You are on page 1of 101

R.L.

Stine
Pesta Tahun Baru
The New Year's Party
(Fear Street Super Chiller # 9)

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

BAGIAN KESATU

1965
Chapter 1
KEJUTAN DI TAHUN BARU

"LIMA menit lagi tahun 1965!" seseorang berteriak.


Pesta Tahun Baru berputar-putar di sekeliling Beth Fleischer, teman-temannya
berteriak-teriak dan tertawa-tawa, "She Loves You" the Beatles berdentam-dentam
dari hi-fi—sangat keras, seluruh ruangan bergetar.
Sebuah botol Coca-Cola menggelinding di atas karpet ruang tamu dan membentur
kaki Beth. Ia mendorong botol itu ke samping dengan jari-jari kakinya dan tetap
berdansa. Sepatu putihnya yang baru menjepit jari-jari kakinya, tapi Beth tidak
peduli. Ia tahu sepatu itu kelihatan manis dipadukan dengan rok mininya yang
baru.
"Wow!" Todd Stevens berteriak di telinganya. "Pesta yang menyenangkan!"
Beth menoleh dan menatap Todd. Pemuda itu seperti bintang film, pikirnya—
dengan mata lebih biru daripada mata Paul Newman.
Semua gadis di Shadyside High mengidolakan Todd.
Akan tetapi Beth tidak yakin seberapa besar ia sesungguhnya menyukai Todd.
Bagaimana mungkin ia tidak menyukai pemuda yang diidam-idamkan semua gadis
ini? Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Semuanya membuat dia merasa aneh.
Ia mulai berdansa lagi. Kemudian ia memandang ke sekeliling ruangan untuk
mencari Jeremy. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh memikirkan Jeremy saat sedang
berdansa dengan Todd. Namun ia tidak bisa berbuat lain.
Itu dia di sana, pikir Beth. Jeremy berdiri sendirian di dekat dapur, sedang
menyeruput minuman soda. Ia kelihatan amat tampan malam ini. Kenapa ia tidak
mengajak seseorang untuk berdansa?
Seseorang menabrak lampu lantai. Lampu itu jatuh lalu pecah di lantai, tapi Beth
tidak bisa mendengar suaranya di tengah suara musik yang keras.
"Orangtua Karen akan membunuh dia!" ia berteriak kepada Todd, berusaha untuk
bisa didengar di antara suara bising itu.
Sekilas ia memandang ke sekeliling ruangan itu. Tak ada tanda-tandanya Karen ada
di situ.
Sekarang Beth baru memikirkannya, ia tidak melihat Karen sejak tadi. Apakah ia
pergi? Karen tidak akan meninggalkan pesta Tahun Barunya sendiri, kan?
Karen dan Beth berteman akrab. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk
membicarakan cowok-cowok, film, dan musik rock—terutama the Beatles. Mereka
mengarang cerita seakan mereka pergi ke London untuk menemui the Beatles, dan
keempat bintang rock itu semuanya mengajak mereka berkencan.
Bagian yang sulit adalah memutuskan kedua anggota Beatles mana yang dipilih
untuk berkencan sebab keempat bintang rock itu semuanya amat luar biasa.
Beth mencari-cari di sekeliling ruangan itu lagi. Dua cowok sedang main panco di
atas meja kopi, sementara teman-teman mereka memberi semangat. Beberapa
cewek melihat-lihat koleksi piringan hitam Karen yang ditumpuk tinggi. Dua sejoli
yang tidak dikenal Beth sedang bermesraan di pojok.
Tapi Karen tidak ada. Di mana dia?
"Lima belas detik!" seorang pemuda di sisi lain ruangan itu berteriak. "Empat
belas... tiga belas..."
Semua orang berhenti berdansa. Seseorang mematikan suara hi-fi, dan seseorang di
ruangan itu ikut menghitung detik-detik terakhir.
"Dua belas... sebelas... sepuluh..."
Karen harus kembali ke sini tengah malam! Beth berpikir. Aku tak bisa mengawali
tahun baru ini tanpa sahabat karibku di sini!
"Lima... empat... tiga..."
Ayolah, Karen. Di mana kau?
"Selamat Tahun Baru!"
Tengah malam. Sorak-sorai. Terompet ditiup. Todd menarik Beth mendekat dan
menciumnya. "Selamat Tahun Baru, Beth."
Namun pikiran Beth tidak pada ciuman Todd. Ia mencemaskan Karen. Dan ia tidak
bisa berhenti memikirkan Jeremy. Jeremy pasti merasa kesepian malam ini. Tak
ada seorang pun yang mencium dia di malam Tahun Baru ini.
"Sadar dong, Beth!" panggil Todd.
"Apa?" jawab Beth.
"Ingat aku?" Todd kedengaran jengkel.
Beth mengalihkan perhatiannya kembali kepada Todd, tersenyum, mencoba
bersikap seperti gadis yang menikmati saat-saat indah di kencan yang luar biasa.
Tapi matanya beralih ke Jeremy.
Sekelompok cowok bertampang kasar sedang mengerumuni dia. Apa yang mereka
inginkan? Beth bertanya-tanya.
Lagu yang lain dimulai. Chubby Checker mengumandangkan "Do the Twist". Di
sekeliling Beth, anak-anak mulai berdansa twist.
Seorang gadis berdansa amat bagus—lincah dan seksi. Rambutnya yang pirang dan
panjang berayun-ayun ketika ia bergerak.
Beth berharap bisa berdansa seperti gadis itu. Setiap kali ia mencoba twist, ia
merasa kaku dan tolol.
Beth memandang Jeremy lagi. Seorang cowok yang bertampang sangar merampas
Coca - Cola Jeremy lalu meneguknya. Cowok-cowok yang lain tertawa.
"Kau lihat Karen?" Beth bertanya kepada Todd.
"Sejak tadi tidak," jawabnya.
"Pesta ini benar-benar akan jadi tak terkendali jika ia tidak melakukan sesuatu."
Todd mengikuti pandangan Beth yang tertuju pada Jeremy.
"Jeremy baik-baik saja. Kenapa kau sangat mencemaskan dia?"
Jeremy dalam kesulitan, pikir Beth. Aku lebih tahu tentang dirinya daripada orang
lain—dan ia jelas tidak baik-baik saja. Beth tidak mau repot-repot mencoba
menjelaskan perasaannya kepada Todd.
Todd menyentuh Beth dan menunjuk tangga. "Mau duduk di sana?"
Empat pasangan duduk di anak tangga yang berkarpet, sedang bermesraan. Lipstik
pink Jenna Cosgrove mencoreng wajah Joe Hart. Joe tampaknya tidak
menyadarinya.
Beth merasa tergoda, tapi ia tidak ingin bermesraan di hadapan semua pengunjung
pesta ini.
"Jangan di sana," ia berkeras. "Semua orang bisa melihat kita."
"Tak seorang pun memperhatikan mereka," jawab Todd.
Sebelum Beth bisa menjawab, suara tawa yang keras membuat dia mengalihkan
perhatiannya. Salah satu dari kelompok cowok yang bertampang kasar itu
menuangkan Coca-Cola di kepala Jeremy.
Lawan dia! pikir Beth. Tapi Jeremy tidak melakukan apa-apa.
Beth melihat Jeremy terhuyung-huyung ke belakang, menabrak seorang gadis.
"Hei!" bentak gadis itu. "Lihat-lihat dong kalau jalan."
Jeremy menyingkir, melangkah dengan goyah, mencoba untuk menjaga
keseimbangannya. Tapi kakinya terantuk, dan ia terjerembap, jatuh di samping
meja penuh makanan di depannya.
Semua orang kecuali Beth berteriak gembira melihat Jeremy jatuh. Bahkan Todd
juga tertawa.
Beth melihat wajah Jeremy merah padam. Aku harus menghampiri dia, Beth
memutuskan. la berjalan melintasi ruangan itu.
Tetapi Todd menyambar tangannya dan menariknya ke ruang baca yang gelap.
"Tak seorang pun akan melihat kita di sana," desaknya.
Beth ragu-ragu, menatap balik kepada Jeremy. Todd tidak akan membiarkan dia
mencoba menghibur Jeremy. Jeremy barangkali tidak menginginkan dia
menghampirinya. Jeremy akan mengatakan kepadanya supaya mengurus
urusannya sendiri.
Todd menarik tangannya. Mereka menerobos dua cowok yang sedang berdiskusi
soal mobil. Beth pernah melihat mereka di sekolah tapi ia tidak kenal mereka.
"Aku ingin salah satu Mustang itu," kata pemuda yang lebih tinggi. "Mobil
convertible merah dengan V-8 yang besar. Oh, man, aku ingin sekali punya salah
satu Mustang itu."
"Corvette akan segera menelanmu," cowok satunya memberi tanggapan.
"Tak mungkin! Kau cuma akan bisa melihat lampu belakang Mustang-ku."
Sekelompok anak-anak mulai menyanyi "Auld Lang Syne". Tak seorang pun
mengerti kata-kata itu, tapi mereka tahu, mereka menyanyikan lagu itu di Malam
Tahun Baru. Suara dari hi-fi nyaris menenggelamkan mereka—Roy Orbison
sedang mendendangkan "Pretty Woman".
Pintu terbuka dengan keras.
Beth berbalik—saat itu ia melihat dua anak muda yang memakai topeng ski
menerobos masuk ke ruangan itu.
Pertama-tama ia melihat topeng ski itu. Kemudian ia melihat pistol mereka.

Chapter 2
LEDAKAN DI TENGAH MALAM

SALAH satu pria itu menodongkan pistolnya pada cewek yang berdiri di dekat
gramofon. "Matikan itu!" bentaknya.
Roy Orbison tiba-tiba berhenti bernyanyi. Hening sekarang.
Beth tidak bisa bergerak. Matanya terus tertuju ke pistol-pistol itu, takut untuk
mengalihkan pandangannya.
"Selamat Tahun Baru!" pria satunya berteriak. "Semua merapat ke dinding.
Sekarang!"
Todd menarik tangan Beth, menariknya merapat ke dinding.
Beth bisa merasakan lututnya gemetar. Apa yang akan mereka lakukan kepada
kami? tanyanya kepada dirinya sendiri.
"Kami ingin dompet dan arloji kalian," kata salah satu pengacau itu. Beth
membuka arlojinya dan melorotkan benda itu dari pergelangan tangannya. Ia
memegangnya di depan tubuhnya dan matanya tetap menatap lantai. Ia tidak ingin
menarik perhatian perampok itu.
Haruskah kuberikan giwangku juga kepada mereka? Beth bertanya-tanya. Ia tidak
rela menyerahkan giwang berliannya yang kecil itu. Giwang itu diberikan dari
generasi ke generasi dalam keluarganya, selalu diberikan kepada anak perempuan
pertama pada ulang tahunnya yang keenam belas.
"Serahkan semuanya!" salah satu pria itu berteriak, membuyarkan lamunannya.
"Jangan coba-coba bertindak bodoh atau dia akan menerima akibatnya."
Beth mengangkat kepalanya. Jeremy! Ia menyandera Jeremy!
Tidak! pikirnya. Jangan sakiti dia. Kumohon.
Beth ngeri ketika laki-laki bersenjata itu menekan laras pistolnya yang berkilauan
di pelipis Jeremy.
Wajah Jeremy pucat pasi. "To-tolong," ia merengek. "Berikan apa yang mereka
inginkan."
Beth berusaha agar Jeremy menangkap pandangannya. Ia ingin agar Jeremy
tenang. Lakukan apa yang mereka perintahkan.
"Jangan tembak aku," Jeremy memohon. "Tolong jangan tembak aku." Ia
terhuyung selangkah ke depan.
Beth berteriak.
"Hei! Kubilang jangan bergerak!" Pengacau itu menekan dan memutar-mutar laras
pistol itu di kepala Jeremy.
"Aku... Aku tidak bermaksud kabur," rintih Jeremy. "Sungguh."
"Ya, kau mau kabur."
Jeremy menggelengkan kepalanya, matanya terbelalak ketakutan.
"Semuanya perhatikan," perampok itu memberi komando. "Ini contohnya apa yang
akan terjadi kalau kalian tidak mau bekerja sama."
Lagi, ia menekan laras pistol itu di kepala Jeremy.
Kemudian ia menarik pelatuknya.
Chapter 3
TABRAKAN DI MALAM HARI

BETH menjerit.
Ruangan itu penuh jeritan.
Mata Jeremy terbelalak. Ia terhuyung-huyung ke depan, tapi tidak jatuh.
Pistol itu tidak meledak! Beth sadar. Jeremy baik-baik saja!
Napasnya yang tertahan keluar dengan suara yang keras.
Semua orang menatap pengacau-pengacau itu, terpaku, takut untuk bergerak.
Beth memandang ruangan itu dengan kalut. Tak seorang pun akan berani menolong
Jeremy, ia sadar. Tak seorang pun bisa melakukan sesuatu.
Kemudian, ia tercengang, pengacau-pengacau itu melepaskan topeng mereka.
Hah? Kenapa mereka membiarkan kami melihat wajahnya?
Beth bertanya dalam hati. Apakah mereka punya rencana untuk membunuh kami
semua?
Kemudian Beth mengenali mereka. Dua kakak kelas di Shadyside High. Tamu
yang tak diundang.
Perampokan itu ternyata cuma lelucon yang konyol, ia baru menyadari. Lelucon
yang konyol dan berbahaya.
Kedua cowok itu tertawa terbahak-bahak dan saling meninju bahu. "Apakah
senjata ini kelihatan asli bagi kalian?" tanya salah seorang di antara mereka. "Kami
membelinya di toko mainan."
"Aku tahu pistol itu palsu!" seru seorang cewek memberi pernyataan. "Pistol itu
seperti dari plastik."
"To-tolong berikan apa yang mereka i-ingin-kan," seorang cowok menirukan suara
Jeremy yang ketakutan.
"To-tolong jangan tembak aku!" yang lainnya menirukan Jeremy, sambil
menggoyang sekujur tubuhnya.
Semua orang tertawa. Kecuali Beth. Ia melihat Karen ada di pintu masuk, memberi
selamat kepada kedua pemuda itu.
Karen? Kenapa ia tega melakukan itu kepada Jeremy? Beth bertanya pada dirinya
sendiri. Ia kan temanku.
Karen ada di balik semua ini! Beth sadar. Itulah sebabnya kenapa aku tidak
menemukan dia tengah malam tadi. Ia sedang membuat rencana dengan kedua
pengacau itu.
Beth merenggut tangannya dari pegangan Todd.
"Karen!" pekiknya. "Teganya kaulakukan ini kepada Jeremy!"
Wajah Beth terasa terpanggang api ketika kemarahannya memuncak.
"Beth, ini hanya gurauan," jawab Karen. "Gurauan untuk menghidupkan pesta ini."
"Tidak lucu! Gurauan yang konyol dan jahat! pekik Beth.
Aku tidak akan memaafkan Karen. Takkan pernah! pikir Beth.
Salah seorang pemuda melemparkan pistol mainan itu kepada Jeremy.
"Jangan tembak dirimu sendiri!" teriak seseorang.
Tawa kejam makin menjadi.
Dengan geram, Jeremy melemparkan pistol itu ke dinding.
Kemudian ia pergi, mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya ketika ia
berjalan cepat-cepat ke pintu depan.
Beth mengikuti Jeremy. Tapi Todd berjalan di depannya, menghalang-halangi
langkahnya. "Hei—mau ke mana kau?"
"Todd, kau tidak mengerti. Aku..."
"Aku capek diabaikan," kata Todd. "Sepanjang malam ini kau mengawasi Jeremy
terus. Biarkan saja dia. Kenapa sih?"
"Ia butuh aku," Beth memprotes.
"Kalau begitu lebih baik aku cari gadis lain yang memberiku perhatian." Todd
berbalik dan berlalu.
Aku benci dia! pikir Beth. Aku benci mereka semua karena apa yang mereka
lakukan kepada Jeremy.
Beth melihat Jeremy melesat dari pintu depan. Ia ingin mengambil mantelnya dulu.
Tapi ia tidak akan bisa mengejar Jeremy.
Maka ia berlari ke luar di malam yang dingin menggigit itu.
"Jeremy!" teriaknya, sepatunya terbenam ke dalam salju tebal yang menyelimuti
halaman depan. "Tunggu! Mau ke mana kau?"
Jeremy berputar menghadapi dia. Wajahnya yang tampan berkerut marah.
"Pergilah, Beth. Tinggalkan aku sendirian! Aku muak dijadikan gurauan!"
Jeremy berbalik dengan wajah cemberut dan berjalan dengan susah payah di atas
salju menuju mobil tuanya, Ford Fairlane.
Mengabaikan angin yang berputar-putar dan udara dingin menggigit, Beth berlari
mengejar dia. "Mereka hanya menggodamu. Kembalilah. Semua jalan dilapisi es.
Kau terlalu marah untuk menyetir!"
"Kembalilah ke pesta dengan teman-temanmu yang tolol itu! Tinggalkan aku
sendirian! Kau bukan ibuku!" Jeremy menyelinap di balik kemudi dan membanting
pintu. Salju jatuh dari atap mobil.
Kaki Beth terpeleset dan tergelincir, ia lari memutari mobil dan melompat ke jok
penumpang. "Aku ikut."
Roda-roda mobil ilu menggelinding di jalan yang dilapisi es ketika Jeremy
melarikan mobilnya dari pinggir jalan.
"Semua jalan tertutup es," Beth memperingatkan. Ia memasang sabuk
pengamannya dan memeriksa untuk meyakinkan sabuk pengaman Jeremy sudah
terpasang. "Hati-hati, Jeremy. Ini bodoh. Menepilah. Ayo kita bicara."
Jeremy mengabaikan Beth. Sambil memandang melalui kaca depan mobil yang
tertutup salju, Jeremy memacu mobilnya melewati lampu merah tanpa
memperlambat mobilnya.
"Jeremy! Jangan menyopir seperti ini. Ayolah!"
Mobil itu selip di dekat tumpukan salju di tepi jalan. Beth memejamkan matanya,
yakin bahwa mereka akan menabraknya.
Tetapi Jeremy mengendalikan kemudinya untuk kembali ke tengah jalan.
"Pelan dong," pinta Beth. Ia mencengkeram dasbor mobil dengan kedua
tangannya.
Jeremy tidak menggubris. Pohon-pohon dan tiang-tiang telepon tampak meluncur
cepat diterangi lampu depan mobil.
Beth memperhatikan wajah Jeremy dalam cahaya suram dari dasbor. Rahang
pemuda itu terkatup, dan pandangannya lurus ke depan, matanya penuh
kemarahan.
Kenapa mereka harus menyakiti hati Jeremy seperti ini? Beth bertanya pada
dirinya sendiri. Kenapa aku harus menjadi satu-satunya teman Jeremy?
Mobil itu tergelincir di luar kendali. Jeremy memutar setir mobilnya, bersusah
payah untuk tidak tergelincir ke luar jalan.
"Pelan, Jeremy. Ayolah!"
Mereka meluncur di jalan raya dua jalur. Beth biasanya suka ngebut di kegelapan.
Saat itu merasakan kebebasan yang luar biasa, Tapi tidak malam ini. Tidak di
jalanan yang dilapisi es. Tidak dengan Jeremy yang mengemudikan mobilnya
dengan ugal-ugalan.
Jeremy mengarungi tumpukan salju yang tertimbun karena tiupan angin,
menimbulkan gelombang salju putih beterbangan ke segala penjuru.
Jalan raya itu berkilauan seperti perak di bawah cahaya lampu depan mobil—
lapisan es yang tebal.
Kami bukan naik mobil. Kami terbang, pikir Beth, merasa kepanikan mencekik
lehernya. Kami terbang di luar kendali.
"Jeremy, jalan ini terlalu licin!" pekiknya. "Aku mohon padamu—pelan dong!"
"Hei," bentak Jeremy. "Ini Tahun Baru. Kenapa aku tidak boleh bersenang-senang
sedikit?"
Kaca depan berembun. Beth hampir tidak bisa melihat ke luar.
"Nyalakan pencair esmu," desak Beth.
Jeremy mengangkat bau.
"Jeremy! Nyalakan! Kau tidak bisa melihat!"
"Rusak."
"Kenapa tidak kaubetulkan?"
"Karena aku tidak mau. Itulah sebabnya. Tinggalkan aku sendirian, Beth. Aku kan
tidak memintamu ikut."
Beth menghapus kaca depan dengan lengan bajunya. Tapi hasilnya embun itu
hanya tercoreng sedikit.
"Oh, tolonglah," pinta Beth. "Kita hampir tidak bisa melihat jalanan."
Jeremy menginjak pedal gas lebih kuat. Ford tua itu meraung di atas es.
Aku benci bila ia seperti ini, pikir Beth. Ia memandang lewat kaca depan yang
berembun.
Dan melihat samar-samar sesosok tubuh.
Cowok?
Seorang cowok di tengah jalan?
Beth menjerit.
Terlambat.
Jeremy membanting setir mobilnya.
Sesuatu terpental di atas kap mobil dengan bunyi gedebuk yang keras.
Sebuah wajah muncul lewat kaca depan yang berembun. Wajah seorang cowok,
mulutnya ternganga ketika ia menjerit terkejut.
Tubuh cowok itu jatuh ke tanah.
Mobil itu menabraknya dengan keras dan menggilas tubuhnya.

Chapter 4
TEWAS

JEREMY menginjak rem. Mobil zig-zag tak terkendali. Kemudian berhenti


melintang di jalanan.
Beth menatap kaca depan mobil. Lampu depan tidak menampakkan apa-apa, hanya
tumpukan salju dan batang pohon hitam yang tidak rata.
"Itu tadi orang," Jeremy mengeluh. "Aku menabraknya. Kita harus kembali."
"Jangan!" jerit Beth, suaranya penuh kepanikan. "Pergi dari sini sekarang. Sebelum
kita ditangkap!"
"Beth, kita harus menolongnya. Kita tak bisa meninggalkan dia di sana begitu
saja!"
"Itu bukan orang, Jeremy," Beth berkeras. Ia mengulangi kata-kata itu terus-
menerus di dalam benaknya. Bukan orang. Bukan orang. Bukan orang.
"Aku melihat wajahnya."
"Tidak, kita menabrak raccoon atau sesuatu." Beth menyibakkan rambutnya ke
belakang kepalanya.
"Kita harus berputar dan kembali. Mungkin anak itu selamat. Dan jika ia terluka,
kita harus membawanya untuk mencari pertolongan. Kita harus ke sana, Beth."
"Jangan!" teriak Beth. "SIM-mu akan dicabut—mungkin untuk selamanya!"
Kening Jeremy berkerut. "Selamanya?"
"Dan bagaimana jika—bagaimana jika—anak itu meninggal?"
Beth tergagap. "Mereka akan menuduhmu melakukan pembunuhan, Jeremy." Beth
ngeri.
"Tapi... itu kecelakaan," protes Jeremy.
"Kau mengendarai mobil ugal-ugalan, ngebut. Itu salahmu," Beth berkeras.
"Tunggu—apa itu?"
Beth juga mendengar suara itu.
Sirene. Di kejauhan. Suaranya menjadi lebih keras.
"Polisi!" seru Beth. "Kita harus pergi dari sini! Jika itu tadi orang, mereka akan
menolong dia. Sekarang, cabut!"
Sejenak Jeremy ragu-ragu. Kemudian ia menginjak pedal gas. Roda mobil
berdecit-decit di atas es. Dan mereka kabur.
Kali ini Beth tidak menyuruh Jeremy memperlambat kecepatannya. Ia
memperhatikan tumpukan salju yang dilewati tampak kabur, jantungnya berdetak
keras.
Ia merasa melihat cahaya merah mobil polisi di belakang mereka. Tetapi ketika ia
mengintip lewat jendela belakang, jalanan tetap kosong.
Kami selamat, pikirnya. Kami akan berhasil. Kami akan kabur.
"Aku tidak bisa melihat," Jeremy mengeluh. "Sekarang kaca depan semuanya
berembun."
"Aku butuh sesuatu untuk menyekanya," jawab Beth.
"Ada lap di bawah jok." Jeremy membungkuk di atas kemudi, susah payah untuk
melihat jalanan di depan mereka.
Beth meraba-raba untuk mencari lap. Ia menarik selembar peta kusut, sebuah botol
minuman ringan, obeng, pembungkus Burger Basket.
"Ini dia!" teriak Beth.
Beth langsung menghapus kaca depan. Tetapi setiap kali ia membersihkan sebuah
noda, embun segera menutupinya lagi.
Ia masih menghapus kaca ketika mobil itu selip di luar kendali.
Ia melihat wajah Jeremy yang panik ketika berjuang mati-matian mengendalikan
kemudi, membanting setir kuat-kuat, ke kanan, kemudian ke kiri. Berusaha agar
tidak selip.
Semuanya tampak berlangsung dalam gerakan lambat.
Lampu besar mobil menyapu jalan raya yang berlapis es. Kemudian, ketika mobil
itu berpusing, berputar lebih kencang, lebih kencang, tumpukan salju yang tinggi
berputar dalam pandangan.Kemudian jalan raya berlapis es lagi. Beth menjerit
dengan suara melengking ketika mobil itu menabrak tumpukan salju dengan keras.
"Uh." Jeritannya berhenti mendadak ketika Beth terlempar ke depan dan kepalanya
retak menghantam dasbor.
Kegelapan memenuhi mobil itu ketika tumpukan salju yang tebal menutupi kaca
depan.
Beth merasakan darah hangat menetes turun dari kepalanya. Ia mengejap-
ngejapkan matanya, berjuang untuk bisa melihat dalam kesakitan yang amat
sangat.
Kesakitan...
Ia merasakan guncangan lain ketika mobil menerobos salju.
Mobil itu terjun. Terjun ke jurang di samping jalan.
Ia bisa merasakan mobil itu jatuh, tetapi ia tak bisa bergerak.
Ia merasakan cairan hangat mengalir turun dari wajahnya.
Merasakan gelombang rasa sakit melandanya berkali-kali.
Mobil itu terpelanting keras. Berguling. Terbalik dan berguling lagi.
Turun, turun.
"Jeremy!" Beth tercekik. "Kau membunuh kita. Kau membunuh kita berdua."

BAGIAN KEDUA
TAHUN INI

Chapter 5
TUBUH DI DALAM LEMARI

"BRRR!" Reenie Baker menggigil ketika menutup pintu belakang rumahnya. Saat
itu baru bulan November, tetapi udara sudah terasa sedingin bulan Januari.
"Reenie, kaukah itu?" Mrs. Baker berseru dari ruang tamu.
"Yeah, Mom, ini aku," jawab Reenie. Ia menggantungkan mantel musim dinginnya
yang tebal di atas pasak kayu yang dipernis.
"Greta dan yang lain sudah di sini. Mereka di kamarmu."
"Oke, trims."
Reenie buru-buru berjalan di koridor dan menuju kamarnya.
"Sori aku terlambat!" serunya.
Sahabat baiknya, Greta Sorenson, melemparkan majalah Vogue yang sedang
dibacanya ke meja kecil Reenie. "Jangan khawatir, kami menyisakan beberapa soal
untukmu," godanya.
"Yeah," pacar Greta, Artie Hodges, menambahkan. "Kira-kira sembilan puluh
sembilan soal."
Mereka punya tugas kelompok yang harus diserahkan dalam waktu seminggu—
seratus soal trigonometri yang sulit. Reenie tidak tahu bagaimana mereka bisa
menyelesaikannya tepat waktu.
"Tidak. Hanya sembilan puluh delapan," Ty Lanford memberitahu Reenie. Ia
meluruskan tangannya di atas kepalanya, sambil menyeimbangkan kursi Reenie di
kaki belakangnya.... "Aku menyelesaikan satu soal sementara mereka berdua
berantem tentang sepatu karet Artie. Kata Artie nyaman. Greta bilang kotor."'
"Berantem, hah?" Reenie memandang Greta dan Artie sekilas.
Mereka duduk di tepi ranjangnya—Greta hampir duduk di pangkuan Artie.
"Sekarang kami sudah baikan," Artie menjelaskan, sambil melingkarkan salah satu
lengannya di pinggang Greta.
Reenie berusaha untuk tidak tertawa. Mereka tampak seperti pasangan yang
konyol. Artie mengenakan baju kotak-kotak, jins robek, rambut model buzz,
anting-anting di salah satu telinganya.
Greta memakai rok lurus dan jaket berikat pinggang, setiap helai rambut pirangnya
ditata dengan teliti, make-up-nya sempurna.
Reenie hampir tidak bisa mempercayainya, tetapi Greta dan Artie sudah berpacaran
sejak kelas sembilan. Jauh lebih lama dibandingkan ia dan Sean.
"Di mana Sean?" tanya Reenie. "Ia tidak pernah terlambat."
"Tidak bisa mulai tanpa dia," Greta mengulangi. "Ia satu-satunya orang yang
mengerti mata pelajaran ini."
"Kukira aku melihat Sean dengan Sandi Burke sepulang sekolah," Artie bercanda.
Greta memukul kaki Artie main-main. "Jangan percaya dia, Reenie. Ia mengada-
ada."
Reenie memaksa untuk tersenyum. Ia tahu Artie bercanda.
Tetapi Sandi Burke bisa membuat semua cewek merasa cemburu. Semua cowok di
Shadyside High melotot jika melihat Sandi.
Reenie tahu ia cukup cantik—tinggi dan ramping dengan rambut cokelatnya yang
panjang. Tetapi ia juga tahu bahwa ia bukan Sandi Burke. Sandi bisa menjadi gadis
sampul salah satu majalah mode Greta.
"Aku serius. Sandi bersama dia," Artie menekankan. "Sekarang kesempatanmu
untuk memacari Reenie, Ty. Lakukanlah."
"Ooooo!" seru Greta. "Kau mengerikan. Sungguh mengerikan."
Artie selalu bercanda terlampau jauh, pikir Reenie. Ia memandang Ty sekilas. Ty
tersenyum padanya, tetapi ia tampak malu-malu.
Aku bertaruh Ty tidak tahu bahwa setengah dari cewek-cewek di sekolah ingin
sekali berkencan dengan dia, pikir Reenie. Kuharap Ty bisa mendengar mereka
bicara tentang betapa imutnya dia. Ty pindah ke Shadyside bulan September yang
lalu, dan ia masih belum mengajak seorang pun berkencan.
"Terus," Artie mendesak Ty. "Pacar Reenie—"
"Ty, Sean tidak bekerja di Burger Basket hari ini, ya kan?" tanya Reenie.
Ty mengangguk. "Sean libur sampai Sabtu depan. Kami berdua sama."
Lantas kenapa Sean terlambat? Reenie bertanya dalam hati.
Ty membiarkan kursinya jatuh ke lantai dengan suara keras. Ia berpaling ke buku
trigonometri yang terbuka di meja Reenie. Dahinya berkerut.
"Akhirnya aku bisa mengerti derajat sudut," ia bergumam. "Tapi sekarang aku
harus melupakan derajat dan mulai menggunakan radian."
"Berkomplot," kata Artie. "Semua guru mengadakan rapat rahasia. Mereka mencari
cara baru untuk membuat kita menderita."
"Trigonometri adalah mata pelajaran pilihan," Ty mengulangi. "Tak seorang pun
memaksa kita mengambil mata pelajaran itu. Kukira kita tidak boleh mengeluh."
"Sebenarnya belajar mata pelajaran ini agak konyol, kalau kupikir-pikir," ujar
Artie. "Berapa banyak orang di dunia nyata ini yang mencemaskan tentang radian,
sinus, kosinus, dan hal-hal seperti itu?"
"Insinyur dong," Greta menembak balik. Nadanya kedengaran jengkel.
"Mungkin aku tak ingin jadi insinyur."
"Betul," gumam Greta. Ia melepaskan diri dari Artie. "Kau ingin bikin burger terus
seumur hidup."
Greta serius, pikir Reenie. Ia bukan sekadar bercanda.
Artie berdiri dan berjalan ke seberang kamar. Reenie melihat otot-otot di rahang
Artie menegang.
Hebat. Sekarang mereka akan mulai bertengkar lagi, pikirnya.
Reenie mencoba untuk mengingat apakah Artie dan Greta selalu bertengkar
sesering ini. Ia pikir tidak.
Artie merosot ke lantai di seberang kamar. Ia menatap karpet di depannya.
Reenie mengecek arlojinya. Mereka harus mulai—dengan atau tanpa Sean—jika
mereka ingin setumpuk tugas mereka selesai.
Bahkan trigonometri akan lebih menyenangkan daripada duduk di dalam kamar
dengan Greta dan Artie yang saling berdiam diri.
Reenie merasa kepanasan. Ia memakai sweter tebal di atas baju berleher tinggi. Ia
membuka sweter itu dan akan melemparkannya ke dalam lemarinya. Kemudian ia
mendengar suara ibunya di kepalanya.
Bukan seperti itu cara merawat barang-barangmu, Reenie. Gantungkan pakaianmu
sebagaimana mestinya. Kalau tidak, pakaianmu akan cepat rusak.
Oke, Mom, pikir Reenie, kemudian ia membuka pintu lemarinya dan meraih
gantungan baju.
Ia langsung menarik kembali tangannya. Karena sepasang mata menatapnya dari
balik pakaiannya.
Mata yang melotot. Mata yang kosong. Sebuah wajah, bergerak ke depan.
Di belakangnya Greta menjerit. Artie berteriak ketakutan.
Reenie melompat ke belakang, mengangkat tangannya untuk melindungi dirinya
sendiri. Tidak perlu.
Ia menatap mayat.
Tubuh itu jatuh tertelungkup di lantai. Seorang cowok, Reenie melihat.
Ia menatap bagian atas kepalanya. Darah yang kental, hitam, dan lengket, keluar
dari sela-sela rambutnya.
Rambut yang tidak asing.
Reenie membungkuk untuk melihat lebih dekat. Kepala itu menengok ke samping,
menampakkan wajahnya.
Wajah Sean.
"Oh, tidak!" Greta meraung. "Tidaaaakk!"
"Ia mati!" Ty terkejut. "Sean mati!"
"Bagus," "ujar Reenie.

Chapter 6
MENDOBRAK

"Aku tidak termakan gurauanmu yang konyol ini," kata Reenie. "Tidak sama
sekali."
Semua orang tertawa kecuali Sean, yang berbaring tidak bergerak di lantai.
Reenie menyepak Sean dengan jari-jari kakinya. "Kau bisa berdiri sekarang, Sean.
Kau sudah memperoleh tawamu untuk hari ini."
"Ayo, akuilah," Artie memaksa. "Kami berhasil menipumu tadi. Kami semua
melihat kau terlonjak."
"Well, yeah. Kau juga akan terlonjak seandainya ada orang keluar dari dalam
lemarimu!" Reenie menjelaskan. "Aku cuma butuh dua detik untuk mengetahui
bahwa itu lelucon konyolmu yang biasa."
Sean pelan-pelan bangkit, menyeringai. "Kukira aku melakukan gerakan jatuh
yang bagus sekali."
Reenie menghela napas. "Aku sudah terlalu sering melihatnya. Kalian perlu korban
baru untuk leluconmu yang konyol itu."
"Lelucon tadi sukses besar waktu kami lakukan pada Deena Martinson," kata Artie
kepada Reenie. "Barangkali ia sekarang masih menjerit."
"Deena tidak melihatnya beratus-ratus kali sebelumnya," jawab Reenie, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mungkin lelucon itu tidak berhasil saat ini," ujar Greta, "tapi kami pernah sukses
mengelabuimu."
"Seperti di Burger Basket," Ty mengingatkan.
"Yeah," Artie setuju, "kami berhasil mengerjai kalian di Burger Basket."
Reenie harus mengakuinya. Mereka memang mengerjai dia saat itu.
Ia mampir di restoran untuk menemui Sean sepulang kerja. Waktu ia membuka
pintu, perampok bertopeng menangkapnya dan mengatakan kepadanya bahwa ia
disandera. Reenie masih ingat rasa sarung tangan karet di mulut dan hidungnya.
Greta tertawa. "Kau menjerit saat itu!"
"Terutama ketika perampok itu membunuhku," Ty menambahkan. Ia tampak agak
malu pada dirinya sendiri. Seakan-akan ia menikmati olok-olok itu, tetapi
menyadari bahwa sebenarnya itu perbuatan kekanak-kanakan.
"Hei—jangan lupa waktu aku mengerjaimu, Greta," kata Reenie. "Di rumah Artie.
Ingat? Aku bersembunyi di bathtub hampir sejam. Airnya sudah amat dingin ketika
akhirnya kau masuk dan mendapati aku mengambang dengan tubuh tertelungkup."
Sean menyentuh noda merah yang lengket di kepalanya. "Hih!" ia mengerang,
sambil menatap jari-jari tangannya.
"Apa itu?" tanya Reenie. Untuk darah, mereka selama ini menggunakan adonan
ciptaan Artie, yaitu campuran sirup jagung, pewarna makanan warna merah,
kadang-kadang ditambah sedikit tepung agar campuran itu bisa menggumpal. Yang
ini tampak berbeda.
"Darah untuk teater," jawab Sean. "Aku membelinya di Jack's Jokes. Di
kemasannya diberitahu bahwa bahan ini bisa dibersihkan dengan air. Kuharap itu
benar. Boleh kupakai kamar mandimu?"
"Awas kalau kotor, ibuku akan membunuhmu," Reenie memperingatkan ketika
Sean berjalan menuju pintu.
"Aku tak percaya Sean membeli darah untuk teater," kata Greta. Ia menoleh
kepada Artie. "Kupikir ia harus menabung semua uangnya untuk masuk universitas
tahun depan."
Kurasa pertengkaran belum berakhir, pikir Reenie. Jika Artie memutuskan untuk
tidak melanjutkan ke universitas setelah lulus, taruhan deh, ia dan Greta akan
putus.
Sean kembali dari kamar mandi, rambutnya yang basah disisir licin ke belakang.
Ibu Reenie selalu bercanda bahwa foto berwarna Sean identik dengan foto hitam
putih. Tetapi Reenie tidak setuju. Film hitam putih akan merekam rambut Sean
yang hitam dan kulitnya yang pucat. Tetapi tidak akan memperlihatkan matanya
yang biru.
"Lebih baik kita mulai. Kita tidak ingin berada di sini sepanjang malam," desak
Greta.
Sean meraih buku-bukunya dari bawah ranjang.
Ia memikirkan segalanya, Reenie menyadari. Aku barangkali tidak akan melihat
buku-bukunya di antara barang-barang rombeng milik semua orang yang tercecer
di mana-mana. Tetapi ia toh menyembunyikannya juga.
Sambil mengawasi Sean, Reenie membayangkan darah merah yang mengusutkan
rambutnya tadi. Matanya yang melotot. Walaupun langsung tahu bahwa Sean tidak
terluka, ia tidak bisa mengusir bayangan itu dari benaknya.
Mungkin seharusnya kami berhenti memainkan permainan ini, pikir Reenie.
Mungkin seharusnya kami menghentikannya sekarang juga—malam ini—sebelum
seseorang bertindak terlalu jauh.

***

"Kita hanya menyelesaikan tujuh soal tadi malam," keluh Reenie. "Bisakah kalian
bayangkan berapa lama kita harus mengerjakan seratus soal itu?"
Pintu-pintu locker dibuka dan dibanting menutup ketika anak-anak menjejalkan
mantel mereka ke dalamnya, dan mengambil buku-buku serta catatan-catatan yang
mereka butuhkan untuk mengikuti pelajaran. Tak seorang pun terburu-buru. Masih
lima belas menit lagi sebelum pelajaran pertama dirnulai.
"Artie sangat membantu!" keluh Greta, sambil memutar bola matanya. "Ia bahkan
tidak memperhatikan."
Reenie mengangguk. Ia sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa. Artie tidak
menyumbang banyak dalam tugas kelompok itu. Dan setiap kali Artie membuka
mulutnya, Greta menyerang dia. Mengomeli Artie karena prestasinya yang
menurun. Memperingatkan Artie bahwa ia tidak akan pernah mendapat beasiswa
jika nilai-nilainya turun lebih rendah lagi. Selalu mengomelinya terang-terangan.
Greta berhenti di sebelah keran air minum. Ia mengeluarkan cermin dan
memeriksa lipstiknya. Menurut Reenie, lipstiknya sudah sempurna. Tapi toh Greta
memulasnya lagi.
"Kami bertengkar lagi setelah pulang dari rumahmu," Greta menambahkan. "Aku
tahu aku terlalu menekan Artie. Tapi ia itu kacau. Ia menghabiskan waktunya untuk
bergaul dengan Marc Bentley."
"Bukankah Marc sudah keluar dari sekolah?" tanya Reenie. Ia bertemu Marc di
beberapa pesta dan di sekitar Shadyside High. Marc sulit untuk tidak terlihat,
tubuhnya berotot dan rambutnya diikat seperti ekor kuda. Tapi Reenie tidak terlalu
mengenal dia.
"Yeah. Dan si brengsek itu juga sedang berusaha meyakinkan Artie untuk keluar
dari sekolah."
Greta memasukkan kembali lipstik dan cerminnya ke dalam dompetnya. Mereka
berjalan menuju locker mereka.
"Aku tak tahu apa yang direncanakan Artie," Greta melanjutkan. "Ia berubah
banyak akhir-akhir ini. Kadang-kadang aku benar-benar merasa dekat dengannya
dan kami mengobrol. Atau kami pergi ke Red Heat, berdansa dan bersenang-
senang seperti biasanya."
Greta ragu-ragu. "Tapi ketika ia menyebut nama Marc, atau aku menyinggung soal
universitas — kami akan bertengkar lagi. Ia tampaknya tidak peduli lagi dengan
segala sesuatu yang biasanya ia pedulikan."
Reenie bertanya dalam hati apakah itu termasuk Greta.
Mereka melewati kantor sekolah. Reenie melihat kepala sekolah, Mr. Hernandez,
sedang bicara dengan seorang wanita yang memakai mantel cokelat. Melewati
gang, seseorang membanting pintu locker keras-keras.
"Apa yang akan dilakukan Artie jika ia berhenti sekolah?" tanya Reenie.
"Marc bekerja di pabrik mobil di Waynesbridge. Katanya ia bisa memasukkan
Artie bekerja di sana juga."
"Wow. Hebat sekali!" jawab Reenie dengan tajam.
"Itulah yang kukatakan kepada Artie. Tapi ia tidak mau mendengarkan kata-kataku.
Katanya Marc punya banyak uang dan ia tidak perlu menyia-nyiakan empat tahun
di universitas untuk meraih uang itu. Keluarga Artie butuh uang karena Davy."
Davy adalah adik laki-laki Artie. Ia menderita gangguan ginjal. Keluarga Artie
harus mengeluarkan biaya pengobatan yang besar, Reenie tahu itu.
Greta menghela napas. "Marc itu benar-benar pengaruh buruk bagi Artie. Aku
harap..."
Reenie terkejut dan memegang lengan Greta. "Greta—lihat! Cewek itu! Ia
membuka locker-ku!"
Chapter 7
CEWEK BARU

SIAPA dia? Reenie bertanya dalam hati. Aku tak pernah melihat dia sebelumnya.
Ia berlari di koridor dan Greta mengikutinya.
Cewek itu sedang memutar-mutar kunci kombinasi locker Reenie, menariknya,
kemudian menyentakkannya.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Reenie tanpa bernapas ketika ia bergegas
mendatangi cewek itu. "Itu locker-ku!"
"Apa?" Cewek itu mendongak, kebingungan.
"Ini locker-ku," Reenie mengulangi.
Greta berdiri di sampingnya. Mereka berdua menatap cewek itu. Rambutnya yang
pirang tergerai melewati bahunya, dan ada bintik-bintik samar di pipi dan
hidungnya.
"Oh," jawab cewek itu, malu. "Pantas locker ini tidak bisa dibuka!" Ia tersenyum
malu-malu. "Maaf. Sungguh. Aku anak baru. Ini hari pertamaku di sini. Kupikir ini
locker yang mereka berikan kepadaku di kantor."
"Nomor berapa yang mereka berikan?" tanya Reenie.
Pendatang baru itu menarik kertas kecil dari dompetnya. "Uh, delapan puluh
sembilan."
"Itu nomor locker-ku," kata Reenie.
Cewek itu menyerahkan kertas kecil itu kepada Reenie. "Sekretaris itu menuliskan
ini."
Reenie dan Greta mempelajari kertas segi empat kecil itu.
"Ini bukan delapan puluh sembilan!" seru Greta. "Ini B-sembilan."
"Kau benar," Reenie sependapat. "Locker B di sekitar pojokan itu."
Wajah cewek itu menjadi merah. "Ini benar-benar memalukan."
"Hei—tak apa-apa," kata Reenie. "Kau hanya keliru membacanya. Bukan masalah
besar. Sori aku berteriak padamu seperti itu."
"Aku membuat lebih banyak kesalahan yang memalukan," kata Greta kepadanya.
"Kau tahu tidak, aku pernah masuk ke ruang ganti pakaian untuk cowok!"
Mereka semua tertawa.
"Namaku Reenie, dan ini Greta."
"Aku Liz."
Mereka tersenyum dan saling mengangguk. Kemudian mereka berdiri kikuk,
memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Reenie melihat seorang cowok berdiri di seberang koridor, sedang mengawasi
mereka tetapi tidak berkata apa-apa. Ia sadar cowok itu ada di sana sejak tadi.
"Itu adikku, PJ.," Liz menjelaskan.
P.J. melangkah mendekati yang lainnya.
Ia sepucat Sean, pikir Reenie. Dan kira-kira sama tingginya. Tetapi ia begitu kurus
—dan lemah.
"Hei," P.J. menggumam, sambil menunduk.
Wow, pikir Reenie, cowok ini benar-benar pemalu.
Ia punya bintik-bintik seperti kakaknya, tetapi rambutnya tidak pirang. Rambutnya
cokelat biasa. Ketika akhirnya ia menatap sekilas kepadanya, Reenie melihat
bahwa bola matanya berwarna hijau lumut tua.
Matanya bagus, pikir Reenie. Sayang jika ia menghabiskan waktunya hanya untuk
menatap tanah.
"Di mana kelasmu?" tanya Greta kepada P.J.
P.J. menarik jadwal pelajaran yang dilipat dari saku jinsnya. "Bahasa Inggris
dengan Mr. Meade."
"Ingin kutunjukkan di mana letak kelasmu?" Greta menawarkan, sambil tersenyum
hangat. "Aku ikut pelajaran Mr. Meade tahun lalu. Ia hebat jika kau tidak malas
membaca."
"Triims," gumam P.J.
"Hampir semua waktunya dihabiskan untuk membaca," goda Liz.
"Aku juga," jawab Greta.
"Kalau kau anggap majalah glamour dan Vogue sebagai bacaan juga !" seru
Reenie.
Mereka tertawa lagi—kecuali P.J.
Reenie melirik arlojinya. "Oh, wow. Hampir waktunya pelajaran pertama. Lebih
baik aku mengambil buku-bukuku. Liz, aku akan menunjukkan di mana locker-mu,
jika kau tak keberatan menunggu sebentar."
"Oke," jawab Liz. "Aku senang dibantu. Aku masih belum mengenal tempat ini."
Reenie memutar kombinasinya terlalu cepat dan harus mengulanginya lagi. Lima.
Sembilan. Dua. Kunci terbuka dengan bunyi klik. Ia membuka pintunya.
Macet.
Ia menarik lebih keras.
Masih macet. Kenapa ya? pikirnya.
Dan kemudian pintu terbuka.
Pintu itu terbentang, hampir mendorong Reenie ke dinding.
Liz berteriak dan meloncat ke belakang. Reenie menjerit.
Chapter 8
KELUAR CEPAT

SEBUAH tangan terjulur ke luar locker. Kemudian tangan satunya. Tangan-tangan


itu terjulur ke leher Reenie.
Reenie menggelengkan kepalanya. "Kurang ajar. Kapan sih kalian berhenti?"
Ty tidak bisa bergerak di dalam locker-nya—punggungnya menekan salah satu sisi,
lututnya ditekuk di atas lutut satunya. Reenie tidak percaya Ty bisa masuk ke
tempat sekecil itu.
"Kenapa kau lama sekali?" tanya Ty, terengah-engah. Ia keluar dari locker Reenie.
"Aku sekarat di sana."
"Kau tahu, Ty, aku sungguh-sungguh muak dengan gurauan yang konyol seperti
ini. Bagaimana jika kau terjepit?" kata Reenie kesal. "Bagaimana jika kau mati
lemas sebelum aku membuka pintu itu?"
"Udara bisa masuk melalui celah-celah kecil itu," Ty menjelaskan. "Aku benar-
benar membuatmu takut barusan, ya kan? Aku harus mencobanya karena tipuan
Sean tidak berhasil di rumahmu. Kau ketakutan. Ayolah, akui itu."
Reenie tidak bisa menahan senyumnya. Ty tampak begitu gembira.
"Aku terkejut, bukan takut," katanya. "Sama seperti waktu itu. Ketakutan adalah
ketika kau berjalan sendirian di malam hari, dan kau mendengar langkah-langkah
kaki di belakangmu."
"Ketakutan adalah ketika kau berada di ruangan sendirian, dan kau merasakan jari-
jari yang dingin di tengkukmu," Greta menambahkan.
"Yeah," Reenie setuju. "Itu menakutkan. Ketika sesuatu membuatmu terkejut, kau
hanya terkejut. Ketakutan lebih serius lagi."
"Dan terasa lebih lama," Greta menambahkan.
Ty mengangkat tangannya, menyerah. "Oke, oke. Aku menyerah. Kau hanya
terkejut."
"Bagaimana kau bisa masuk ke sana?" Greta ingin tahu.
Tetapi Ty tidak menjawab. Matanya terpaku pada sesuatu di koridor.
Tidak, Reenie menyadari. Bukan sesuatu di koridor. Liz. Kami semua melupakan
dia.
Liz berdiri tenang di samping bersama saudara laki-lakinya. Ty tampaknya tidak
bisa mengalihkan pandangannya dari Liz.
"Ini Ty. Ia tidak benar-benar gila. Kelakuannya normal-normal saja sampai ia
bergabung bersama kami," Reenie menjelaskan.
"Kemudian ia kecanduan tipuan konyol kami. Kami selalu berpura-pura mati.
Berusaha untuk menakut-nakuti orang sampai mati. Gila, kan?"
"Benar-benar gila," jawab Liz. Ia berpaling kepada Ty.
"Aku Liz, dan ini adikku, P.J. Kami anak baru di Shadyside."
P.J. menatap ke bawah dan tidak mengucapkan apa-apa.
"Aku juga baru," kata Ty. "Aku mulai masuk di Shadyside musim gugur ini."
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Liz.
"Oke. Aku langsung kenalan dengan mereka." Ia menunjuk Reenie dan Greta.
"Kami sering pergi bersama. Kami menikmati saat-saat yang sangat
menggembirakan."
"Agak aneh rasanya hari pertama di sekolah yang baru," Liz mengakui. "Kita jadi
kacau. Aku bahkan mencoba membuka locker Reenie dengan tidak sengaja."
Ty tetap memandang Liz. Ia tampaknya telah melupakan yang lainnya.
Kukira semua gadis yang berharap akhirnya Ty memperhatikan mereka akan
kecewa, pikir Reenie. Sekali saja ia melirik Liz, dan Ty langsung tertarik.
"Jika kau ingin, aku dapat mengantarkanmu berkeliling," Ty menawarkan.
"Oke," jawab Liz. "Kau bisa menunjukkan kepadaku di mana locker-ku, jadi tidak
harus merepotkan Reenie."
"Nomornya berapa?" tanya Ty. "B-sembilan."
"Lewat sini." Liz dan Ty tergesa-gesa berjalan di koridor, kepala mereka saling
berdekatan.
"Ayolah," kata Greta kepada P.J. "Aku akan menunjukkan di mana kelasmu."
P.J. tampaknya tidak mendengar kata-kata Greta. Ia menatap punggung kakaknya
dan Ty, matanya yang hijau terbelalak dan tidak berkedip. Mulutnya ternganga.
Napasnya tiba-tiba menjadi cepat dan terengah-engah.
"P.J., kau tidak apa-apa?" tanya Reenie.
P.J. berkedip dan mengatupkan mulutnya. Kemudian ia mengejar Reenie dan
menyusuri koridor di belakang kakaknya.
Reenie melompat mundur, memberi dia jalan, buku-bukunya terjatuh. Tubuhnya
membentur locker-locker itu.
"Reenie, kau tidak apa-apa?" teriak Greta.
"Tidak apa-apa," jawabnya, sambil menatap P.J. P.J. menyelip-nyelip di koridor
yang ramai, mendorong orang-orang yang menghalangi jalannya.
"Hei!" seseorang berteriak. "Lihat-lihat dong kalau jalan!"
Greta membantu Reenie mengumpulkan buku-bukunya.
"Ada apa sih?" tanya Greta.
Dalam hati. Reenie menanyakan pertanyaan yang sama.
Chapter 9
JALUR CEPAT

"KAU lihat siapa yang berSama Corky Corcoran?" seru Reenie.


"Ricky Shore!"
Greta mencondongkan tubuhnya di bahu Reenie dan memandang lewat kaca depan
mobil. "Mana?"
Reenie menunjuk meja di Burger Basket. "Mereka duduk dekat jendela."
"Menurutku mereka pasangan yang imut," komentar Greta. Ia menjulurkan
tangannya ke jok belakang dan meraup segenggam kentang goreng dari Sean.
"Mana mungkin Ricky Shore bisa dianggap imut?" ejek Reenie.
"Kadang-kadang kupikir ada yang benar-benar tidak beres pada dirimu, Greta."
"Aku tahu ada yang tidak beres beneran pada diri kalian berdua," Sean bergurau.
"Tidakkah kau bisa memikirkan sesuatu yang lebih asyik untuk dilakukan? Bahkan
tugas trigonometri kita lebih menyenangkan daripada hal ini."
Reenie membelalakkan matanya kepada Greta. Sean tidak pernah bisa mengerti
mengapa mereka suka nongkrong dengan mobil Sean di tempat parkir Burger
Basket, mendengarkan radio, dan mengawasi orang-orang yang keluar-masuk.
Reenie memasukkan sepotong kentang goreng ke mulut Sean.
"Kau tahu berapa banyak lemak dalam makanan ini?" tanya Greta. Ia meraup
kentang goreng lagi.
Reenie tersenyum. Greta selalu menolak membeli kentang goreng karena makanan
itu mengandung lemak. Tapi kemudian ia makan separo kentang mereka.
"Tidak," jawab Sean. "Berapa banyak?"
"Terlalu banyak," jawab Greta.
"Itu yang membuat rasanya lezat sekali," ujar Sean. "Tanpa lemak, kentang ini
rasanya akan seperti kertas."
Reenie melihat seorang cewek berambut cokelat kemerahan tergesa-gesa keluar
dari restoran.
"Apakah itu Liz?" tanya Reenie.
Gadis itu membelok dan melintasi tempat parkir.
"Bukan," kata Reenie, menjawab pertanyaannya sendiri. "Hanya orang dengan
warna rambut yang sama."
"Aku suka Liz," Greta mengomentari.
"Aku juga," Reenie setuju. "Ia menyenangkan. Kami pergi ke mal akhir minggu
yang lalu. Mereka memajang gaun-gaun model Scarlett O'Hara di jendela Butik
Baju Pengantin. Dengan rok mengembang, payung matahari, dan segalanya. Liz
berkeras agar kami mencobanya."
"Lalu kenapa aku tidak diajak?" ujar Greta.
"Karena kau dan Artie punya acara," jawab Reenie.
"Liz mengarang cerita kepada pramuniaga bahwa sepupunya di Georgia akan
menikah. Ia bahkan mencatat nomor model gaun itu dan minta agar warna
sepatunya sama dengan warna gaunnya."
"Kau tahu siapa lagi yang menyukai Liz?"' tanya Greta. "Ty. Kalau Liz ada,
ekspresi wajahnya menjadi benar-benar aneh. Seakan ia hampir meleleh."
Sean terkekeh. "Kuperhatikan ia berdiri di luar kelas pelajaran matematika hari ini
dan sikapnya biasa-biasa saja. Tapi ia tetap memperhatikan pintu. Begitu Liz
keluar, Ty menghampirinya seakan-akan hanya kebetulan sedang lewat di sana."
"Kau pikir akhirnya Ty akan mengajak seseorang kencan setelah berbulan-bulan
ini?" tanya Greta.
"Taruhan deh, Ty sedang berusaha mengajak Liz kencan," jawab Reenie.
"Kupikir mereka akan menjadi pasangan yang hebat," Greta memberi komentar.
"Mereka sempurna untuk satu sama lain."
Reenie menggeleng-gelengkan kepalanya. Greta senang meramal siapa yang bakal
menjadi pasangan dan siapa yang akan putus. Bagaimana jika Chris dan Natalie
pacaran? tanyanya. Atau Gary dan Randee?
"Sulit dipercaya Liz dan P.J. itu bersaudara," Reenie memberi komentar. "Liz itu
sangat asyik. Dan P.J. itu manusia aneh."
"Setuju," sahut Sean.
"Ia tidak seaneh itu," jawab Greta. "Kupikir ia itu manis."
Reenie mencibir. "Yeah, tapi kau pikir Ricky Shore juga manis."
"P.J. selalu bersikap sekan-akan ia sedang sakit," kata Sean. "Seperti mau pingsan."
"Aku sudah mencoba mengajak dia bicara," kata Reenie kepada mereka. "Tapi
semua jawabannya hanyalah ya atau tidak dengan suara menggumam pelan. Ia
selalu kelihatan ketakutan."
"Ia pemalu," kata Greta. "Apa salahnya? Ia baru di kota ini, di sekolah yang baru,
dan ia tidak kenal orang lain. Aku sudah bicara dengannya, dan kupikir ia baik.
Cerdas juga."
"Apakah Artie tahu ia punya saingan?" goda Sean.
Reenie tahu Sean hanya bercanda. Tetapi Greta menjawab dengan sungguh-
sungguh. "Aku suka P.J., itu saja. Maksudku, aku tidak... well..."
"Wow! Lihat!" goda Sean. "Wajah Greta merah tuh!"
Greta tidak mungkin tertarik pada cowok aneh seperti PJ., pikir Reenie. Ya, kan?
Memang benar bahwa akhir-akhir ini Artie dan Greta selalu bertengkar.
Greta menepuk bahu Reenie dan menunjuk sebuah mobil hijau.
"Lily Bancroft dan Pete Goodwin. Aku tak pernah mengira akan melihat mereka
bersama-sama."
"Coba-coba mengubah pokok pembicaraan?" tanya Sean.
Greta tidak menjawab pertanyaan Sean.
"Di mana P.J. dan Liz tinggal?" tanya Reenie.
Mereka saling berpandangan. Tak ada yang tahu.
"Orangtuanya kerja apa? Kenapa mereka pindah di pertengahan tahun?" tanya
Sean.
Tak seorang pun tahu.
Klakson berbunyi ketika sebuah mobil merah yang mengilap berhenti di sebelah
mobil mereka. Pengemudinya menderum-derumkan mesinnya.
"Mobil yang bagus," Sean mengamati. "Kedengarannya seperti V-6 yang sudah
banyak dimodifikasi. Aku bertaruh mobil itu bisa lari kencang."
"Itu Marc Bentley," kata Greta masam. "Dan Artie."
Artie menurunkan kaca jendela. "Yo! Apa kabar? Suka mobil baru Marc?"
"Bagus," kata Sean. "Pakai mesin apa?"
"V-6 dengan roda ditinggikan, katup besar,dan kepala kompresi tinggi," Artie
menyombong.
"Wow." Sean terdengar kagum.
Marc keluar dari mobil. "Ayo. Kita berkeliling." Ia menyeringai kepada Reenie.
Marc memang tampan, pikir Reenie. Ia mengucir rambutnya yang cokelat gelap
menjadi ekor kuda. Dan ia suka bekas luka samar yang melintang dari kening
sampai alis kirinya. Bekas luka itu membuat tampangnya agak sangar—dan lebih
tua, berbeda dari anak-anak SMA lain.
"Aku tidak ikut," kata Greta ketus.
Reenie menggelengkan kepalanya. "Aku harus pulang. Sudah malam."
Sean memandang Reenie dan Greta sekilas, kemudian Marc dan Artie.
"Kau tidak ingin pergi bersama mereka, ya kan?" bisik Reenie.
"Aku tidak keberatan melihat bagaimana kecepatan mobil itu," jawab Sean.
"Ayolah," Artie memanggil dengan bersemangat. "Kami akan memperlihatkan
kepada kalian apa yang bisa dilakukan mobil ini."
"Hei, tidak lama kok. Kita hanya akan mengelilingi blok ini," Marc berjanji.
"Yeah, hanya berkeliling blok," Artie mengiyakan. "Kau harus naik mobil ini
paling tidak sekali. Mobil ini sungguh-sungguh mengagumkan."
Reenie dan Greta saling bertukar pandang.
Greta mengangkat bahu dan menggangguk. "Baiklah. Hanya keliling blok."
"Oke," kata Sean kepada mereka. "Ayo pergi."
Reenie tahu bahwa Greta tidak ingin Artie keluyuran dengan Marc. Pasti Greta
berpikir Artie tidak akan macam-macam jika ia ikut, pikir Reenie.
"Masuklah," perintah Marc. "Agak berdesak-desakan. Tapi masih bisa duduk."
Mereka duduk berdesak-desakan di jok belakang.
"Kalian siap untuk naik mobil sejati?" tanya Marc. Ia melarikan mobilnya dari
pelataran parkir Burger Basket, mesinnya meraung.
Artie menoleh. "Hebat, kan?"
Marc berhenti di lampu merah. Sebuah Mustang putih berhenti di sebelahnya.
Kaca mobil itu gelap sehingga mereka tidak mungkin bisa melihat siapa yang ada
di dalamnya.
Marc meraung-raungkan mesin mobilnya, menantang Mustang itu. Pengemudi
Mustang itu memberi tanggapan dengan balas meraung-raungkan mesinnya.
Tantangan dijawab.
"Jangan," desak Greta. "Ini..."
Sebelum Greta bisa menyelesaikan kata-katanya, lampu hijau menyala dan kedua
mobil itu melesat maju, roda-rodanya berdecit-decit. Mobil Marc, langsung
mendahului Mustang itu, memperlebar jarak ketika mobil itu meluncur di jalan.
"Yes!" teriak Artie, sambil mengacung-acungkan kedua tinjunya ke udara.
Ia benar-benar sudah terpengaruh Marc, pikir Reenie. Ia duduk mepet dengan
lengan Sean.
Marc memacu mobilnya melewati lampu lalu lintas berikutnya ketika lampu itu
berubah dari kuning ke merah.
"Stop!" teriak Greta. "Pelan dong, sebelum kau membunuh kami semua."
Sean bersandar ke depan. "Tenang, Marc. Oke?"
Marc memandang para penumpangnya di jok belakang sekilas. "Kalian penakut
deh."
Artie tidak mengucapkan apa-apa.
"Mau bersenang-senang lagi?" tanya Marc.
"Aku ingin kembali," jawab Greta.
Tetapi Marc membelok ke Park Drive, melaju ke selatan, menjauhi Burger Basket.
"Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepada kalian," katanya, matanya melihat
lurus ke depan.
"Pelan dong," paksa Sean. "Kau akan ditilang."
Marc melaju melewati bundaran Park Drive. Mereka meluncur menderu-deru
melewati Gereja St. Paul. Reenie melihat tanda jalan.
Jalan Bank. Hawthorne Drive.
Apa yang sedang terjadi? tanyanya dalam hati. Mengapa ia menuju Fear Street?
"Marc, ayo dong. Bawa kami kembali," pinta Reenie.
"Hanya sebentar," Marc menekankan. "Menyenangkan lho. Janji deh."
Menyenangkan untuk Marc, pikir Reenie.
Marc belok ke kanan, ke Fear Street.
Perasaan gelisah dan ketakutan berputar-putar di perut Reenie.
Fear Sreet punya reputasi. Tempat yang harus dihindari. Tempat kejadian yang
aneh-aneh terjadi.
Cabang-cabang pohon terjalin di atas jalanan, seakan-akan pohon-pohon itu saling
menempel.
Aku jadi konyol, kata Reenie kepada dirinya sendiri. Ini kan hanya jalan. Bukan
apa-apa.
Namun sesuatu di dalam hatinya tidak setuju.
"Kau tidak percaya semua cerita konyol tentang Fear Street—ya kan?" tanya Marc.
"Beberapa kejadian buruk terjadi di sini," kata Greta pelan. "Aku melihat ceritanya
di TV"
Mereka terdiam.
Bagus, pikir Reenie. Ia tidak ingin mendengar pembunuhan-pembunuhan aneh dan
orang-orang yang hilang.
Marc membelok ke kiri. Tampaknya ia akan menuju ke kanan, ke Fear Street
Woods.
"Kau tidak boleh ke sini!" pekik Greta. "Ini hanya jalan lama untuk sepeda atau
semacamnya."
Mobil itu terguncang-guncang di sepanjang jalan tanah yang tidak rata itu.
"Apa yang akan kaulakukan?" desak Sean.
"Nanti kau akan tahu," jawab Marc.
"Yeah, kau akan tahu," Artie mengikuti.
Fear Lake bukan tempat yang ingin mereka kunjungi di malam hari dengan Marc
Bentley. Reenie berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah mau ikut
Marc lagi. Ke mana pun. Selamanya.
Marc melarikan mobilnya di jalan sempit yang tidak diaspal itu.
Jalan itu mengelilingi danau. Mesin meraung keras ketika mobil itu mulai mendaki
bukit. Reenie menatap hutan lewat jendela.
Pohon-pohon itu kelihatan tidak bernyawa. Batang-batangnya yang mati mencuat
dari salju. Marc menghentikan mobilnya setelah mereka sampai di puncak bukit.
Reenie tahu tempat ini. Mereka berada di atas danau yang beku.
Tidak jauh dari situ, di bagian kiri terhampar lereng yang curam.
"Ayo," Marc memaksa, keluar dari mobil. "Ayo bersenang-senang."
Artie meloncat ke luar dan membanting pintu mobil. Reenie, Sean, dan Greta ragu-
ragu, kemudian dengan enggan mereka mengikuti Marc dan Artie.
"Lewat sini." Marc memandu mereka melewati pohon-pohon yang gundul, salju
berderak-derak di bawah kaki mereka. Bulan yang bulat bersinar cerah. Tanpa
kesulitan Reenie bisa melihat ke mana mereka akan pergi.
Marc berhenti. "Ini tempatnya."
Mereka berdiri di tepi lereng yang curam. Di bawah mereka terhampar danau yang
membeku, permukaan tumpukan salju akibat tiupan angin bersinar keperakan
tertimpa cahaya bulan.
"Kalian harus berdiri tepat di pinggir," Marc menjelaskan. Ia melangkah sampai
beberapa inci dari pinggir lereng dan melihat ke bawah. Melihatnya saja Reenie
sudah merasa miris.
"Itu dia," seru Marc.
Tanah yang diselimuti salju itu licin. Reenie tidak punya niat untuk mendekat ke
tepi jurang. Sean dan Greta tetap di belakang, di sampingnya.
"Kalian tidak bisa melihat jika tidak mendekat," Marc menekankan. "Ayolah,
kawan-kawan—tak ada yang harus ditakuti."
Dan kemudian kakinya terpeleset. Lengannya berputar-putar ketika ia berjuang
untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Namun tidak ada yang bisa dipegang kecuali udara malam yang dingin menggigit.
Kakinya terpeleset ke dalam jurang.
Artie mencoba menangkapnya.
Terlambat.
Marc menjerit dan tubuhnya lenyap dari pandangan.

Chapter 10
ES YANG TIPIS

"MARC!" Artie meraung. "Marc! Marc! Marc!" Ia memanggil namanya berulang-


ulang dengan suara yang melengking dan kalut.
Reenie terpaku ketakutan.
Ini tidak terjadi, pikirnya. Marc tidak jatuh ke jurang.
Tetapi yang lain juga menjerit dan berteriak, wajah mereka berkerut karena terkejut
—dan panik.
Ini sungguh-sungguh terjadi, Reenie sadar. Tetapi Marc tak apa-apa. Baik. Sehat.
Ia harus baik-baik saja.
Gemetar ketakutan, dalam pikirannya melihat Marc terjatuh lagi dan lagi,
mendengar jeritannya yang terngiang-ngiang di telinganya, Reenie tidak sadar
bahwa ia bergerak.
Melangkah maju.
Melangkah ke tepian.
Untuk melihat ke bawah? Untuk memastikan Marc tidak apa-apa?
Reenie tidak menyadari bahwa ia telah berjalan. Sampai ia merasa tanah yang
pecah di bawahnya. Sampai ia melihat batu karang yang lepas dan jatuh.
Sampai ia merasa dirinya sendiri mulai tergelincir.
Ia mendengar teriakan nyaring teman-temannya. Namun suara mereka terdengar
begitu jauh sekarang.
Karena ia sedang terjatuh, tergelincir, dan jatuh berguling-guling ke bawah lereng
bukit yang bersalju.
Ia masih bisa mendengar teriakan mereka ketika tubuhnya menghantam permukaan
Fear Lake yang telah menjadi es.
"Ohhh!" Ia berteriak ketika mendarat dengan punggung duluan dibarengi suara
berdebam keras.
Napasnya terhenti. Ia berjuang untuk menghirup udara. Ia menjulurkan tangannya
ke atas ketika tubuhnya tergelincir, tergelincir di atas es, tergelincir di atas danau
yang membeku.
Dengan jantung yang berdetak keras, napasnya tersengal-sengal, terengah-engah,
Reenie mendorong tubuhnya. Es terasa kaku di bawah sepatunya.
Matanya menatap ke atas bukit dan dilihatnya Sean dan yang lainnya berlarian
turun, terpeleset, jatuh berguling-guling, memanggil-manggil namanya.
Ia merapatkan kedua telapak tangannya membentuk corong di depan mulutnya.
"Aku baik-baik saja!" teriaknya kembali. Apakah ia gemetar?
Tidak. Es di bawahnya yang bergetar. Terdengar suara berderak, memecahkan
keheningan malam musim dingin.
Es ini tipis, ia baru sadar.
Reenie diam tak bergerak. Jika aku bergerak dengan sangat pelan dan hati-hati, aku
bisa berjalan sedikit demi sedikit.
Ia melangkahkan kaki kirinya ke depan, berjuang untuk menjaga keseimbangan
tubuhnya. Ia mengembuskan napas.
Sejauh ini lancar. Tetap melangkah.
Ia memajukan kaki kanannya ke samping kaki kirinya.
Ia berhenti. Dan mendengar suara Sean yang panik, "Reenie! Berhenti!"
Karena terkejut, ia langsung mendongakkan kepalanya, kehilangan keseimbangan,
dan jatuh di atas es.
Pinggul Reenie menghantam permukaan yang keras. Ia mengaduh kesakitan.
Kemudian ia mendengar bunyi krak lagi. Lebih keras saat ini.
Lebih dekat.
Es di bawahnya jebol diiringi jeritan.
Ia tergelincir masuk ke dalam air hitam yang dingin menggigit.
Reenie mengacungkan kedua tangannya ke atas. Menggapai-gapai. Berjuang mati-
matian untuk menangkap sesuatu. Tak ada.
Ia memegang tepian lubang. Tapi es pecah di bawah jari-jarinya.
Tangannya masih menggapai-gapai, ia merasa tubuhnya ditarik ke bawah, ditelan
danau. Ia tenggelam.
Air yang dingin mengejutkan tubuhnya. Ia mengayun-ayunkan lengannya,
berusaha untuk menarik dirinya kembali ke permukaan.
Naik, naik. Ia berjuang untuk mengangkat tubuhnya ke atas.
Namun kepalanya membentur es bagian bawah.
Aku tak bisa bernapas, ia sadar.
Ia memukul-mukul es dengan kepalan tangannya. Mencakar-cakar permukaan es
itu.
Di mana lubang itu? tanyanya kepada dirinya sendiri. Di mana lubang tempat aku
terjatuh?
Di mana?
Ia tidak bisa menemukannya.
Aku terperangkap. Terperangkap di bawah es.
Pikirannya yang terakhir sebelum kegelapan menelan tubuhnya.

Chapter 11
"KUPIKIR DIA TAHU"

AKU tak bisa bernapas.


Reenie megap-megap kekurangan udara. Ia tercekik. Menelan air.
Reenie bisa mendengar suara Sean. Suaranya sangat jauh.
"Kau selamat, Reenie," kata Sean. "Kau baik-baik saja."
Ia membuka matanya dan Sean sedang membungkuk di atasnya. Wajah pemuda itu
hanya beberapa inci dari wajahnya.
"Kupikir... kupikir kau telah tenggelam." Suara Sean bergetar.
Ia meluruskan punggungnya, dan Reenie melihat Artie dan Greta di belakang Sean.
"Sean menyelamatkanmu," Greta memberi penjelasan. "Ia menggapaimu dan
menarikmu keluar. Kemudian ia memberimu napas buatan."
"Itu bagian yang menyenangkan," Sean bercanda. Tetapi Reenie memperhatikan
suaranya masih belum tenang betul.
Reenie memaksa untuk berdiri. "Bagaimana keadaan Marc? Apakah ia selamat?"
"Aku di sini." Suara yang pelan terdengar di belakangya.
Reenie menoleh—dan urat-urat di pelipisnya berdenyut-denyut.
Marc menangkap pandangannya. "Sori," gumamnya. "Itu hanya lelucon yang
konyol."
"Dan Artie membantu Marc merencanakan itu!" Greta menyela dengan marah. "Ia
menceritakan kepada Marc tentang lelucon-lelucon yang saling kita mainkan, dan
mereka merencanakan semua ini."
"Hei, ayolah, guys. Kami tidak bermaksud melukai siapa pun," Artie menegaskan.
"Aku dan Marc sering menuruni bukit itu—hanya untuk bersenang-senang. Seperti
seluncur salju yang hebat. Ketika Marc pura-pura jatuh, ia hanya menyelinap ke
baliknya."
Artie menoleh kepada Greta. "Kami tak pernah meluncur sebegitu jauh di atas es.
Sungguh. Aku tidak tahu apa yang terjadi...."
Suaranya semakin lemah.
"Bisakah kau berdiri?" tanya Sean kepada Reenie;
Reenie merintih. "Akan kucoba."
Sean meraih tangannya dan pelan-pelan menariknya berdiri.
Kaki Reenie gemetar, tapi ia berusaha berdiri tegak.
"Berikan mantelmu," Sean memerintahkan kepada yang lain. "Reenie kedinginan"
Sean melepaskan mantelnya sendiri dan membungkus tubuh Reenie dengan
mantelnya. Kemudian ia melapiskan mantel-mantel yang lain di atasnya.
Ketakutan menjalar di sekujur tubuh Reenie. Ia tidak bisa merasakan tangan dan
kakinya. Semuanya mati rasa.
Sean melingkarkan lengannya di pinggangnya. "Ayo kuantar pulang jadi kau bisa
ganti baju kering dan menghangatkan badanmu."
Greta bergegas ke samping Reenie dan memegang lengannya.
"Wow. Aku senang kau tidak apa-apa. Aku sungguh-sungguh ketakutan," kata
Greta kepadanya.
"Ikuti aku," kata Artie. "Ada tempat di sekitar sini di mana kita bisa naik ke atas."
Gigi Reenie gemeletuk saat ia sampai ke mobil. Marc menyetel pemanas mobil
sampai maksimal, tapi tubuhnya masih tidak berhenti gemetar.
Aku punya firasat yang sangat kuat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi jika
kami masih tetap memainkan lelucon-lelucon yang konyol satu sama lain, Reenie
ingat. Tentu saja, sesuatu yang buruk telah terjadi padaku.
Nah, apakah ini akhir dari semua itu?

***

"Sean memanggilmu karena ia tahu jika kau tetap berjalan, es itu akan pecah," kata
Greta kepada Reenie di kafetaria keesokan harinya. "Ketika kau jatuh, ia berbaring
di es.Kemudian ia menggeliat-geliat sedemikian rupa dan merayap ke lubang itu
supaya bisa meraih dan menarikmu."
Greta menggigil. "Aku sangat ketakutan. Dan kami tidak bisa menolong dia. Kami
takut es itu akan pecah jika kami terlalu dekat."
Reenie makan salad-nya sedikit. "Aku hampir tidak bisa mempercayai itu benar-
benar terjadi," katanya kepada Greta.
"Well, itu terjadi. Dan itu, kesalahan Artie."
Reenie melihat Sean membawa nampan makan siangnya. Ia melambaikan
tangannya dan menunjuk kursi kosong di depannya.
"Artie kan tidak tahu aku akan tergelincir dan jatuh," Reenie mengingatkan
temannya. Sean duduk di samping Greta.
"Tetap saja itu perbuatan yang mengerikan," Greta ngotot.
"Apa?" tanya Sean. Ia menyendok segarpu penuh makaroni dan keju warna jingga
menyala.
"Greta sangat geram pada Artie karena peristiwa kemarin," jawab Reenie.
"Itu kecelakaan," Sean memprotes.
Greta meloncat berdiri.
"Aku akan membeli es krim," kata Greta. "Aku akan segera kembali."
Ia pasti sangat marah, pikir Reenie. Greta hampir tidak pernah makan makanan
pencuci mulut. Tapi jika ia merasa jengkel, cokelatlah yang selalu ditujunya.
"Apa persoalannya?" tanya Sean.
"Greta dan Artie selalu bertengkar," kata Reenie kepada Sean. "Greta benci sikap
Artie setelah ia keluyuran dengan Marc Bentley. Greta takut Artie mungkin
berhenti sekolah dan mencari pekerjaan di tempat Marc bekerja."
"Itu bisa terjadi, kukira. Keluarga Artie butuh uang saat ini. Tapi Artie tidak
menyebut-nyebut akan berhenti sekolah kepadaku." Sean menyendok lebih banyak
makaroni dan keju.
Reenie memainkan salad-nya, mendorong seledri dan wortel ke pinggir piring
dengan garpunya. Ia tidak lapar. Ia tetap ingat kepanikan ketika jatuh dan ketika
berjuang ke permukaan Fear Lake—dan membentur dinding es.
Ia tidak bisa menyingkirkan ingatan itu dari benaknya.
Reenie memandang Sean sekilas dan mendapati Sean sedang menatap sesuatu
lewat bahunya dengan ekspresi wajah yang aneh.
"Coba lihat," gumamnya.
Reenie menoleh dan melihat ke sekeliling ruangan. Pertama-tama ia tidak bisa
menangkap apa yang dimaksud Sean. Kemudian ia melihat Greta dan P.J. sedang
berdiri berdekatan di belakang ruang makan siang. Begitu asyiknya mengobrol
sehingga tampaknya mereka tidak menghiraukan apa pun selain diri mereka
sendiri.
Sean memandang Reenie lagi. "Aku tak percaya," bisiknya. "Greta dan P.J.
Pasangan yang super aneh."
"Greta suka cowok yang aneh. Apa yang bisa kukatakan?" Reenie sengaja
menengok untuk melihat sekilas Greta dan P.J. Greta sedang tertawa keras, dan P.J.
tampak senang.
"Kupikir Artie dan Greta akan berbaikan lagi," kata Reenie. "Mereka sudah
pacaran lama sekali."
"Mungkin," Sean sependapat. "Tapi Artie tidak akan senang jika ia melihat Greta
bergenit ria dengan cowok lain."
"Uh-oh," bisik Reenie. "Kupikir Artie tahu." Reenie menggangguk ke pintu ganda
yang besar di depan kafetaria.
Artie berdiri di sana, menatap ke seberang ruangan, ke arah Greta dan P.J.
Tangannya dikepalkan menjadi tinju. Wajahnya tegang karena marah.
Reenie menutup mulutnya dengan tangannya ketika melihat Artie tiba-tiba berjalan
menghampiri Greta dan P.J.
Tolong jangan melakukan tindakan yang bodoh, pinta Reenie dalam hati.

Chapter 12
BAHAYA DI DEPAN

"HARUS kuhentikan dia," kata Sean kepada Reenie. Ia melompat berdiri dan
bergegas menghampiri Artie.
Reenie tetap memandang Greta. Greta belum melihat Artie. Dengan lembut ia
menyibakkan rambut P.J. yang jatuh di keningnya dan tersenyum pada pemuda itu.
Reenie berbalik ke arah Artie. Sean sedang menenangkan Artie.
Tangan Artie terjuntai di samping tubuhnya. Wajahnya kembali biasa.
Kemudian Sean menepuk pundaknya, lalu Artie berputar dan berjalan ke luar
kafetaria itu lewat pintu ganda.
Sean tahu apa yang harus dikatakan kepada Artie, pikir Reenie.
Tapi aku bertaruh Greta dan Artie akan bertengkar hebat nanti setelah mereka
berduaan. Kuharap aku tidak ada di dekatnya untuk menyaksikan pertengkaran itu.
"Kupikir Artie akan mengamuk!" seru Sean ketika ia duduk di seberang Reenie.
"Kukatakan kepadanya bahwa ia akan kelihatan seperti orang tolol jika berkelahi di
ruang makan siang."
"Wow. Artie kelihatan menakutkan," kata Reenie. "Aku tak ingin Artie marah
padaku!"
Bel berbunyi. Sean menghabiskan sodanya.
"Ingat, aku tak bisa mengantarmu pulang hari ini," katanya kepada Reenie. "Aku
akan rapat klub catur."
***

Bukan cuaca yang tepat untuk berjalan kaki, pikir Reenie setelah pelajaran yang
terakhir. Gelap dan lembap. Barangkali salju akan turun sebelum aku sampai di
rumah.
Ia berjalan di lapangan parkir untuk siswa, sambil berharap bisa bertemu dengan
seseorang yang akan memberinya tumpangan.
Napasnya tercekat ketika ia merasa tangan yang dingin dan basah mencekik
lehernya. Ia berbalik dan melihat Liz sedang menyeringai.
"Sori, aku tak bisa menahannya," kata Liz.
"Kau tidak kedinginan?" tanya Reenie. Semua kancing jaket Liz terbuka. Dan ia
tidak memakai sweter—hanya blus tipis.
"Tidak," jawab Liz. "Aku suka dingin."
Reenie-benci hari-hari musim dingin yang kelabu. Musim dingin seolah mencuci
semua benda hingga tanpa warna.
Semuanya kecuali rambut Liz, Reenie memperhatikan. Aku rela mati untuk punya
rambut seperti itu, pikirnya. Warna tembaga yang luar biasa itu.
"Aku mendengar apa yang terjadi padamu kemarin!" seru Liz. "Wow.
Mengerikan."
"Sungguh menakutkan," kata Reenie. "Bagaimana perkembanganmu dan P.J. di
Shady-side?" tanyanya, mengubah pokok pembicaraan. Ia tidak ingin mengingat
kembali kecelakaan itu.
"Hebat," kata Liz. "Sulit dipercaya yang kukenal cuma P.J. sebulan yang lalu."
Reenie merasa sulit untuk mempercayainya juga. Liz menjadi teman akrabnya.
Reenie merasa seakan-akan ia telah mengenal Li lebih lama daripada hanya
sebulan.
"Well, kurasa P.J. tidak segembira aku," Liz mengakui. "Ia sangat kikuk dan
pemalu. Sulit baginya untuk mendekati seseorang."
"Aku tahu," komentar Reenie.
"Itu bukan benar-benar kesalahan P.J., kau tahu," kata Liz.
Tidak yakin apa yang harus dikatakan, Reenie tidak memberi tanggapan. Mereka
mulai melintasi tempat parkir, menyelip di antara Jeep dan Chevy tua.
"P.J. tidak sehat," Liz melanjutkan.
"Kenapa dia?"
"Ia itu lemah. Ia tidak bisa melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan fisik."
"Mungkin seharusnya ia berolahraga atau semacamnya—meningkatkan
kekuatannya," Reenie menyarankan.
"Kau tidak mengerti. Ia menderita lemah jantung. Ia tidak bisa mengerjakan yang
berat-berat. Ia dibebaskan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga."
"Seberapa... seberapa berat sakitnya?"
"Ia baik-baik saja selama tidak melakukan kegiatan fisik."
Reenie merasa bersalah karena selama ini ia menduga yang tidak-tidak mengenai
sikap P.J. Ia memutuskan untuk berusaha membuat P.J. merasa lebih betah di
Shadyside High.
"Greta dan P.J. tampaknya sering mengobrol," kata Reenie.
"Kuharap P.J. akan mengajak Greta kencan. Tapi aku takut P.J. terlalu pemalu. Ia
tidak pernah meningkatkan keberaniannya untuk mengajak cewek berkencan."
"Ia tidak pernah kencan—sekali pun?" tanya Reenie, heran.
"Belum pernah. Tapi jangan beritahu orang lain, oke? P.J. akan merasa sungguh-
sungguh tidak enak jika berita itu menyebar."
"Tentu," Reenie berjanji. "Kupikir akan baik bagi P.J. untuk berkencan dengan
seseorang," Reenie melanjutkan dengan pelan. "Tapi Greta masih berpacaran
dengan Artie, jadi..."
Reenie mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya dan berbalik. Ia melihat
Ty sedang bergegas menghampiri mereka.
"Hei. Mau ke mana kalian?" panggilnya dengan terengah-engah.
"Tidak ke mana-mana," jawab Liz.
Ty punya mobil, pikir Reenie. Akhirnya. Tumpangan.
"Liz...," Ty ragu-ragu.
"Uh-huh?"
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Oh, tidak, pikir Reenie. Akhirnya Ty memutuskan untuk mengajak Liz berkencan,
dan aku berdiri di sini seperti kambing congek.
Ia melihat arlojinya. "Eh, aku harus pergi nih. Sampai jumpa lagi, oke?"
"Oke," jawab Liz. "Sampai jumpa besok."
"Sampai nanti," kata Ty.
Reenie berjalan lebih jauh di tempat parkir. Tempat parkir ini cepat sekali kosong,
pikirnya. Tidak adakah seseorang di sini yang bisa kutebengi?
Sebuah mobil merah berdecit-decit berhenti di depannya. Mobil merah Marc
Bentley.
Aku lebih senang membeku sampai mati daripada naik mobilnya, kata Reenie pada
dirinya sendiri.
Artie menurunkan kaca jendela mobil itu. "Reenie—yo! Lihat apa yang kunaiki.
Mau nebeng?"
"Tidak, trims," teriak Reenie. Meskipun tanpa Marc di belakang kemudi, ia tidak
ingin naik mobil merah itu lagi. "Kupikir aku akan jalan kaki saja. Aku perlu
olahraga."
"Badai akan tiba," Artie memperingatkan. Angin mengembuskan udara yang
dingin menggigit. Ia gemetar, rasa dingin itu mengingatkan dia tentang kejadian
tadi malam. Air Fear Lake yang sedingin es.
Tahu bahwa ia akan tenggelam.
"Masuklah," Artie memaksa.
Reenie melihat sekilas ke sekeliling lapangan parkir itu. Artie satu-satunya
kesempatanku untuk nebeng.
"Oke," jawab Reenie dengan enggan. Ia masuk ke dalam mobil.
"Di mana Greta sore ini?" tanya Reenie.
Artie cemberut.
Pertanyaan tolol, pikir Reenie. Bodoh, tolol, dungu.
"Greta membawa mobilnya sendiri hari ini," jawab Artie dengan gigi dikatupkan.
Ia melesat dari jalan keluar dan mobil meraung menjauhi sekolah.
Coba aku tahu itu, pikir Reenie. Aku bisa nebeng Greta pulang.
Reenie sadar bahwa ia hampir tidak bicara dengan Greta sepanjang hari ini—hanya
beberapa menit di kafetaria.
Artie menekan pedal gas. Reenie memeriksa apakah sabuk pengamannya sudah
dikencangkan. Cara Artie menyopir mobil itu membuat dia ketakutan.
Artie berhenti di depan lampu merah. "Hei, Reenie..."
"Apa?"
"Tadi malam... kau tahu.. Aku tak bermaksud menbuatmu jatuh."
Reenie menghela napas. "Aku tahu."
"Aku ingin berjalan di salju dengan Sean. Menolong menarikmu ke atas. Tapi kami
berpikir bahwa es itu mungkin pecah lebih parah."
"Aku tahu itu, Artie."
"Bagus. Lihat ini." Lampu hijau menyala. Artie menekan pedal gas. Roda-roda
berdecit ketika mobil yang kuat itu melaju ke depan.
"Artie, jangan!"
"Tak apa-apa, Reenie!" teriak Artie. "Aku bisa menyopir lebih baik daripada
Marc!"
Artie memacu mobilnya ke persimpangan jalan yang lain. Klakson meraung.
Roda-roda berdecit.
"Awas!" jerit Reenie.

Chapter 13
JANGAN P.J.!
JERITAN Reenie seperti tersangkut di tenggorokannya.
Ia mendengar besi menghantam besi. Kaca hancur berserakan.
Mobil berpusing, membantingkan tubuhnya ke pintu.
Ia mendengar seseorang menjerit. Jauh.
Ia merasakan sabuk pengamannya menjepit perutnya pada saat ia terlempar ke
depan. Kemudian ia terpental balik ke tempat duduknya dengan tiba-tiba.
Reenie merasakan darah mengalir di mulutnya. Tajam dan asin.
Aku menggigit lidahku, ia sadar. Itu saja. Aku cuma menggigit lidahku.
Mobil itu bergetar lalu berhenti.
"Kau tidak apa-apa?" Artie mengerang.
"Yeah—kukira begitu." Reenie melihat ke luar jendela. Ia tidak bisa melihat
dengan jelas. Retak-retak di kaca itu seperti jaring laba-laba yang besar.
Ia mendorong pintu hingga terbuka dan membungkuk ke luar.
Rasa masam dan tajam terasa di bagian belakang kerongkongannya. Ditelannya
ludahnya.
Mobil hijau itu menabrak pintu belakang. Tepat di sampingku, pikir Reenie.
Setengah meter dari tempat aku duduk.
Pelan-pelan Reenie keluar dari mobil. Kakinya terasa seakan-akan ia telah lari
naik-turun bangku di gedung olahraga seratus kali.
Kakinya tidak mau berhenti gemetar.
Artie buru-buru menghampiri Reenie. "Oh, wow!" Artie mengerang, sambil
menatap pintu mobil yang penyok itu. "Marc akan membunuhku."
Di mana pengemudi mobil itu? tanya Reenie dalam hati.
Kemudian ia melihat pengemudi itu. Masih di dalam mobil. Bayangan yang gelap
menelungkup di atas setir mobil.
"Hei, kau tak apa-apa?" panggil Reenie. Pengemudi itu tidak menjawab. Tidak
bergerak.
"Kau tak apa-apa?" panggil Reenie lagi. Oh, tidak. Kuharap ia tidak terluka, pikir
Reenie. Ia tergesa-gesa menuju mobil itu dan merenggut pintunya hingga terbuka.
Dengan lembut ia menarik pengemudi mobil itu dan menyandarkan kembali ke
joknya.
Ia amat terkejut.
"Hah?" teriakan keluar dari bibirnya ketika ia melihat wajah pengemudi itu.
P.J.! Pengemudi mobil itu P.J.
Reenie ingat apa yang dikatakan Liz—tentang penyakit jantung P.J. Reenie
memeriksa denyut nadi PJ.
"Ayo, sadarlah. Ayolah!" pintanya.
Mata P.J. berkedip terbuka dan ia menoleh ke Reenie.
"Kau terluka?" teriak Reenie.
Tapi P.J. tidak menjawab. Ia kelihatan bingung sekali. Hampir tidak sadar.
"Oh, tidak, aku tak percaya ini!" teriak Artie, sambil berjalan di samping Reenie.
"Artie—ia terluka," kata Reenie.
"Kau bajingan!" bentaknya kepada P.J. "Lihat apa yang telah kaulakukan! Kau
menabrakku. Marc akan membunuhku!"
P.J. tidak bereaksi.
Reenie melihat ia masih pusing.
Artie menghantam bagian samping mobil itu dengan tinjunya.
"Lampu merah kau terus jalan!" jeritnya. "Apakah kau tidak tahu cara menyopir
mobil? Kenapa sih kau ini!"
Reenie menyelinap di antara Artie dan P.J. "Sabar dong," desaknya,"Kumohon."
Artie merenggut bahu Reenie. Ditatapnya Reenie, sorot matanya dingin. "Kenapa
semua orang selalu melindungi dia?" tanyanya setengah menuntut. "Apa sih
istimewanya P.J.?"
Jari-jari Artie menekan kulitnya. Reenie bisa merasakan napasnya yang panas di
wajahnya. "Hah, Reenie? Kenapa semua orang menyayangi si P.J. kecil ini?"
Reenie tidak menjawab. Ia menatap balik Artie. Ia tahu jika Artie memutuskan
untuk menghantam PJ., ia tidak akan mampu menghentikannya.
Artie, jangan ganggu P.J., pikirnya. Jangan ganggu dia. Bukan salahnya kalau kau
dan Greta selalu bertengkar.
Klakson berbunyi di belakang mereka—keras dan panjang.
Artie melepaskan Reenie dan berjalan pergi, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Wow! Hampir saja, pikir Reenie. Ia lega ketika melihat Artie masuk ke mobilnya
lagi.
Artie mengeluarkan kepalanya di jendela. "Aku tak akan melupakan ini, P.J.!"
teriaknya. Kemudian ia memacu mobilnya, roda-rodanya berdecit-decit.
Reenie berpaling ke P.J. "Kau tak apa-apa?" tanyanya pelan.
P.J. menggangguk. Matanya tampak lebih jernih. "Seperti biasa," jawabnya muram.

***

"Marc pasti akan marah besar karena mobilnya ditabrakkan Artie," kata Greta
kepada yang lain keesokan harinya saat makan siang.
"Aku tidak menyalahkan Marc," gumam Sean.
"Itu bukan kesalahan Artie," Reenie mengingatkan mereka.
"P.J. tetap jalan walaupun lampu sudah merah."
Reenie memperhatikan Liz menatap piringnya.
Liz yang malang, pikirnya. Pasti berat punya adik seperti P.J. Ia pasti harus
menjaga dia sepanjang waktu.
Reenie menatap Liz sekilas. Ty sedang mencondongkan tubuhnya ke dekat Liz,
membisikkan sesuatu yang membuat Liz tersenyum kecil. Reenie tersenyum juga.
Akhirnya Liz dan Ty jadi juga, pikirnya. Sekarang mungkin Liz tidak akan
mencemaskan P.J. sepanjang waktu.
"Semenjak Artie mulai keluyuran dengan Marc, sikapnya menjadi gila," Greta
mengeluh. "Sepertinya Marc telah mengubahnya menjadi orang lain."
"Apakah mereka masih berteman?" tanya Ty. "Maksudku, setelah Artie
menghancurkan mobilnya dan semuanya?"
"Aku tak tahu pasti," jawab Greta.
"Mungkin mereka tidak keluyuran lagi," Liz memberi pendapat.
"Aku ragu kejadian itu akan menimbulkan perbedaan," jawab Greta. "Artie
tampaknya tetap aneh." Ia menggigit wortelnya, kemudian membuangnya ke
bawah. "Oke, siapa punya cokelat?" pintanya.
Reenie mengulurkan kue cokelat yang tinggal separo.
Sean berdeham. "Aku punya pengumuman penting."
Kami bisa mulai topik pembicaraan baru, pikir Reenie. Segalanya yang tidak
menyangkut P.J., Artie, atau Marc.
"Orangtua Reenie akan pergi selama beberapa hari," Sean mengumumkan. "Aku
sedang berusaha untuk membujuk Reenie supaya mengadakan pesta Natal."
"Hei, asyik!" seru Ty.
"Yeah, ide yang bagus!" Greta setuju.
"Aku akan hadir," Liz menambahkan.
"Semua sepakat," seru Sean. "Semua orang menganggap kau seharusnya
mengadakan pesta itu."
"Aku akan memikirkan usul kalian," kata Reenie kepada mereka. "Tapi—aku
belum yakin—"
"Ayolah, Reenie," desak Greta. "Kau tidak boleh membiarkan kesempatan yang
bagus seperti ini berlalu begitu saja."
Mereka semua menatap Reenie, menunggu jawabannya.
Reenie tadinya mengatakan kepada Sean bahwa ia "mungkin" akan bikin pesta.
Tapi ia juga ingin mengadakan pesta seperti yang diinginkan teman-temannya itu.
Ia bersedia melakukan apa pun yang akan membantu mengembalikan semuanya
menjadi normal kembali.
"Oke," jawab Reenie sambil tersenyum. "Kita adakan pesta itu."
"Siapa yang akan kauundang?" tanya Greta.
Sebelum Reenie bisa menjawab, Sandi Burke lari menghampiri meja mereka.
"Cepat ke ruang angkat besi," seru Sandi. "Cepat!"
Reenie merasa hawa dingin menjalar di punggungnya. Sesuatu yang lain telah
terjadi, ia tahu. Sesuatu yang buruk.
"Ada apa?" tanya Sean kepada Sandi.
"Apa yang terjadi?" Liz ingin tahu.
"Lekaslah ke ruang angkat besi," jawab Sandi, matanya terbelalak ketakutan.

Chapter 14
CIUMAN KEMATIAN

REENIE meloncat dan lari sepanjang koridor menuju ruang olahraga. Sean
merenggut salah satu daun pintu ganda yang besar itu hingga terbuka, dan mereka
semua berlarian ke ruang angkat besi.
"Mundur!" hardik Pelatih Wilkins keras ketika mereka berdesak-desakan di dalam.
Reenie melihat wajah pelatih itu tampak waswas.
Ia berjinjit, mencoba mengintip di antara Pelatih Wilkins dan kerumunan anak
yang berdesak-desakan di ruangan yang kecil itu.
Ia berteriak ketika melihat Artie terbaring di samping bangku angkat besi. Artie
telentang, lengan dan kakinya terentang. Tubuhnya tidak bergerak.
Apakah ini lelucon lagi? tanya Reenie dalam hati. Tidak.
Pelatih Wilkins tidak akan mau terlibat dalam salah satu lelucon kami yang konyol
ini.
"Artie!" jerit Greta. Ia menerobos kerumunan itu, mencoba memeluk Artie.
Pelatih itu memegang lengan Greta. "Sudah kubilang mundur!" bentaknya. "Ia
perlu udara."
Reenie berpaling kepada Sandi. "Apa yang terjadi?"
Kata-kata Sandi mengalir cepat. "Kami sedang mengobrol di ruang ini, aku dan
Artie. Ia mulai membual tentang berapa berat beban yang bisa diangkatnya—kau
tahu, di bangku tekan atau apa pun namanya alat itu—dan aku tidak mempercayai
bualannya. Katanya ia akan memperlihatkannya kepadaku. Dan Artie minta tolong
kepada P.J. untuk mengangkat beban itu seandainya sesuatu yang tak diharapkan
terjadi. Kau tahu. Menjadi pengawasnya. Kupikir Artie ingin membuat P.J. malu.
P.J. tak akan pernah bisa mengangkat beban seberat—"
"Tapi apa yang terjadi pada Artie?" tanya Greta tidak sabar.
"Artie tidak kesulitan waktu mengangkat barbel dari tempatnya," Sandy
menjelaskan. "Tapi kemudian ia tidak bisa mengembalikan barbel itu kembali ke
tempatnya. Lengannya tidak tahan. Ia berteriak minta tolong, tapi P.J. tidak tahu
apa yang harus dilakukan, atau ia tidak cukup kuat—atau entah kenapalah. P.J.
menjatuhkan barbel itu di tubuh Artie. Artie jatuh dari bangku, dan barbel itu
menimpa dia!"
Artie merintih.
Ia masih hidup! kata Reenie pada dirinya sendiri. Ia merangkul bahu Greta.
"Mana yang sakit?" Reenie mendengar Pelatih Wilkins bertanya.
"Semuanya," Artie merintih. Ia bersusah payah untuk duduk.
"Aku akan mencari bajingan kecil itu, P.J.," ancamnya.
"Kau harus tetap berbaring. Dokter masih dalam perjalanan ke sini," kata pelatih
itu kepadanya. "Kalian berdua seharusnya sudah tahu, lebih baik jangan main-main
di sini tanpa pengawasan."
Reenie melihat ke sekeliling ruang angkat besi itu. Ia melihat P.J. sedang duduk
bersandar di dinding sambil menatap lantai. Liz berlutut di sampingnya, wajahnya
kelihatan gusar.
"Aku kasihan pada PJ.," ujar Greta. "Ia hanya berusaha menolong. Artie
seharusnya tidak minta bantuan dia. Seharusnya ia tahu kalau PJ. tidak bisa
melakukan pekerjaan seperti itu." Greta bergegas menghampiri P.J. dan Liz.
Wow, pikir Reenie. Itu bukan cara untuk meredakan kemarahan Artie. Ia akan
meledak seandainya melihat Greta di sana dengan P.J.
Sekarang saja Artie sudah cemburu sekali.
"Jangan coba-coba berdiri sampai aku kembali," perintah Pelatih Wilkins. "Kau
mengerti, Artie?"
Artie mengangguk. Tapi begitu pelatih itu meninggalkan ruangan, Artie bangkit
dengan susah payah.
Reenie tahu saat ketika Artie melihat P.J. Wajahnya berubah merah padam, sama
seperti setelah mobilnya tabrakan.
Tak ada yang bisa menghentikan dia untuk menghampiri P.J. saat ini, pikir Reenie.
Tak ada.
"He, bangsat kecil!" teriak Artie. "Apa yang ingin kaulakukan—membunuhku?"
"Ayolah, Artie," Greta memohon.
"Jangan ganggu dia." Liz melompat bangkit dan berdiri di depan P.J. seakan-akan
melindungi dia.
"Jangan ganggu P.J. kecil yang malang ini," Artie menirukan dengan kesal. "P.J.
kecil malang yang mencoba membunuhku."
"Itu kecelakaan!" teriak Greta: "Hanya kecelakaan. P.J. tidak cukup kuat untuk
mengangkat beban seberat itu dan kau tahu itu."
Kemudian Greta menambahkan dengan suara yang lebih tenang dan lebih manis,
"Ayolah, Artie. Kecelakaan kan bisa saja terjadi."
"Yeah, betul," kata Artie dingin. Ia menatap P.J. tajam. "Kecelakaan memang bisa
saja terjadi."
Dengan menggeram keras Artie menerjang P.J.
P.J. cepat-cepat berdiri. Dengan panik ia melihat ke sekeliling ruangan itu.
Greta melemparkan tubuhnya di antara P.J. dan. Artie. "Jangan sentuh dia!"
Tindakan yang bodoh, Greta, pikir Reenie. Sekarang Artie akan makin mengincar
P.J.
"Melindungi pacar barumu yang kecil ini? Betapa manisnya!" Artie berusaha
memutari Greta untuk menangkap P.J. Tapi Greta menghalang-halangi jalannya.
Pelatih Wilkins menghambur masuk. "Berhenti," perintahnya.
Ia berjalan menghampiri Artie dan mencengkeramnya dengan kasar.
"P.J., pergi ke kelasmu," perintah pelatih itu. "Kalian semua juga. Pertunjukan
sudah selesai. Dokter ingin memeriksa Artie. Tanpa penonton."
Liz dan Greta berjalan di samping P.J. ketika mereka semua sudah keluar dari
ruangan.
Reenie memandang Artie lagi. Mata Artie tertuju ke P.J., otot-otot di rahangnya
tampak tegang. Ini belum berakhir, pikirnya. Ini sama sekali belum berakhir.

***

"Sori aku terlambat, guys," gumam Artie. Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang


Reenie di samping Greta dan meneguk Diet Coke Greta. Kemudian ia
mencondongkan tubuhnya dan mencium Greta lama sekali.
Menarik, pikir Reenie. Kukira mereka sudah berbaikan—untuk yang sejuta kali
semenjak mereka mulai pacaran.
"Bagaimana kau bisa terlambat? Kau menemukan sesuatu yang lebih kausukai
daripada belajar trigonometri?" Sean bercanda.
"Aku ingin mengikuti latihan angkat besi. Aku bolos kemarin," Artie memberi
penjelasan.
"Latihan angkat besi?" tanya Greta. Nadanya tidak begitu senang. "Setelah apa
yang terjadi di sekolah tadi siang? Kupikir kau sudah tidak ikut angkat besi."
"Yeah," kata Artie. "Tapi bukan di sekolah. Marc punya perlengkapan angkat besi
sendiri—lebih bagus daripada yang di ruang olah-raga. Aku berlatih di sana
sekarang."
"Kukira Marc marah sekali karena mobil barunya rusak!" seru Greta.
"Akhirnya Marc tidak marah lagi. Ia sadar itu kesalahan P.J. Semua kejadian buruk
yang menimpaku karena manusia itu. Si pembawa bencana. Tidak aman dekat-
dekat dia."
Reenie memperhatikan Greta tidak membela P.J. Ia pasti tidak ingin memulai
pertengkaran lagi, Reenie memutuskan. Aku tidak menyalahkan Greta.
"Well, kita semua sudah di sini kecuali Ty," ujar Reenie "Ia meneleponku untuk
memberitahukan bahwa ia akan kencan dengan Liz nanti malam. Ia berusaha untuk
bersikap biasa-biasa soal ini. Tapi bisa kukatakan bahwa ia pikir kencan ini
masalah yang penting."
"Perlu waktu yang cukup lama buat Ty," komentar Artie.
"Akhirnya ia kencan juga. Hebat," kata Greta. "Kan sudah kubilang mereka itu
pasangan yang sempurna."
Sean menghela napas. "Bisa kita lanjutkan ke soal berikutnya? Kita bisa
mendiskusikan kehidupan cinta Ty nanti."
"Tidak. Kita punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan lebih dulu," jawab
Reenie.
Artie memandang Reenie. "Maaf, apa itu?"
"Kita harus memutuskan siapa yang harus diundang ke pestaku!" Reenie
menjelaskan. Ia mengambil notes dan pensil. "Ayo. Sebutkan beberapa nama."
Greta tertawa. "Itu jauh lebih penting daripada trigonometri,"
Greta setuju. "Bagaimana dengan Deena Martinson?"
"Corky Corcoran," Sean merekomendasikan.
"Dan Julie Prince," tambah Greta.
"Hei," kata Reenie, "apakah kalian tidak melupakan sesuatu? Kita harus
mengundang beberapa cowok juga. Bagaimana jika Gary Brandt?"
"Bobby Newkick," seru Sean.
"Tidaaak!" Reenie dan Greta mengerang serentak.
"Kalau begitu dia tidak diundang," Sean menarik kesimpulan.
"Tunggu—aku tahu!" seru Greta. "Reenie, kau harus mengundang—"
Artie menyela, "Pilihan utamaku adalah P.J."
Mereka semua menatap Artie.
Artie menyeringai.
"Kau harus mengundang P.J," Artie menekankan, "Pesta ini tidak akan meriah
tanpa dia."
"Oh, ayolah," jawab Reenie.
"Aku dan Marc punya kejutan kecil buat dia. Pestamu adalah tempat yang paling
tepat untuk melaksanakannya." Artie menyeringai jahat.
"Tak usah ya!" Reenie memrotes. "Tak boleh ada ulah yang konyol di pestaku!"
"Apa yang kalian berdua rencanakan?" Greta ingin tahu. "Aku tidak mau ikutan
dengan apa pun yang akhirnya membuat P.J. terluka."
"P.J. kecilmu itu tidak akan terluka. Janji deh. Kami hanya akan memainkan salah
satu lelucon kami pada P.J."
Aku tak ingin lelucon, pikir Reenie.
"Gurauan macam apa?" ia ingin tahu.
"Hei, ini akan asyik sekali. Percaya padaku deh," kata Artie.
"Sandi Burke cewek yang paling top di sekolah. Apakah kita semua setuju?"
"Hei—kupikir aku cewek paling top," Greta mengomel.
"Memang. Tapi kau sudah ada yang punya." Artie melingkarkan lengannya di
tubuh Greta dan menariknya mendekat.
"Sandi utang budi pada Marc. Aku tak tahu secara mendetail. Tapi Marc
menolongnya mengatasi kekacauan dengan orangtuanya. Lagi pula, Marc sudah
minta Sandi untuk menolong dia, dan Sandi mengatakan oke."
"Langsung ke pokok persoalan saja," desak Sean.
Artie menyeringai. "Sandi akan mengajak P.J. ke pesta Reenie."
"Sandi akan mengajak dia?" seru Sean.
"Tak seorang pun akan mempercayainya," Reenie memrotes.
"P.J. percaya," jawab Artie. "Anak itu begitu aneh, mungkin ia akan percaya apa
saja."
"Jadi P.J. hadir di pesta dengan Sandi. Kemudian apa yang terjadi?" tanya Sean.
"Sandi akan memberi P.J. ciuman yang panas dan lama—menggelora! Tepat di
hadapan semua orang. Kemudian ia akan menjatuhkan diri ke lantai dan pura-pura
mati."
"Aku tak mengerti," kata Reenie.
"P.J. akan berpikir bahwa ciumannya terlalu panas untuk diterima!" Artie berseru,
lalu tertawa.
"Bagus sekali!" teriak Sean. "Bagus sekali! Mengagumkan! Terutama jika kita
semua berpura-pura ia mati sungguhan!"
"Lelucon konyol dan tak ada gunanya," ujar Greta. "Hal paling konyol yang pernah
kudengar!"
"Seperti lelucon yang kita lakukan satu sama lain selama ini,"
Sean memberi alasan. "Mungkin lelucon itu akan membuat P.J. merasa sudah
berbaur dengan kita."
"Lelucon itu terlalu konyol," Greta berkeras. "Kenapa merusak pesta itu dengan
sesuatu yang begitu bodoh?"
"Mungkin kita seharusnya menghentikan lelucon-lelucon kita," Reenie
menambahkan. Ia bergidik. "Aku hampir tenggelam saat itu, ingat?"
Wajah Artie memerah. "Itu kebodohanku dan Marc," gumamnya. "Tapi apa yang
bisa terjadi pada P.J. di ruang tamumu, kan kita semua di sana?"
Kukira jika Marc dan Artie memang harus membalas dendam kepada P.J., lelucon
adalah cara yang terbaik, pikir Reenie.
"Pasti lucu melihat ekspresi wajah P.J. ketika Sandi terkapar mati karena
ciumannya," Reenie mengakui.
"Aku bisa membayangkannya dengan jelas." Artie mulai meremas tangannya dan
menggigil. "Aku-aku ki-kira aku laki-laki yang terlalu hot untuk Sandi." Artie
tertawa terbahak-bahak. Demikian juga Sean.
Reenie dan Greta menahan tawa sejenak. Namun kemudian mereka tertawa
cekikikan juga.
"Aku tak sabar untuk menyaksikan apa yang akan dilakukan P.J.!" seru Artie.
"Ciuman kematian!" teriak Sean.
Artie tertawa begitu keras sehingga ia sampai jatuh ke lantai dan berbaring di sana,
memegangi pinggangnya.
"Pokoknya jangan sampai Liz tahu," Sean memperingatkan ketika mereka bisa
mengendalikan diri lagi. "Ia akan memperingatkan P.J. agar berhati-hati."
"Oke," Reenie setuju. "Tapi setelah itu kita harus mengingatkan mereka bahwa kita
memang saling memainkan lelucon ini sejak dulu. Aku tak ingin Liz berpikir kita
sengaja mengganggu PJ."
"Pasti," Greta setuju.
"Aku tak sabar menunggu pesta itu!" ujar Artie.
"Ciuman kematian!" kata Sean dengan suara yang dalam dan menakutkan.
Yang lain mengulangi kata-katanya. "Ciuman kematian!"

Chapter 15
PESTA

AKU tahu aku tidak mengundang orang sebanyak ini, pikir Reenie sambil melihat
anak-anak yang berdesak-desakan di ruang tamu.
Bel pintu berdering lagi. Ketika Reenie membuka pintu, Ty dan Liz melangkah
masuk, sambil membersihkan salju dari sepatu mereka.
Ia tidak ingat kapan terakhir kali melihat mereka berdua.
"Selamat Natal!" seru Liz.
"Selamat Natal! Berikan mantel kalian. Aku akan menyimpankannya di kamarku."
Reenie menjulurkan kedua tangannya.
Ty membantu Liz melepaskan mantelnya dan menyerahkan mantel itu kepada
Reenie bersama-dengan jaketnya.
"Baju yang bagus," kata Reenie kepada Liz. "Dan hampir senada dengan kemeja
Ty. Kalian tidak mulai belanja di Two Cute, kan?" godanya.
"Tidaklah ya!" Ty tertawa malu. "Hanya kebetulan. Kami tidak memakai baju yang
senada. Sungguh."
"Ada piza di dapur," kata Reenie. "Sean ada di suatu tempat—sedang
membicarakan strategi catur atau apalah. Artie dan Greta baru datang juga. Selamat
bersenang-senang, guys."
Reenie menerobos anak-anak yang berdesak-desakan itu dan berjalan di koridor
menuju kamarnya. Ia melemparkan mantel-mantel itu ke atas ranjangnya,
kemudian menuju dapur untuk mengambil keripik lagi.
Ketika ia berjalan tergesa-gesa, Sean meraihnya dan memeluk pinggangnya.
"Bagaimana pesta ini?" tanya Reenie. "Menurutmu semua orang senang?"
"Semua senang kecuali kau," jawab Sean. "Dansa yuk."
"Mangkuk-mangkuk keripik hampir kosong," Reenie memrotes. Tapi ia
melingkarkan kedua lengannya di leher Sean.
"Yeah, tiga orang pingsan karena kelaparan," kata Sean sambil membelalakkan
matanya.
Tak ada cukup ruang kecuali untuk bergoyang ke depan dan belakang untuk
mengikuti irama musik. Tapi tidak jadi soal bagiku, pikir Reenie. Ia memejamkan
matanya dan menempelkan pipinya di sweter Sean.
"Apa P.J. dan Sandi sudah datang?" tanya Reenie ketika lagu berakhir.
"Belum kulihat seorang pun dari mereka," jawab Sean.
"Mungkin Sandi berubah pikiran. Atau P.J. tidak mau pergi dengan Sandi," kata
Reenie.
Ia setengah berharap agar, mereka tidak muncul. Pesta ini berlangsung meriah. Dan
lelucon yang konyol itu bisa merusak semuanya jika P.J. melakukannya dengan
cara yang salah.
"Ada keripik lagi, Reenie?" Ricky Shore berteriak dari seberang ruangan.
"Sudah kubilang aku harus mengambil keripik. Aku akan segera kembali." Reenie
menyelinap pergi dari Sean dan menuju dapur.
"Ia dikurung sampai usianya dua puluh. Ibunya memergoki dia sedang merokok,"
Reenie mendengar seseorang bicara ketika ia lewat.
Siapa yang sedang mereka bicarakan, tanya Reenie dalam hati. Ia memandang ke
sekeliling ruangan itu sekilas. Masih belum ada tanda-tanda kehadiran Sandi atau
P.J.
"Asyik sekali!" Megan Carman berseru kepada dua cewek lainnya. "Pertandingan
tinggal dua detik lagi," ia menjelaskan. "Dan Gary Brandt menembak. Bolanya
membal di mulut keranjang itu, dan bel berbunyi. Bola itu terus membal. Dan
kemudian bola itu masuk setelah waktunya habis. Tapi masih dihitung!"
Reenie melihat Artie. Ia melintasi ruangan menghampiri Artie.
"Apa Sandi dan P.J. akan datang?" tanyanya.
"Pasti," suara yang parau terdengar di telinganya.
Reenie menoleh. Marc menyeringai. Marc berdiri begitu dekat sehingga ia bisa
mencium napasnya yang bau bir. Reenie bisa melihat dengan jelas bekas luka di
keningnya itu.
Reenie mundur beberapa langkah. Ia merasa tidak enak berdiri begitu dekat dengan
Marc.
"Berapa lama lagi mereka sampai di sini?" tanya Artie. Matanya tampak berair.
Hebat, pikir Reenie. Mereka berdua minum-minum.
"Tidak lama. Aku baru menelepon ke rumah Sandi. Ibunya bilang mereka telah
berangkat."
Reenie menepi. Ia merasa bersalah karena tidak memberitahu Liz tentang lelucon
yang telah mereka rencanakan untuk P.J. Semakin memikirkan hal itu, ia semakin
merasa bersalah.
Reenie melewati pasangan yang sedang bermesraan di koridor.
Kemudian ia memperhatikan Liz sedang berdiri sendirian. Sebelum ia bisa
mengubah pikirannya, Reenie bergegas menghampiri Liz.
"Pesta yang hebat," ujar Liz. "Ty sedang mengambil Coca-Cola di dapur buat
kami."
"Liz, ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu. P.J. akan sampai di sini
beberapa menit lagi, dan—"
"Kata P.J. ia tidak akan hadir di pesta ini!" seru Liz.
"Kapan ia mengatakan itu padamu?"
"Beberapa hari yang lalu. Kenapa?"
"Karena ia akan hadir bersama Sandi Burke."
"P.J.?”
"Sandi yang mengajak P.J," Reenie menjelaskan.
"Sandi mengajak dia?" suara Liz terdengar heran, "PJ. tak pernah menyebut apa
pun tentang hal itu."
"Aku tak tahu kenapa ia tidak memberitahumu. Tapi ia akan datang bersama Sandi.
Dan itu lelucon—salah satu lelucon kami yang konyol." Reenie memaksa diri
untuk membalas tatapan Liz.
Liz mengerutkan kening. "Lelucon macam apa itu? Apa yang akan kalian
lakukan?"
Reenie menceritakan kepada Liz semua rencana itu.
Mata Liz terbelalak. "Oh, tidak!" teriaknya. "Reenie, tega-teganya kau melakukan
ini? Kau tahu betapa pemalunya dia. Dan aku telah memberitahu masalah
kesehatannya kepadamu."
"Ini... ini tidak berbeda dengan lelucon-lelucon yang selama ini kami mainkan
terhadap satu sama lain."
"Ini jauh berbeda daripada yang kautahu!" teriak Liz.
"Liz, maaf. Ini—"
"Kau melakukan ini tanpa sepengetahuanku!" suara Liz terdengar marah. "Teganya
kaulakukan ini, Reenie? Bagaimana kau bisa begitu kejam?"
"Aku…" Reenie tidak tahu harus mengatakan apa.
"Mungkin aku dapat mencegah P.J. sebelum ia sampai di sini," kata Liz. Ia
memandang ke arah pintu, kemudian berputar menghadap Reenie. "Kau tidak tahu
apa yang telah kaulakukan, Reenie. Tak tahu sama sekali."
Liz membuka pintu dan menghambur ke kegelapan malam.
"Reenie?"
Ia menoleh dan mendapati Ty sedang membawa sekaleng Coca-Cola di tangan
kanan dan kirinya. "Itu Liz?" tanyanya.
Reenie mengangguk.
"Ke mana dia pergi?" Ty tampak bingung—dan agak tersinggung.
Sebelum Reenie bisa menjawab, suara pesta itu tiba-tiba berubah. Suara celoteh
yang keras menjadi suara bergumam yang pelan.
Tiba-tiba semua orang memandang ke pintu. P.J. dan Sandi telah tiba.
"Mau apa Sandi dengan dia?" Reenie mendengar seseorang berbisik.
"Yeah, kupikir Sandi hanya berkencan dengan spesiesnya sendiri!" seseorang
bercanda.
Reenie melihat Ty menyelinap ke luar pintu di belakang mereka. Ia akan menyusul
Liz. Bagus. Kuharap Ty bisa meyakinkan Liz bahwa kami tidak akan menyakiti
P.J.
Sandi melepas mantelnya dan menyerahkannya kepada P.J. PJ. tetap memakai
jaketnya. P.J. hanya memakai jaket denim.
Ia pasti kedinginan tanpa mantel yang tebal, pikir Reenie.
Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada Sandi.
Wow! Dengan gaun seperti itu mestinya Sandi muncul di video MTV—bukan di
pestaku, pikir Reenie. Rok hitam yang pendek itu memperlihatkan hampir seluruh
tungkai Sandi yang panjang. Ia memakai rompi merah yang gemerlapan. Ia
memakai sepatu bertumit tinggi dan stoking hitam tipis.
"Wow!" gumam seorang cowok di dekat Reenie.
Mata P.J. melihat ke sekeliling ruangan dengan gugup. Ia tampak tegang.
Ini kesalahan besar, pikir Reenie. P.J. tidak akan pernah mengerti. Ia akan merasa
dihina. Mengapa aku menyetujui lelucon ini?
"Hai, semuanya!" seru Sandi.
P.J. tidak berkata apa-apa.
"Hei, P.J.," panggil Marc. "Apa rahasiamu? Aku sudah mengajak Sandi kencan
selama berbulan-bulan—tapi ia selalu menolak."
P.J. mengangkat bahu. Senyuman malu terkembang di wajahnya. "Aku tak tahu."
"Aku yang ajak dia!" seru Sandi.
"Bohong!" teriak Marc. "Sandi mengajakmu?"
Sean bergabung dengan Reenie. "Marc lebih baik tenang," Sean berbisik di telinga
Reenie. "Jika ia terlalu membuat P.J. malu, P.J. mungkin akan pergi. Lalu kita tak
akan pernah sampai ke bagian yang bagus itu."
Reenie ragu-ragu lagi. "Aku tidak begitu yakin ini ide yang bagus," katanya kepada
Sean.
"Sudah terlambat sekarang. P.J. akan baik-baik saja," Sean meyakinkan Reenie.
P.J. akan baik-baik saja, Reenie memutuskan. Bagaimanapun juga, lelucon itu akan
terjadi.
"Di mana bisa kuletakkan mantelku?" tanya Sandi.
"Aku akan menyimpankannya," kata Reenie.
Ia mengambil mantel itu dari P.J. dan melemparkannya ke ranjangnya bersama
mantel-mantel yang lain. Ia bergegas kembali ke ruang tamu dan menghampiri
Sean. Ia ingin bersama Sean, kalau-kalau...
Kalau-kalau apa?
Apa yang ia takutkan?
Greta memasukkan CD ke player. Kemudian ia meraih Artie dan mereka mulai
berdansa. Tak lama ruangan itu dipenuhi tubuh-tubuh yang bergerak-gerak dan
berdansa.
"Mau dansa?" tanya Sean. "Aku suka lagu ini."
Reenie menggelengkan kepalanya. "Nanti saja, oke? Aku terlalu gugup."
Reenie tidak bisa berhenti memikirkan apa yang telah dikatakan Liz. Liz kelihatan
begitu terluka dan marah. Kau tidak tahu apa yang telah kaulakukan, Reenie. Tidak
tahu sama sekali.
"Tapi apa yang telah kulakukan? tanya Reenie pada dirinya sendiri.
"Perhatikanlah," bisik Sean.
Sandi Burke menggandeng P.J. ke tengah pasangan-pasangan yang sedang
berdansa. Ia menarik P.J. mendekatinya dan mulai bergerak mengikuti irama
musik. PJ. mau tidak mau harus bergerak juga.
P.J. tampak kaku. Kikuk. Beberapa anak tertawa terbahak-bahak. Anak-anak lain
yang sedang berdansa memberi mereka tempat.
Semua orang melihat mereka..
Reenie sadar P.J. ketakutan.
Sandi menekan tubuhnya ke tubuh P.J., berbisik di telinganya.
Wajah P.J. merah karena malu.
Seharusnya aku tidak ikut dalam permainan ini, pikir Reenie. Liz tidak akan
pernah menjadi temanku lagi.
Akhirnya lagu itu berakhir.
"Kau mengagumkan!" seru Sandi keras.
Sandi menarik wajah P.J. mendekati wajahnya. Menciumnya.
Ciuman yang lama dan pelan.
Kedua tangan P.J. gemetar di samping badannya.
Saat menatap Sandi, Reenie teringat pada vampir. Vampir yang sedang mengisap
nyawa korbannya. Sandi mencium P.J. yang tak berdaya dengan begitu hotnya!
Reenie melihat PJ. berusaha untuk mundur. Melepaskan diri.
Tapi Sandi memeganginya, mulutnya bergerak di atas bibirnya, lengannya
memeluk pundak P.J. yang kerempeng itu erat-erat.
"Wuuaaaaah!" teriak seseorang.
Beberapa anak tertawa kaku. Yang lain berbisik-bisik. Yang lainnya bersorak-sorai.
Tiba-tiba tubuh Sandi kaku.
Ia tampak mendorong P.J.
Reenie melihat wajah P.J. terkejut.
Semua orang kaget ketika Sandi menyentakkan kepalanya ke belakang, mengerang
panjang dan mengerikan. Hampir seperti lolongan binatang.
Sandi jatuh berlutut, matanya terbuka lebar, mulutnya ternganga.
Anak-anak terkesiap dan berteriak.
Sandi jatuh terenyak di lantai.
"Apa yang terjadi?"
"Tolong dia!"
"Lakukan sesuatu!"
Teriakan-teriakan terkejut berkumandang di ruang tamu itu.
Artie dan Marc menghambur menghampiri Sandi. Mereka berlutut di samping
Sandi dan memandangnya dengan ingin tahu.
"Jangan kerubungi dia! Jangan kerubungi dia!" teriak Marc.
Artie menggoyang kedua bahu Sandi. Ia menggoyang tubuhnya kuat-kuat.
"Hei—!" teriak Artie. "Hei! Hei!"
Artie menggoyang-goyang tubuh Sandi. Dan menunggu.
Menggoyang tubuh Sandi lagi.
Terlalu keras, pikir Reenie. Kenapa ia melakukan itu? Mengapa ia menggoyang
tubuh Sandi begitu keras?
Artie memandang Marc dengan wajah yang ketakutan.
Kenapa Artie tampak begitu ketakutan? pikir Reenie. Kenapa ia tidak mengakhiri
lelucon ini? Menjelaskannya kepada semua orang?
Ini sudah terlalu lama.
"Tidak!" Sebuah lolongan keluar dari bibir Marc.
Artie menggoyang-goyang bahu Sandi. Kemudian ia mulai menekan dadanya
dengan kedua tangannya, memukul-mukulnya dengan panik, dengan putus asa,
seakan membuat pernapasan buatan.
"Artie, ini sudah keterlaluan!" Reenie akhirnya berteriak. "Jangan main-main!"
Reenie melihat P.J. mundur, wajahnya yang pucat berkerut ketakutan.
"Tidaakk!" Lolongan yang amat memilukan keluar dari mulut Marc lagi.
Kepala Sandi terantuk-antuk di lantai ketika Artie memukul-mukul dadanya. Sandi
tidak berkedip. Matanya memandang kosong ke langit-langit.
Anak-anak berbisik-bisik. Tak seorang pun bergerak.
"Ayolah, Sandi! Ayor Ayo! Ayo!" seru Artie.
Kemudian sambil berteriak ia berdiri. Matanya menyapu kerumunan anak yang
terkejut.
"Hei! Ini mestinya cuma lelucon!" teriak Artie dengan suara yang gemetar dan
melengking. "Lelucon. Hanya lelucon. Tapi—tapi—Sandi mati! Ia benar-benar
mati!"

Chapter 16
KEJUTAN LAIN

P.J. menatap Sandi yang terbaring di lantai, matanya terbelalak kebingungan dan
ngeri. "Tapi—aku—aku tidak melakukan apa-apa padanya!"
"Ia mati!" teriak Artie, menatap P.J. "Kau—kau bunuh dia."
Mulut P.J. bergerak-gerak seakan ingin bicara, tapi tak ada kata-kata yang keluar.
P.J. yang malang, pikir Reenie. Ia tidak mengira ini semua hanyalah lelucon.
Haruskah kuberitahu dia?
Tidak, ia memutuskan. Sudah terlambat. Mereka malah semakin Menggoda P.J.
jika aku membela dia.
Reenie melihat Greta melintasi ruangan itu. Mata mereka bertautan. Greta
mengatupkan bibirnya erat-erat dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita harus menelepon polisi!" desak Marc.
"Aku...aku…" P.J. gugup.
"Cepat! Telepon polisi! Coba tolong telepon polisi," Marc memberi perintah.
"Pasti tadi ciuman yang superhot!" salah seorang pemandu sorak bercanda.
"Ciuman maut," gumam Sean.
Reenie bisa melihat anak-anak lain berusaha supaya tidak tertawa. Mereka tahu
Sandi baik-baik saja. Jika P.J. menatap ke bawah sekilas, ia akan melihat dada
Sandi naik-turun.
Ayo, P.J., Reenie diam-diam memberi semangat pada P.J.
Jangan biarkan mereka menganggapmu tolol. Lihat Sandi. Ia tidak mati. Ia hampir
tertawa cekikikan.
P.J. mengerang pelan. Bola matanya berputar ke atas sampai hanya kelihatan
putihnya saja. Tubuhnya mulai tersentak-sentak.
Oh, tidak! Apakah ia terkena serangan jantung? tanya Reenie dalam hati. Ia
menghambur mendekati P.J.
Greta menjerit—tinggi dan melengking.
"Diam!" bentak Artie.
Sambil terus bergoyang, P.J. jatuh ke lantai di kaki Reenie.
Sandi duduk, ekspresi wajahnya kebingungan. "Hei! Kalian mengerjai dia
terlampau jauh. Kalian sungguh-sungguh membuat dia takut!"
Reenie membungkuk di atas tubuh P.J. dan menempelkan telinganya di dada P.J.
Yang terdengar hanyalah jantungnya sendiri yang berdebar-debar. Jantung itu
berdetak keras, terasa sakit di dalam dadanya.
"Aku akan memberi dia air," seru Greta.
Ini kesalahanku! Semua kesalahanku! pikir Reenie. Aku satu-satunya orang yang
tahu jantungnya lemah. Aku bisa menghentikan ini semua jika aku mau.
Bagaimana aku bisa menjadi begitu tolol?
"Kau bilang ini akan jadi lucu!" teriak Sandi. "Tapi tak seorang pun tertawa!"
"Sean!" teriak Reenie. Kupikir P.J.—kupikir P.J.— Mati. Ia tidak bisa
mengeluarkan kata itu—tapi itulah yang ia pikirkan. Ia pikir P.J. mati.
Sean menghambur dan membungkuk di samping Reenie.
"Aku tak bisa mendengar detak jantungnya," bisik Reenie.
"PJ. hanya pingsan," kata Artie. "Aku akan memperlihatkannya padamu." Artie
berlutut di samping P.J. dan menggoyang-goyang tubuhnya seperti yang ia lakukan
pada Sandi.
"Ayo, PJ.," Artie memohon. "Jangan jadi pengecut. Kau tidak setakut itu."
Artie menggoyang P.J. lebih keras. Menggoyangnya sampai kepala P.J. tergeletak
ke belakang dan terkulai di bahunya.
Greta kembali dengan segelas air. Ia memeluk kepala P.J. di lengan kirinya dan
mencoba menuangkan air ke dalam mulutnya.
P.J. tidak menelan air itu. Ia tidak mengisapnya. Air itu mengalir turun ke dagu dan
pipinya.
"Tidak!" teriak Greta. "Tidak, tidak, tidak."
Sean memegang pergelangan tangan P.J. Anak-anak yang lain diam.
"Aku tidak merasakan denyut nadinya," Sean melapor.
"Jangan mati karena aku, man," Artie mengerang. "Bangun, P.J. Ayolah.
Bangunlah. Ayolah!"
"Marc, telepon 911," pinta Reenie.
Marc tidak bergerak. Dengan linglung ia menatap P.J.
P.J. terbaring di sana. Pucat. Tidak bergerak. Tidak bergerak atau bernapas.
Reenie ngeri. Sean menarik dia mendekat, memeluknya.
"Ia mati," pekik Reenie. "Kita membunuh P.J."
BAGIAN KETIGA
1965

Chapter 17
BETH DAN JEREMY

MOBIL itu terbalik dengan roda di atas. Beth terikat di sabuk pengamannya dan
Jeremy tergantung di sampingnya.
"Jeremy," panggilnya dengan bisikan tercekat.
Tidak ada jawaban.
Ia menemukan pembuka sabuk pengamannya dan menekannya.
Ia terjatuh ke lantai. Yang sebenarnya atap, ia mengingatkan dirinya sendiri.
Oke, apa yang harus kulakukan? tanya Beth pada dirinya sendiri sambil mencoba
untuk tenang. Apa? Membebaskan Jeremy? Keluar dari mobil? Mencari
pertolongan?
Ia menemukan pembuka sabuk pengaman Jeremy.
Menekannya. Gagal. Ia mencoba lagi. Sabuk itu terbuka dengan bunyi keras, dan
Jeremy mendarat dengan suara gedebuk.
Aku tidak terluka, Beth sadar. Kami mendapat kecelakaan yang mengerikan dan
aku tidak terluka!
Beth menatap Jeremy. Cahaya terang memenuhi mobil itu. Ia sadar lampu depan
mobil masih menyala. Memantul di salju.
Tidak ada darah! Tidak ada luka. Tidak ada luka yang menganga. Rasa lega
menyapu dirinya. Jeremy baik-baik juga.
Beth melihat satu-satunya jalan keluar dari mobil yang ringsek itu. Jendela di
samping jok penumpang. Kacanya pecah dalam kecelakaan itu. Ia menggeliat-
geliat, melalui jendela itu dan mendarat di atas salju.
Sekarang aku harus menyelamatkan Jeremy.
Ia menelungkup dan meluruskan tubuhnya rata di salju, kemudian menjulurkan
tangannya untuk menangkap lengan Jeremy. Ia menarik sekuat tenaga.
Jeremy bergerak sedikit.
Beth menarik dengan semua kekuatannya sampai ia bisa menyeret Jeremy ke
jendela. Sekarang bagian yang sulit. Ia mencengkeram mantel Jeremy dan
menyentakkannya.
Ia menarik satu lengan Jeremy ke luar. Kemudian kepala Jeremy. Kemudian kedua
bahu Jeremy. Ia menarik mantel Jeremy lagi—dan tubuhnya meluncur ke luar.
"Jeremy!" teriaknya. "Bangun. Ayolah."
Jeremy merintih dan membuka matanya, berkedip di cahaya keperakan. "A-apa
yang terjadi?"
"Kita mengalami kecelakaan. Kau kehilangan kendali mobil itu dan kita jatuh
terguling-guling dari bukit yang curam. Tidakkah kau ingat?"
Jeremy menatap Beth dengan pandangan kosong. "Yeah," gumamnya. "Yeah,
sekarang aku ingat."
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Aku... aku tidak yakin."
Jeremy duduk pelan-pelan. "Tidak ada yang luka. Kukira aku baik-baik saja."
Beth menghela napas lega. "Aku juga."
"Kita harus kembali ke anak itu!" desak Jeremy. Mungkin belum terlambat untuk
menolongnya."
Jeremy berusaha bangkit.
"Apa kau yakin bisa berdiri?"
"Yeah, aku baik-baik kok." Jeremy menjulurkan tangannya ke bawah dan menarik
Beth berdiri.
"Cepat," desak Jeremy. "Kita harus mencari anak itu. Sekarang juga."
Mereka berjalan terhuyung-huyung di salju yang tebal. Beth tidak bisa melihat
jalan. Ia berharap mereka berjalan ke tujuan yang benar.
Ia menengok sekilas ke mobil. Mobil itu ringsek. Roda-rodanya di atas. Atapnya
rata dengan tanah. Semua jendelanya hancur dan berantakan—kecuali jendela
tempat ia dan Jeremy meloloskan diri.
Bagaimana kita bisa selamat? tanya Beth dalam hati.
"Anak itu seharusnya tepat di sini," kata Jeremy. "Ini tempat kita menabrak dia."
Tak ada tanda-tanda anak itu ada di sana. Tak ada jejak kaki di salju. Tak ada bekas
selip di jalanan.
"Kita pasti di tempat yang salah," ujar Beth pelan.
"Tidak," jawab Jeremy. "Lihat." Ia menunjuk tanda hitam di salju beberapa meter
di depan mereka.
Bercak darah?
"Bagaimana ia bisa berjalan?" tanya Beth.
"Oh, man," gumam Jeremy. "Ia tak mungkin bisa berjalan. Apakah seseorang
menolong dia—sementara kita pingsan?"
"Hanya kau yang pingsan," ujar Beth. "Aku tidak. Aku pasti mendengar
seandainya ada mobil berhenti."
"Tapi... ke mana ia pergi?"
"Kita bisa mengikuti jejaknya," saran Beth.
Mereka mencari jejak kaki di salju.
Tak ada jejak kaki.
Tak ada sama sekali.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Beth dengan suara gemetar. "Bagaimana ini bisa
terjadi?"

Chapter 18
MOBIL YANG SESAK

SUARA berderak mendekat. Menderum pelan. "Apa itu?" Jeremy berbisik.


Beth mendengar suara itu juga. "Itu mobil!" serunya. "Datang dari arah sana."
Lampu besar mobil menyapu salju ketika mobil itu mendekat.
Derum mesin yang pelan menjadi lebih keras.
Beth dan Jeremy berjalan ke tepi jalan, langsung melambai-lambaikan tangan
mereka. Lampu besar mobil itu menjadi lebih terang.
Tapi... tapi mobil itu tidak melambatkan jalannya! Beth sadar.
"Berhenti! Hei—berhenti!" jeritnya. "Ada kecelakaan! Berhenti!"
Mobil itu meraung melewati mereka, mengocok salju dan mencipratkannya ke
wajah Beth.
Kenapa sih orang itu? Kenapa ia tidak berhenti? Beth bertanya dalam hati. Ia
memandang lampu belakang mobil itu yang menyusut menjadi dua titik merah,
kemudian menghilang.
"Mungkin pikirnya ini hanya main-main," Jeremy memberi pendapat. "Mungkin
pikirnya kita punya rencana untuk merampok dia. Atau mungkin ia sudah
terlambat hadir ke pesta Tahun Baru. Bagaimanapun juga ini Tahun Baru."
Beth memegang tangan Jeremy. "Dengar, ada mobil datang!"
"Aku akan meyakinkan agar yang satu ini berhenti," kata Jeremy. Ia berjalan ke
tengah jalan dan menghadap ke kendaraan yang melaju di depannya.
Beth mengikuti Jeremy. Kali ini mobil truk, ia memutuskan. Ia bisa mengatakan
begitu karena tanah bergetar, dan dari suara mesin dieselnya.
Lampu besar truk menyorot tanah yang bersalju itu.
Getaran di bawah kaki Beth menjadi lebih hebat.
Beth dan Jeremy langsung melambai-lambaikan tangan mereka di atas kepala.
Truk itu melaju ke arah mereka, meraung memecah kesunyian malam.
"Tolong kami!" jerit Beth. "Tolong!"
Beth bisa melihat kisi-kisi truk itu.
Dan bemper.
"Loncat!" jeritnya. Ia melompat dari jalan truk itu. Jeremy mendarat keras di
sampingnya.
"Kurang ajar!" teriak Beth. "Truk itu hampir menggilas kita!"
"Ia bahkan tidak melambatkan kecepatannya," bisik Jeremy, matanya menatap
lampu belakang truk yang menjauh. "Kenapa sih orang-orang malam ini? Apakah
mereka tidak punya semangat liburan?"
Mereka bangkit berdiri. Beth mengibaskan salju di punggung Jeremy.
Seharusnya aku membeku, pikir Beth. Tapi tidak. Pasti akibat shock karena
kecelakaan itu.
"Seseorang harus berhenti," bisik Beth.
Tolong kami, pikirnya. Tolonglah. Kumohon.
Sebutir air mata bergulir di pipinya. Kemudian butiran air mata lagi. Dan lagi. Ia
menghapus air matanya.
Tiga mobil lagi melaju kencang melewati mereka tanpa memperlambat
kecepatannya.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Jeremy. "Kita tak bisa tinggal di sini. Kita
akan beku."
"Aku lihat ada cahaya di atas sana," kata Beth sambil menunjuk.
Tapi ia tidak dapat menemukan cahaya itu lagi. Di mana cahaya itu? Apakah
pohon-pohon itu menutupi pandangannya? Ia bergerak ke kiri, mengintip dari sela-
sela pohon.
Dan itu dia! Cahaya-cahaya yang putih pucat. Hampir di puncak bukit. Jendela-
jendela. Terang berkilauan.
"Itu rumah!" teriaknya. "Siapa pun yang tinggal di sana akan menolong kita.
Mereka harus menolong kita!"
Mereka berjalan tergesa-gesa menuju cahaya di kejauhan itu.
Ketika mereka sampai di pagar kawat, mereka memanjat pagar itu dan sampai di
ladang yang tertutup salju. Tanah di bawah salju itu tidak rata, dan mereka berdua
berjalan dengan terpeleset-peleset.
"Sepatuku penuh salju," keluh Beth. Tapi kakinya tidak merasa dingin. Apakah ia
mengalami radang dingin?
Mereka berjalan dengan susah payah. Cahaya itu semakin terang. Mereka bisa
melihat rumah itu dengan jelas. Tapi mereka harus memanjat dua pagar lagi
sebelum sampai di rumah itu.
"Akhirnya!" Beth menghela napas ketika mereka naik ke beranda depan yang
terbuat dari kayu.
Cahaya berkilauan dari tiga jendela. Seseorang pasti ada di rumah. Terima kasih,
Tuhan, pikirnya. Oh, terima kasih, Tuhan.
Beth memencet bel pintu. Ia bisa mendengar bel berdering di dalam.
Mereka menunggu.
Tak seorang pun membuka pintu. Beth dan Jeremy bertukar pandang dengan
cemas.
Beth memencet bel lagi. Ia melihat tirai jendela depan bergerak, tapi tak seorang
pun muncul.
Jeremy mengetuk pintu. Ia memukul pintu itu berulang-ulang. Dan masih tak ada
yang keluar.
"Tolong!" teriak Beth. "Kami mengalami kecelakaan! Kami butuh pertolongan!"
"Tolonglah!" teriak Jeremy. "Izinkan kami masuk!"
Tak seorang pun muncul di pintu.
"Kenapa mereka tidak mau membuka pintu?" teriak Jeremy.
"Shhhh! Aku mendengar sesuatu. Dengarlah."
"Aku dengar juga!" seru Jeremy.
"Itu suara TV. Dan orang-orang yang sedang bicara," kata Beth.
"Mereka ada di sana," seru Jeremy. "Kenapa mereka mengabaikan kita?"
Mereka berteriak.
Memukulkan kepalan tangan mereka ke daun pintu.
Tak terjadi apa-apa. Tak ada orang yang keluar membukakan pintu. "Kenapa
mereka mengabaikan kita? Kenapa mereka tidak keluar untuk menolong kita?"
teriak Jeremy.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Beth. Air mata terasa panas di matanya.
"Kita harus kembali ke jalanan. Mungkin beberapa mobil akan berhenti."
Beth mengangguk. Ia tidak punya ide yang lebih baik lagi. Tapi ia terlalu bingung
untuk bergerak.
Air mata mengalir di wajahnya. Tubuhnya berguncang ketika ia menangis terisak-
isak.
Kenapa tak ada yang menolong kami? Kenapa, kenapa, kenapa?
Beth berusaha untuk menghentikan air matanya. Kemudian mereka berbalik dan
mengikuti jalan mereka tadi melewati ladang dan kembali ke jalan raya.
Dua mobil lagi lewat.
Mereka tidak berhenti, Beth tidak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Ia ingin
berbaring di tumpukan salju dan beristirahat.
"Kita bisa kembali ke dalam mobil," saran Jeremy.
"Dingin sekali di sana," jawab Beth.
"Setidaknya bisa menolong kita dari kebekuan."
Beth tidak bisa mendebat pendapat Jeremy itu.
Mereka berjalan menuju mobil. Mobil itu terbalik, ringsek, dan tergeletak, seperti
kumbang yang terinjak. Lampu depannya sudah suram, akinya hampir habis.
Beth benci harus merangkak kembali ke dalam mobil. "Satu-satunya cara masuk
adalah berbaring rata sekali dan menggeliat-geliat lewat jendela," ia menjelaskan.
"Aku akan masuk duluan."
Aku sama sekali tidak ingin melakukan ini, pikirnya. Tapi ia mulai beringsut
masuk ke mobil itu.
Sesuatu menyapu wajahnya.
Sebuah tangan!
"Hah? Apakah ada orang di sini?" teriaknya, tak bisa menyembunyikan perasaan
ngerinya.
Beth mengintip ke dalam mobil yang gelap itu.
Tidak.
Tak mungkin!
"Jeremy!" teriaknya. "Ada dua orang di sini. Anak laki-laki dan perempuan.
Dan..."
Jeremy terpana. "Siapa mereka? Bagaimana mereka masuk ke sini?"

Chapter 19
AKU TAHU SIAPA MEREKA

BETH menatap anak laki-laki dan perempuan itu di kegelapan.


Tubuh mereka tertekuk. Luka-luka parah. Dan berlumuran darah. Mata mereka
menatap lurus ke depan. Melotot.
"Jeremy—mereka sudah mati!" seru Beth.
Ia menatap tajam wajah mereka.
Dan kemudian memejamkan matanya. Aku tahu siapa mereka! pikirnya.
Ia keluar lagi dari jendela mobil. Jeremy membungkuk agar bisa melihat ke dalam
mobil.
Beth menghalang-halangi. "Jangan," katanya kepada Jeremy. "Jangan lihat.
Belum."
"Kenapa?"
"Ada sesuatu yang harus kukatakan kepadamu dulu."
"Apa?"
Beth menarik Jeremy mendekat dan memeluknya.
"Beth—apa...?"
Sebutir air mata bergulir di pipinya. Tapi hanya sebutir. Ia terlalu kaget sehingga
tak bisa menangis.
"Jeremy," bisiknya. "Anak laki-laki dan perempuan yang mati di dalam mobil. Aku
kenal mereka."
"Siapa mereka?" desak Jeremy.
Ia tak tahu bagaimana harus mengatakannya kepada Jeremy. Ia sendiri hampir
tidak mempercayainya.
"Beth, siapa mereka?" Jeremy mengulangi dengan penasaran.
"Mereka adalah... kita."
"Kau bohong!" teriak Jeremy. "Tidak! Tidak, Beth!"
"Jeremy, itu kita yang di dalam!" teriaknya. "Kita mati di sana!"
"Gila."
"Tidakkah kaulihat? Itulah sebabnya tak seorang pun berhenti untuk kita—kenapa
orang-orang itu tidak membukakan pintu untuk kita."
"Tidak," Jeremy mengulangi. "Tidak, tidak, tidak."
"Ini benar. Kita sudah mati." Mungkin seandainya aku mengatakannya berulang
kali aku sendiri akan percaya kematian itu, pikir Beth.
"Tidak!" jerit Jeremy.
Jeremy mendorong Beth dan mengempaskan tubuhnya sendiri ke atas tanah. Ia
mencoba untuk menyusup kembali ke dalam mobil itu.
"Aku akan masuk lagi!" ratapnya. "Aku akan masuk ke dalam tubuhku!"
Beth mengawasi, ngeri, ketika Jeremy bersusah payah mendekati tubuhnya yang
sudah tidak bernyawa.
"Aku harus masuk kembali ke tubuhku! Harus," serunya dengan putus asa.
Beth mengawasi Jeremy merangkak ke dalam mobil.
"Kumohon!" pinta Jeremy. "Kumohon, biarkan aku masuk!" „
"Jeremy—berhenti!" teriak Beth. "Itu akan sia-sia." Ia menangkap kaki Jeremy dan
menariknya keluar dari mobil yang ringsek itu.
"Tanganku menembus tubuhku!" ratapnya. "Aku tak bisa masuk kembali ke dalam
tubuhku. Aku coba. Tapi aku tak bisa."
"Sekarang apa?" tanya Beth pada dirinya sendiri. "Apa yang akan terjadi
sekarang?"
Beth melihat mulut Jeremy membuka dan menutup ketika ia menjawab
pertanyaannya. Tapi ia hampir tak bisa mendengar apa yang diucapkan Jeremy.
Ada yang tidak beres.
Kenapa suara Jeremy tiba-tiba menjadi lemah? "Jeremy?" panggilnya. "Apa yang
terjadi?" Beth tidak bisa mendengar jawaban Jeremy.
Suara Jeremy lenyap menjadi keheningan. Kemudian Jeremy mulai memudar juga.
"Jeremy!" teriak Beth. Ia menggapai Jeremy. Berusaha untuk menangkapnya,
mempertahankannya.
Tapi Jeremy pergi.
Hanya kegelapan yang tinggal.
Dimana-mana.
Menutupi dia.
Menuntut dia.

BAGIAN KEEMPAT
TAHUN INI

Chapter 20
KEJUTAN DI BALIK TUNGKU PERAPIAN

APA yang harus kulakukan? tanya Reenie dalam hati dengan panik. Ia terlalu
bingung dan ketakutan untuk berpikir jernih.
Bagaimana ini bisa terjadi?
P.J. terbaring mati di kakinya.
Reenie menatap tubuh P.J. di bawah, sambil berharap sepenuh hati agar PJ. bisa
merintih, sadar. Menjerit padanya. Melakukan sesuatu. Apa pun.
Tapi P.J. terbaring diam.
Pucat. Begitu pucatnya.
Begitu mati.
Keheningan memenuhi ruangan yang penuh sesak itu.
Kemudian seorang cewek mulai terisak-isak.
"Kita harus memompa jantungnya," perintah Sean. "Reenie, kau beri napas. Aku
akan menekan dadanya. Semua tolong pergi dulu. Jangan berkerumun."
"Sean benar," kata Greta. "Ayolah. Ambil mantel kalian. Kami akan memberitahu
apa yang terjadi."
Reenie tak bisa bergerak. Ia menatap P.J. di bawah. Ini semua kesalahanku,
pikirnya. Aku tahu P.J. mengidap lemah jantung. Aku satu-satunya yang diberitahu
Liz. Dan aku tidak mengatakan apa-apa.
Tidak sama sekali. Aku bahkan tidak mencoba untuk menghentikan mereka.
"Reenie!" panggil Sean tajam.
Reenie memaksa dirinya untuk bergerak. "Oke," bisiknya.
"Pertama aku miringkan kepalanya ke belakang—dagu ke atas. Kemudian aku
akan mengosongkan mulutnya. Sekarang tiup udara lima kali dengan cepat."
Reenie menundukkan kepalanya dan meniup ke dalam mulut PJ. Bibirnya sangat
dingin, pikirnya. Bibir itu sudah begitu dingin.
Reenie menarik kepalanya dan menghirup udara. Kemudian ia meniup napas ke
dalam mulut P.J. Ia bisa mendengar Sean menghitung—mengatur irama di antara
tiupan napas Reenie dan pompa yang dilakukan di dada P.J.
"Ini mestinya cuma lelucon!" teriak Artie dari suatu tempat di belakangnya.
"Lelucon yang konyol! Seharusnya tak ada kejadian buruk yang terjadi."
"Ayolah, PJ., sadarlah! Tolong sadarlah!" ia mendengar Greta mendesak.
Reenie memusatkan semua perhatiannya pada hitungan Sean—dan tiupan
napasnya.
Aku akan tetap melakukannya, katanya kepada dirinya sendiri.
Aku tak akan berhenti sampai ia kembali hidup.
"Hitung, hitung, hitung, hitung, napas," bisiknya kepada dirinya sendiri. "Hitung,
hitung, hitung, hitung, napas."
Reenie merasakan sebuah tangan di pundaknya. Ia mendengar suara Sean yang
pelan, menyuruhnya berhenti.
Tidak, pikir Reenie. Aku tak akan berhenti sampai P.J. duduk.
Aku tak akan berhenti.
Hitung, hitung, hitung, napas. Hitung, hitung, hitung...
Sepasang tangan yang kuat menariknya berdiri. Reenie menatap tubuh P.J. yang
terbaring di bawah.
"Ia sudah mati, Reenie," bisik Sean. "Tak ada yang bisa kita lakukan."
"Apa aku harus menelepon polisi?" tanya Reenie. Ia mendengar suaranya gemetar
dan ia menelan ludah. "Mereka tidak akan menyalahkan kita karena kematian P.J.
—ya kan?"
Sean mengerutkan kening. "Aku tak tahu apa yang seharusnya kita lakukan."
"Kita harus melakukan sesuatu!" teriak Reenie. "Kita harus memanggil
orangtuanya. Kita harus memanggil Liz. Kita harus memberitahu semua orang
bahwa—"
Jendela di belakang sofa bersinar terang ketika sebuah mobil berhenti di jalan
masuk. Greta menyibak tirai dan mengintip ke luar.
"Ada orang datang!" seru Greta. "Reenie—itu orangtuamu, kukira!"
"Cepat—sembunyikan dia!" teriak Artie. "Sampai kita tahu apa yang harus kita
lakukan."
Apakah menyembunyikan P.J. tidak akan membuat kita malahan kelihatan lebih
bersalah? Reenie bertanya dalam hati.
"Kita harus mengarang cerita sebelum memberitahu orang lain," desak Greta.
"Sembunyikan dia! Sembunyikan dia!" jerit Artie. Ia memegang kedua tangan P.J.
yang lemas dan mulai menarik tubuhnya.
Sean dan Greta buru-buru menolong mengangkat tubuh P.J.
Reenie ragu-ragu, kemudian menangkap salah satu kaki P.J. yang kurus.
"Buruan!" desak Greta, sambil mengawasi lampu depan mobil yang berputar di
dinding. "Ke mana kita letakkan dia?"
"Ruang bawah tanah!" teriak Reenie.
Ia dan Sean berjalan menuju dapur. Tubuh itu membentur karpet.
"Cepat dong!" teriak Artie.
Perut Reenie tiba-tiba merasa mual waktu mereka menyeret tubuh P.J. melewati
dapur.
Jangan panik, katanya kepada dirinya sendiri. Kau tak boleh panik sekarang.
Reenie membuka pintu ruang bawah tanah dengan tangan kanannya dan
menyalakan lampu. Ia menoleh lewat bahunya, melihat anak tangga semen yang
curam.
"Hati-hati," ia memperingatkan yang lain. "Anak tangga ini tidak rata." Sambil
memegang pergelangan kaki P.J., ia melangkah mundur dengan salah satu kakinya
meraba-raba mencari pijakan pada anak tangga pertama. Ia menemukannya,
menurunkan kakinya, kemudian meraba-raba anak tangga berikutnya. Sean satu
anak tangga di atasnya.
Reenie memandang Artie di atas. Cahaya yang suram dari lantai bawah tanah itu
menampakkan bayang-bayang yang menimpa wajahnya. Ia tidak dapat melihat
ekspresi wajahnya.
Jangan memikirkan hal lain, pikirkan saja soal anak tangga, kata Reenie kepada
dirinya sendiri. Jangan mencoba memutuskan apa yang harus kaulakukan sampai
kau berhasil menuruni anak tangga ini.
Salah satu kaki celana panjang P.J. tersingkap, dan Reenie merasakan daging
pergelangan kaki P.J. di bawah jari-jari tangannya.
Dingin dan basah. Mati. Reenie menggigil.
Ia memaksa dirinya untuk meraba-raba anak tangga berikutnya dan melanjutkan
menuruni tangga.
"Di mana kita letakkan dia?" tanya Sean ketika mereka sampai di bawah.
"Di balik tungku perapian itu," Reenie memutuskan.
"Aku harus istirahat sebentar," Greta terengah-engah. Mereka menurunkan tubuh
P.J. ke tanah.
"Aduh. Aku benci cara P.J. menatapku," Artie mengerang. Ia berjongkok di dekat
tubuh P.J. dan menjulurkan tangannya di atas mata P.J. yang melotot.
Reenie melihat tangan Artie gemetar. Artie menekan tangannya ke mata P.J. dan
mengusap kelopak mata P.J. "Sori," bisiknya. "Sori, PJ."
Artie melompat ke belakang. "Ayo. Selesaikan dan keluar dari sini."
Mereka mengangkat tubuh itu ke atas dan meletakkannya di atas tungku perapian
dengan susah payah. Celah itu cukup untuk kepala P.J.—tapi tidak untuk kedua
bahunya. Mereka harus memiringkan tubuh P.J. dan memaksa tubuh P.J. masuk ke
tempat kecil di antara tungku perapian dan dinding itu inci demi inci.
"Lumayan," kata Sean. "Kita harus kembali ke atas."
Mereka menaiki anak tangga beton yang kasar itu. Reenie membanting pintu ruang
bawah tanah hingga tertutup di belakang mereka, dan mereka bergegas masuk ke
ruang tamu.
Greta menghambur ke jendela dan mengintip ke luar. "Sudah pergi!" ia
mengumumkan. "Mobil itu sudah pergi."
"Apa? Siapa dia?" tanya Sean.
Reenie menghela napas. "Orang-orang terkadang mengunakan jalan masuk
rumahku untuk berputar," katanya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Blok berikutnya buntu. Dan tanda jalan buntu tepat di seberang jalan."
"Wow!" Sean mengembuskan napasnya. Reenie menahan isak tangisnya.
"Aku lihat Marc dan Sandi tidak berani tinggal," kata Greta dengan masam.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Artie.
Reenie menarik napas panjang dan gemetar. "Kita tak punya pilihan," katanya.
"Kita harus menelepon polisi. Kemudian, kukira, mereka akan memanggil
orangtua P.J."
"Apa yang akan mereka lakukan pada kita?" tanya Greta.
"Aku tak tahu," jawab Reenie. "Tapi ini kecelakaan. Kecelakaan yang mengerikan.
Dan kita harus mengatakan yang sebenarnya kepada mereka."
"Reenie benar," kata Sean. "Kita panik. Kita seharusnya langsung menelepon
mereka."
"Setidaknya ayo kita bawa tubuh itu kembali ke sini," saran Artie. "Mereka pasti
akan berpikir bahwa kita bersalah jika mereka menemukan tubuh itu
disembunyikan di ruang bawah tanah."
"Siapa yang akan menelepon?" tanya Greta.
"Aku," jawab Sean.
Greta menyerahkan telepon cordless itu kepada Sean. Sean menekan 911. Reenie
mendengarkan ketika Sean memberikan informasi kepada operator.
"Tidak, kupikir ia tidak butuh perawatan darurat," Sean mengakhiri. "Ia benar-
benar sudah meninggal."
Sean meletakkan telepon itu di meja kopi. "Mereka akan ke sini lima menit lagi."
"Hampir tidak ada waktu untuk mengangkat tubuh P.J. kembali ke atas sini!" seru
Artie.
Mereka berjalan lewat dapur menuju tangga ruang bawah tanah.
Reenie berpikir tentang Liz. Apa yang akan kukatakan kepadanya? Bagaimana aku
bisa menemui dia?
Sean memimpin berjalan ke ruang bawah tanah dan menuju tungku perapian.
"Tak banyak waktu!" Artie merunduk dan sampai di balik tungku perapian. Ia
terkejut.
"Tidak!" teriak Greta.
"Apa? Apa yang terjadi?" Reenie ingin tahu. Ia menatap bayang-bayang di balik
tungku perapian.
Tubuh P.J. lenyap.

Chapter 21
DI MANA P.J.?

KEPANIKAN melanda Reenie. Ia merasa seakan tak bisa bernapas. Kakinya


lemas.
Ia bersandar pada dinding beton gudang bawah tanah dan
memejamkan matanya. Dan menunggu. Menunggu jantungnya
berhenti memukul-mukul. Menunggu tubuhnya berhenti gemetar.
"Kita diperdaya," akhirnya ia bisa bicara dengan suara tercekik.
"Yeah, ditipu," bisik Greta. Ia melingkarkan lengannya di bahu Reenie yang
gemetar.
"P.J. melakukan tipuan yang bagus pada kita," Artie setuju, sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya kita bisa terkecoh!" Sean menambahkan.
Greta membelalakkan mata. "Bagaimana kita sampai bisa berpikir P.J. mati? Kita
telah melakukan terlalu banyak lelucon ini pada diri kita, tapi kita masih bisa
diperdayai dengan begitu mudahnya."
"Tapi ia begitu lemas ketika kita menggotongnya," Reenie mengingatkan mereka.
"Ia begitu pucat, begitu... begitu kelihatan mati."
"Ia pura-pura mati," ujar Sean. "Apa lagi yang bisa kaujelaskan? Tak ada waktu
bagi seseorang untuk menemukan tubuhnya dan memindahkannya."
Itu satu-satunya penjelasan, pikir Reenie. Tak ada lagi yang masuk akal.
Tapi ia tidak dapat menghilangkan ingatannya tentang kulit P.J. yang dingin di
bawah jari-jari tangannya. Bibirnya yang dingin di bawah bibirnya ketika ia
berjuang untuk membuat P.J. hidup kembali.
"Aku senang sekali ia hidup." suara Greta gemetar. "Aku—aku benar-benar ngeri."
"P.J. pasti tertawa sampai sakit perut." Artie meloncat menaiki tangga.
Reenie tertawa. Ia akhirnya mulai merasa normal—normal dan lega. Ia menaiki
tangga di belakang Artie.
"Kau tahu betapa takutnya aku tadi?" tanya Reenie. Ia mengempaskan dirinya
sendiri di sofa.
"Aku tahu sekali betapa takutnya kau!" seru Greta, sambil menjatuhkan dirinya di
samping Reenie. "Karena aku juga begitu ketakutan.
"Aku memang sudah berpikir ini mungkin lelucon," kata Artie. "Sejak awal, aku
sudah curiga ini hanya lelucon."
"Yeah, benar. Kau tadi kan takut sekali dan kau tahu itu," kata Sean.
Artie menatap Sean—kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Reenie
mulai tertawa. Segera mereka berempat tertawa sambil saling bertepuk tangan
tinggi-tinggi, berguling-guling di atas karpet.
Kita semua mengalami semacam reaksi shock yang tertunda, Reenie menyadari.
Kemudian bel pintu berbunyi.
"Aku bertaruh itu pasti P.J. Ia barangkali ingin menertawakan kita." Reenie buru-
buru menuju pintu depan.
Ia membuka pintu—dan melihat seorang polisi berseragam hitam.
"Aku Officer Jackson dari Dinas Kepolisian Shadyside. Kami menerima laporan
ada yang meninggal di sini."
"Ah..." Reenie tak tahu bagaimana harus menjawab.
"Apakah kau menelepon nomor darurat?" tanya polisi itu, sambil menatap Reenie
dengan tajam.
"Ah...," Reenie mengulangi. "Ah, tidak. Semuanya baik-baik saja di sini. Anda
pasti salah alamat."
"Aku harus masuk dan memeriksa rumah ini," kata polisi itu kepada Reenie.
"Tentu," kata Reenie cepat-cepat. Ia minggir untuk memberi jalan.
Officer Jackon masuk ke ruang tamu. Ia menatap mereka satu per satu.
"Baik, apa yang sedang terjadi di sini?" tanya polisi itu ingin tahu.
"Itu... itu hanya lelucon," Reenie menjelaskan. "Ada yang melakukan tipuan."
"Maksudmu ada yang menelepon. untuk main-main?" Ia menyipitkan matanya.
"Kami menanggapi telepon main-main ke 911 dengan amat serius."
"Kami selalu memainkan tipuan terhadap satu sama lain," kata Sean. "Tipuan itu
selalu tidak berhasil, tapi kali ini tipuan itu berhasil mengecoh kami. Seseorang
memperdayai kami sehingga kami berpikir ia benar-benar mati."
Sean menjelaskan apa yang terjadi langkah demi langkah.
Terima kasih, Tuhan, Sean tetap tenang, pikir Reenie. Ia merasa terlalu terguncang
untuk memberi penjelasan tentang apa yang telah terjadi pada P.J. dengan cara
yang masuk akal.
"Kami benar-benar percaya ia mati. Kalau tidak kami tidak akan menelepon Anda,"
kata Sean mengakhiri.
"Dan kau orang yang tinggal di sini?" Polisi itu mengalihkan pandangannya
kepada Reenie.
Reenie mengangguk.
"Aku perlu izinmu untuk memeriksa rumah ini," kata polisi itu kepadanya.
"Silakan," jawab Reenie. Reenie ingin polisi itu memeriksa rumah ini. Ia tahu
tubuh P.J. tidak ada di ruang bawah tanah. Ia telah melihat dengan mata kepalanya
sendiri bahwa tubuh P.J. lenyap.
Tapi ia tetap ingin turun dan memeriksa sekali lagi. Hanya untuk meyakinkan diri.
Karena P.J. kelihatan benar-benar mati.
Sekarang Officer Jackson akan memeriksa rumahnya.
"Tetap di sini," perintah polisi itu sebelum ia meninggalkan ruangan. "Tak seorang
pun boleh pergi."
Reenie mengawasi laki-laki itu masuk ke dapur. Mendengar dia membuka pintu
ruang bawah tanah. Mendengar suara sepatunya yang berbunyi gedebak-gedebuk
di atas anak tangga beton.
Reenie menghitung tiap langkahnya. Oke, ia sampai di bawah, pikirnya. Sekarang
ia sedang menyeberang menuju tungku perapian.
Ia sedang membungkuk.
Sunyi.
Apakah ia menemukan sesuatu?
Keheningan yang mencekam. Reenie mengepalkan telapak tangannya.
Kau tahu tak ada apa pun di bawah sana, katanya kepada dirinya sendiri. Kau tahu
itu.
Reenie menahan napasnya sampai ia mendengar bunyi gedebak-gedebuk sepatu
Officer Jackson sedang naik tangga ke atas.
Ia tidak tergesa-gesa. Ia pasti tergesa-gesa jika menemukan mayat, pikir Reenie.
"Tak ada masalah di bawah sana," ia melaporkan. "Tapi aku harus mengisi laporan
yang lengkap."
Polisi itu mencatat nama, alamat, dan nomor telepon mereka sebelum pergi. Reenie
tidak peduli apa yang akan ia lakukan terhadap data-data itu. Ia tidak peduli jika
polisi itu menelepon orangtuanya ketika mereka sudah pulang. P.J. baik-baik saja.
Tak ada lagi yang perlu dipersoalkan.
Tak seorang pun bicara sampai mereka mendengar pintu mobil polisi itu ditutup.
"Fiuh!" Artie mengembuskan napas.
"Ketika ia menatapku, aku hampir mengakui bahwa aku benar-benar membunuh
P.J.!" seru Greta. "Aku merasa seakan-akan ia bisa mengintip isi kepalaku dan tahu
semua perbuatan buruk yang pernah kulakukan."
"Aku tahu, aku terdengar, seperti anak brengsek betulan waktu menjelaskan
lelucon-lelucon konyol yang kita lakukan kepada orang lain," Sean menambahkan.
Reenie tahu ia tidak akan pernah ingin memainkan permainan ini lagi. "Ayo
berjanji tak ada tipuan lagi," katanya. "Lagi pula permainan ini tak akan asyik lagi
setelah malam ini."
"Tak ada tipuan lagi," Greta mengiyakan.
"Tak ada tipuan lagi," Sean dan Artie mengulangi.
Reenie berdiri dan mengambil mangkuk cokelat M&M yang setengah kosong.
"Aku akan mencucinya," ujarnya. "Aku tak ingin apa pun di sekitar sini
mengingatkan aku pada pesta yang mengerikan ini."
"Aku akan membantu," kata Greta sukarela. Ia mengambil beberapa mangkuk
M&M dan menuju dapur.
"Mungkin kau seharusnya hanya mengadakan pesta Halloween mulai sekarang!"
Artie bercanda. Ia mengangkat beberapa kaleng soda yang sudah kosong dan
berjalan di belakang Greta. "Malam ini tidak menolong aku untuk memperoleh
semangat Natal," ia mengakui dengan sedih.
Mereka bekerja dengan berdiam diri sampai selesai membersihkan semua bekas
pesta.
Greta menghela napas ketika mereka berkumpul kembali di ruang tamu. "Aku
capek sekali. Padahal kita harus sekolah besok. Aku bisa tidur selama setahun
rasanya."'
"Aku juga," jawab Artie. "Aku akan ambil mantel."
Greta memeluk Reenie. "Sampai jumpa besok."
"Bye," seru Artie.
"Kukira aku akan pulang juga," kata Sean. "Kau tidak apa-apa sendirian di sini?"
Reenie mengangguk.
Sean menariknya mendekat dan menciumnya. Reenie ingin ciuman itu tak akan
pernah berakhir. Ia tak ingin memikirkan hal lain kecuali bibir Sean yang mencium
bibirnya.
"Malam," bisik Sean.
Reenie segera mengunci pintu begitu Sean melangkah ke luar.
Ia memasang rantainya juga—walaupun orangtuanya tidak pernah melakukannya.
Kemudian ia memeriksa semua pintu dan jendela.
Reenie tahu ia seharusnya mematikan lampu, tapi ia tidak melakukannya. Ia
merasa lebih aman bisa melihat setiap sudut. Ia tak ingin kejutan-kejutan lagi.
Ia berjalan menuju kamarnya, duduk di ranjang, dan menutupi wajahnya dengan
kedua tangannya. Ia ingin menangis.
Betapa mengerikan malam ini. Betapa mengerikan pesta itu. Ia berharap
orangtuanya ada di rumah. Atau ia tadi minta Greta, untuk menemaninya. Ia tak
ingin sendirian.
Telepon berdering mengejutkan dia.
Ia mengangkat telepon di meja samping ranjangnya. "Halo?"
"Hai, ini Liz. Apakah adikku masih di situ?"
"Sudahlah, Liz. Tolong," Reenie memohon. "Kami sudah tahu lelucon itu. Kami
tahu adikmu baik-baik saja."
"Maaf? Lelucon apa? Apakah P.J. termakan lelucon dengan Sandi itu? Apa yang
terjadi, Reenie?"
"Aku yakin P.J. akan menceritakan semuanya kepadamu nanti—jika kau belum
tahu," jawab Reenie.
"Ia bukan masih di sana?" Liz ingin tahu. "Di mana dia, Reenie?"
"Ia... ia tidak di sini," kata Reenie kepada Liz.
Liz menutup teleponnya.
Reenie memaksa dirinya untuk berdiri, dan mengganti pakaiannya dengan baju
tidur kesukaannya dari bahan flanel bergambar domba-domba kecil. Kemudian ia
merangkak ke atas ranjangnya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan
menyikat giginya dua kali besok pagi.
Tapi ia tidak bisa tidur. Ia tetap mendengar suara Liz terngiang-ngiang di
telinganya.
Apakah adikku masih di situ? Apakah adikku masih di situ?

Chapter 22
TAK ADA JAWABAN

"AKU tidak bisa tidur selama berjam-jam," kata Reenie kepada Sean di perjalanan
menuju sekolah keesokan paginya. "Aku terus-menerus mendengar suara Liz di
kepalaku. Membuat aku merinding."
"Mereka tidak mau menghentikan lelucon itu," ujar Sean.
"Mereka bertekad untuk meyakinkan kita bahwa kejadian yang buruk menimpa
P.J." Sean menguap. "Oh, man, aku capek pagi ini. Aku bermimpi kalian sedang
menggotongku menuruni tangga ruang bawah tanah, bukan P.J. Aku berusaha
memberitahu kalian bahwa aku tidak mati—tapi kalian tidak mau dengar."
Reenie menepuk bahu Sean. "Mimpi yang mengerikan sekali."
"Taruhan deh, P.J. akan menunggu kita di sekolah—siap untuk menertawakan
kita," kata Sean.
Begitu mereka memarkir mobilnya di lapangan parkir untuk siswa, Reenie keluar
dari mobil dan mencari-cari P.J. di kerumunan anak-anak. Ia memperhatikan wajah
anak-anak di sana ketika ia dan Sean masuk ke gedung sekolah.
Tak ada P.J.
Mereka berlari menghampiri Greta dan Artie di koridor. Greta bahkan tidak
berbasa-basi lagi.
"Aku belum melihat P.J. Tapi ia pasti ada di sini di suatu tempat," kata Greta
kepada mereka.
"Aku tidak mengikuti mata pelajaran yang sama dengan dia. Kau bagaimana?"
tanya Artie kepada Reenie.
"Mata pelajaran kelima. Sejarah," jawabnya.
"P.J. akan ada di sana," kata Artie. "Ia tidak akan bolos sekolah hanya untuk
lelucon yang tidak bisa mengibuli siapa pun."
Artie benar, pikir Reenie. P.J. bukanlah tipe orang yang suka membolos. Aku salut
padanya karena berhasil memperdayai kami, dan itu akan menjadi akhir dari
lelucon kami.
Bel pertama berbunyi.
"Sampai makan siang nanti," seru Reenie. Ia melanjutkan untuk mencari-cari P.J.
atau Liz di koridor yang ramai, kemudian ia bergegas ke locker-nya dan terus
menuju kelasnya. Semua pelajaran sebelum makan siang terasa tanpa akhir.
Ketika bel berbunyi pada jam 12.30, Reenie menghambur ke kafetaria, berharap
ada yang telah melihat P.J. Ia harus tahu bahwa PJ. telah datang di sekolah.
Tapi ketika ia bertemu dengan Sean, Greta, dan Artie, mereka mengatakan bahwa
mereka masih belum menemukan P.J. Atau Liz.
Bahkan Ty.
Sean dan Artie mulai bicara tentang konser yang ingin mereka hadiri. Reenie
mencoba untuk mengikuti obrolan itu, tapi ia menjadi semakin cemas.
Kau bodoh, katanya pada dirinya sendiri. P.J. keluar dari belakang tungku perapian
itu. Yang berarti ia tidak mati. Yang artinya ini semua hanya lelucon. Tapi ia tetap
membayangkan kulitnya yang pucat, pucat sekali. Tubuhnya yang lemas dan
dingin.
Ketika bel pelajaran kelima berbunyi, Reenie melompat berdiri.
"Aku akan memberitahu kalian apa yang terjadi pada P.J. begitu sekolah berakhir,"
ia berjanji kepada teman-temannya. Ia ingin setidak-tidaknya salah seorang dari
mereka mengikuti pelajaran sejarah bersamanya sehingga ia tidak harus
menghadapi P.J. sendirian.
Reenie sampai di kelas sebelum orang lain—termasuk guru mereka. Setiap kali
pintu terbuka, ia mengangkat kepala untuk melihat apakah P.J. yang datang.
Lisa Blume berjalan masuk tanpa tergesa-gesa dan tersenyum pada Reenie.
"Kudengar kau mengadakn pesta yang amat liar tadi malam?"
Sejak tadi Reenie sudah menjawab banyak pertanyaan tentang pesta dan lelucon
yang bagaikan senjata makan tuan. Ia tak ingin membicarakan hal itu lagi. "Liar
sekali," gumamnya, lalu ia menunduk dan membaca buku sejarahnya.
Ia tetap mencuri-curi pandang ke bangku P.J. Tapi selalu mendapati bangku itu
kosong.
Bel kedua berbunyi—dan P.J. tetap tidak ada.
Reenie merasa perutnya melilit. Di mana dia? Mengapa P.J. tidak mau mengakhiri
leluconnya? Apakah ia begitu marahnya pada kami karena memainkan lelucon itu
padanya?
Aku ingin minta maaf padanya—dan Liz. Aku ingin ia memperlihatkan diri
sehingga aku bisa mengatakan padanya aku tak akan pernah memainkan lelucon
lagi. Tak pernah.
Reenie berusaha memusatkan perhatiannya pada pelajaran Mr. Northwood.
Kemudian ia menyerah—dan menatap kosong ke papan tulis. Ia tak akan ketahuan
bengong, sepanjang Mr. Northwood tidak memanggilnya.
Bel akhirnya berbunyi. Reenie tidak sabar untuk mengatakan pada Sean bahwa P.J.
tidak kelihatan. Ia meraup buku-bukunya dan menghambur ke luar.
Liz berdiri di koridor bersama Ty. Sempurna, pikir Reenie. Aku bisa minta maaf
dan menanyakan P.J. Ia buru-buru melewati koridor yang ramai dan berisik itu,
menghampiri mereka.
Tunggu, pikir Reenie, memperlambat langkahnya. Ada yang tidak beres. Wajah Liz
tampak merah dan bengkak.
Liz menangis, Reenie sadar. Menangis sesenggukan sampai bahunya berguncang.
Dan Ty sedang mencoba untuk menenangkannya.
Sebelum Reenie sampai kepada mereka, ia melihat Liz melepaskan diri dari Ty dan
berlari cepat-cepat di koridor. Ty ragu-ragu, kemudian mengikutinya.
Reenie menatap teman-temannya. Apa yang terjadi hari ini?
Kenapa Liz menangis?
Uh-oh. Tugas bahasa Inggris! Aku belum belajar. Dan melihat situasi hari ini, kami
akan mendapat ulangan Ms. Roper yang terkenal bengis itu.
Reenie melihat arlojinya. Masih beberapa menit lagi sebelum pelajaran dimulai. Di
mana aku bisa belajar cepat-cepat?
Ruang olahraga. Tidak ada pelajaran keenam di sana.
Sempurna. Ia buru-buru berjalan di koridor, berputar di pojokan, dan mendorong
pintu ganda ruang olahraga itu.
Ia naik ke bangku baris keempat, membuka diktat bahasa Inggrisnya, dan
mendengar sesuatu berdenting tepat di bawahnya.
Bolpoinnya jatuh.
"Hebat," gumam Reenie. Ibunya memberikan bolpoin itu kepadanya, bolpoin yang
sangat bagus dengan ukiran namanya. Jadi Reenie harus menemukannya.
Ia turun ke lantai ruang olahraga, bergegas ke balik bangku dan merangkak di
bawahnya.
Bangku kayu itu menjulang di atasnya ditopang banyak tiang dan rusuk raksasa.
Semua kelihatan sama. Di mana ia duduk tadi?
Reenie mendengar langkah-langkah kaki, suara-suara pelan.
Ada orang memasuki ruang olahraga ini.
"Ia lenyap... lenyap," bisik seorang cewek, suaranya gemetar.
Suara yang tidak asing. Suara Liz.
Sambil mengintip dari sela-sela bangku, Reenie melihat Liz dan Ty. Mereka berdiri
di bawah keranjang bola basket.
Ty mengelus rambut Liz dengan lembut.
"Ayo naik mobil keliling kota dan menyelidiki apakah ada yang telah melihat dia,"
saran Ty.
"Terima kasih," jawab Liz. Ia memeluk Ty.
Apa ini? Reenie bertanya dalam hati. Mungkinkah P.J. benar-benar hilang?
Seram rasanya mengintip mereka begini, pikir Reenie. Tapi aku perlu mengetahui
kebenarannya. Jika P.J. benar-benar hilang, aku tak tahu apa yang akan kulakukan.
Sementara Reenie mengawasi, Liz dengan lembut menarik kepala Ty mendekat
dan menciumnya. Ciuman yang panjang dan dalam.
Tunggu, pikir Reenie. Liz menangis tersedu-sedu beberapa menit yang lalu. Dan
sekarang ia mencium Ty seakan-akan semuanya beres. Kenapa?
Bel berbunyi. Liz dan Ty berjalan ke luar ruang olahraga, sambil bergandengan
tangan. Reenie melihat bolpoinnya dan meraih benda itu. Ia berlari-lari kecil ke
kelas bahasa Inggris.
Ia duduk di bangkunya kira-kira sepuluh detik sebelum bel terlambat berbunyi.
"Nyaris saja," Ms. Roper memberi peringatan, memandang Reenie dengan tajam.
"Kalian semua sudah melakukan tugas membaca Julius Caesar," serunya.
"Sekarang, siapa yang ingin menceritakan apa yang terjadi?"
Tak seorang pun yang mau menjadi sukarelawan. Mata guru itu memperhatikan
ruangan, mencari-cari korban.
Jangan aku, Reenie memohon, sambil merendahkan duduknya di bangkunya.
Tolong, jangan aku.
Mata Ms. Roper tertuju pada orang lain. "John, kauceritakan kepada kami apa yang
terjadi di drama itu."
"Uh..." John Clayton hadir di pesta Reenie. Ia barangkali tidak membaca drama itu
juga.
"Kau sudah membacanya, bukan?" tanya Ms. Roper.
"Uh... well..." John tergagap.
Pintu terbuka. Mr. Hernandez, kepala sekolah, menyembulkan kepalanya.
"Sebentar, anak-anak," kata Ms. Roper. Ia menghampiri Mr. Hernandez di koridor,
menutup pintu di belakangnya.
Beberapa saat kemudian ia muncul. "Reenie, Mr. Hernandez ingin bicara
denganmu." Semua orang menatap Reenie.
Reenie berdiri dengan pelan, mengumpulkan buku-bukunya. Ia tidak pernah
dipanggil ke luar kelas oleh kepala sekolahnya.
Pasti ada masalah serius. Kepala sekolah tidak memanggil murid ke luar kelas jika
tidak ada kejadian serius.
Reenie melangkah ke koridor. Polisi yang datang ke pestanya berdiri di samping
kepala sekolah itu.
"Sersan Jackson punya beberapa pertanyaan untukmu. Silakan pergi dengannya,"
kata Mr. Hernandez.
Ia mengusapkan tangannya dengan gugup di rambutnya yang tipis. Pikiran yang
buruk berputar-putar di otak Reenie. Apakah ini tentang telepon main-main itu?
Atau sesuatu yang lain? Apakah sesuatu yang sungguh-sungguh mengerikan telah
terjadi?

Chapter 23
TERLAMPAU JAUH

PETUGAS itu mengajak Reenie ke kafetaria yang kosong.


Greta, Artie, Sean, dan Sandi duduk di meja panjang di bagian belakang. Seorang
pria bertubuh tinggi kurus memakai setelan warna abu-abu berdiri di belakang
mereka.
"Duduklah," perintah Officer Jackson.
Reenie bergabung dengan teman-temannya duduk di meja itu.
Mereka sekilas bertukar pandang dengan cemas.
"Ini Detektif Frazier," kata polisi itu, sambil mengangguk ke arah pria satunya. "Ia
akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada kalian."
Detektif itu duduk di ujung meja panjang itu. Reenie merasa wajahnya merah
ketika matanya bertatapan dengan mata detektif itu.
"Aku mengerti kalian suka memperdayai satu sama lain," ujar Frazier. "Benar,
kan?"
"Itu hanya... hanya lelucon," kata Artie gagap. "Semuanya hanya untuk bersenang-
senang."
"Siapa di antara kalian yang bernama Maureen Baker?" tanya Frazier.
"Saya," jawab Reenie. "Tapi semua orang memanggil saya Reenie."
"Kau mengadakan pesta Natal di rumahmu tadi malam?"
"Ya."
"Dan kalian memainkan beberapa dari tipuan ini kepada yang lainnya?"
Reenie menggangguk. Kenapa polisi ini menanyai kami? Ia tiba-tiba merasa
cemas. Menurut mereka kami melakukan apa?
Apakah mereka marah karena mereka pikir kami melakukan telepon main-main?
"Aku ingin mendengar dari kalian satu per satu." Detektif Frazier menoleh kepada
Artie. "Sebutkan namamu dan apa yang terjadi tadi malam."
Artie menceritakan semuanya kepada detektif itu. Rencana untuk memperdayai P.J.
Dan bagaimana mereka merasa telah sukses—tapi ternyata P.J. melakukan tipuan
yang jauh lebih baik terhadap mereka.
"Itukah yang terjadi?" tanya detektif itu sambil menatap Sean.
"Ya," jawab Sean. "Betul."
"Kami selalu mencoba untuk menakut-nakuti satu sama lain,"
Greta menjelaskan. "Itu hanya permainan."
"Jadi P.J. kelihatan sudah meninggal?" Detektif itu memandang ke sekeliling meja
itu.
"Ya, dan ia membuat saya takut setengah mati," Sandi mengakui.
Bagaimana dengan kami? pikir Reenie pahit. Sandi kan tidak harus mengangkat
tubuh P.J. menuruni tangga.
"Saya... saya pikir ia tidak bernapas," kata Artie.
"Jadi kalian menggotong dia ke lantai bawah tanah? Tapi ketika kalian mengecek
kira-kira lima menit kemudian, ia sudah lenyap," kata detektif itu. "Apakah itu
cerita kalian?"
Cerita? Kenapa ia menyebut semua ini hanya sebuah cerita?
Reenie heran. Apakah ia tidak mempercayai kami?
"Betul," jawab Sean. "Dan kami di atas hanya kira-kira lima menit. Dan P.J. sudah
tidak ada."
Detektif Frazier mendengarkan ketika satu per satu di antara mereka menceritakan
cerita yang sama. Ia mengulangi pertanyaan yang sama kepada mereka satu per
satu.
"Kenapa Anda menanyakan semua ini kepada kami?" Sandi ingin tahu. "Kami
tidak melanggar hukum. Ini hanya lelucon yang konyol."
"Kurasa bukan hanya lelucon," jawab detektif itu dengan muram. "Kami
menemukan jaket P.J. di Fear Street Woods, di dekat danau. Kakak perempuannya
melaporkan ia tidak pulang tadi malam."
Reenie merasa jantungnya berhenti berdenyut. "Ia... ia benar-benar hilang?"
tanyanya dengan suara melengking.
"Ya. Ia hilang," jawab Frazier. "Mungkin lelucon seseorang berkembang terlampau
jauh."
Chapter 24
MASALAH DENGAN MOBIL MARC

"KAMI khawatir tentang apa yang menimpa temanmu," kata Detektif Frazier
kepada mereka. "Kalian masing-masing kuberi kartu namaku. Jika kalian ingat apa
pun yang belum kalian ceritakan—penting atau tidak penting—teleponlah."
Setelah itu Detektif Frazier mengakhiri pertanyaannya. Pihak sekolah memberi izin
tidak mengikuti pelajaran untuk hari itu.
"Apa yang mungkin terjadi pada P.J.?" tanya Greta ketika mereka berjalan di
lapangan parkir.
Reenie tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. "Kenapa ia berada di Fear Street
Woods setelah pesta itu?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan kita," Sandi berkeras. "Kita melakukan
lelucon, itu saja. P.J. mendapat kesulitan setelah ia meninggalkan rumah itu."
"Sandi benar," Sean setuju. "Begitu kita meninggalkan lantai bawah tanah, ia
barangkali menyelinap ke atas dan keluar lewat pintu belakang. Kemudian—"
"Apakah kau pikir mungkin seseorang membunuh dia?" tanya Artie. Ia menelan
ludah.
Reenie menangkap ketakutan di mata Artie. Reenie bergidik.
"Tunggu," desak Sean. "Kenapa kita menduga kejadian yang paling buruk? Kita
cuma tahu ada yang menemukan jaket P.J. di hutan. P.J. bisa saja tak apa-apa."
"Yeah!" Artie cepat-cepat menyetujui pendapat Sean. "P.J. bisa saja tidak apa-apa."
"Polisi itu tidak berpikir ia baik-baik saja," Greta menjelaskan.
"Dan demikian juga Liz," kata Reenie kepada mereka. "Kudengar dia mengatakan
kepada Ty bahwa P.J. hilang. Bahkan polisi itu mengatakan ia tidak pulang ke
rumah tadi malam. Bagaimana jika mereka tidak pernah menemukan dia?"

***

"P.J. telah hilang hampir seminggu. Kudengar polisi sedang merencanakan untuk
mengeruk Fear Lake untuk mencari tubuhnya," kata Reenie. Ia menutup buku
trigonometrinya keras-keras dan menjatuhkan dirinya di ranjang. "Ini membuat aku
gila. Aku memikirkan P.J. terus. Aku bisa tidak lulus dalam semua pelajaran."
"Aku tahu," jawab Greta dari meja Reenie. "Aku terus berharap waktu itu kita
tidak melakukan lelucon yang konyol itu padanya. Aku berharap saat itu
menemaninya di pesta itu. Kami bisa mengobrol dengan asyik, kau tahu?"
Reenie menghela napas lagi dan menatap sampul buku trigonometrinya. "Soal
nomor berapa yang kaukerjakan?"
"Nomor empat," jawab Greta. "Tapi aku tidak mengerjakannya. Aku hanya
mencoba untuk memahaminya."
"Hih. Soal itu. Aku tak bisa mengerjakannya juga. Kita butuh Sean."
Reenie melemparkan bukunya ke lantai. "Aku ingin tahu apakah kita akan pernah
mengetahui apa yang terjadi pada PJ."
"Mungkin tidak," jawab Greta. "Terkadang orang lenyap begitu saja. Hilang. Tak
seorang pun pernah melihat mereka lagi."
Reenie menggigil. Ia benci memikirkan orang bisa lenyap. Puf! Seakan-akan
mereka diculik ke planet lain.
Reenie memutuskan tidak ingin membicarakan P.J. "Kau tahu apa yang
kaurencanakan untuk Natal?" tanyanya, bertekad untuk mengubah pokok
pembicaraan.
Greta berdiri dan menggeliat. "Hah? Oh, Natal. Aku belum memikirkan soal itu.
Kukira aku tidak punya semangat liburan."
"Kenapa tidak? Di samping kejadian ini, maksudku."
"Aku memutuskan untuk putus dengan Artie."
"Jangan!" Reenie merasa sesak napas. "Kalian kan sudah lama pacaran."
"Aku muak dengan Artie. Ia menghabiskan waktunya dengan Marc, dan ia akan
berhenti sekolah."
"Kupikir ia sudah bosan dengan Marc," protes Reenie. "Maksudku, setelah Marc
melarikan diri dan meninggalkan kita di pesta itu—ketika semua orang mengira
P.J. mati."
"Itu berlangsung kira-kira dua hari." Greta membelalakkan matanya. "Ia seakan
kecanduan Marc. Ia tidak bisa berpisah dengan Marc."
"Mungkin Artie sedang mengalami fase yang aneh." Reenie duduk dan mulai
mengepang rambutnya.
"Kau sudah memeriksa ramalan bintangnya?" goda Reenie.
Greta tidak tersenyum. "Ia ingin bekerja di pabrik mobil dengan Marc. Ia ingin
punya mobil seperti mobil Marc. Ia bilang sekolah hanya membuang-buang waktu
dan universitas hanya untuk anak-anak kaya yang manja," kata Greta kepada
Reenie. "Apakah itu kedengarannya seperti cuma fase yang aneh?"
Reenie menggelengkan, kepalanya. "Maaf, Greta. Kapan kau akan mengatakan
kepada Artie bahwa kau akan putus dengan dia?" "Setiap hari aku berjanji pada
diriku sendiri akan memutuskan hubunganku dengan dia. Kemudian aku takut
mengutarakannya."
"Menurutmu bagaimana reaksinya nanti?" tanya Reenie.
"Tak tahu deh." Greta menatap lantai. "Sulit mengatakannya kepadanya."
Greta duduk di ranjang di samping Reenie. "Aku harus mengatakannya sekarang.
Aku akan merasa lebih baik kalau sudah melakukannya. Temani aku—tolong. Kita
belum menyelesaikan tugas, dan aku butuh dukungan moral."
"Bagaimana caranya? Aku tak bisa mewakilimu untuk mengatakannya kepada
Artie," kata Reenie.
"Aku tak ingin kau mewakiliku untuk mengatakannya kepada Artie," kata Greta.
"Tapi jika kau menemaniku, aku tahu aku tak akan ragu untuk mengatakannya."
"Entahlah. Apa itu fair buat Artie? Bagaimana perasaannya jika kau memutuskan
hubunganmu dengan dia di depanku?"
"Ayolah, Reenie. Aku butuh bantuanmu. Aku jadi gila karena harus berpura-pura
semuanya beres di antara kami. Aku harus mengatakan kepada Artie yang
sebenarnya."
"Oke," Reenie mengiyakan.
"Terima kasih." Greta menekan tangan Reenie. "Aku sungguh-sungguh
menghargai bantuanmu."
Mereka mengambil mantel.
"Cepat," desak Greta kepada Reenie. "Aku tak ingin mundur karena takut lagi."
Mereka meloncat masuk ke Civic kecil Greta. Greta tampak semakin gugup begitu
mereka hampir sampai ke rumah Artie. Ia melaju di Old Mill Road.
"Lampu merah!" seru Reenie. "Lampu merah!"
Greta mengerem mobilnya sampai berdecit-decit. "Maaf. Tidak lihat sih."
Reenie merasa lega ketika mereka akhirnya sampai juga.
Kupikir lebih baik aku yang menyetir mobilnya kalau pulang nanti, ia
memutuskan. Ia mengikuti Greta ke rumah Artie, berjalan dengan hati-hati di atas
jalanan yang berlapis es.
Greta ragu-ragu di luar pintu rumah Artie. Kemudian ia menghirup napas dalam-
dalam dan memencet bel pintu.
Artie segera membuka pintu. Sebelah wajahnya penuh oli.
"Hai. Masuklah. Kulihat kalian berhenti. Aku ada di garasi bersama Marc. Kami
sedang membetulkan mobilnya."
Greta menghirup napas dalam-dalam lagi. "Aku ingin mengatakan sesuatu
kepadamu, Artie—tapi tidak di depan Marc, oke?"
Artie mengerutkan kening. "Uh, tentu. Biar kuberitahu dia agar di sana saja untuk
sementara."
Reenie mendengar pintu belakang dibuka dan ditutup ketika
Artie kembali ke garasi.
"Kuharap aku bisa mengatakannya, Reenie."
"Kau pasti bisa," Reenie meyakinkan Greta.
Aku berharap aku tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, pikir Reenie. Aku
tahu aku akan kacau jika putus dengan Sean.
Greta akan mengatakan sesuatu. Tapi berhenti ketika jeritan terdengar dari garasi.
Jeritan ketakutan yang melengking mengerikan. Reenie dan Greta berlari-lari
melewati dapur dan keluar dari pintu belakang. Jeritan itu semakin keras. Suara
paling mengerikan yang pernah didengar Reenie.
Greta mengempaskan pintu garasi hingga terbuka. "Tidaaakkk!" ratapnya.
Reenie masuk ke garasi. Greta dan Artie menatap mobil Marc.
Reenie merasa seolah sebongkah es meluncur di tulang belakangnya.
Sesosok tubuh telentang di atas tutup mesin merah yang mengilap.
Tubuh Marc.
Darah menetes-netes dari mulut dan hidungnya.
Dan kepalanya... kepalanya...
Oh, kepalanya...
Kepalanya terpuntir di lehernya...
Menghadap ke belakang seratus delapan puluh derajat.

Chapter 25
BUKAN LELUCON

REENIE mundur hingga membentur dinding garasi. Ia tidak ingin melihat. Tidak
ingin melihat tubuh telentang di atas tutup mesin itu. Darah itu. Kepala yang
terpuntir ke belakang.
Tapi ia tidak bisa berpaling.
Dan ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak membayangkan apa yang terjadi.
Urat yang sobek. Tulang leher yang patah.
Apakah Marc langsung mati ketika lehernya dipuntir? pikir Reenie.
Apakah ia sadar apa yang menimpa dirinya?
Reenie memandang wajah Marc. Mulutnya masih membentuk jeritan tanpa suara.
Matanya terbelalak ketakutan.
Marc tahu, pikir Reenie. Marc tahu. Akhirnya ia berpaling. Ia tidak tahan melihat
pemandangan yang mengerikan itu lebih lama lagi.
Artie pelan-pelan mundur dari mobil itu, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Marc—ia tadi tak apa-apa. Baik-baik saja," ia berkeras. "Keadaannya baik ketika
aku meninggalkan dia!"
Greta mengerang pelan, matanya terpaku pada tubuh Marc yang tertekuk.
Reenie merasa pusing. Berdirinya goyah. Ia harus berkonsentrasi agar tetap berdiri
tegak.
Berpikirlah, ia memerintahkan dirinya sendiri. Berpikirlah.
"Kita harus pergi dari sini," kata Reenie tanpa berpikir lagi. "Siapa pun yang
membunuh Marc bisa saja sekarang sedang mengawasi kita di sini!"
"Marc tadi baik-baik saja," Artie mengulangi. "Sedang memasang kawat busi. Ia
tak apa-apa. Semenit yang lalu."
"Kita harus menelepon polisi. Ayo!" perintah Reenie. "Jangan sentuh apa pun,"
katanya, lalu ia menangkap lengan Greta dan menariknya ke luar dari garasi,
sambil mendorong Artie di depan mereka.
Begitu sampai di dalam rumah, mereka memeriksa kunci-kunci di semua pintu dan
jendela. Reenie menelepon 911. Kemudian ia duduk di sofa bersama Greta dan
Artie.
"Pembunuhan itu perlu kekuatan yang besar,""kata Artie.
"Apa?" tanya Reenie. Ia merasa mati rasa. Suara Artie sayup-sayup di telinganya
seperti tertiup angin dari kejauhan.
"Memuntir leher seseorang seperti itu. Siapa pun yang melakukan pasti kuat—kuat
sekali."
"Kau benar," Reenie mengiyakan.
Greta tidak mengatakan apa-apa. Ia menatap karpet di depannya dengan pandangan
kosong.
"Harus cepat juga," Artie melanjutkan. "Marc hanya sendirian kira-kira semenit.
Kita bahkan tidak mendengar jeritannya."
"Yeah," Reenie setuju.
"Ini seperti permainan kita," gumam Greta.
Reenie menoleh dan menatapnya. "Apa?"
Greta tidak menjawab. Tubuhnya bergerak ke depan dan belakang, lengannya
memeluk dirinya sendiri.
"Apa katamu, Greta?" desak Reenie.
"Persis seperti kita memperdayai satu sama lain," jawab Greta dengan suara datar.
"Tapi sekarang seseorang memainkannya dengan sungguh-sungguh."
"Tapi siapa dia?" tanya Reenie.
Pertama P.J. Sekarang Marc.
Siapa yang melakukannya?
Dan kemudian pertanyaan yang menakutkan muncul di benaknya: Siapa
berikutnya?
Chapter 26
JANGAN LAGI

REENIE melirik kaca spion sekilas. Tidak ada yang aneh.


Bagus.
Ia mencengkeram setir mobil ibunya. Menekannya sampai buku-buku jarinya sakit.
Aku ingin tahu apakah aku akan pernah merasa aman pergi sendirian?
Masuk akal jika aku gelisah, kata Reenie kepada dirinya sendiri.
Baru seminggu semenjak Marc dibunuh. Konsentrasi pada setir saja. Dalam
beberapa menit kau akan berada di Burger Basket dengan Sean dan Ty.
Mobil Sean mogok. Saluran bensinnya rusak, Sean memberitahu dia. Jadi ia harus
menjemput Sean pulang dari kerja. Ty juga.
Liz Berjanji akan menjemput Ty. Tapi ia membatalkannya di menit terakhir. Liz
merasa ketakutan sehingga tak berani keluar di malam hari.
Tak seorang pun ditahan karena pembunuhan Marc. Dan polisi tidak punya
informasi baru tentang lenyapnya P.J. Jadi pembunuh itu bisa saja bergentayangan
di mana-mana.
Reenie memarkir mobilnya di tempat parkir Burger Basket. Ia memeriksa tempat
itu dengan hati-hati—tak seorang pun ada di sana.
Ia keluar dari mobil, mengunci pintunya, kemudian bergegas menuju pintu masuk.
Sesuatu bergerak. Di samping kirinya.
Reenie berjalan lebih cepat.
Langkah-langkah kaki.
Di belakangnya.
Reenie langsung lari.
"Hei, tunggu!"
Reenie berbalik. Sandi berlari-lari kecil menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Sandi. "Kau tidak lihat aku melambaikan tangan?"
"Maaf. Kau membuatku takut. Ngapain kau di sini? Tempat ini akan tutup kira-kira
tiga puluh menit lagi."
Sandi memakai pakaian tebal, mantel hitam tebal berbulu halus yang panjangnya
sampai ke tumit. Ketika menjawab, napasnya tampak berupa kepulan asap putih.
"Aku ke sini untuk menjemput Ty."
Apa? pikir Reenie. Sandi dan Ty? Apa yang terjadi di sini?
"Aku, uh, kupikir ia pacaran dengan Liz."
"Itulah sebabnya aku di sini," Sandi menjelaskan, tersenyum puas pada dirinya
sendiri. "Kupikir Liz tahu lebih daripada yang dikatakannya tentang kejadian yang
menimpa adiknya. Dan kupikir Ty mungkin tahu apa yang diketahui Liz."
"Apa tidak lebih baik kaubiarkan polisi saja yang melakukan penyidikan?"
"Aku hanya ingin bicara dengan Ty. Apa salahnya?"
"Tidak ada," jawab Reenie. "Kukira."
Aku tak mengerti, pikir Reenie. Kenapa Sandi mendadak begitu bersemangat
tentang semua ini?
Reenie menatap Sandi, sambil mencoba untuk memahami sikapnya yang baru,
kemudian mereka masuk ke Burger Basket.
"Awas," Sean memperingatkan. "Lantai licin.
Sean mengayunkan alat pel yang basah itu ke depan dan belakang di lantai
keramik.
"Ty ada?" tanya Sandi.
"Di belakang, sedang membereskan gudang. Ia akan selesai sebentar lagi."
"Aku akan menunggu," katanya kepada Sean. Sandi melemparkan mantelnya di
salah satu meja. Ia memakai sweter panjang biru di atas celana ketat hitam.
Sean mengepel sampai di ujung counter dan berhenti. "Fiuh! Lantainya selesai.
Kami tidak lama lagi sekarang. Begitu kami menyelesaikan pekerjaan di belakang,
kita bisa keluar dari sini."
Sean mengunci pintu. "Kami resmi tutup," ia mengumumkan. Ia menyelinap ke
belakang counter dan kemudian menghilang ke dapur.
Sandi mondar-mandir di lantai yang baru dipel Sean, meninggalkan jejak yang
basah. Reenie jengkel dan memandang
Sandi dengan kening berkerut. Sandi tampaknya tidak menyadarinya.
"Tanganku terasa lengket semua," kata Reenie kepada Sandi. "Aku akan cuci
tangan."
Sambil melangkah dengan hati-hati supaya tidak mengotori lantai yang baru dipel
Sean, Reenie berjalan ke toilet wanita.
Reenie mengamati wajahnya di kaca sambil mencuci tangan.
Aku tak keberatan kalau secantik Sandi, pikirnya. Tapi Ty cowok yang cerdas.
Bisakah Sandi membuat Ty mengatakan semuanya dengan cara merayunya?
Reenie mengeringkan tangannya dengan handuk kertas. Ia mendorong pintu
hingga terbuka—dan ragu-ragu. Restoran itu terasa sepi. Menakutkan, meskipun
semua dindingnya dihiasi Sinterklas yang sedang tersenyum.
Ayo, Reenie menghardik dirinya sendiri. Tentu saja sepi. Hanya ada tiga orang lain
di tempat seluas ini!
Reenie bergegas menuju counter depan. Sandi tidak ada.
"Hei!" panggil Reenie. "Kalian di mana?" Tidak ada jawaban.
Reenie mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Di suatu tempat sebuah motor
kecil menderum memecah kesunyian. Mungkin bunyi kulkas, pikirnya. Restoran
itu sunyi senyap seperti kuburan.
"Hei, Sean!"
Suara Reenie memantul di dinding keramik kuning itu. Matanya memandang ke
sekelilingnya. Ke atas meja-meja yang kosong. Dapur yang sepi. Jejak kaki Sandi
yang masih basah di lantai. Papan menu yang terang di atas counter—Big Cheeser,
$2.89; medium drink, $1.75.
"Ty!" panggilnya.
Gema suaranya sendiri yang menyahut, diikuti oleh keheningan.
Tubuhnya merinding.
"Hei, Sandi!" teriak Reenie. "Di mana kau?"
Ayolah, kata Reenie kepada dirinya sendiri, Sandi ada di belakang—dengan Ty dan
Sean. Di mana yang lainnya? Mereka semua akan menertawakannya jika tahu
betapa takutnya dia.
Ketakutan?
Aku?
Hanya karena seseorang membunuh Marc dan mungkin P.J.?
Dua orang yang hadir di pestanya. Dan yang memainkan permainan yang sama
dengan, yang biasa kulakukan dengan teman-temanku.
Kenapa aku harus takut?
Tubuh Reenie merinding lagi. Ia berjalan ke dapur. Tidak ada masalah. Tak ada
yang perlu dicemaskan.
Lantai itu masih basah, dan sangat licin.
Meja baja tahan karat mengelilinginya. Tudung kipas dapur dari metal yang besar
menjulang di atasnya. Sejenak ia merasa tersesat.
Di mana benda itu?
Di mana pintu ke belakang?
Kemudian ia melihat pintu itu. Di samping kirinya. Ia membelok. Kakinya
terpeleset di lantai yang licin. Dan ia jatuh. Mendarat keras di atas lantai keramik.
Reenie menggeleng-gelengkan kepalanya. Boy, tidakkah ini lemah gemulai?
Untung tak seorang pun melihatku. Ia berdiri—dan menjerit.
"Jangan lagi. Oh, tolong! Jangan lagi."
Chapter 27
SEPERTI SAMPAH

SEMOGA ini hanya lelucon, doa Reenie. Semoga ini salah satu dari lelucon kami
yang paling memuakkan yang pernah kami mainkan.
Sepasang kaki mencuat dari tempat sampah besi.
Sepasang kaki yang panjang dan dibalut celana ketat hitam.
Reenie beringsut mendekati tempat sampah itu dan mengintip ke dalamnya.
Sandi! Dijejalkan dengan wajah tertelungkup di antara roti-roti hamburger,
potongan selada, dan kentang goreng basi. Mayones menetes-netes dari salah satu
kakinya.
Reenie menjerit lagi. Menjerit sampai tenggorokannya terasa panas.
Langkah kaki berdebam-debam menghampiri dia. Sean dan Ty menghambur
masuk lewat pintu.
"Ada apa?" tanya Sean ingin tahu. "Kami di luar. Tutup tempat sampah—"
"Sandi!" Reenie tercekik. "Ia... ia..." Reenie menunjuk tempat sampah. "Itu... itu
Sandi."
Sean dan Ty menghambur menghampiri tempat sampah itu dan membaliknya.
Sandi meluncur ke lantai keramik bersama timbunan daun selada yang lembek,
serbet kertas, kotak kardus hamburger, dan sisa-sisa makanan.
"Wow!" bisik Ty. "Wow."
Sekujur tubuh Reenie dingin.
Mata Sandi melotot menatap langit-langit. Tetapi ia terbaring di atas dadanya. Di
atas dadanya.
Kepalanya telah dipuntir ke belakang. Persis seperti kepala Marc.
Dan wajahnya memperlihatkan ekspresi ketakutan yang sama.
Mata birunya membelalak ketakutan.

Chapter 28
UNDANGAN YANG MENGEJUTKAN

"TIGA anak yang kita kenal dibunuh," kata Reenie sedih.


"Sepertinya seseorang di luar sana sedang mengincar kita. Teman-teman kita.
Kita!"
"Jadi apa hadiah untuk Natal?" tanya Artie kepada yang lainnya yang sedang
berkumpul di kamar Reenie.
"Artie," Greta mengerang. "Perasaan sedikit dong!"
"Hei, aku ingin mencerahkan suasana sedikit," jawab Artie. "Aku tak memahami
kalian, guys, tapi aku ingin tertawa sedikit."
"Aku yakin kejadian ini berhubungan dengan permainan kita," ujar Greta. "Tiga
orang. Dan mereka semua ikut ambil bagian dalam salah satu lelucon kita. Apa ada
hubungan lainnya di antara P.J., Marc, dan Sandi?"
"'Aku punya ide," Sean mengumumkan. "Ide itu muncul ketika aku memasang
selang bensin baru di mobilku—dan mengingat apa yang terjadi pada Marc ketika
ia membetulkan mobilnya."
Reenie merinding, mencoba untuk melupakan bayangan kepala Marc yang
terpuntir.
"Katakan kepada kami," desak Greta.
"Kupikir PJ. pembunuhnya," kata Sean.
"Tapi... ia sudah mati!" seru Reenie.
"Mati?" tanya Sean. "Apa ada orang yang melihat mayatnya?"
"Ia menghilang beberapa minggu," ujar Reenie. "Satu-satunya barang yang pernah
diketemukan oleh polisi adalah jaketnya. P.J. ada di luar sana, sedang bersembunyi
di suatu tempat—dan membunuh kita satu per satu."
"PJ.?" Artie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ayolah. Anak itu penakut. Ia tak
bisa membunuh siapa pun."
"Coba pikir," desak Sean. "Ia punya alasan untuk menghabisi Sandi dan Marc.
Mereka memainkan peranan terbesar waktu mempermalukan dia."
"Tapi bagaimana ia masuk ke dalam Burger Basket?" tanya Reenie. "Pintunya kan
dikunci."
Mereka saling bertukar pandang. Mereka membicarakannya selama berjam-jam
setelah peristiwa itu terjadi. Tapi tak seorang pun tahu jawabannya.
"Aku tak tahu bagaimana caranya ia masuk ke dalam Burger Basket," Sean
mengakui. "Tapi orang kan bisa saja mencari jalan. Kenapa P.J. tidak?"
"P.J. sangat cerdas," Greta mengingatkan mereka.
"P.J. benar-benar Houdini," Artie memberi pendapat. "Kembali dari kubur dan
bergentayangan di jalan-jalan Shadyside."
Reenie menatap Artie.
"Apa kau ingin giliran berikutnya?" tanya Reenie ingin tahu. "Apakah kau ingin
mati dengan kepala dipuntir ke belakang? Bagaimana kau bisa bercanda mengenai
semua ini?"
"Maaf," gumam Artie.
Reenie menghela napas. "Maafkan aku juga. Aku jadi gila memikirkan semua
orang yang kutemui bisa saja si pembunuh. Aku bahkan berpikir pembunuh itu Ty."
"Ty?" teriak Greta. "Tidak."
"Tapi ia di Burger Basket ketika pembunuhan itu terjadi. Dan kami jarang
melihatnya lagi," kata Reenie.
"Tidak," protes Sean. "Aku bersama Ty dari saat aku meninggalkan kau dan Sandi
di depan sampai kami mendengar kau menjerit."
"Ia tidak bergabung dengan kita karena Liz," Greta menambahkan. "Sekarang
mereka bersama-sama sepanjang waktu. Dan kita tahu kenapa Liz menghindari
kita."
"Kupikir P.J. sedang menuntut balas," kata Sean kepada mereka. "Dan mungkin ia
tidak hilang. Mungkin ia mengincar kita."
"Tapi di mana ia bersembunyi selama ini?" tanya Reenie ingin tahu.
"Mungkin Liz menyembunyikan dia," Artie memberi pendapat. "Ia bisa saja
sembunyi di rumahnya sendiri!"
"Polisi pasti telah memeriksa rumah itu," kata Reenie. "Memeriksa rumah mungkin
salah satu langkah pertama yang mereka lakukan."
"Well, kupikir pembunuh itu P.J., dan kupikir ia sedang bersembunyi di suatu
tempat," Sean berkeras.
"Misalnya di pondok di dalam hutan!" seru Artie. "Ada beberapa pondok di dekat
Fear Lake. Pondok-pondok itu semuanya kosong. Tak seorang pun menghuninya di
musim dingin begini."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Reenie. "Melapor ke polisi?"
"Mengapa mereka harus mendengarkan kita?" desak Artie.
"Artie benar," Sean setuju. "Kita hanya bisa mengatakan kepada mereka bahwa
kita berpikir P.J. adalah pembunuh itu, dan kita berpikir P.J. bersembunyi di suatu
tempat. Mereka tidak akan menaruh perhatian pada kita."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Reenie.
"Mungkin kita seharusnya gantian mengikuti Liz," saran Greta. "Ia mungkin
membimbing kita bertemu P.J."
"Mari kita coba bicara dengan Liz dulu," kata Sean. "Liz tidak akan mengatakan
kepada kita hal-hal yang akan merugikan P.J. Tapi kita mungkin bisa mengetahui
apakah ia percaya P.J. mati—dan apakah ia menyalahkan kita."
"Ide bagus." Artie melompat berdiri dan mulai mondar-mandir di ruangan itu.
"Karena seandainya P.J. pembunuhnya, aku ada di urutan paling atas."
"Mungkin kau seharusnya bicara dengan Liz sendirian, Reenie," kata Greta. "Kau
teman dekatnya. Dan ia tidak akan banyak bicara di depan sekelompok orang."
Reenie menatap wajah mereka bergantian. Mereka semua menginginkan aku yang
melakukan itu, ia sadar. "Oke, aku akan mencoba. Tapi aku yakin Liz membenciku
setelah apa yang terjadi di pestaku."
***

Salju yang ringan mulai berjatuhan ketika Reenie menghentikan mobilnya di depan
rumah Liz di Fear Street. Ia memarkir mobil itu di taman dan duduk di sana,
enggan keluar.
Ia memperhatikan rumah-rumah di sekitar sana. Salju menutupi atap-atap rumah
dan halaman rumputnya, membuat semuanya putih kecuali jendela-jendelanya.
Jendela-jendela itu menatapnya seperti mata-mata yang gelap.
Reenie menggigil. Aku tak suka Fear Street, pikirnya.
Jadi pergilah untuk bicara dengan Liz. Kemudian kau bisa segera angkat kaki dari
sini.
Reenie keluar dari mobil dan berjalan di jalan masuk rumah Liz. Di tengah
perjalanan ke rumah itu, pikiran yang menakutkan menghantuinya.
Bagaimana seandainya P.J. benar-benar pembunuh itu? Dan bagaimana seandainya
ia tinggal di rumah itu? Bagaimana seandainya ia sedang menunggu di sana
sekarang ini—sedang menungguku?
Pintu terbuka.
Reenie menyentakkan kepalanya ke atas. Liz melangkah ke teras dan berdiri di
sana mengawasinya.
Uh-oh. Terlambat untuk mengkhawatirkan hal itu sekarang, pikir Reenie. "Hai!"
sapanya ketika ia melanjutkan berjalan di jalan masuk.
Liz tidak menjawab. Ia terus menatap Reenie, ekspresi wajahnya kosong,
lengannya disilangkan di depan dadanya.
Reenie melangkah naik ke atas ke samping Liz.
"Apa yang kauinginkan?" tanya Liz dingin.
"Well, aku ingin bicara denganmu." Ini akan sulit, pikir Reenie. Ini akan menjadi
begitu sulit.
"Mengenai apa?"
Reenie membalas tatapan mata Liz yang tajam. "Aku ingin minta maaf. Kami
semua melakukannya. Kami tak bermaksud untuk melukai P.J. Kami pikir
semuanya tidak berakhir buruk—"
"Adikku hilang," Liz menyela. "Ia mungkin saja mati."
"Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi kami cuma memainkan lelucon—itu saja."
"Permintaan maafmu tidak akan mengubah apa pun. Semua yang bisa kupikirkan
adalah P.J. Aku tetap membayangkan semua kejadian mengerikan yang mungkin
menimpa dia. Aku tetap membayangkan..."
Suara Liz menjadi serak. Reenie melihat air mata di matanya.
Reenie mengulurkan tangannya untuk merangkul Liz.
Liz mundur. Ia membelakangi Reenie ketika berusaha untuk mengendalikan air
matanya.
Reenie membuka tasnya dan mengambil tisu. Ia menepuk lengan Liz dan
mengulurkan tisu itu padanya.
"Trims," bisik Liz. Ia membersit hidungnya. Kemudian ia menenangkan diri dan
berpaling menghadap Reenie.
Reenie merasa air mata mengembang di matanya. Ia telah menghabiskan banyak
waktu untuk memikirkan Liz dan bagaimana perasaannya. Semuanya terjadi begitu
cepat—lenyapnya P.J., pembunuhan Marc, pembunuhan Sandi.
"Aku harus mengatakan kepadamu sekarang juga," Reenie mengakui. "Kita
berteman, betul kan? Aku seharusnya menemanimu."
Liz menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku dulu tak ingin kau di sini, Reenie," kata Liz pelan. "Aku masih tidak
ingin. Setiap kali aku melihatmu, aku memikirkan P.J. Tentang apa yang
kaulakukan pada adikku."
"Tidak bisakah kau memberi kami semua kesempatan lagi?" pinta Reenie.
"Terutama sekarang, dengan pembunuh yang masih berkeliaran. Kita semua harus
bersatu."
Kemarahan berkelebat di mata Liz. "Pergilah, Reenie. Aku tahu kau menyesal.
Tapi aku tak bisa memaafkanmu atas apa yang kaulakukan pada P.J. Tidak akan
pernah."
"Liz, aku—"
Liz membuka pintu dan melangkah masuk. Pintu depan dibanting di muka Reenie.

***

"Apa sebaiknya aku yang seharusnya bicara dengan Liz?" tanya Greta. "Setelah
beberapa hari ini sekarang ia pasti sudah tenang."
Reenie ragu-ragu.
"Liz tahu aku berteman dengan P.J.," Greta melanjutkan.
Mereka membelok di pojokan menuju blok rumah Reenie.
"Kau benar," Reenie setuju. "Aku ingat Liz mengharapkan P.J. akan mengajakmu
berkencan. Tapi kupikir ia tidak ingin berurusan lagi dengan kita."
Greta dan Reenie bergegas menuju jalan masuk rumah Reenie.
"Kakiku membeku," kata Reenie. "Semua salju itu membasahi sepatuku. Aku ingin
memakai kaus kaki kering sekarang juga."
Reenie membuka pintu. Mereka melemparkan mantel-mantel mereka ke koridor.
"Mom, aku pulang," panggil Reenie. "Greta bersamaku."
"Ada beberapa surat untukmu," ibunya menjawab dari ruang tamu. "Aku
meletakkannya di ranjangmu. Dan aku membuat kue Natal jika kau mau."
"Oke. Trims." Reenie berjalan menuju kamarnya.
"Kau ingin sepasang kaus kaki kering?" tanyanya kepada Greta ketika ia menarik
laci atas meja riasnya.
"Tidak. Sepatu botku membuat kaus kakiku tetap kering." Greta menjatuhkan
dirinya di ranjang Reenie.
Reenie duduk di samping Greta dan melepas sepatunya. "Aku heran apa ini."
Ia mengambil sebuah amplop abu-abu panjang. "Tak ada alamat pengirimnya."
"Bukalah," desak Greta. "Isinya kelihatannya bukan cuma brosur. Terlalu bagus."
"Reenie merobek amplop itu dan mengeluarkan suratnya. Ia membuka lipatan surat
itu dan menggelengkan kepalanya. "Wow."
"Apa?" desak Greta.
"Aku tak percaya ini. Ini dari Liz. Ia mengundangku ke pesta."
Reenie membaca surat itu lagi:
29 Desember
Reenie yang baik,
Aku sudah memikirkan apa yang kaukatakan, dan kita semua memang harus
bersatu. Aku membutuhkan teman-temanku untuk melewatkan saat-saat yang
menakutkan ini.
Jadi aku memutuskan untuk mengadakan pesta Malam Tahun Baru. Aku tahu P.J.
sudah tiada, dan bahwa tahun ini menjadi tahun yang sulit bagi kita semua. Tapi
mari kita tinggalkan tahun ini dan merayakannya. Dan kuharap tahun depan adalah
tahun yang lebih baik bagi semua orang.
Silakan datang. Aku mengundang semua teman-temanku yang paling akrab ke
rumahku sekitar jam sembilan.
Kuharap kau bisa hadir.
Liz

Chapter 29
SAAT PESTA

REENIE melihat ke luar dari jendela mobil ketika Sean menghentikan mobilnya di
depan rumah Liz. Angin yang dingin menggigit mengembuskan gelombang putih
salju yang berputar-putar menyeberangi Fear Street.
"Aku tidak melihat lampu menyala," komentar Reenie. "Dan tidak ada mobil yang
diparkir di jalan."
"Kau benar," jawab Sean. "Aku ingin tahu berapa orang yang diundang Liz."
"Seandainya dia mengundang banyak orang pun, kupikir tidak banyak yang akan
datang." Reenie menghela napas. "Justin Stiles mengadakan pesta besar malam ini,
ingat? Dan pesta-pestanya selalu hebat."
"Mungkin kita bisa pulang lebih awal dan menuju ke sana," saran Sean. "Siap
untuk masuk?"
Reenie membuka tasnya dan mengaduk-aduk untuk mencari lipstik berry-pink
kesukaannya. Ia melambaikan lisptik itu di hadapan Sean. "Kupikir kau
menciumku sampai lipstikku kuhabis," katanya kepada Sean.
"Kuharap kau tidak menyuruhku minta maaf," goda Sean.
Reenie menggelengkan kepalanya dan selesai memulas kembali lipstiknya.
"Siap?" tanya Sean.
"Belum siap betul sih," Reenie mengakui. "Aku senang Liz mengundang kita. Tapi
aku gugup bertemu dia lagi."
"Ayolah—ini Malam Tahun Baru!" seru Sean. "Ayo berpesta!"
Klakson mobil dibunyikan di belakang mereka.
"Greta dan Artie," kata Sean.
"Bagus! Sekarang kita semua bisa masuk bersama-sama. Akan lebih enak
menghadapi Liz beramai-ramai."
Reenie dan Sean keluar dari mobil dan menemui pasangan lainnya di trotoar. Aku
senang mereka tidak putus, pikir Reenie.
Cukuplah peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi tahun ini.
"Saatnya pesta!" seru Artie. Ia mengadakan tos dengan Sean.
"Selamat Malam Tahun Baru, guys!"
Mereka melangkah di jalan depan yang tertutup salju.
"Apakah mereka tidak tahu yang namanya sekop?" keluh Greta. "Aku akan
membunuh diriku sendiri jika berjalan di salju dengan sepatu ini."
Reenie berpegangan pada jeruji ketika ia naik ke anak tangga menuju beranda. Ia
tidak ingin terpeleset di semen berlapis es itu.
Lampu beranda tidak menyala. Reenie tidak mendengar musik atau suara dari
dalam rumah itu.
"Kenapa rumah ini begitu sepi?" bisik Greta.
Reenie mengangkat bahu dan memencet bel pintu. "Kukira kita yang pertama
datang."
"Apakah kau pernah masuk?" tanya Artie ketika mereka menunggu Liz.
"Tidak. Aku mengantarkan Liz beberapa kali, tapi tidak pernah masuk. Dan kami
bicara di beranda waktu aku mencoba untuk minta maaf," jawab Reenie. "Aku
ingin tahu apakah orangtuanya ada di rumah malam ini. Aku tak pernah bertemu
mereka."
Reenie berharap mereka tidak ada. Ia tidak tahu bagaimana bisa menemui mereka.
Apa yang akan dikatakannya kepada mereka tentang malam waktu P.J. lenyap?
"Kenapa Liz lama sekali?" tanya Artie ingin tahu. "Dingin sekali di sini." Ia
mengangkat tinjunya untuk menggedor pintu—dan pintu terbuka.
Liz muncul, mengenakan gaun pesta beludru warna merah.
Merah tua adalah warna favoritnya, pikir Reenie. Tapi Liz pucat sekali. Bahkan
bibirnya tampak hampir tidak berwarna.
Liz mengayunkan lengannya, memberi isyarat kepada mereka untuk masuk.
"Masuklah. Aku sudah menunggu kalian," katanya pelan.
"Aku senang sekali kau memutuskan untuk mengadakan pesta Malam Tahun
Baru!" seru Reenie. Ia cepat-cepat memeluk Liz.
Tapi Liz tidak membalas pelukannya, lengannya tetap di samping badannya,
tubuhnya kaku.
Kenapa ia mengundangku kalau sikapnya begitu dingin? tanya Reenie dalam hati.
Liz tiba-tiba membelakangi mereka. Ia berjalan cepat di koridor, menuju satu-
satunya ruangan yang lampunya menyala.
"Ruang tamu lewat sini," serunya.
Oh, tidak! pikir Reenie ketika ia melangkah masuk ke ruangan itu. Ia mendengar
Greta mendesah di belakangnya.
Aku seharusnya tidak datang ke sini, kata Reenie pada dirinya sendiri. Aku
seharusnya tidak pernah datang ke sini.
Liz menghiasi seluruh ruangan itu dengan warna hitam. Kertas krep hitam
menghiasi dinding-dindingnya. Balon-balon hitam melayang di langit-langit.
Ini bukan pesta. Ini upacara pemakaman, pikir Reenie muram.
"Apakah orangtuamu ada di rumah?" tanya Artie, sambil menatap ke sekeliling
ruangan itu dengan tegang.
"Tidak," jawab Liz. Ia tidak mau memberi informasi yang lain.
Reenie memandang Greta sekilas.
Greta membelalakkan matanya, seakan-akan mengatakan, "Kau percaya ini?"
Reenie mempelajari ruangan itu, mencoba untuk kelihatan tertarik dengan rumah
itu. Tapi matanya tetap tertuju kembali pada dekorasi warna hitam itu.
"Wow. Ruang tamumu sebesar lobi hotel," sembur Reenie. Ia tak bisa berdiri diam
sedetik lagi. Semua otot di tubuhnya terasa tegang.
Liz tidak menjawab. Ia menatap Reenie dengan pandangan kosong.
Kenapa sih dia? tanya Reenie cemas.
Ruangan yang besar itu hampir kosong. Di pojok Reenie melihat meja bundar
dengan mangkuk besar untuk minuman. Di sebelah mangkuk itu ada sebuah buku
besar.
"Apakah keluargamu sedang mengubah penataan ruangan?" tanya Reenie.
"Tidak," jawab Liz.
Mungkin orangtua Liz tidak mampu untuk segera melengkapi tempat ini dengan
perkakas, pikir Reenie.
"Mari kusimpan mantel kalian," kata Liz tiba-tiba.
Mereka menyerahkan mantel mereka, dan Liz menghilang ke koridor.
"Wah. Apakah kita tamu tak diundang di pesta Tahun Baru Addams Family?" ujar
Artie tiba-tiba, begitu Liz menutup pintu di belakangnya.
"Benar," Sean mengiyakan.
Mereka saling bertukar pandang, bertanya-tanya apa yang harus mereka lakukan.
Tidak ada musik. Tidak ada tempat untuk duduk.
Tidak bisa menghindari dekorasi hitam dan serius itu.
"Bagaimana dengan minuman itu?" saran Greta. Ia menghampiri meja dan
memandang ke dalam mangkuk itu. "Setidak-tidaknya minuman ini tidak hitam,"
ia mengumumkan.
Mereka mengerumuni meja ketika Greta mengisi empat cangkir.
"Apa-apaan sebenarnya ini, guys?" tanya Reenie berbisik.
"Siapa yang tahu," jawab Sean. "Tapi menurutku kita tinggal di sini setengah jam
lagi dan pergi."
"Pasti," kata Artie. "Liz membuat aku merasa ngeri. Aku bahkan tidak mengira
dekorasi hitam ini."
"Lihat itu," kata Reenie sambil mengambil buku besar dari meja. "Liz punya buku
tahunan Shadyside High yang kuno. Tahun berapa ini? Wow—1965. Aku ingin
tahu apakah orangtuanya sekolah di sana." Ia membuka sampulnya.
Greta mencibir. "Dengar prasasti ini: Kita akan berteman sampai lautan perlu
popok agar dasarnya tetap kering."
"Tidak terlalu dangkal," canda Sean sambil memutar bola matanya.
Reenie membalik halaman itu.
"Apakah mereka ini pemandu sorak?" teriak Artie. "Seragam mereka melewati
lutut!"
"Letakkan buku itu!" teriak Liz dari depan pintu.
Reenie terlompat. Ia tidak mendengar Liz kembali. Ia cepat-cepat menutup buku
tahunan itu.
"Kenapa kau membukanya?" desak Liz tajam ketika ia melintasi ruangan dan
menghampiri mereka.
"Liz, buku tahunan itu ada di atas meja. Kupikir tidak apa-apa. Maaf," kata Reenie.
Ketukan di pintu depan mengejutkan mereka semua.
Bagus! pikir Reenie. Lebih banyak orang. Lebih banyak orang berarti kami bisa
pergi lebih awal. Mungkin ruangan ini tidak akan terasa begitu mengerikan jika
banyak orang.
"Bagus!" kata Liz. "Aku tak ingin mulai sampai kita semua di sini."
Mulai apa? tanya Reenie heran. Ia memperhatikan Artie mencicip minuman
dengan hati-hati.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sean.
"Minuman biasa." Artie menyeringai. Ia meneguk sisa minuman di cangkirnya.
"Brrr!" teriak Greta, sambil menggosok lengan bajunya. "Dingin amat di sini."
"Aku tahu," jawab Reenie. "Kupikir ia tidak rnenyalakan pemanas ruangan. Aku
ingin tetap memakai manteIku."
"Ini pacarku," Liz mengumumkan. Ia menggandeng Ty ke depan yang lain.
Paling tidak Liz kedengaran agak bahagia, Reenie memperhatikan. Mungkin Ty
akan membuat semangatnya lebih baik.
"Yo—Ty. Ke mana saja kau, man?" tanya Artie. "Tidak melihatmu selama ini."
"Aku juga," kata Sean. "Kami masih tugas bergantian di Burger Basket."
Ty mengangkat bahu. "Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya keluyuran saja."
Keluyuran dengan Liz, pikir Reenie.
Ruangan itu menjadi sepi lagi.
Aku harus menanyakan P.J. kepada Liz, Reenie memutuskan. Kami semua tidak
bisa berpura-pura melupakan apa yang terjadi pada P.J. "Ada kabar tentang
adikmu?"
"Tidak," jawab Liz kosong, wajahnya tanpa ekspresi. "Polisi masih tidak
menemukan tanda-tanda mengenai dia—kecuali jaketnya."
"Kuharap mereka segera menemukan dia. Kami semua berharap ia baik-baik saja,"
kata Reenie.
Liz menatap Reenie. Tatapannya keras dan dingin.
Percayalah padaku, pinta Reenie diam-diam. Kau harus mempercayai itu. Aku
tidak bermaksud membuat peristiwa buruk itu terjadi. Tidak pada P.J. Tidak
padamu. Tidak pada semua orang.
Liz berlalu. "Kita akan mengetahui apa yang terjadi padanya cepat atau lambat—
ya kan?" bisiknya.
Apa yang dimaksud Liz? tanya Reenie dalam hati. Ketika mereka menemukan
tubuhnya? Atau apa?
"Kau pikir P.J. mungkin melarikan diri?" tanya Greta. "Pergi ke kota lain atau
bagaimana?"
"Tidak," jawab Liz datar.
"Kenapa kau tidak berpikir demikian?" tanya Greta. "Anak-anak seumur kita
banyak yang minggat. Maksudku, ini keadaan yang biasa. Dan ia mengalami saat-
saat yang sulit di sekolah."
"Aku kenal adikku," kata Liz kering. "P.J. tidak akan ingin aku jadi cemas. Ia tidak
pernah minggat."
Liz menuang secangkir minuman untuk Ty dan menuang satu cangkir untuk
dirinya sendiri. "Ini saatnya," ia mengumumkan, sambil melambaikan tangannya
kepada mereka untuk menuju ke tengah-tengah ruangan itu.
Saat untuk apa? Reenie heran. Ini belum tengah malam.
Liz mengangkat cangkirnya. "Tos buat teman-teman kita yang telah meninggal.
Kita sangat kehilangan mereka."
Ia memandang setiap orang di lingkaran itu, kemudian membawa cangkir itu ke
bibirnya.
Reenie mencicip minuman itu. Bayangan mengerikan dua bulan yang lalu
berkelebat di benaknya.
Darah yang menetes-netes dari pipi Marc.
Sandi telentang di tumpukan sampah. Kepala mereka berdua terpuntir ke belakang.
Dan P.J. begitu dingin dan pucat ketika ia memberinya pertolongan mulut-ke-mulut
untuk menyadarkan P.J.
Apakah mereka akan menemukan P.J. yang mati berikutnya?
Akankah kepalanya dipuntir ke belakang seperti yang lainnya?
Atau apakah P.J. sedang bersembunyi di suatu tempat?
Bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan—dan merencanakan
pembunuhan lagi?
Liz mengangkat cangkirnya. "Tos lagi untuk almarhum teman-teman kita..." Kata-
katanya semakin lemah. Bibirnya gemetar dan air mata mulai mengalir turun di
kedua pipinya.
Liz menutupi wajahnya dengan tangannya dan menangis terisak-isak.
Liz yang malang, pikir Reenie. Ia begitu pucat. Begitu kurus.
Aku harus ingat betapa banyak kejadian yang telah ia alami. Tidak heran ia merasa
begitu emosional malam ini.
Ty membimbing Liz ke pojok ruangan itu. Mereka masih bisa mendengar isak
tangisnya yang memilukan.
"Apakah kau pikir kita seharusnya pergi?" bisik Greta.
"Aku tak tahu," jawab Reenie. "Nanti malah membuat Liz merasa semakin sedih."
Reenie memandang Liz dan Ty sekilas. Mereka berdiri berdekatan, membelakangi
mereka.
"Sekarang apa?" gumam Sean. "Apakah kita seharusnya tetap berpura-pura ini
pesta yang normal?"
"Tidak!" kata Liz keras. "Aku tak ingin."
Reenie menoleh dan melihat Liz mendorong Ty menjauh. Ia berjalan menghampiri
mereka, wajahnya berkerut penuh kemarahan. Matanya hampir berkilauan.
"Aku akan mengatakan kepada kalian mengapa aku mengundang kalian semua ke
sini!" kata Liz.
Ty mendekati Liz.
"Menjauhlah dariku!" katanya dengan suara melengking.
Ty mundur, ekspresi wajahnya tampak tersinggung.
Liz menyipitkan matanya memandang Reenie. "Alasanku mengadakan pesta ini
karena aku memutuskan akan lebih mudah untuk membunuh kalian semua
sekaligus—daripada meneruskan membunuh kalian satu per satu."

Chapter 30
REENIE YANG PERTAMA MATI

"JANGAN coba-coba lari," Liz memperingatkan. "Semua pintu terkunci."


"Liz, ini tidak lucu!" protes Reenie.
"Aku akan pergi," kata Artie. "Aku tidak mau melakukan permainan yang konyol
ini lagi."
Sean menatap tajam, memperhatikan wajah Liz. "Kupikir ini bukan permainan."
"Dengarkan Sean. Ia cowok yang cerdas," kata Liz kepada mereka.
"Maksudmu kau yang membunuh Marc dan Sandi?" tanya Greta ingin tahu.
"Sekarang kau mengerti," jawab Liz, tersenyum dingin.
Reenie merasa bulu romanya berdiri.
"Tidak!" katanya serak. "Aku tak percaya ini. Kau tidak boleh membunuh orang
lain—walaupun betapa marahnya kau."
"Aku membunuh mereka. Dan aku menikmatinya," Liz menegaskan, matanya
membakar mata Reenie. "Aku suka mendengar bunyi krak ketika aku mematahkan
leher mereka. Aku suka menatap wajah mereka yang ketakutan."
Artie lari ke pintu besar dari kayu jati yang menuju koridor dan membuka pintu itu
dengan menyentakkannya. Pintu itu tidak terbuka.
Ia memukul-mukul pintu itu, mendorong dengan menghantamkan tubuhnya ke
pintu. Tapi pintu itu bergeming.
Greta lari ke jendela di belakang ruangan itu. Ia menyibakkan tirainya—dan
melihat batang-batang besi tempa mengganjal pintu itu.
Kami terperangkap, pikir Reenie.
"Kami berlima dan kau sendirian," Artie menantang Liz. "Kau tak bisa memaksa
kami untuk tinggal."
"Coba saja." Liz menyingkap taplak meja dan menarik laci. Ia mengambil sebuah
pisau daging.
"Kenapa?" tanya Reenie. "Kenapa kaulakukan ini?"
"Kenapa?" Liz memancangkan pandangannya ke wajah Reenie.
Matanya menyala-nyala penuh kebencian. "Karena lelucon konyol yang
bertanggung jawab atas kematian adikku," jawabnya.
"Itu tidak benar!" teriak Sean. "P.J. tidak mati di pesta itu.Ia—"
"Siapa yang akan mati duluan?" jerit Liz. Ia memandang wajah mereka satu per
satu. "Jangan semua mati sekaligus. Dan jangan kuatir—aku akan membunuh
kalian satu per satu sebelum lonceng Tahun Baru berdentang."
Liz melangkah menghampiri Reenie. Ia mengangkat pisau itu tinggi di atas
kepalanya. Pisau perak yang tajam itu berkilauan.
"Bagaimana dengan kau, Reenie? Kau ingin jadi yang pertama mati? Kaulah yang
pertama kali berpura-pura menjadi temanku."
Liz menusukkan pisau itu tepat di jantung Reenie.

Chapter 31
TAMU KEJUTAN

REENIE tak punya waktu untuk menjerit.


Ketika pisau itu mendekat, Sean menukik menubruk Liz. Ia mencengkeram lengan
Liz dan memuntir pisau itu dari Reenie sebelum pisau itu menikam dadanya.
Pisau itu jatuh berdentang di meja.
Reenie berdiri seakan lumpuh. Ia hampir bisa merasakan mata pisau yang dingin
merobek tubuhnya.
Liz mengulurkan lengan kirinya yang bebas. Merebut pisau itu dengan tiba-tiba.
Tapi Sean lebih cepat. Ia merampas pisau itu dan menodongkannya kepada Liz.
"Tangkap dia, Sean!" teriak Artie.
"Buka pintu," Sean memerintah Liz. Ia tetap menodongkan pisau itu kepada Liz.
Liz tidak bergerak.
"Buka pintu itu sekarang!" bentak Sean. "Aku tak ingin melukaimu. Tapi kami
akan pergi—dan kami akan memanggil polisi."
Reenie bergerak maju mendekati Sean, jantungnya masih berdebar-debar, masih
kacau karena nyaris mati.
"Oke," kata Liz dengan terengah-engah. "Oke, aku akan membukanya." Ia mundur
menjauhi Sean. Sean tidak menurunkan pisau itu.
Liz sudah menyerah, pikir Reenie. Ia memejamkan matanya dan menghirup napas
dalam-dalam, membiarkan perasaan lega merasuki dadanya.
Tapi bukannya membuka pintu, Liz malah berteriak menyerang—dan
menghantamkan dirinya kepada Sean.
Sean jatuh di lantai dengan Liz di atas tubuhnya. Pisau itu terjatuh dari tangannya,
tapi ia menangkapnya kembali. Sean berguling dan menendang-nendang ketika ia
berusaha untuk mengempaskan tubuh Liz.
Liz berteriak lagi—dan mengincar tenggorokan Sean. Wajah Sean merah ketika
Liz mencekiknya.
"Jatuhkan pisau itu! Jatuhkan! Jatuhkan!" jeritnya.
Reenie memaksa dirinya maju. Ia menangkap bahu Liz dan menarik Liz sekuat
tenaga agar melepaskan Sean.
Dengan kekuatan yang mengagetkan, Liz melepaskan diri dari cengkeraman
Reenie. Menerkam lengan Sean—dan mengiggit pergelangan tangan Sean.
Sean melolong kesakitan.
Liz berteriak penuh kemenangan ketika ia menarik pisau itu dari genggaman Sean.
Liz melompat berdiri.
Sean berguling menjauhi Liz, sambil memegangi lengannya yang terluka.
Liz mengejar Sean.
"Kukira kau ingin giliran yang pertama, Sean!" kata Liz serak, sambil terengah-
engah. Ia membelah udara dengan mata pisau itu.
"Liz—jangan!"
Liz membeku. Pisau itu berkilauan sedetik di udara. Kemudian ia menangkap Sean
dan menekan pisau itu di tenggorokannya.
"Jangan, Liz!" suara itu mengulangi.
Reenie berputar untuk melihat siapa yang sedang memperingatkan Liz.
"P.J.!" jeritnya.
P.J. melangkah cepat ke ruangan itu.
"Jangan lakukan itu, Liz," P.J. mengulangi.
"Kau masih hidup!" teriak Reenie. "P.J.—kau selamat!"
"Syukur kau masih hidup!" Greta berteriak gembira.
"P.J.—katakan kepada kakakmu!" Reenie memohon. "Katakan kepada kakakmu
kami tidak melukaimu. Katakan kepadanya!"
P.J. ragu-ragu, matanya terpaku pada Liz.
Liz tetap menekan pisau itu di tenggorokan Sean. Reenie melihat setitik darah
merah mengalir turun dari leher Sean.
"Liz—" P.J. maju pelan-pelan menghampiri kakaknya.
Liz menarik pisau itu dari leher Sean. Ia menurunkan pisau itu di samping
tubuhnya.
"Itu lebih baik," kata P.J. lembut, menenangkannya. "Aku senang kau
menghentikannya, Liz. Aku senang kau mendengarkan aku."
Fiuh! Sudah berakhir! kata Reenie kepada dirinya sendiri.
Terima kasih, Tuhan, P.J. tiba ketika nyawa Sean terancam. Sudah selesai. Sudah
selesai.
Wajah P.J. pelan-pelan menyeringai ketika ia melangkah menghampiri kakaknya.
"Aku senang kau menunggu, Liz," katanya lembut. "Aku akan sangat kecewa jika
kau mulai tanpa aku. Aku juga ingin melihat mereka mati."

Chapter 32
TERTIKAM

P.J. berputar membelakangi Liz, menghadap Reenie dan teman-temannya. Matanya


berkilat-kilat penuh kebencian. "Aku ingin melihat kau mati. Kalian semua!"
teriaknya.
"Tapi, P.J.—kami teman-temanmu," seru Greta. "Kami semua sangat
mencemaskanmu. Ke mana saja kau? Apa yang terjadi malam itu setelah pesta
Reenie?"
Di belakang P.J. dan Liz, Reenie melihat Sean pelan-pelan berdiri.
Apa yang akan dilakukan Sean? Reenie cemas. Hati-hati, Sean, pintanya. Tolong—
hati-hati.
"Aku sudah ada di sini lama sekali," P.J. mengungkapkan. "Aku tidak mau
kehilangan kesenangan itu. Aku melihat Liz membunuh Sandi dan Marc. Ia
membunuh mereka—tapi aku harus melihat."
"Sinting!" teriak Reenie. Ia tidak bermaksud untuk berkata apa-apa. Tapi kata-kata
itu keluar dari mulutnya begitu saja.
"Kenapa?" ratap Greta. "Kenapa kau bunuh mereka, Liz?"
Artie melangkah maju mendekati Greta. Sementara itu, Sean mengendap-endap di
belakang Liz dan P.J.
Reenie merasa mual. Bagaimana bisa Liz menjadi pembunuh?
Bagaimana P.J. bisa menikmati melihat Liz membunuh?
Mereka tampak begitu normal. Begitu sangat normal.
"Kenapa kau tega membunuh Sandi dan Marc karena mereka melakukan lelucon
yang tidak melukai P.J.?" tanya Reenie kepada mereka.
Sebelum salah satu dari mereka menjawab, Sean menangkap pinggang Liz. Ia
menjepit Liz ke tubuhnya dengan tangan kiri—dan menangkap pisau dengan
tangan kanannya.
Liz berkelit membebaskan diri. Ia menerjang Sean.
Sean mencoba untuk mengelak terkaman Liz.
Terlambat.
Liz kehilangan keseimbangannya. Terjerembap ke arah Sean.
Dan pisau itu menembus dadanya.
Jeritan-jeritan membahana di ruangan besar itu.
Semua orang menjerit, tapi Liz tidak. Reenie terpana melihat ekspresi wajah Liz
yang kosong.
"Ohhhh." Rintih ketakutan keluar dari tenggorokan Sean.
Reenie tahu bahwa Sean tidak sengaja menikam Liz. Dan sekarang sekujur badan
Sean gemetar, matanya terbelalak ketakutan.
Hanya Liz yang tetap tenang.
"T-tidak berdarah—!" kata Artie gagap sambil menunjuk.
Reenie ternganga memandang gaun depan Liz. Tak ada darah.
Tak ada darah yang menyembur dari luka itu.
Dengan terengah-engah, Sean menarik pisau itu dari dada Liz.
Liz tidak bergerak. Tidak menjerit.
Tubuh Reenie gemetar ketakutan.
Ada apa ini? tanyanya dalam hati. Apa yang terjadi di sini?

Chapter 33
DALAM KENANGAN

REENIE menatap pisau di genggaman Sean. Pisau itu berkilauan tertimpa cahaya
dari langit-langit. Tidak ada darah.
Tidak ada darah. Kata-kata itu berulang-ulang di telinga Reenie sampai terdengar
seperti auman.
Liz menoleh kepada Sean, senyum aneh menghias wajahnya.
"Kau merobek gaunku," katanya kepada Sean sambil pura-pura mencibir.
"Aku-aku—" Sean menjatuhkan pisau itu ke lantai. Wajahnya tegang ketakutan
ketika ia mundur menjauhi Liz.
Liz tertawa.
"Dasar penakut," bisiknya. "Maaf sekali, Sean.Tapi kau tidak bisa membunuhku.
Tahu kenapa?"
"Kenapa—?" Sean tercekik.
"Karena aku sudah mati."
"Tidaaaak!" Jeritan keluar dari kerongkongan Reenie.
"Aku dan P.J. sudah mati," Liz mengungkapkan. "Kami berdua mati sebelum
kalian dilahirkan. Ini. Aku akan membuktikannya kepada kalian."
Liz berjalan ke meja dan mengambil buku tahunan kuno Shadyside High. Ia
melemparkan buku itu kepada Reenie.
Jari-jari Reenie gemetar ketika menelusuri huruf-huruf di atas sampulnya yang
dicetak menonjol. Murid-murid tahun 1965. Ia membuka buku itu.
Halaman-halaman yang mengilap otomatis terbuka pada potret satu halaman penuh
di depan. Potret itu dikelilingi bingkai hitam tebal.
Di bawah potret itu tertulis:

DALAM KENANGAN
Elizabeth Fleischer dan saudara laki-lakinya Philip Jeremy Fleischer. Kalian akan
selalu hidup dalam hati kami.

Greta memandang potret itu lewat bahu Reenie. Ketika membaca tulisan itu,
tangannya menekan lengan Reenie.
"Itu Liz dan P.J.," bisik Sean, sambil menatap halaman itu.
"Lihat mereka! Mereka tampak benar-benar sama. Tapi potret ini diambil lebih dari
tiga puluh tahun yang lalu!"
"Kami tidak dikenal sebagai Liz dan P.J. saat itu," Liz menjelaskan. "Kami adalah
Beth dan Jeremy. Kami meninggal dalam kecelakaan mobil di Malam Tahun Baru,
di suatu malam yang bersalju tebal seperti saat ini."
"Dan apa kau tahu kenapa kami mati?" tanya P.J., sambil melangkah ke sebelah
kakaknya. "Kau tahu kenapa?"
"Kami meninggal karena beberapa anak yang kejam memainkan lelucon yang keji
pada adikku," kata Liz pahit kepada mereka. "Dan sekarang ini tiga puluh tahun
kemudian. Tiga puluh tahun yang mestinya bisa kami nikmati, yang mestinya bisa
kami jalani. Tiga puluh tahun kemudian—dan kalian melakukan hal yang sama."
"Wow. Tunggu—" Sean memulai.
"Kali ini akan berbeda," Liz membentak, mengabaikan Sean. "Kali ini kalian akan
menerima ganjaran untuk lelucon kalian. Kalian akan membayar untuk tiga puluh
tahun kami yang lenyap karena sebuah lelucon."
"Kalian semua akan mati!" seru P.J. dengan riang.
Chapter 34
KEJUTAN BUAT LIZ

"AKU dan P.J. telah menunggu lama sekali untuk saat ini," Liz melanjutkan.
"Kami menghabiskan tahun demi tahun terperangkap di suatu tempat yang dingin
dan kelabu. Seiring dengan waktu yang berlalu, kami tumbuh menjadi lebih kuat.
Dan kemudian tiba-tiba kami kembali. Kembali ke Shadyside. Kembali ke tubuh-
tubuh tua kami. Orang bisa melihat kami dan mendengar kami lagi. Aku sadar P.J.
dan aku diberi kesempatan kedua—kesempatan untuk membalas dendam."
"Tapi kenapa kau melakukan pembalasan pada kami?" teriak Reenie. "Kau mati
lebih dari tiga puluh tahun sebelum kami lahir!"
Suaranya menjadi gemetar dan lemah, tapi ia memaksa dirinya untuk melanjutkan.
"Kami tidak menyebabkan kematianmu! Kami tidak menyebabkan kematian P.J.!"
Liz maju mendekati Reenie. Ia berdiri begitu dekat. Reenie bisa merasakan napas
Liz yang dingin dan asam di wajahnya.
"Aku suka pada kalian semua mulanya. Terutama kau, Reenie," kata Liz, hampir
dengan suara lembut. "Kau selalu begitu manis. Begitu ramah padaku."
Raut wajah Liz menjadi gelap. "Kemudian kau memainkan lelucon kejam pada
P.J., sama seperti yang dilakukan oleh orang lain yang menyebut dirinya teman."
Liz menghela napas. "Dan waktu itulah aku tahu. Waktu itulah aku tahu kalian
semua harus mati."
"Kami memainkan lelucon-lelucon itu sepanjang waktu!" teriak Greta. "Untuk
bersenang-senang. Supaya bisa tertawa meriah. Itu saja. Kami tidak seperti anak-
anak lain itu. Kami tidak ingin melukai P.J."
Greta menoleh kepada P.J. "Aku temanmu—ingat?"
P.J. cemberut. "Teman apaan."
"Cukup bicaranya," kata Liz tajam. "Aku dan adikku telah menunggu begitu lama
untuk balas dendam. Sulit untuk dipercaya akhirnya ini akan terjadi."
Liz mengambil pisau itu.
Tersenyum pada Reenie. Senyuman yang dingin. Matanya yang sudah mati
berkilauan. Menerkam Reenie.
Ty melompat di antara mereka.
"Jangan ikut campur, Ty," perintah Liz. Ia mengangkat pisau itu, wajahnya penuh
kemarahan. "Menyingkirlah, Ty."
Ty tidak, bergeser. Ia berdiri di sana, kedua tangannya di samping badannya,
pandangannya terpancang pada Liz.
"Kau mengarang cerita yang salah, Beth," Ty menerangkan dengan lembut.
"Salah? Apa katamu?" Liz ingin tahu.
"Kau tidak memahaminya, Beth," kata Ty kepadanya. "Kau tidak mengerti kenapa
kau kembali hidup."
"Ty, minggirlah," perintah Liz. "Berhentilah mencoba membela Reenie. Ia akan
mati dan kau juga."
"Tidak, aku tidak akan mati," Ty berkeras.
Reenie menatap Ty lekat-lekat, mengamati wajahnya. Ia tidak terlalu kenal Ty. Tapi
Ty sangat berani, amat sangat berani, berdiri di hadapan Liz atau Beth atau siapa
pun namanya. Berdiri di hadapan seorang gadis yang telah mati tiga puluh tahun
dengan begitu tenangnya, begitu beraninya.
"Kau tidak tahu, Beth," Ty mengulangi dengan lembut. "Kau tidak kembali dari
kematian untuk balas dendam. Akulah yang akan balas dendam!"

Chapter 35
SELAMAT TAHUN BARU

"KAU balas dendam?" pekik Liz. "Untuk apa?"


"Aku juga mati di Malam Tahun Baru yang bersalju tahun 1965 itu," kata Ty
kepada Liz.
Reenie ternganga.
Ty? Ty hantu juga? Reenie merinding.
"Tidakkah kau ingat padaku?" tanya Ty kepada Liz. "Aku ingat betul padamu. Kau
dan adikmu itu."
"Tidak!" P.J. dan Liz berteriak seketika.
Mereka takut, Reenie melihat. Ternyata mereka juga ingat Ty.
"Aku tak tahu kenapa aku dibawa kembali untuk hidup, kembali ke Shadyside
juga," Ty melanjutkan. "Sampai aku bertemu kau dan adikmu. Kemudian aku tahu.
Aku tahu kau adalah Beth dan Jeremy. Orang-orang yang menabrakku di salju di
Malam Tahun Baru dan meninggalkan aku sampai mati."
P.J. mengerang kesakitan. "Kami seharusnya berhenti. Kami seharusnya berhenti."
"Tidak!" bentak Liz kepada adiknya. "Kita tidak membunuh dia! Kita menabrak
binatang. Seekor raccoon."
"Kau tahu itu tidak benar, Beth," Ty berkeras. "Aku yakin kau ingat wajahku di
kaca depan mobil itu. Aku menatapmu. Aku melihat kalian berdua—sebelum kau
melarikan diri dan meninggalkan aku sampai mati."
Liz berputar dan berlari pontang-panting ke pintu.
Ty sampai di pintu sebelum Liz sampai dan menghalang-halangi langkahnya. Ty
membelai pipi Liz dengan jari telunjuknya.
Liz menggigil.
"Itulah sebabnya kenapa aku mendekatimu," kata Ty kepada Liz. "Aku sudah
menunggu saat-saat seperti ini. Saat yang tepat untuk melakukan pembalasanku—
Tahun Baru."
Teng!
Jam dinding berdentang, mengagetkan Reenie. Dentangnya yang pertama kali di
tengah malam.
"Sekarang giliranku," Ty melanjutkan. "Itulah sebabnya kalian berdua hidup
kembali. Jadi aku bisa membunuh kalian. Itulah sebabnya kita bertiga hidup
kembali."
Ekspresi sangat ketakutan tersirat di wajah Liz.
Ty menangkap Liz.
Liz berteriak ketakutan.
Jam dinding kembali berdentang.
Teng!
Teng!
Teng! Teng! Teng!
Liz memukuli Ty dengan tinjunya. Berusaha untuk melepaskan diri dari
cengkeramannya.
Tapi Ty memegangi Liz, tidak mau melepaskannya.
"Lepaskan kakakku!" pekik P.J.
P.J. menubruk Ty. Berjuang untuk menarik Liz dari cengkeraman Ty.
Teng!
Teng!
Teng
Reenie tidak sempat menghitung. Tapi ia tahu tengah malam hanya beberapa saat
lagi.
Liz, Ty, dan P.J. berputar, saling menarik seakan-akan dalam tarian gila.
Makin lama makin cepat.
Gelombang udara dingin muncul dari tubuh-tubuh mereka.
Kulit Reenie terasa mati rasa. Matanya berair.
Teng!
Jeritan Liz tenggelam dalam suara jam. Mereka berputar membentuk lingkaran
setan, lingkaran kemarahan dan balas dendam.
Lebih cepat. Lebih cepat. Angin puyuh putih.
Siulan tinggi melengking menusuk telinga Reenie.
Makin keras. Makin nyaring. Sampai Reenie menutupi kedua telinganya agar
telinganya tidak sakit.
Kemudian siulan itu berhenti.
Dan tiga hantu itu mulai memudar.
Mereka menjadi lebih kabur.
Lebih kabur.
Teng!
Mereka memudar menjadi bayangan.
Kemudian bayangan itu lenyap menjadi asap.
Putaran gumpalan asap yang naik lurus ke atas.
Teng!
Jam dinding berdentang dua belas kali.
Dan hening.
Asap itu lenyap. Dan melayang pergi.
Reenie dan teman-temannya melotot ketakutan.
"Mereka sudah pergi," bisik Greta akhirnya.
"Pergi."
Sean menghela napas panjang.
Tanpa menyadari, mereka saling berpelukan.
Saling berpelukan dengan erat. Karena mereka telah selamat.
Karena mereka masih hidup!
Mereka saling berpelukan dalam diam.
Dan kemudian Reenie menoleh ke tempat hantu-hantu itu tadi berpusing dan
berputar, menyelesaikan tarian akhir mereka.
"Semuanya sangat menyedihkan, sangat menyedihkan dan menakutkan," katanya.
"Apa lagi yang harus diucapkan?"
Untuk beberapa lama tak seorang pun menjawab.
Kemudian Sean memeluknya dan menariknya mendekat.
"Bagaimana kalau Selamat Tahun Baru?" katanya lembut.

END

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

You might also like