan.
Hasil pengukuran suhu secara langsung di lapangan (in situ) untuk
keseluruh lokasi pengambilan sampel didapat bahwa perbedaan
fluktasi suhu sangat rendah. Dari keempat lokasi pengambilan sampel
didapat rata-rata suhu 27,6 oC dengan waktu pengukuran jam 8 – 10
wib. Hasil pengukuran secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13.
Berdasarkan baku mutu air Kelas I (PP No 82 Tahun 2001 ),
suhu rata-rata air sumur masih berada pada kisaran suhu maksimum
yang diperbolehkan (26 – 29 oC) dan tergolong suhu air normal,
sehingga dari parameter ini tidak terlihat adanya indikasi pencemaran
air. Menurut Odum (1971) dalam Sundra (1997), fluktuasi suhu
perairan diakibatkan oleh komposisi substrat, kekeruhan, curah hujan,
angin dan reaksi-reaksi kimia dari penguraian sampah di dalam air.
1.2. Bau dan Rasa
Bau dan rasa merupakan parameter penting dalam kualitas air
minum. Kedua parameter tersebut merupakan sifat fisik yang secara
langsung berpengaruh terhadap konsumen.
Hasil analisis secara langsung (in situ ) terhadap beberapa lokasi
secara kualitatif ada yang berbau busuk yakni pada lokasi sampel ke
tiga. Demikian pula rasa air secara kualitatif, pada lokasi pertama
berasa agak asam dan lokasi ke tiga rasanya agak pahit (Tabel 8). Hasil
analisis tersebut memperlihatkan bahwa pada lokasi tersebut bau dan
rasa air sumur gali telah melampaui ambang batas maksimum yang
diperbolehkan menurut PP RI Nomor 82 tahun 2001 untuk air Kelas I
yang seharusnya tidak berbau dan tidak berasa.
Bau yang timbul pada air sumur adalah akibat adanya hasil
perombakan sampah yang menghasilkan H2S yang berbau busuk, dan
dapat meresap ke air sumur bersama-sama dengan air hujan.

52
1.3. Zat Padat Terlarut
Zat padat terlarut merupakan padatan yang terdiri dari senyawa-
senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, mineral dan
garam-garamnya (Fardiaz, 1992). Zat padat terlarut dapat dihasilkan
dari penguraian sampah oleh mikroorganisme, sehingga fluktuasi
kegiatan mikroorganisme mengakibatkan fluktuasi zat padat di dalam
air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa zat padat terlarut air sumur
sekitar wilayah TPA berkisar antara 116 - 586 mg/l, nilai ini masih di
bawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut Baku
Mutu Air Kelas I PP RI Nomor 82/2001 (≤ 1000 mg/l). Dari
parameter ini, air sumur gali wilayah Galuga masih layak dikonsumsi
untuk air minum dan keperluan rumah tangga lainnya.

2. Sifat Kimia
2.1. Oksigen Terlarut (DO)
Semua organisme hidup termasuk manusia sangat memerlukan
oksigen dalam berbagai bentuk untuk memelihara proses metabolisme
yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi.
Oksigen yang larut dalam air tergantung dari suhu air, difusi gas dari
udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil yang hidup di
perairan (Sundra, 1997).
Semua gas di atmosfir larut dalam air, tetapi oksigen
dikelompokkan sebagai gas yang mempunyai tingkat kelarutan rendah,
karena secara kimia tidak bereaksi dengan air dan kelarutannya
sebanding dengan tekanan parsial (Fardiaz, 1992). Mahida (1997)
menambahkan bahwa oksigen susah dilarutkan dalam air; ia tidak
bereaksi dengan air secara kimiawi. Dapat tidaknya oksigen larut di
dalam air berbeda banyak sesuai dengan keadaan suhu. Faktor-faktor
lain yang menguasai kadar oksigen larut dalam air alamiah ialah :
pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang

53
terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan prosentase oksigen dalam
udara di sekelilingnya.
Berdasarkan kriteria mutu air PP RI Nomor 82 Tahun 2001,
bahwa oksigen terlarut tidak tercantum pada ketentuan air tanah (air
sumur), tetapi persyaratan untuk air permukaan dianjurkan ≥ 4 mg/l.
Jika air sumur di wilayah penelitian memiliki kedalaman 2 – 7 m atau
meningkat 0,5 – 1 m pada musim hujan, maka dapat dikategorikan
sebagai air permukaan.
Hasil pengukuran secara langsung di lapangan (in situ) untuk
semua lokasi pengamatan menunjukkan kadar oksigen terlarut yang
rendah, yaitu berkisar antara 0,98 – 2,35 mg O2/l (Gambar 3). Rata-rata
kandungan oksigen terlarut untuk semua wilayah penelitian adalah
1,82 mg O2/l. Nilai ini masih di bawah ambang batas yang dianjurkan
atau tidak memenuhi standar air minum.

6
5
Nilai DO

4
Kriteria Mutu Air
3 Kelas III PP RI
2 No 82/2001
1
0
1 2 3 4 Rata-rata

Lokasi pengamatan

Gambar 3. Kandungan Oksigen Terlarut Rata-rata

Dari gambar terlihat bahwa meski air sumur berada semakin jauh
dari TPA, namun parameter DO tidak meningkat seiring dengan
bertambahnya jarak.
Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada air sumur terutama
pada lokasi pengamatan ke-3 akibat tingginya kekeruhan maupun zat
padat terlarut dalam air, sehingga kedua parameter ini dapat
menghambat penetrasi cahaya. Cahaya matahari merupakan sumber
energi bagi kehidupan algae, yang mampu mencukupi kebutuhan

54
oksigen untuk organisme lain di dalam air (Riyadi, 1984). Kondisi ini
ditambah karena tidak ada arus yang mengalir sehingga mengurangi
difusi oksigen pada permukaan air. Ditinjau dari segi higiene, air
dengan tingkat oksigen terlarut yang rendah, kurang atau tidak baik
dipakai sebagai bahan baku air minum, serta kurang efisien, karena
memerlukan biaya banyak untuk proses purifikasi (pemurnian).
2.2. pH
pH, menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu
cairan encer, dan mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. pH
merupakan parameter penting dalam analisis kualitas air karena
pengaruhnya terhadap proses-proses biologis dan kimia di dalamnya
(Chapman, 2000).
Air yang diperuntukkan sebagai air minum sebaiknya memiliki
pH netral (+ 7) karena nilai pH berhubungan dengan efektifitas
klorinasi. Air dengan pH tinggi (basa) mengakibatkan daya bunuh klor
terhadap mikroba berkurang, dan sebaliknya air dengan pH rendah
cenderung meningkatkan korosi (Yani et al., 1994). pH pada
prinsipnya dapat mengontrol keseimbangan proporsi kandungan antara
karbon dioksida, karbonat dan bikarbonat (Chapman, 2000). Lebih
jauh Wardoyo (1982) menambahkan perubahan nilai pH sebesar 0,3
unit seringkali diikuti dengan perubahan yang besar dari parameter
mutu air yang lain, misalnya tingkat kelarutan Fe, Cu, Ca, Mg dan
proporsi kandungan karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat.
Hasil pengukuran pH air sumur dari lokasi pengamatan
menunjukkan bahwa sebagian besar nilainya berada di bawah ambang
batas kriteia mutu air yang ditentukan, yakni berkisar antara 4,74 –
6,24 dengan pH rata-rata 5,31. Gambar 4 memperlihatkan perbedaan
nilai-nilai pH dari air sumur wilayah penelitian.

55
10

8
Kriteria Mutu Air Kelas III PP RI No 82/2001
6

nilai pH
4

0
1 2 3 4 Rata-rata

Titik sampling

Gambar 4. Nilai pH
Nilai pH yang rendah pada lokasi pengamatan 1 (sumur dengan
jarak 5 m dari TPA) menyebabkan minimnya kehidupan
mikroorganisme sehingga pada lokasi ini tidak ditemukan adanya
kandungan bakteri coliform tinja. Hal ini menyebabkan meningkatnya
nilai Indeks Kualitas Air sehingga air sumur pada lokasi ini termasuk
sedang. Rendahnya nilai pH diduga lebih disebabkan karena faktor
geologis dari lokasi yang bersangkutan, karena karakteristik lindi
sendiri yang dianggap sebagai sumber pencemar pada air sumur yang
ada di sekitarnya memiliki nilai pH yang berada pada kisaran yang
netral (Tabel 4). Namun secara umum berdasarkan parameter pH, air
sumur di wilayah penelitian termasuk tidak layak untuk air minum dan
keperluan rumah tangga lainnya.
2.3. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD5)
Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand)
merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk mengoksidasi zat-zat organik menjadi bentuk anorganik yang
stabil (Chapman, 2000). BOD adalah suatu analisa empiris yang
mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang
benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi)
hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organik
yang tersuspensi dalam air. Pengukuran BOD diperlukan untuk
menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau

56
industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi
air yang tercemar tersebut. Penguraian zat organik adalah peristiwa
alamiah; kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organis, bakteri
dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi
tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan
keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada air
tersebut (Alaerts dan Santika, 1987).
Kandungan BOD dalam air sangat berkaitan dengan kandungan
oksigen terlarut (DO) dan bahan-bahan organik yang ada dalam air,
yaitu semakin tinggi kandungan DO maka semakin rendah kandungan
BOD, sehingga limbah dan sampah yang masuk ke perairan akan
semakin cepat diuraikan oleh mikroba (Wuryadi, 1981).
Hasil pengukuran BOD5 untuk seluruh contoh air sumur berkisar
antara 29,7 – 317 mg/l dengan nilai rata-rata 160,98 mg/l. Nilai ini
sangat jauh di atas ambang batas maksimum yang diperbolehkan
menurut kriteria mutu air Kelas III PP RI Nomor 82/2001. Perbedaan
serta dinamika nilai BOD5 dan hubungannya dengan Kriteria Mutu Air
menurut PP RI Nomor 82/2001 dapat dilihat pada Gambar 5.

350
300
250
BOD 5

200
150
100
50 Kriteria Mutu
0 Air Kelas III PP
RI No 82/2001
1 2 3 4 Rata-rata

Lokasi pengam atan

Gambar 5. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD5)

57
2.4. Amonia, Nitrit dan Nitrat
Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis mahluk
hidup. Nitrogen akan berupa nitrogen organik dan nitrogen amonia
dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik
yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi
menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan
nitrat dalam sistem biologis mahluk hidup (Saeni, 1989).
Amonia (NH3), nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-) merupakan
senyawa-senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N). Unsur N
sebagai salah satu unsur makro yang penting dibutuhkan untuk
petumbuhan suatu organisme. Di dalam perairan, kebanyakan
senyawa-senyawa nitrogen dijumpai dalam bentuk organik dan
anorganik (Mahida, 1997).
Hasil pengukuran kandungan amonia pada seluruh lokasi
pengamatan didapat kisaran nilai 1,13 – 6,88 mg/l dengan nilai rata-
rata 4,06 mg/l. Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang
diperbolehkan menurut Baku Mutu Air Kelas I berdasarkan PP RI
Nomor 82 Tahun 2001.
Tingginya kandungan amonia hingga melebihi ambang batas
karena kelebihan bahan organik hasil penguraian sampah oleh bakteri
yang tidak dapat teroksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga
bersama-sama air hujan senyawa amonia ini terangkut dan meresap ke
lapisan tanah atas mencemari air sumur yang ada di sekitarnya.
Konsentrasi amonia yang tinggi pada permukaan air akan
menyebabkan kematian biota air. Hal ini dikarenakan amonia
menyebabkan keadaan kekurangan oksigen pada perairan, konversi
amonia menjadi nitrat membutuhkan oksigen 4,5 bagian oksigen untuk
setiap bagian amonia, sehingga mengakibatkan kadar oksigen terlarut
turun (Saeni, 1989).
Senyawa nitrit dalam jumlah tertentu ( < 1 mg/l ), sangat berguna
untuk pertumbuhan tubuh, terutama untuk mahluk nabati perairan.
Kandungan nitrit dalam jumlah berlebihan, maka di dalam tubuh dapat

58
sebagai racun yang dapat membentuk methemoglobin (hemoglobin
yang tidak mampu mengikat oksigen), sehingga hemoglobin di dalam
darah tidak dapat mengedarkan oksigen yang diperlukan oleh jaringan
tubuh. Pembentukan methemoglobin dapat mengakibatkan
methemoglobinemia. Methemoglobin yang terjadi pada bayi akan
tampak tubuhnya berwarna biru, disebut sebagai blue baby disease
(Melanby, 1972 di dalam Sundra, 1997).
Nitrit merupakan turunan dari amonia. Dari amonia ini, oleh
bantuan bakteri Nitrosomonas sp, diubah menjadi nitrit. Nitrit biasanya
tidak bertahan lama dan biasanya merupakan keadaan sementara
proses oksidasi antara amonia dan nitrat. Keadaan nitrit
menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan
organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit pada
perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat (Eilbeck,
WJ dan Mattock, 1992).
Hasil pengukuran kandungan nitrit pada lokasi penelitian berkisar
antara 0,001 – 0,375 mg/l dengan kandungan nitrit rata-rata 0,1 mg/l.
Nilai ini melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan
menurut Kriteria Mutu Air Kelas I. Hal ini menandakan bahwa
aktivitas proses biologis dalam perombakan bahan organik cukup
tinggi dan kandungan nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat
toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Saeni, 1989),
meski menurut Hammer (1986) kandungan nitrit sebesar 0,06 ppm
dianggap tidak membuat kualitas air tercemar.
Tinggi rendahnya nilai kandungan nitrit ini dapat disebabkan oleh
faktor-faktor seperti kandungan oksigen terlarut, suhu, pH, konsentrasi
amonia/nitrat itu sendiri dan waktu retensi. Waktu retensi
menunjukkan waktu yang dibutuhkan bakteri untuk merombak
amonia. Semakin banyak jumlah bakteri nitrifikasi maka semakin
banyak kandungan nitrit yang terbentuk. Begitu juga dengan
kandungan O2 terlarut, suhu, pH dan konsentrasi amonia/nitrit.

59
Semakin optimum faktor-faktor tersebut maka kandungan nitrit yang
terbentuk akan semakin bertambah (Hammer, 1986).
Senyawa nitrat (NO3-) merupakan produk akhir hasil oksidasi zat
bernitrogen. Nitrat dibutuhkan dalam jumlah lebih besar dari nitrit
untuk keperluan biologis dan nutrien tubuh (Dahuri et al., 1993).
Menurut PP RI Nomor 82 Tahun 2001, batas maksimum nitrat
diperbolehkan dalam air minum adalah ≤ 10 mg/l. Tood (1980)
menambahkan, kadar nitrat dalam air minum lebih dari 45 mg/l dapat
mengakibatkan methemoglobinemia.
Kandungan nitrat berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat
dilihat pada Gambar 6.

0,25

0,2
0,15
Nitrat

0,1
0,05

0
1 2 3 4
lokasi pengam atan
Rata-rata

Gambar 6. Kandungan Nitrat

Kandungan nitrat rata-rata pada air sumur di wilayah penelitian


0,06 mg/l. Nilai ini masih berada dalam kisaran ambang batas
maksimum yang diperbolehkan berdasarkan kriteria mutu air.

2.5. Fosfat
Senyawa fosfat merupakan salah satu senyawa esensial untuk
pembentuk protein, pertumbuhan algae dan pertumbuhan organisme
biologi perairan lainnya. Kelebihan unsur fosfat dalam perairan dapat
menyebabkan eutrofikasi dan dapat menurunkan kandungan oksigen
terlarut. Akibat eutrofikasi akan memacu pertumbuhan populasi algae,
mengakibatkan kondisi perairan bersifat anaerob. Kondisi ini

60
mengakibatkan terjadinya kematian masal organisme perairan, yang
diikuti terbentuknya senyawa-senyawa beracun, seperti H2S (berbau
tengik) dan amonia (NH3) (Saeni, 1991) Kandungan senyawa-senyawa
tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas air sumur, sehingga
tidak layak diperuntukkan sebagai air sumur.
Kandungan senyawa fosfat pada air sumur di wilayah penelitian
berkisar antara 0,0005 – 0,503 mg/l (Gambar 7). Secara umum air
sumur di wilayah penelitian memiliki kandungan senyawa fosfat di
bawah ambang batas maksimum, namun pada lokasi pengamatan S3
terdapat kandungan senyawa fosfat yang melebihi ambang batas
maksimum yakni 0,503 mg/l. Kondisi ini menyebabkan air sumur
tersebut berbau tengik akibat terbentuknya senyawa H2S.

0.6

0.5

0.4

0.3
Kriteria Mutu
0.2 Air Kelas I PP
RI No 82/2001
0.1

0
1 2 3 4 Rata-rata

Gambar 7. Kandungan Senyawa Fosfat

3. Sifat Mikrobiologis
Bakteri Coliform dan Fecal coli (Escherichia coli)
Analisa mikrobiologi dilakukan berdasarkan organisme petunjuk
(indicator organism) terhadap pencemaran air. Dalam hal ini yang
sering digunakan adalah bakteri. Jika dalam air minum ditemukan
adanya bakteri, hal ini mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar
oleh bakteri coliform tinja (E. coli), atau kemungkinan mengandung
bakteri patogen (Alaerts dan Santika, 1987).

61
Bakteri coliform adalah jenis bakteri coli yang dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu coliform fecal, yaitu bakteri yang hidup
secara normal pada usus manusia dan hewan, contohnya Escherichia
coli, dan coliform non fecal yaitu bakteri yang hidup pada hewan dan
tanaman yang sudah mati, contohnya Enterobacter aerogenes
(Fardiaz, 1992).
Air sumur pada wilayah penelitian memiliki kandungan bakteri
Fecal coli yang sangat tinggi seperti terlihat pada Gambar 14.
(Selengkapnya pada Lampiran 13).
Hasil pengamatan terhadap sampel air sumur dari wilayah
penelitian kandungan Fecal coli berkisar antara 0 – 3500 MPN/100 ml
dengan kandungan rata-rata 1706,67 MPN/100 ml. Sementara
kandungan total coliformnya berkisar antara 0 – 10000 MPN/100 ml
(rata-rata kandungan 5766,67 MPN/100 ml).
Kandungan bakteri coliform dan fecal coli rata-rata untuk seluruh
wilayah penelitian menunjukkan telah melampaui ambang batas
maksimum yang diperbolehkan menurut kriteria mutu air berdasarkan
PP RI Nomor 82 Tahun 2001 seperti terlihat pada Gambar 8.

4000
3500
3000
2500
Kriteria Mutu Air
2000 Kelas III
1500 PP RI No 82/2001
1000
500 Kriteria Mutu Air
0 Kelas I
1 2 3 4 Rata-rata PP RI No 82/2001

Gambar 8. Kandungan Bakteri Fecal coli

Hasil analisis menunjukkan, kandungan bakteri coliform pada air


sumur lebih tinggi daripada bakteri fecal coli. Kondisi ini
mengindikasikan pada lokasi pengamatan lebih banyak sampah yang

62
bersumber dari sisa-sisa tumbuhan, sisa-sisa makanan, dan bangkai-
bangkai hewan, merupakan substrat utama tumbuhnya bakteri coliform
(Enterobacter aerogenes).
Bakteri ini bersama dengan air hujan dapat secara langsung atau
meresap masuk ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk dan
terakumulasi dalam air sumur.
Sumber pencemar mikrobiologis dari sistem pembuangan sampah
dapat meresap ke dalam air tanah secara vertikal maupun horizontal.
Bouwer dan Chaney dalam Wuryadi (1981) menemukan bahwa
bakteri dapat bergerak sejauh 830 meter dari sumber kontaminan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sumur penduduk di
wilayah TPA Galuga yang berjarak 400 – 700 m dari TPA telah
tercemar oleh bakteri E. coli sehingga air sumur tersebut tidak layak
dimanfaatkan sebagai air minum maupun kebutuhan sehari-hari
lainnya.

Kualitas suatu air dapat ditentukan dengan melakukan suatu pengukuran


terhadap intensitas parameter fisik, kimia, dan biologi atau mikrobiologi. Dalam
penentuan status kualitas air, nilai parameter tersebut tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu semua nilai parameter tersebut
harus ditransformasikan ke dalam suatu nilai tunggal yang dapat mewakili. Nilai
tunggal tersebut dikenal dengan Indeks Kualitas Air.
Indeks Kualitas Air merupakan suatu indeks yang berguna untuk
mengevaluasi tingkat pencemaran lingkungan perairan. Untuk mengetahui
kualitas suatu lingkungan perairan sesuai dengan peruntukannya, maka mengacu
pada pedoman Indeks Mutu Lingkungan Perairan (IMLP) yang berdasarkan
National Sanitation Foundation - Water Quality Index (NSF – WQI) (Suprihatin,
1992) dibuat berdasarkan Metode Delphi dikembangkan oleh Rand Corporation
(1968), dengan menggabungkan pendapat-pendapat panel para ahli kualitas air.
Hasil analisis Indeks Kualitas Air pada seluruh lokasi pengamatan seperti
tercantum pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai indeks berkisar antara 41,03
– 57,98 (rata-rata 48,65).

63
Tabel 10. Indeks Kualitas Air sumur Wilayah Sekitar TPA Galuga

Parameter IKA S1 IKA S2 IKA S3 IKA S4

DO 2,72 3,23 1,19 2,89


E. Coli 15 2,25 1,8 6,15
pH 1,92 3,6 8,4 3,84
BOD5 0 0 0 0,6
NO3- 9,5 9,9 9,9 9,8
PO43- 10 10 5,5 10
Suhu 7 6,9 7,2 7
Kekeruhan 5,92 4,96 2,56 6
Padatan total 5,92 6,4 4,48 2,08

Jumlah 57,98* 47,24** 41,03** 48,36**

Keterangan :
IKA S1 – S4 : IKA sumur jarak 5, 400, 600, dan 700 m dari TPA
* : Nilai IKA sedang
** : Nilai IKA buruk

Tabel 11. Indeks Kualitas Air Sumur Rata-rata Wilayah Sekitar TPA Galuga

Parameter Satuan IKA Rata-rata

DO mg/l 2,51
E. Coli MPN/100 ml 6,3
pH - 4,44
BOD5 mg/l 0,15
NO3- 9,78
PO43- 8,88
Suhu 7,02
Kekeruhan 4,86
Padatan total 4,72

Jumlah 48,65**

Keterangan :
** : Nilai IKA buruk

64
Berdasarkan kriteria mutu lingkungan perairan (NSF – WQI; Suprihatin,
1992), seperti tercantum pada Tabel 11, Indeks Kualitas Air sumur rata-rata
tergolong buruk (26 – 50). Buruknya IKA sumur wilayah Galuga menunjukkan
kualitas air sumur rendah dan tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Hal ini
terjadi karena peningkatan suhu udara, mengakibatkan turunnya kelembaban
udara, diikuti penguapan air permukaan (evaporasi). Kondisi ini berakibat
penurunan air tanah, termasuk air sumur di wilayah penelitian (Sundra, 1997).
Fardiaz (1992) menambahkan, kenaikan suhu air akan menurunkan oksigen
terlarut (DO), mengakibatkan BOD air meningkat. Rendahnya DO air juga
berakibat kematian mikroorganisme, sehingga terjadi perubahan rasa dan bau
(busuk) pada air sumur.
Buruknya kondisi kualitas air sumur sekitar wilayah TPA merupakan
indikasi adanya pencemaran air tanah akibat rembesan air lindi yang masuk ke
sumur bersama-sama air hujan. Kondisi ini didukung oleh konstruksi sumur yang
sangat sederhana (tanpa pelapis beton) sehingga memudahkan peresapan lindi
masuk ke sumur, menyebabkan kualitas air sumur buruk dan tidak layak sebagai
air minum. Selain konstruksi sumur yang sangat sederhana, konstruksi saluran
pembuangan lindi pun masih sangat sederhana (berupa parit/selokan tanpa
lapisan beton) dan terbuka sehingga akan sangat mudah meresap ke lingkungan
sekitar yang terlewati. Kondisi ini akan lebih parah jika terjadi musim hujan
dimana debit air lindi menjadi besar sehingga bisa meluap keluar dari saluran
pembuangan yang terbuka.
Dari hasil penelitian didapat fakta yang menarik untuk kemudian diteliti
lebih jauh. Indeks Kualitas Air sumur yang lebih dekat ke sumber pencemaran
yaitu TPA ternyata lebih tinggi dibandingkan air sumur di wilayah sekitar TPA
yang jaraknya lebih jauh. Hal ini berarti berdasarkan Indeks Kualitas Air, kualitas
air sumur gali yang berjarak 5 m dari TPA lebih baik dibandingkan dengan air
sumur yang terletak lebih jauh dari TPA. Dari pengamatan lapangan yang
dilakukan terhadap lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi demikian
dimungkinkan terjadi berdasarkan beberapa faktor. Pertama, adanya perbedaan
yang sangat signifikan dilihat dari parameter mikrobiologis dimana pada lokasi

65
penelitian air sumur S1 tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja.
Hal ini memberikan peran yang sangat besar terhadap meningkatnya nilai indeks
kualitas air sumur karena tingginya nilai sub indeks untuk parameter
mikrobiologis ini. Dari lokasi ini tidak ditemukan adanya kandungan bakteri
coliform tinja yang merupakan salah satu indikator adanya pencemaran air karena
lokasi ini memiliki derajat keasaman yang rendah sebagai air sumur yaitu 4,74.
Pada kisaran pH demikian menyebabkan mikroorganisme (E. coli) tidak tumbuh
karena kondisi air yang asam. Dari parameter pH, meski pada lokasi ini berada di
luar ambang batas baku mutu air serta nilai pH-nya paling ekstrim di antara nilai
pH air sumur lokasi pengamatan yang lain, namun dari faktor empiris nilai sub
indeks untuk parameter pH tidak berperan sebesar parameter mikrobilogis dalam
penentuan Indeks Kualitas Air.
Faktor kedua adalah geografis, ketinggian lokasi pengamatan (S1) letak
tanahnya lebih tinggi dari TPA serta kedalaman sumur yang dangkal yaitu sekitar
2 m. Kondisi ini menyebabkan lokasi ini tidak terkena resapan air lindi sebesar
lokasi pengamatan yang lain meskipun jaraknya lebih dekat. Sumber mata air di
lokasi ini juga berasal dari resapan air dari tebing-tebing di sekitarnya, bukan
bersumber dari air tanah yang ada di bawahnya sehingga derajat kontaminasi
sumber air oleh resapan air lindi tidak begitu besar. Adapun rendahnya derajat
keasaman air (pH) di lokasi ini diduga lebih besar karena pengaruh geologis
karena dari analisis karakteristik lindi, pH air lindi berada pada kisaran pH
normal.
Faktor ketiga adalah konstruksi pembatas antara wilayah TPA dengan
daerah sekitarnya, serta konstruksi sumur itu sendiri. TPA dibatasi oleh dinding
berkonstruksi beton dan tembok semen di luarnya. Jadi ada dua dinding pembatas
antara TPA dengan tanah di luarnya (Gambar 9). Sementara celah besar antara
dua dinding pembatas tersebut adalah saluran pembuangan air lindi. Konstruksi
ini sementara baru dibangun hanya sampai tempat pengolahan air lindi (sistem
aerasi), sementara saluran pembuangan dari bak pengolahan sampai ke sungai
masih menggunakan saluran terbuka. Konstruksi sumur sendiri juga cukup baik,
karena dilapisi dinding semen pada sisi yang berbatasan dengan TPA sehingga hal
ini dapat menghambat proses merembesnya air lindi ke sumur (Gambar 10).

66
Gambar 9. Konstruksi Dinding Pembatas Areal TPA dengan Wilayah Sekitarnya

Kualitas air sumur penduduk di sekitar wilayah penelitian terutama yang


dekat dengan saluran pembuangan air lindi juga dipengaruhi oleh konstruksi
saluran pembuangan air lindi itu sendiri. Sementara ini saluran yang digunakan
untuk membuang air lindi dari bak aerasi sampai ke sungai masih berupa saluran
terbuka tanpa lapisan anti kedap sehingga kondisi ini akan memudahkan
menyebarnya air lindi ke tanah-tanah sepanjang saluran, termasuk ke sumur-
sumur yang ada di sekitarnya. Kondisi saluran pembuangan air lindi dapat dilihat
pada Gambar 11.

Gambar 10. Konstruksi Sumur Gali Lokasi Pengamatan S1

67
Gambar 11. Kondisi Saluran Pembuangan Air Lindi

Buruknya kualitas air sumur wilayah sekitar TPA (terutama di tiga lokasi
pengamatan) juga sangat dipengaruhi oleh sifat dan perilaku masyarakat yang
kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Hal ini terlihat dari persepsi
masyarakat yang menganggap bahwa bau, kotor karena timbunan sampah, serta
kerubungan lalat bukan merupakan pencemaran dan mereka menganggap kondisi
demikian adalah biasa. Selain itu banyak juga masyarakat yang bermata
pencaharian sebagai pemulung, sehingga hal ini memacu terkumpulnya banyak
sampah yang mereka ambil dari TPA. Sampah-sampah tersebut mereka
kumpulkan dan mereka timbun di halaman atau belakang rumah masing-masing
untuk kemudian mereka jual. Di halaman atau belakang rumah, sampah-sampah
mereka pilah sesuai dengan jenisnya selama 2 – 3 minggu sampai akhirnya
mereka jual kepada pengumpul (Gambar 12). Keadaan lingkungan akan lebih
buruk ketika turun hujan, sehingga sampah-sampah ikut terbawa genangan air dan
akan mempercepat proses penguraiannya. Lindi yang dihasilkan bersama-sama
dengan tinja manusia dan kotoran hewan, akan terangkut bersama-sama air hujan
meresap ke sumur-sumur terdekat. Hal ini mengakibatkan buruknya mutu
lingkungan perairan di wilayah penelitian.

68
Gambar 12. Timbunan Sampah di Halaman/Belakang Rumah Pengumpul

69
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil pengamatan dan
analisis terhadap data kualitas air sumur wilayah TPA Galuga adalah sebagai
berikut :
1. Kualitas air sumur wilayah sekitar TPA Galuga dari beberapa parameter
hasil analisis telah melampaui ambang batas maksimum yang
diperbolehkan menurut Kriteria Mutu Air Kelas I Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, air sumur sekitar wilayah Galuga
tidak layak untuk digunakan sebagai air baku air minum sebagaimana
peruntukkan air Kelas I, namun masih bisa digunakan untuk keperluan
perikanan dan pertanian. Parameter kualitas air yang melampaui
ambang batas maksimum yaitu bau (busuk), rasa (agak asam, dan agak
pahit), seharusnya tidak berbau dan tidak berasa, pH, oksigen terlarut
(DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), kebutuhan oksigen
kimiawi (COD), amonia, nitrit, seng (Zn), bakteri fecal coli dan
coliform.
2. Indeks Kualitas Air (IKA) sumur wilayah sekitar TPA Galuga secara
rata-rata tergolong buruk (nilai Indeks Kualitas Air rata-rata 48,65),
sehingga air ini tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Namun dari
hasil penelitian ditemukan fenomena yang menarik dimana air sumur
dengan jarak yang paling dekat ke sumber pencemar (TPA) ternyata
memiliki kualitas air yang lebih baik berdasarkan nilai Indeks Kualitas
Air daripada air sumur yang jaraknya lebih jauh pada wilayah
penelitian. Kondisi ini diduga disebabkan oleh faktor geologis,
geografis, dan juga faktor konstruksi pembatas TPA, saluran air lindi
dan sumur itu sendiri.

70
B. SARAN
1. Air lindi (leachate)yang dihasilkan akibat timbunan sampah dari TPA
dan juga sistem open widrow dari pengomposan perlu dioptimalisasikan
pengolahannya sehingga lebih aman dibuang ke lingkungan. Dari
pengamatan, pengolahan lindi ini tengah tidak berfungsi termasuk
sistem aerasi di bak pengolahan sehingga potensi pencemaran air tanah
akibat penyebaran lindi ini bisa diminimalkan jika instalasi pengolahan
air lindinya optimal.
2. Perlunya sistem drainase lindi yang permanen, untuk mencegah
peresapan air lindi masuk ke lingkungan sekitarnya. Perubahan sistem
ini untuk mengurangi pengaruh penyebaran lindi dari sumber sampah
(TPA dan Pabrik Kompos) masuk ke lingkungan perairan sekitarnya,
termasuk pencemaran air sumur di sekitar wilayah tersebut.
3. Pemerintah Kota Bogor perlu secepatnya melakukan usaha-usaha untuk
mengatasi pencemaran air, khususnya air sumur gali, dengan cara
memperbaiki konstruksi sumur (dinding beton, penutup sumur) dan juga
melakukan sanitasi.

71
DAFTAR PUSTAKA

Alaert, G. dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya.

Apriadji, W. H. 2004. Memproses Sampah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Chapelle, F.H. 1993. Groundwater Microbiology and Geochemistry. John Wiley


and Sons. New York.

Chapman, D. 2000. Water Quality Assesment. E & FN Spon. London.

Clark, J.R. 1977. Coastal Ecosystem Management. John Wiley and Sons. New
York.

Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa. 2004. Bagian
Pemerintah Desa, Sekretaris Desa, Kabupaten Bogor.

Dahuri, R., N.S. Putra, Zairion dan Sulistiono. 1993. Metode dan Teknik Analisis
Biota Perairan. PPLH – Lembaga Penelitian IPB. Bogor.

Department of Public Health. 1972. Hydrologic Implications of Solid Waste


Disposal U.S. Geological Survey. Washington DC.

Diana, E. 1992. Pemantauan Dampak Lokasi Pembuangan Akhir Sampah Secara


Sanitary Landfill Bantar Gebang Terhadap Kualitas Air Permukaan,
Air Tanah dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. Tesis.
Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor. 2005. Kebijakan


Pemerintah Kota Bogor Dalam Pengelolaan Sampah. Seminar (22
Maret 2005)

Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria. A Report of the


Committee on Water Quality Criteria. Environmental Agency.
Washington DC.

Eilbeck, W.J. dan Mattock. 1992. Chemical Process is Wastewater treatment. Ellis
Howrd Ltd. Chicester

Fair, G.M., et al. 1966. Wastewater Engineering. John Wiley and Sons. New
York.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Depdikbud, Ditjen Perguruan
Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

72
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu,
Jakarta.

Hammer.1986. Water and wastewater technology. John Wiley and Sons. New
York.

Husin, Y.A. dan E. Kustaman. 1992. Metode dan Tehnik Analisis Kualitas Air.
PPLH – Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

Indrasti, N. S. 2003. The Perspective of Solid Waste Management and Landill


Technology in Indonesia. Makalah. Abdichtung, Stillegung Und
Nachsorge Von deponien 15 : 99, Nurnberg, Jerman.

Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1990. Penanganan Limbah Industri Pangan. PAU
– IPB. Bogor.

Mahida, U.N. 1997. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali.
Jakarta.

Matthess, G. 1982. The Properties of Groundwater. John Wiley and Sons. New
York.

Nana, T. dan Ratna, H. 1991. Kualitas Air Tanah Jakarta. Seminar Pengembangan
Air Tanah. 10 – 11 Desember 1991. PPS Keairan Teknik Sipil
USAKTI. Jakarta.

Riyadi, S. 1984. Pencemaran Air. Dasar-dasar dan Pokok-pokok Penanggulangan.


Karya Anda. Surabaya.

Romli, M. 2004. Desain dan Optimasi Bioreaktor Membran Untuk Penanganan


Air Limbah Sulit Terdegradasi. Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat IPB. Bogor.

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Depdikbud, Ditjen Pendidikan Tinggi.


PAU – Ilmu Hayat, IPB. Bogor.

__________. 1991. Dampak Pada Kualitas Air. Kursus Dasar Penyusunan


AMDAL. PPLH – Lembaga Penelitian IPB, Bogor.

Slamet, J.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.

Sundra, I.K. 1997. Pengaruh Pengelolaan Sampah Terhadap Kualitas Air Sumur
Gali di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung Denpasar
Bali. Thesis. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Supardi. 2001. Studi Tata Niaga kompos : Kajian Alternatif Pemecahan


Penanganan Masalah Sampah Kota. Skripsi. Fateta, IPB. Bogor.

73
Suprihatin. 1992. Penentuan Status Kualitas Air (Sebuah Pendekatan Kuantitatif
dan Praktis). Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Syahmin. 1994. Evaluasi Kualitas Air Sungai Ciliwung Sebagai Bahan Baku
untuk Air Minum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Tan, I. 2005. Tantangan, Peluang dan Kendala Pihak Swasta dalam Mengelola
Sampah Organik. Seminar (22 Maret 2005).

Tood, D. K. 1980. Groundwater Hydrology. 2nd ed. John Wiley and Sons. New
York.

Torrey, S. 1979. Slug Disposal by Landspreading Techniques. Noyes Data


Corporation, Park Ridge. New Jersey.

Wardoyo. 1982. Review on Water Analysis Manual. Faculty of Fisheries – Bogor


Agricultural University. Bogor.

Wuryadi. 1981. Kualitas Air Sumur Gali DIY Bagian Selatan dan Kemungkinan
Pengaruh Lingkungan Pemukiman. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

_______. 1990. Telaah Kelangsungan Hidup Eschericia coli Dalam Air Sumur
Gali dan Kaitannya sebagai Indikator Pencemaran Tinja dalam Sistem
Air Tanah. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Yani, M., A. Bey dan W. Tjiptadi. 1994. Kajian Kualitas Air DAS Cisadane dan
Ciliwung. PPLH – Lembaga Penelitian IPB. Bogor.

74
Lampiran 1. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas, PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air

Kelas
No. Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
I. FISIKA
o Deviasi temperatur dari
1. Temperatur C Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3
keadaan alamiahnya
2. Residu Terlarut mg/L 1000 1000 1000 2000
Bagi pengelola air minum
Residu
3. mg/L 50 50 400 400 secara konvensional, residu
Tersuspensi
tersuspensi ≤ 5000 mg/L
II. KIMIA ANORGANIK
Apabila secara alamiah
diluar rentang tersebut,
4 pH 6–9 6–9 6–9 5–9 maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
5. BOD mg/L 2 3 6 12
6. COD mg/L 10 25 50 100
7. DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum
Total Fosfat
8. mg/L 0.2 0.2 1 5
sebagai P
9. NO3 Sebagai N mg/L 10 10 20 20
Bagi Perikanan, Kandungan
Amonia bebas untuk ikan
10. NH3 - N mg/L 0.5 (-) (-) (-) yang peka ≤ 0,02 mg/L
sebagai NH3
11. Arsen mg/L 0.05 1 1 1
12 Kobalt mg/L 0.2 0.2 0.2 0.2
13. Barium mg/L 1 (-) (-) (-)
14. Boron mg/L 1 1 1 1
15. Selenium mg/L 0.01 0.05 0.05 0.05
16. Kadmium mg/L 0.01 0.01 0.01 0.01
17. Khrom (VI) mg/L 0.05 0.05 0.05 0.05
Bagi Pengolahan air minum
18. Tembaga mg/L 0.02 0.02 0.02 0.2 secara konvensional, Cu ≤ 1
mg/L
Bagi pengoalahan air
19. Besi mg/L 0.3 (-) (-) (-) minum secara
konvensional, Fe≤5 mg/L
Bagi pengolahan air minum
20. Timbal mg/L 0.03 0.03 0.03 1 secara konvensional, Pb ≤
0.1 mg/L
21. Mangan mg/L 0.1 (-) (-) (-)
22. Air raksa mg/L 0.001 0.001 0.002 0.005
Bagi pengolahan air minum
23. Seng mg/L 0.05 0.05 0.05 2 secara konvensional, Zn ≤ 5
mg/L
24. Khlorida mg/L 600 (-) (-) (-)
25. Sianida mg/L 0.02 0.02 0.02 (-)
26. Florida mg/L 0.5 1.5 1.5 (-)
Bagi pengolahan air
minum secara
27. Nitrit sebagai N mg/L 0.06 0.06 0.06 (-)
konvensional, NO2-N ≤
mg/L
28. Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)
Bagi ABAM tidak
29. Khlorin bebas mg/L 0.03 0.03 0.03 (-)
dipersyaratkan
Bagi pengolahan air minum
Belerang sebagai
30. mg/L 0.002 0.002 0.002 (-) secara konvensional, S
H2S
sebagai H2S ≤ 0.1 mg/L
III. MIKROBIOLOGI
Bagi pengolahan air minum
31. Fecal Coliform Jml/100 ml 100 1000 2000 2000 secara konvensional, Fecal
Coliform 2000 Jml/100 ml,
total Coliform ≤ 1000
32. Total Coliform Jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 Jml/100 ml
IV. RADIOAKTIVITAS
33. Gross – A Bg/L 0.1 0.1 0.1 0.1
34. Gross – B Bg/L 1 1 1 1
V. KIMIA ORGANIK
35. Minyak Dan µg/L 1000
1000 1000 (-)
Lemak
36. Detergen Sebagai µg/L 200
200 200 (-)
MBAS
37. Senyawa Fenol µg/L 1
1 1 (-)
Sebagai Fenol
38. BHC µg/L 210 210 210 (-)
39. Aldrin/Dieldrin µg/L 17 (-) (-) (-)
40. Chlordane µg/L 3 (-) (-) (-)
41. DDT µg/L 2 2 2 2
42. Heptachlor dan µg/L 18
heptachlor (-) (-) (-)
epoxide
43. Lindane µg/L 56 (-) (-) (-)
44. Methoxylor µg/L 35 (-) (-) (-)
45. Endrin µg/L 1 4 4 (-)
46. Toxaphan µg/L 5 (-) (-) (-)

Keterangan :
ABAM : Air baku air minum
Lampiran 13. Hasil Pengukuran Kualitas Air Sumur Gali, Wilayah Sekitar TPA
Sampah Galuga

Titik Sampling
No Parameter Satuan
S1 S2 S3 S4

I FISIKA
o
1 Suhu C 27,6 27,8 27,3 27,6

2 Bau - - - busuk -
3 Rasa - Agak - Agak -
asam pahit
4 Zat Padat Terlarut mg/l 183,33 116,67 270 586,67
5 Zat Padat Tersuspensi mg/l 1 1,8 6 2,67

II KIMIA

6 pH - 4,74 5,11 6,24 5,13


7 DO mg/l 1,96 2,35 0,98 2,00
8 BOD5 mg/l 317 83,2 214 29,7
9 COD mg/l 952 208,25 646 119
10 Amonia (N-NH3) mg/l 1,13 4,08 6,88 4,15
11 Nitrit (N-NO2) mg/l 0,001 0,009 0,014 0,375
12 Nitrat (N-NO3) mg/l 0,21 0,001 0,001 0,042
13 Fosfat (PO4 3-) mg/l 0,0005 0,0005 0,503 0,0005
14 Besi (Fe) mg/l ttd ttd ttd ttd
15 Timbal (Pb) mg/l ttd ttd ttd ttd
16 Tembaga (Cu) mg/l 0,014 0,012 0,018 ttd
17 Krom (Cr) mg/l ttd ttd ttd ttd
18 Kadnium (Cd) mg/l ttd ttd ttd ttd
19 Seng (Zn) mg/l ttd 0,002 0,129 ttd

III MIKROBIOLOGI

20 Fecal Coli (E. Coli) MPN/ - 1500 3500 120


100 ml
21 Coliform MPN/ - 7000 10000 300
100 ml

Keterangan :
S1 : Pengambilan sample air sumur jarak 5 m dari TPA
S2 : Pengambilan sample air sumur jarak 400 m dari TPA
S3 : Pengambilan sample air sumur jarak 700 m dari TPA
S4 : Pengambilan sample air sumur jarak 600 m dari TPA
ttd : tidak terdeteksi

57
58
75

You might also like