You are on page 1of 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGARUH OBAT OTONOM TERHADAP MATA”

KELOMPOK 4

NAMA KELOMPOK :

AHDIYATI HASANAH 1404015009

MAS IJI ANI MATONDANG 1404015210

NIKITA 1404015242

SYINTIA K 1404015358

TUTY YUNITA ANGGARA P 1404015367

DOSEN : Kriana Efendi, M.Farm., Apt

Kelas : D1

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA

JAKARTA

2016
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis
mampu menyelesaikan laporan ini guna memenuhi tugas mata kuliah Praktikum
Farmakologi dengan judul “Pengaruh Obat Otonom terhadap Mata”
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi.
Laporan ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
Farmakologi yang penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Laporan ini di susun oleh penulis dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga laporan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Penulis sadar bahwa laporan ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing penulis
meminta masukan demi perbaikan membuatan laporan demi masa yang akan datang
dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Jakarta, 29 September 2016

Kelompok 4
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Tujuan Praktikum ................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf Otonom ............................................................................... 2

2.2 Sistem Saraf Parasimpatik ...................................................................... 3

2.3 Sistem Saraf Simpatik ............................................................................. 4

2.4 Perangsangan Simpatik dan Parasimpatik ........................................... 6

2.5 Jenis Obat ................................................................................................. 6

2.6 Prosedur .................................................................................................... 8

BAB III HASIL PENGAMATAN

HASIL PENGAMATAN ............................................................................... 9

BAB IV PEMBAHASAN

PEMBAHASAN ................................................................................. ..........10

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN. ........................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari kemampuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi,
resorpsi dan nasipnya didalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit,
disebut farmakologi klinis.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat
neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau
sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem
saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls
(informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel
organ efektor. Jalur eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu
saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-
organ yang sama tetapi menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya
homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang
akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.
1.2 Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu mengukur
dan mengevaluasi diameter pupil mata kelinci akibat pengaruh obat kolonomimetik,
muskarinik bloker, agonis adrenergik dan adrenergik bloker.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Saraf Otonom


Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi
(SST). SSP terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf
somatik (SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
SSS merupakan saraf volunter karena mensarafi otot rangka yang dapat
dikendalikan. Sedangkan SSO bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat
dikendalikan. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom,
seperti jantung, saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah,
kelenjar, paru-paru dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron
aferen mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen
menerima inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ
efektor, seperti jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi
menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang sering disebut sebagai sistem
saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama akan
menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada organ
tertentu. Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem
saraf parasimpatik bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada
kedua sistem saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan.
Istilah untuk obat perangsangan simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik atau
agonis adrenergik, dan penghambat simpatik, dan penghambat simpatik disebut
simpatolitik atau antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah
kolinergik, parasimpatomimetik atau agonis kolinergik, dan penghambat parasimpatik
disebut parasimpatolitik atau antikolinrgik.

2.2 Sistem Saraf Parasimpatik


2.2.1 Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun
tertentu. Sebalikya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal
nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin
memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyerap
reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula
adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
 Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
 Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan
konsentrasi asetilkolin endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen.

3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi
kandung kemih, meningkatkan saliva, meningkatkan motilitas usus.
2.2.2 Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin ->
menghambat aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin
diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih,
relaksasi uterus.

2.3 Sistem Saraf Simpatik


2.3.1 Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos
(vasokontriksi) dan sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah
dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik
dengan efek turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen
dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi
adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
 Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
 Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
 Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
 Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus.
2.3.2 Antiadrenergik (Simpatolitik)
1. Simpatolitik Alfa
1) Simpatolitik alfa (alfa bloker) nonselektif
 Derivat haloalkilamin
Mekanisme: bentuk basa->kehilangan gugus beta halogen -
>membentuk cincin etilenimonium->membentuk ion karbonium yang
sangat reaktif+gugus sulfidril, amino -> ikatan kovalen yang stabil
dangan adrenoseptor alfa.
 Derivat imidazolin
Mekanisme : menghambat reseptor alfa, dan agonis reseptor
muskarinik
 Derivat alkaloid ergot
Mekanisme : antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, dopamin
dan serotonin.
2) Simpatolitik alfa-1 selektif
3) Simpatolitik alfa-2 selektif
Mekanisme : memblok reseptor alfa-2 pascasinaps, menyebabkan
peningkatan aktivitas neuron adrenergik sentral, meningkatkan pelepasan
NE dari ujung saraf adrenergik di perifer, akibatnya tekanan darah
meningkat.
2. Simpatolitik Beta (beta bloker)
Mekanisme : antagonis kompetitif terhadap adrenoseptor beta.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, kontaksi GI, kontraksi kandung kemih.

2.4 Perangsangan Simpatik dan Parasimpatik


Perangsangan Simpatik Perangsangan Parasimpatik
- Meningkatkan tekanan darah - Menurunkan tekanan darah
- Meningkatkan denyut nadi - Menurunkan denyut nadi
- Relaksasi bronkus - Kontraksi bronkus
- Dilatasi pupil - Kontraksi pupil
- Relaksasi saluran kemih - Meningkatkan kontraksi saluran
- Relaksasi otot polos GI kemih
- Relaksasi urterus - Meningkatkan kontraksi GI
- Meningkatkan gula darah - Meningkatkan tonus otot

2.5 Jenis Obat


1. Atropin
 Sediaan : Cendotropine mengandung Atropina-sulfat 5mg/ml tts mata. In :
Sebagai medriatikum dan siklopentolat.
 Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Hambatan oleh atropin bersifat
reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah
berlebihan atau pemberian antikolineterase.
 Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap eksogen.
 Kepekaann reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ.
Pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air
liur, mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis
yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi
dan penghambatan N.vagus sehingga terlihat takikardi.
 Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan
berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan
bola mata.
2. Epinefrin
 Sediaan : Adrenal mengandung Epinefrina 1%. In : Glaukoma kronik. Ds : tiap1-
3 hari 1 tts sebelum tidur.
 Epinefrin merupakan prototipe obat kelompok adrenergik.
 Epinefrin bekerja pada semua reseptor adrenergik : α1, α2, β1 dan β2.
 Pada umumnya, pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmiter pada saraf
adrenergik adalah NE.
 Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh
darah dan otot polos lain.
 Epinefrin biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada
pasien glukoma sudut lebar. Efek ini mungkin disebabkan berkurangnya
pembentukan cairan bola mata akibat vaso kontriksi dan karena bertambahnya
aliran keluar.
3. Pilokarpin
 Sediaan : Miokar mengandung Pilokarpin HCL 10mg/ml. In: untuk pupil;
mengendalikan tekanan intraokular. Ds: dua tts, topikal pada mata sehari 3-4 kali
atau menurut petunjuk dokter.
 Kerja obat agonis pada reseptor muskarinik.

2.6 Prosedur

Prosedur SSO

Ukur diameter pupil

Kelinci I Kelinci II

Mata Kanan Mata Kiri Mata Kanan Mata Kiri

Atropin Epinefrin Pilokarpin + Atropin Pilokarpin


3-4 tts 3-4 tts 3-4 tts 3-4 tts
BAB III

HASIL PENGAMATAN

3.1 Hasil
1. Pengaruh Obat Otonom terhadap Otot Iris Mata Kelinci yang diberi Atropin
(mata kanan) dan Epinefrin (mata kiri)
D pupil
Diameter pulil kanan (cm) Dimeter pupil kiri (cm)
normal

Kanan Kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’ 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’

0,8 0,8 0,8 0,7 1 1,1 0,9 0,7 0,8 0,7 1 1 0,8 0,6

2. Pengaruh Obat Otonom terhadap Otot Iris Mata Kelinci yang diberi
Pilokarpin+Atropin (mata kanan) dan Pilokarpin (mata kiri)
D pupil
Diameter pulil kanan (cm) Dimeter pupil kiri (cm)
normal

Kanan Kiri 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’ 0,5’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’
1 0,5 1 1 0,8 0,8 0,8 0,8 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 0,6

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata, ini menggunakan hewan uji
berupa kelinci. Pada praktikum ini, menggunakan obat tetes mata berupa atropin, epinefrin
dan pilokarpin. Setiap kelinci diukur terlebih dahulu diameter matanya, digunakan sebagai
pembanding ketika telah ditetesi obat.

Pada kelinci pertama, mata kanan ditetesi atropin sebanyak 3-4 tetes. Lalu dihitung
tiap menit sesuai data pengamatan. Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik. Yang
dapat menyebabkan dilatasi pupil. Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa mata kanan
kelinci pada saat normal berukuran 0,8 cm, sedangkan setelah 0,5 menit atau 30 detik
pemberian atropin tidak ada perubahan karena ukuran pupil masih 0,8 cm, dapat diketahui
pada wakru 30 detik obat belum bereaksi, sehingga belum terlihat dilatasi pupil.

Setelah pemberian 1 menit terlihat perubahan pada pupil mata, karena ukurannya
menjadi 0,7 cm. Atropin menyebabkan dilatasi pupil, tetapi pada waktu setelah pemberian 1
menit memberikan efek kontriksi pupil. Ini bisa disebabkan karena kesalahan praktikan
dalam menghitung diameter dari pupil mata. Setelah pemberian 5 menit, didapatkan hasil 1
cm yang berarti terjadinya dilatasi pupil. Disebabkan karena atropin telah bekerja sehingga
menyebabkan dilatasi pada pupil kelinci.

Dilanjutkan pada menit ke 10, diameter pupil menjadi 1,1 cm. Efek dari atropin masih
bekeeja sehingga menyebabkan pembesaran pada pupil mata. Pada menit ke 15, diameter
pupil menjadi 0,9. Efek yang ditimbulkan oleh atropin mulai berkurang. Sedangkan pada
menit ke 20 menjadi 0,7 sama halnya pada menit ke 15, menit ke 20 telah terjadi penurunan
efek yang diakibatkan oleh penggunaan atropin.

Pada kelinci pertama, mata kiri ditetesi epinefrin yang merupakan obat golongan
adrenergik. Sama halnya dengan atropin, epinefrin juga mengakibatkan dilatasi pada pupil
mata. Dari hasil pengamatan, diameter normal pada mata kelinci yaitu 0,8 cm. Setelah
pemberian pada 0,5 menit atau 30 detik diameter dari pupil mata tetap 0,8 disebabkan obat
epinefrin belum bekerja sehingga tidak menyebabkan dilatasi pupil. Setelah pemberian 1
menit diameter pupil menjadi 0,7 cm, terjadi kontaksi pupil ataupun pengecilan pupil dari
pada ukuran normal. Bisa diakibatkan karena kesalahan pada saat pengukuran.

Pada menit ke 5, diameter pupil menjadi 1 cm disebabkan karena obat epinefrin telah
bekerja sehingga menyebabkan dilatasi pupil. Pada menit ke 10 diameter masih 1 cm. Pada
menit ke 15 diameter pupil menjadi 0,8 cm, telah terjadi penurunan efek dari epinefrin
sehingga kembali ke diameter normal. Pada menit ke 20 diameternya menjadi 0,6 cm,
terjadinya kontriksi pupil dari ukuran normal.

Pada kelinci kedua, mata sebelah kanan memiliki diameter mata normalnya 1 cm.
Mata kanan diberikan pilokarpin dan atropin 3-4 tetes untuk masing-masing obat. Obat
pertama yang diberikan yaitu pilokarpin lalu dijaraki beberapa menit dan dilanjutkan dengan
menetesi obat atropin. Atropin merupakan obat golongan antimuskarinik yang menyebabkan
dilatasi pupil, sedangkan pilokarpin adalah obat golongan agonis muskarinik yang
menyebabkan kontriksi pupil.

Setelah pemberian 0,5 meit atau 30 detik, diameter dari pupil mata masih 1 cm, masih
belum terjadi perubahan atau efek obat belum terlihat. Pada menit ke 1 diameter pupil masih
1 cm, sedangkan pada menit ke 5 terjadi sedikit perubahan yaitu diameter pupil mata menjadi
0,8 cm, pada menit ke 15 dan 20 diameter pupil masih 0,8 cm. Obat pilokarpin bekerja
sehingga memperkecil diameter pupil atau terjadinya kontraksi pupil.
Tapi seharusnya hasil yang didapat adalah tidak terjadinya perubahan pada diameter
karena atropin menyebabkan dilatasi sedangkan pilokarpin menyebabkan kontriksi pupil.
Karena sebelum pilokarpin bekerja dan menyebabkan kontrikasi pupil, telah dihambat oleh
atropin yang menyebabkan dilatasi pupil. Sehingga tidak terjadi kontriksi pupil, dan diameter
mata normal.

Tetapi, hal seperti ini bisa saja terjadi, yaitu ketika jumlah tetesan antara pilokarpin
dan atropin berbeda. Jika jumlah tetesan pilokarpin lebih banyak, akan tetap menyebabkan
kontriksi pupil mata, walaupun telah dihambat oleh atropin yang membuat dilatasi pupil.
Kerja antara kedua obat ini yaitu angonis atau berlawanan.

Kelinci kedua pada mata sebelah kiri memiliki diameter 0,5 cm dan ditetesi obat
pilokarpin, yang telah diketahui bisa menyebabkan kontriksi pupil atau pengecilan pada
diameter pupil. Setelah pemberian pada 30 detik, 1 menit, 5 menit dan 10 menit, tidak terjadi
perubahan pada pupil mata. Dikarenakan diameter pupil mata yaitu 0,5 cm. Tapi pada menit
ke 15, diameter mata menjadi 0,4 cm. Disebabkan karena obat baru bekerja dan
menyebabkan efek kontriksi pupil.

Pada menit ke 20, diameter mata menjadi 0,6 cm, lebih besar daripada diameter
normal yaitu 0,5 cm. Bisa disebabkan karena efek dari pilokarfin telah berkurang ataupun
hilang, sehingga kontriksi pupil tidak terjadi.

Kemungkinan kesalahan yang dilakukan pada saat praktikum pengaruh kerja obat
otonom terhadap mata yaitu, kesalahan pada saat mengukur diameter dari pupil mata kelinci,
ketidak tepatan atau jumlah tetesan berbeda sehingga menyebabkan efek yang berbeda.

BAB V
KESIMPULAN

Hasil yang didapat pada praktikum pengaruh obat otonom terhadap mata yaitu :

1. Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST). SSP
terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik
(SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
2. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom, seperti jantung,
saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah, kelenjar, paru-paru
dan bronkus.
3. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang
sering disebut sebagai sistem saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
4. Jenis obat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : atropin, pilokarpin, dn epinefrin.
5. Tiap-tiap obat memiliki efek yang berbeda, dari perbedaan efek tersebut dilakukan
pengujian dan perbandingan dengan efek yang sesuai yang diakibatkan oleh masing-
masing obat.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Peterbit FKUI

Priyanto, Lilin Batubara. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan.
Depok Jabar: Leskonfi

Iso Indonesia Volume 48

You might also like